Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Jun 10, 2011

Alur Laut dan Insiden 3 Juli (14 Juli 2003)

Hasjim Djalal Mantan Duta Besar Keliling RI untuk masalah-masalah hukum laut dan kelautan.
KONFRONTASI" 3 Juli antara pesawat tempur Angkatan Laut Amerika Serikat (F-18) dan pesawat tempur Indonesia (F-16) di Laut Jawa telah menimbulkan berbagai komentar.
Ada yang mempertanyakan kenapa TNI tidak langsung menembak pesawat Amerika tersebut. Ada pula yang menganggap hal itu sebagai reaksi Amerika Serikat terhadap pembelian pesawat tempur Sukhoi buatan Rusia oleh Indonesia. Sebagian orang menduga manuver itu sebagai "provokasi" Amerika terhadap Indonesia. Lalu, tak sedikit yang mengeluhkan bahwa kejadian itu membahayakan keselamatan penerbangan sipil.
Sesungguhnya, dari segi hukum laut, ada beberapa hal yang perlu dipastikan sebelum bersikap. Pertama, letak yang persis dari insiden tersebut. Dalam berita koran disebut pesawat Amerika itu berada "di atas" Pulau Bawean. Tapi ada yang mengatakan "dekat" Bawean (tanpa jelas seberapa dekatnya), dan ada juga yang menyebut "di Laut Jawa sebelah barat-laut Bawean". Kepastian ini penting karena, menurut hukum laut dan hukum udara, pesawat terbang militer asing tidak boleh terbang di atas wilayah darat suatu negara kecuali dengan izin.
Andaikata pesawat F-18 Hornet tersebut memang terbang di atas darat Pulau Bawean, hal itu jelas salah dan karena itu Indonesia perlu memperingatkannya, kecuali kalau penerbangan ini telah mendapat izin dari Indonesia. Perlu dicatat bahwa aturan penerbangan pesawat militer tidak sama dengan ketentuan penerbangan pesawat sipil (yang diatur secara tersendiri oleh International Civil Aviation Organization).
Letak kejadian juga menjadi penting karena adanya hak archipelagic sea lanes passage (ASLP) sesuai dengan Pasal 53 Ayat 2 Konvensi Hukum Laut. Hak ini berlaku bagi kapal-kapal perang dan kapal-kapal terbang militer untuk berlayar dan terbang melalui dan di atas alur laut kepulauan di perairan Nusantara Indonesia. Setelah diakuinya Wawasan Nusantara oleh Konvensi Hukum Laut PBB 1982, pelayaran melalui perairan kita dapat dilaksanakan dalam bentuk: (1) innocent passage di seluruh perairan Nusantara, dan (2) ASLP yang agak lebih bebas dari innocent passage melalui perairan dan rute-rute yang biasa dipakai dalam pelayaran internasional (Pasal 53 Ayat 4 Konvensi Hukum Laut).
Pada dasarnya Indonesia dapat menentukan sumbu atau axis alur tertentu di dalam berbagai perairan tersebut sehingga pelayaran dan penerbangan kapal perang asing tidak boleh keluar lebih jauh dari 25 mil ke kiri dan ke kanan dari sumbu alur itu atau mendekati pantai lebih dekat dari 10 persen dari lebar perairan tersebut. Ketentuan ini atas kehendak Indonesia untuk membatasi lewatnya kapal perang dan kapal terbang militer asing tersebut dalam kawasan yang sesempit mungkin dan yang semakin jauh ke tengah laut demi keamanan dan pengamanan Indonesia sendiri.
Sejak bertahun-tahun, Indonesia dan negara-negara maritim mengadakan pembicaraan untuk menentukan alur yang tepat. Soalnya, perlu diteliti dulu aspek keselamatan pelayarannya, termasuk kedalaman air, keadaan hidrografis dan oseanologis. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula kegiatan ekonomis seperti adanya anjungan laut, kegiatan perikanan, kegiatan pariwisata, taman laut, kesibukan lalu-lintas perkapalan dan penerbangan, dan lain-lain.
Dulu Indonesia dan Amerika Serikat pernah bekerja sama melakukan survei hidrografis dan oseanografis di bagian-bagian tertentu perairan Indonesia. Berdasarkan penelitian ini, Indonesia lalu mengajukan usul ke Organisasi Maritim Internasional (IMO) di London tentang tiga alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Tiga alur ini terdiri atas: (1) di sebelah barat dari Laut Cina Selatan menuju Laut Karimata dan Selat Sunda, (2) di sebelah tengah dari Laut Sulawesi menuju Selat Makassar dan Selat Lombok, dan (3) di sebelah timur dari Samudra Pasifik menuju Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan kemudian bercabang tiga menuju Laut Sawu, Laut Timor, dan Laut Arafura. Ketiga ALKI ini akhirnya diterima oleh IMO pada 1998, dan menyerahkan kepada Indonesia untuk mengundangkan kesepakatan tersebut dalam perundang-undangan Indonesia.
Di samping itu, Indonesia dan negara-negara maritim lainnya juga telah menyepakati 19 aturan yang diberlakukan pada alur laut kepulauan Indonesia yang sebagian besar diambilkan dari ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982. Tapi ada pula kesepakatan baru, antara lain aturan 5 yang menyatakan bahwa "kapal-kapal perang asing dan kapal-kapal yang mempergunakan tenaga nuklir yang melewati sea lanes direkomendasikan untuk memberitahukan kepada pemerintah Indonesia (Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia) terlebih dahulu untuk keperluan keselamatan pelayaran dan guna dapat mengambil tindakan-tindakan persiapan andaikata terjadi sesuatu yang tidak diinginkan".
Malah ditegaskan pada aturan 6, bagi kapal yang membawa bahan nuklir, pemberitahuan kepada Panglima TNI tersebut diharuskan (are required to notify). Juga disepakati dalam aturan 1 bahwa kapal yang lewat di alur laut "tidak boleh mengganggu atau mengancam kedaulatan, integritas wilayah, kemerdekaan, dan kesatuan nasional Indonesia".
Yang penting juga dicatat, pada aturan 7 dinyatakan bahwa kapal terbang militer asing yang lewat di atas alur laut "harus memperhatikan keselamatan penerbangan sipil dan memonitor frekuensi darurat, dan diminta mempertahankan kontak dengan air traffic controller yang berwenang". Dalam aturan 13 disebutkan pula: semua kapal yang lewat tidak diperkenankan berhenti atau membuang jangkar atau bergerak maju-mundur sewaktu lewat tanpa alasan yang sah kecuali dalam keadaan force majeure' atau bahaya, dan bahwa mereka harus berlayar dengan cara yang normal hanya untuk keperluan lewat yang terus-menerus, cepat, dan tidak dirintangi.
Sesuai dengan aturan 4, kapal perang asing dan kapal terbang militer juga tidak diperkenankan melaksanakan latihan perang atau mempergunakan amunisi hidup ataupun melaksanakan war game.
Kapal perang asing direkomendasikan untuk lewat melalui ALKI. Walaupun mereka masih bisa lewat di luar alur laut, hal itu harus berdasarkan prinsip innocent passage, bukan lagi berdasarkan prinsip ASLP. Banyak bedanya antara prinsip innocent passage dan prinsip ASLP. Misalnya, di dalam innocent passage, kapal selam harus muncul ke permukaan air dan kapal terbang militer tidak ada hak terbang. Hak innocent passage dapat ditangguhkan demi keamanan dan kepentingan negara pantai, sedangkan hak ASLP tidak dapat ditangguhkan walaupun letak sumbu alur laut dapat diganti setelah mendapat kesepakatan dengan Organisasi Maritim Internasional di London.
Penetapan tiga ALKI tersebut dan beberapa ketentuan yang berlaku sebagian telah dituangkan di dalam PP No. 37 tanggal 28 Juni 2002, berlaku enam bulan kemudian, yaitu akhir Desember 2002.
Yang agak aneh, bahwa beberapa ketentuan pokok hukum laut dan kesepakatan antara Indonesia dan negara-negara maritim dan IMO kelihatannya tidak dimasukkan di dalam PP 37 tersebut atau malah diberi interpretasi yang bertentangan dengan kesepakatan dan dengan ketetapan IMO. Misalnya, apakah penetapan 3 ALKI tersebut di atas sudah komplet untuk seluruh rute yang dipakai untuk pelayaran internasional melalui perairan Nusantara Indonesia, atau baru merupakan penetapan sebagian. Soalnya, masih ada rute lain yang sudah dipakai dalam pelayaran internasional sejak berabad-abad tapi belum termasuk dalam ketiga alur laut, khususnya melalui Laut Jawa dan Laut Flores.
Di IMO dan dalam berbagai perundingan dengan negara-negara maritim, Indonesia mengakui bahwa penetapan 3 ALKI utara-selatan tersebut barulah penetapan sebagian. Indonesia belum menetapkan ALKI timur-barat melintasi Laut Jawa dan Laut Flores, karena antara lain belum selesai melakukan survei yang diperlukan. Tapi, dalam Pasal 3 Ayat (2) PP No. 37/2002 dinyatakan bahwa pelaksanaan ASLP di berbagai bagian yang lain di perairan Indonesia (di luar ketiga ALKI) baru dapat dilaksanakan "setelah di bagian-bagian lain tersebut ditetapkan ALKI". Ketentuan ini seolah-olah menyatakan bahwa di bagian lain tersebut, selama belum ditetapkan ALKI, maka ASLP tidak dapat dilaksanakan. Dalam Pasal 15 peraturan tersebut dinyatakan, "Kapal dan atau pesawat udara asing dapat melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan hanya melalui alur laut kepulauan sebagaimana ditetapkan dalam PP ini."
Ketentuan itu sangat menggusarkan negara-negara maritim, karena tidak sejalan dengan kesepakatan yang telah dicapai. Soalnya, pada aturan 19 disebutkan, "Selama belum ada penetapan sea lanes lainnya melalui bagian-bagian lain dari perairan Nusantara Indonesia, hak ASLP dapat dilaksanakan di perairan tersebut sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982."
Demikian juga aturan 5 tentang keharusan memberitahukan kepada Panglima TNI bagi kapal perang asing dan kapal nuklir. Kesepakatan ini dulu sangat diperjuangkan oleh Indonesia dan pada akhirnya diterima oleh negara-negara maritim. Tapi, anehnya, hal itu tidak masuk dalam PP No. 37/2002.
Dengan tidak adanya ketetapan mengenai ALKI timur-barat di Laut Jawa dan Laut Flores, yang menjadi persoalan adalah apakah kapal-kapal perang asing: (1) tidak boleh lewat di laut tersebut, ataukah (2) mereka harus lewat hanya berdasarkan prinsip innocent passage, ataukah (3) mereka boleh lewat rute itu berdasarkan prinsip-prinsip ASLP. Alternatif pertama dan kedua kiranya sulit dipertahankan karena tidak sejalan dengan kesepakatan, ketetapan IMO, dan Konvensi. Karena itu, yang paling mungkin adalah alternatif ketiga. Ini jelas kurang baik bagi Indonesia karena susah ditebak di mana mereka akan lewat. Selama bertahun-tahun Indonesia memperjuangkan ALKI justru agar bisa melokalisasi tempat lewat kapal perang dan pesawat udara militer asing.
Karena itu, untuk menghindari berulangnya insiden 3 Juli, Indonesia perlu mempertimbangkan langkah berikut. Pertama, menggiatkan usaha untuk mensurvei kemungkinan letak alur laut timur-barat. Jika untuk itu Indonesia memerlukan bantuan dan kerja sama, saya kira wajar jika Indonesia mencari kerja sama dengan negara-negara maritim yang penting, khususnya Amerika Serikat dan Australia.
Kedua, kita perlu meninjau PP No. 37/2002 dengan sangat teliti, dan memasukkan kesepakatan yang telah dicapai dengan negara-negara maritim mengenai berbagai aturan yang berlaku di alur laut. Khususnya tentang rekomendasi memberitahukan pelayaran kapal perang dan pesawat militer terlebih dahulu kepada Panglima TNI.
Ketiga, prosedur pemberitahuan kepada Panglima TNI-AL itu perlu diatur dan ditetapkan secara jelas dan diberitahukan kepada negara-negara maritim.
Dan keempat, TNI perlu mendapat dukungan di dalam meningkatkan kemampuan monitoring, surveillance, dan kontrol mereka terhadap laut dan udara Indonesia, khususnya dengan selalu memperhatikan perkembangan-perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini Indonesia juga perlu mengembangkan kerja sama dengan negara-negara maritim besar, termasuk dalam menghadapi kemungkinan bahaya terorisme internasional melalui laut.
Mengenai insiden 3 Juli, andaikata penerbangan yang dilakukan oleh F-18 memang mengganggu keselamatan penerbangan sipil (seperti diberitakan oleh Bouraq dan Mandala), Indonesia harus menyatakan keprihatinannya kepada Amerika Serikat dengan harapan hal tersebut tidak terulang lagi. Lalu, kedua negara perlu mengadakan kerja sama untuk merumuskan rules of engagement guna menghindari terulangnya kejadian serupa di masa depanhttp://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/07/14/KL/mbm.20030714.KL89068.id.html

No comments:

Post a Comment