Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Dec 8, 2015

Satu tulisan yang dimuat oleh Cinemags Bulan Juli 2015.               
             Sorot mata Caesar pada adegan pembuka dan penutup film Dawn of The Planet of The Apes mengingatkan saya pada sorot mata yang sama di pedalaman hutan Kalimantan. Kemudian saya berpikir bahwa seharusnya Indonesia bisa membuat film yang lebih dari ini. Lantas saya membuka kembali ingatan tentang Apocalypto karya Mel Gibson yang berkisah tentang suku Maya. Dari kedua film tersebut ada sebuah permasalahan laten, yakni eksplorasi budaya.
            Eksplorasi kebudayaan kita untuk dijadikan sebuah tontonan yang menarik masih minim. Film-film kita masih didominasi oleh drama yang minim budget. Pada mulanya Pendekar Tongkat Emas memberikan ekspektasi mengenai film yang mengangkat budaya lokal, namun kok jatuhnya seperti film-film silat Tiongkok. Baik dari segi pakaian maupun gaya bertarung. Mungkin The Raid yang mengangkat seni pencak silat di pentas dunia dan melakukan ekspansi budaya ke beberapa negara.
            Einsten pernah menekankan pentingnya imajinasi. Dan imajinasi saya sampai pada ekspansi budaya melalui film sehingga tiada klaim budaya lagi dari negara lain. Jepang, Korea,Tiongkok pun coba memperkenalkan budaya mereka melalui film. Tidak sedikit dari kita yang lebih mengetahui budaya negara lain dibandingkan budaya sendiri melalui film-film mereka. Anda bisa mengecek koleksi film teman-temanmu dan mungkin anda akan menemukan koleksi film Barat, Jepang, Korea, Pinoy, Thailand, India, Tiongkok, atau bahkan Malaysia. Pertanyaannya, adakah manusia dari negara lain yang mengoleksi film-film Indonesia?
            Imajinasi juga yang membawa saya berandai bila kita memiliki pusat industri perfilman semacam Hollywood ataupun Bollywood. Keduanya memiliki karakter khasnya masing-masing. Terutama Bollywood yang tak lepas dengan nyanyian dan tarian yang menambah durasi film menjadi dua jam lebih. “Kita kan sudah punya Dollywood mas bro,” kelakar seorang kawan menimpali imajinasiku. Ia menunjuk sebuah tempat lokalisasi besar di Surabaya yang membawa kenangan pada sejarah bila industri film kita pernah mengakomodir otak mesum masyarakatnya. Saya sangat berterima kasih pada film Petualangan Sherina yang telah membuat jatuh cinta pada industri film nasional. Walaupun ada fase dimana film kita mengakomodir kembali otak mesum masyarakatnya dengan balutan genre horor dan komedi.
            Sinema bukan sekedar hiburan semata. Ada pengenalan identitas sebuah bangsa sekaligus ekspansi budaya pada negara lain. Lalu tinggal melihat respon dari negara tersebut, apakah menelan mentah-mentah ataukah melakukan mekanisme pertahanan diri dan kemudian berekspansi balik? Jepang menyadari situasi ini. Mereka membendung pengaruh Walt Disney dengan menggenjot industri manga dan anime yang dilanjutkan pada ranah game. Seperti ucapan budayawan Yamada Shoji yang mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku ”memiliki” sekaligus ”menyebarkan”.
            Tatkala saya bermain perang-perangan memerankan tokoh jagoan dengan keponakan yang telah berubah logat seperti Upin & Ipin. Saya menjadi Gatotkacha dan dia menjadi Naruto. Ia bertanya tentang siapa Gatotkacha, kekuatan apa yang dia miliki kemudian membandingkan Gatotkacha dengan Naruto. Lantas kami sedikit berdebat dan akhirnya kalah oleh ucapannya, “Jagoan kok bisa mati Om. Naruto kan tidak mati saat bertarung. Jadi, nanti Om harus kalah dan mati.” Saya hanya diam karena dalam perang Mahabarata dikisahkan bahwa Gatotkacha memang mati. Apa yang mesti saya jelaskan tentang kematian seorang pahlawan pada anak kecil? Akankah Arjuna juga akan kalah pesona dengan Casanova dalam merebut hati wanita?
            Pasti akan seru menyaksikan tari-tarian tradisional kita mampu melebihi Step Up. Atau mungkin juga menampilkan kejayaan maritim kita dengan kapal-kapalnya sekaligus perang armada lautnya yang lebih seru dibandingkan Pirates of The Caribbean series. Adaptasi I La Galigo menjadi film pun patut dipertimbangkan karena kaya akan filosofi kehidupan. Apabila kita menggali dan mengeksplorasi apa yang kita miliki mungkin tak akan ada habisnya. Tetapi, itu kembali pada sineas kita dan terutama penyandang dana yang tentunya melihat dari sisi profit. Terkadang langkah pertama membutuhkan keberanian dan (juga) kegilaan yang menyertainya.

Cinemags 192 Juli 2015, Hlm 86.