Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Oct 27, 2011

asap meliuk rendah
membebani langit
runtuh menimpa kalimat manja
menatap lekat

robeklah!
sebar kutu yang kian menggigil
menyeruak dalam karung goni bekas

tangis memandu terang
daun kuncup sebelum sorot-
melotot

mengendurkan ranting
melecut akar kerontang
jeritan membakar retak tanah

Goa, 2011

Oct 19, 2011


                            2020, 15:32 WIB
menyerahkan tubuh ke badai
panas adalah namanya
kau diam atau turut serta

tegak tanpa langkah
menjadi mati

gerak terhisap pasir
lebih berarti

aku datang bersama pasukan timur
membawa panji-panji hitam
memberikan sapuan duri
pada pion-pion bermata satu

jelas
maut mengintip bahagia
daun jatuh di musim semi, kita bahagia
daging membusuk, mereka takut

kalian tinggalkan aku
sendiri di tiang-tiang malam
menunggu cahaya itu datang

berdiri di samping pedang yang berayun geram
simpul senyum ku raih
sampai gersang menjadi hijau zamrud membentang

Oct 13, 2011

Jhttp://nasional.kompas.com/read/2011/10/13/06183141/Indonesia.Terus.Kehilangan.Wilayah.TeritiorialAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta bekerja lebih baik lagi mempertahankan setiap jengkal tanah negeri ini di daerah perbatasan ketimbang reaktif terhadap temuan Dewan Perwakilan Rakyat tentang pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia.
Pemerintah bisa memulainya dengan meningkatkan kesejahteraan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan. Kondisi warga Indonesia di perbatasan dinilai memprihatinkan dibandingkan dengan warga Malaysia yang juga tinggal di perbatasan.
”Ini, kan, kasus kesekian kalinya. Pemerintah seharusnya bisa bekerja lebih lagi untuk mempertahankan setiap jengkal tanah kita di perbatasan. Sebagai pimpinan DPR, saya menyetujui dan mendorong penuh temuan-temuan dari Komisi I. Saya juga sudah meneken persetujuan, Komisi II ingin melakukan kunjungan ke lapangan untuk menelisik semua itu, termasuk di Kalimantan Barat dan daerah perbatasan lain,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Jakarta, Rabu (12/10/2011).
Menanggapi kritik mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak berani meminta penjelasan kepada Malaysia soal pencaplokan wilayah Indonesia di Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Priyo mengatakan, pemerintah seharusnya jangan reaktif.
”Apa yang disampaikan Ibu Megawati mengonfirmasi ulang kerisauan kita mengenai daerah perbatasan. Pemerintah tidak perlu reaktif, tetapi harus lebih proaktif melakukan langkah-langkah sehingga temuan DPR menjadi alat pelecut bagi pemerintah melakukan langkah luar biasa dalam mempertahankan setiap jengkal tanah di daerah perbatasan,” katanya.
Menurut Priyo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan harus segera melakukan langkah konkret dengan menteri terkait dan melaporkannya langsung kepada Presiden. Priyo mengatakan, langkah konkret itu bisa dimulai dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan.
”Kalau perlu, buat anggaran khusus untuk meningkatkan harkat martabat dari lingkungan masyarakat kita yang ada di perbatasan. Itu karena yang saya temukan ketika berkesempatan melakukan kunjungan ke daerah adalah Malaysia itu penduduknya berpendar cahaya, sementara kita gelap gulita. Kan, jadi pilu juga. Padahal, itu halaman depan kita punya negeri dan republik,” tutur Priyo.
Ia menilai pemerintah masih sangat konservatif dalam menangani masalah perbatasan. Jawaban pemerintah ketika DPR menemukan ada pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia melalui pergeseran patok di daerah perbatasan terkesan memang pemerintah tak berani menggugat Malaysia.
”Yang kemarin saya baca seolah-olah ini masih pembicaraan dengan Malaysia. Ini jawaban yang konservatif. Semua orang juga tahu kalau sudah bicara dengan Malaysia. Tetapi, dapat data sekian ribu kilometer persegi yang kemudian diubah patoknya itu perlu dikonfirmasi ulang ke Malaysia. Jadikan peluru untuk bicara dengan Malaysia,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin (Fraksi PDI-P) menjelaskan, tak ada persoalan perbatasan apabila mengacu pada garis batas Peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind), dan peta kolonial Inggris Federated Malay States Survey tahun 1935.
”Akan tetapi, kemudian dalam MOU (nota kesepahaman) antara tim Border Committee Indonesia dan pihak Malaysia, garis batas itu diubah dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai peta tua tersebut. Akibat kelalaian tim ini, Indonesia akan kehilangan 1.490 hektar di wilayah Camar Bulan dan 800 meter garis pantai di Tanjung Datu,” kata Hasanuddin.
Dengan hilangnya garis pantai tersebut, Indonesia kehilangan wilayah teritorial laut yang diprediksi memiliki kandungan timah, minyak, dan gas. Ia menegaskan, MOU itu belum diratifikasi sehingga Pemerintah RI perlu membatalkannya dan melakukan perundingan ulang.
Mantan sekretaris militer itu menambahkan, walau belum diratifikasi, ternyata Pemerintah Malaysia telah membuat tempat wisata konservasi di Tanjung Datu berupa Taman Negara Tanjung Datu dan proyek penangkaran penyu.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin, mengatakan, sengketa perbatasan negara yang kembali terjadi antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan lemahnya kedaulatan negara. Pemerintah dan DPR hendaknya segera menyusun undang-undang tentang tapal batas negara.
”Sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang menunjukkan batas-batas konkret dengan negara lain,” ungkapnya. (ONG/RIZ/BIL)
Berhentilah bilang kebohongan tentang aku, dan aku akan berhenti bilang kebenaran tentang dirimu.(Gordon Gekko kepada Bretton James dalam film Wall Street:Money Never Sleep)
            Kurang dari seminggu proses pra diklat dilaksanakan hambatan tahun ajaran 2011-2012 sudah mulai terasa. Kali ini dalam diri calon anggota baru yang menjadi incaran berbagai organisasi ekstra kampus (OMEK). Kebijakan internal LPM SM memang melarang calon anggota baru untuk ikut organisasi lain selain LPM SM, Intra maupun ekstra kampus. Siapa yang ingin dimadu? Kami pun tak mau dan kami rasa organisasi lain pun tak mau pula jika dimadu. Pada perkembangannya ada beberapa calon anggota baru yang dibujuk salah seorang ketua HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) untuk bergabung salah satu OMEK. Untuk menggoyahkan niatnya, sang ketua membuat pernyataan yang intinya menyudutkan LPM SM. Selama ini banyak informasi yang kami terima entah itu dukungan atau sebaliknya, menjelekkan. Telinga kami menjadi mulai terbiasa dengan ungkapan “SM itu suka bikin ricuh”, “Tempatnya pemberontak”, “Menjelek-jelekkan kampus”.
            Kami tak ingin seperti Gordon Gekko yang berhenti bohong jika Bretton James akan berhenti mengatakan kebenaran tentang dirinya. Kami akan tetap mengatakan kebenaran, walaupun dalam penyampaiannya kurang memuaskan dan sering dianggap kebohongan. Itu tidak lebih karena kami juga terus belajar memperbaiki diri. Apabila tulisan-tulisan kami masuk kategori sebagai menjelek-jelekkan kampus, disebabkan kami selalu memberitakan kelemahan dari kampus. Kami tidak ingin bilang jika kampus ini dalam keadaan baik-baik saja, tentunya dengan cara jurnalistik. Seperti kata Sudirman Tebba bahwa wartawan ataupun media berfungsi menyebarkan informasi kepada khalayak. Memang kami bukanlah humas yang selalu memberitakan hal-hal yang selalu baik. Meminjam penjelasan Noam Chomsky dalam bukunya Politik Kuasa Media yang mengkritisi industri humas di Amerika. Dari humas instansi ataupun organisasi memanfaatkan media untuk kepentingan mereka. Kucuran dana besar dikeluarkan untuk mendanai dan mendesain agar dapat mengontrol opini publik.
            Teringat cerita seorang teman yang kuliah di Kedokteran UNS. Dia bercerita jika ada seorang pasien diberi tahu memiliki potensi kanker payu dara, tetapi sang pasien tidak mengacuhkan kata Dokter. Sang pasien selalu merasa baik-baik saja sampai akhirnya dia mengatahui jika kanker payu dara yang menyerangnya telah stadium IIIC. Begitu juga dengan kampus bila menolak kritik dan menutup-nutupi borok yang ada pada akhirnya bisa saja mengalami penyakit akut.

Kami hanya bisa memberikan masukan calon anggota tersebut untuk berpikir sendiri atau shalat istikharah apabila mentok. Kami tidak ingin mencari anggota yang banyak untuk pilpres, tapi kami hanya ingin anggota kami mau membaca dan menulis. Meneruskan dan membangun peradaban melalui tulisan bukan iming-iming kekuasaan ataupun kekayaan.

Salam Redaksi, Buletin OPOSISI Edisi VIII 2011, LPM Spirit Mahasiswa
"Mana yang lebih berbahaya, perokok aktif atau pasif?" tanyaku.
"Perokok pasif!" teriak mereka serentak.
"Nah, makanya jadilah perokok aktif" timpalku.

Aku keluar dari ruangan dengan menyisakan gemuruh dan tanda tanya. Malamnya aku temukan diriku yang lain duduk di depanku dengan raut wajah serius.
"Siang tadi, apakah kau merasa menang?" tanyanya dengan senyum sinis.
"Sama sekali tidak." jawabku.
"Kau mengetahui merokok adalah kata kerja dan perokok adalah kata benda (dalam hal ini proper noun). Kau sendiri yang mengumpamakan perokok aktif adalah penguasa. Lantas, mengapa kau menyuruh mereka menjadi penguasa?" 
"Aku hanya mengajak mereka berpikir."

Malam itu diriku ngoceh padaku, tapi aku sudah tenggelam pada lautan rokok. Aku tak menggubrisnya. Perokok dan merokok. Subjek dan predikat. Pada dasarnya mereka membenci merokok bukan perokok. Perokok aktif lah yang mereka benci karena dialah yang mengisap rokok secara aktif. Lain halnya dengan perokok pasif yang hanya menerima asap rokoknya saja, namun dialah yang kena pengaruh buruk lebih banyak. Bencilah mereka pada perokok aktif. Tanpa disadari sebenarnya perokok aktif juga sekaligus perokok pasif. Perokok aktif selain mengisap rokok juga mengisap asapnya. Perokok aktif pun tidak menyadarinya karena dia telah terbiasa dengan bau asap rokok. 

Kekuasaan pun demikian. Menjadi candu bagi yang haus kekuasaan. Masyarakat sangat marah pada penguasa, disebabkan tindakan yang dilakukan oleh penguasa menyebabkan masyarakat menerima dampak negatifnya. Apabila masyarakat yang keblinger ingin menjadi perokok aktif alias ingin menjadi penguasa, maka mereka pun tanpa sadar juga turut masuk ke dalam lingkaran bahaya rokok. Pikiran sederhana mereka: kenapa mereka tidak menjadi penguasa saja? Dampaknya lebih kecil daripada menjadi rakyat biasa.

Penguasa memiliki tanggung jawab besar: terhadap dirinya dan orang di sekitarnya. Penguasa pula yang menyebabkan sebuah bangsa hancur atau sejahtera. Masyarakat yang menjadi perokok pasif pun ikut terkena dampaknya. Pengangguran, pendidikan tidak merata, perampokan, hutan gundul merupakan dampak tidak langsung dari penguasa yang rakus. Mereka mengisap asap rokok dan perokok aktif tak mengisap asap yang dikeluarkannya. Begitu juga bencana longsor, tanggul jebol, banjir, tsunami dan faktor alam lainnya  merupakan akibat penguasa. Bencana alam tersebut digerakkan oleh sesuatu dari alam non materi.  

"Bencana itu berasal dari alam." kata penguasa. Hal ini persis yang dikatakan dalam Surat Al-Jaatsiyah ayat 24, namun penguasa tidak sadar apabila Ada yang menggerakan non materi yang kemudian menggerakan materi. Sekali lagi masyarakat yang terkena dampaknya dan penguasa selamat. Walaupun penguasa selamat dari bencana sesaat, namun penguasa akan mengalami penderitaan psikis yang panjang. Jiwa dan hati para penguasa akan tersiksa dan tersayat dengan perantara harta yang tidak halal, menyalahgunakan kekuasaan, ketakutan akan digulingkan dari kekuasaan.

Fiksasi dan Dalih
Freud pernah mengatakan apabila orang merokok memiliki kecenderungan fase oralnya terganggu, sehingga untuk memenuhi kepuasaan oral ketika dewasa menyalurkannya dengan rokok. Kita juga sering melihat ambisi masyarakat yang ingin sekali mengisi pos-pos penguasa atau paling tidak di bawahnya. Hal ini tidak terlepas dari keinginan mereka yang tertindas dari penguasa yang kemudian muncul keinginan menjadi penguasa berikutnya.

Orang yang merokok pun punya dalih. Orang yang merokok memiliki ciri-ciri, yakni dia itu sehat, memiliki uang, dan beriman. Apabila tidak sehat seorang perokok akan dilarang merokok. Kemudian bila tidak memiliki uang janganlah jadi perokok. Dan oleh sebab hidup matinya makhluk itu ditentukan Tuhan kenapa musti takut merokok? Toh tidak merokok pun juga akan mati. Kesehatan terkadang dilupakan atau tidak diacuhkan oleh kita. Seorang dokter bilang kita sakit, namun tetap saja kita merokok. Tak selamanya orang yang merokok itu memiliki uang, bisa saja dia meminta rokok pada orang yang sudah punya rokok. Memang benar hidup mati seseorang yang menetukan Tuhan, di samping itu kita juga tidak bisa melupakan bahwa kita harus menjaga apa yang Tuhan ciptakan termasuk tubuh kita. Tuhan yang menciptakan, manusia yang menjaganya.

Penguasa tidak jauh berbeda. Menjadi Penguasa juga harus memiliki kesehatan, uang, dan iman. Kesehatan diperlukan untuk menjalankan kehidupan masyarakat. Kesehatan fisik bisa dilihat, namun kesehatan rohani sulit diterima. Kita bisa lihat penguasa yang arogan menggusur rumah-rumah atas nama kepentingan negara dengan mengenyahkan keberadaan warga yang digusur sebagai unsur terbentuknya negara. Melalui  kekuasaannya membeli tanah dengan harga murah. Uang adalah modal awal menjadi seorang penguasa. Tidak punya uang tinggal kongkalikong dengan pemilik modal. Aku rasa hal tersebut sudah jamak kita ketahui. Terlebih proses pemilihan seorang penguasa dalam demokrasi saat ini memerlukan banyak biaya. Iman menjadi simbol-simbol mereka. Menjual ayat-ayat suci dalam kampanye mereka denga harga murah. 

"Bagaimana jika industri rokok di tutup? Bukankah itu mengakibatkan pengangguran bagi orang yang bekerja di sana? Makanya kita mau berkorban demi mereka" tanya para perokok. Inilah tugas penguasa untuk memberikan industri alternatif untuk buruh tembakau. Penguasa sering sibuk mengeruk untung dari industri rokok dan enggan memberikan perhatian kepada penelitian alternatif agar tembakau memiliki manfaat lain dari pada digunakan untuk rokok. 

Aku sendiri menulis ini dengan merokok, namun alam bawah sadarku terkadang mengingatkan untuk berhenti. Aku seperti penguasa yang candu akan kekuasaan. Penguasa menyediakan tempat khusus area perokok. Di sana kita menjadi perokok sebenarnya: perokok aktif sekaligus perokok pasif. Nikmatnya merokok di alam terbuka. Membebaskan asap-asap lari kemana mereka mau. Ke arah kita atau filter-filter alam. Bahkan lebih nikmat tidak merokok.

Irfa R. Boyd Utama
Malam menjadi gelap lebih awal. Bintang dan bulan nampak lebih terang. Listrik menjadi padam di sekitar kampus dari sore sampai kembali pagi. Penyebabnya sepele, layang-layang tersangkut penangkal petir pada tiang listrik.  Musim dan angin yang mendukung menarik minat masyarakat bermain layang-layang. Semua menyalahkan layang-layang dan orang yang bermain. “Jaman sekarang kok masih ada yang bermain layang-layang” celetuk orang dengan raut kesal.
Benar bila layang-layang adalah usang. Ketika putus tali, dia bergerak sesuai angin bertiup. Kita sendiri tahu bila angin selalu berubah dan bergerak. Uni Soviet menjadi pelajaran bagaimana perubahan dan gerak angin tidak dapat ditebak. Layang-layang berubah kehendak. Dulu diminati dan sekarang dicaci. Layang-layang mempunyai sejarah yang panjang. Dia menjadi alat petarungan udara di kala manusia bermimpi terbang. Kemeriahan mengejar layang-layang yang putus memiliki keasyikan tersendiri. Tanpa takut nyangkut di tiang listrik atau tertabrak kendaraan.
Sekarang, layang-layang seolah tak bersahabat dengan modernitas atau justru modernitas yang tak bersahabat dengan layang-layang. Dia memiliki kejayaan masa lampau yang coba dipertahankan dengan derasnya arus modernitas. Apanya yang salah? Modern menjadi musuh dari arkais.  Modernitas memang membawa perubahan terhadap kehidupan, namun adakalanya modernitas menjadi alat bagi kapitalis yang rakus. Mengeruk keuntungan tanpa memedulikan lingkungan dan budaya. Mereka menumbangkan keindahan alami dan menciptakan keindahan buatan. Mereka mengisap kekayaan alam dan memberikan kerusakan di atas permukaan tanah.
Di mana yang salah? Pendidikan kita. Pendidikan adalah jantung bagi perubahan sosial. Pergeseran persepsi bahwa pendidikan hanya dimaknai sebagai sekolah-sekolah yang telah kita tempuh. Bagaimana bisa sekolah yang hanya dibatasi dinding tersebut bisa melakukan perubahan sosial? Bagaimana bisa dari tempat itu mengajarkan kita cara mengubah realitas-realitas sosial?
Janganlah heran jika pendidikan kita berada dalam situasi stagnan. Pendidikan kita masih menganut paradigma dogmatisme. Inilah penyebab terhentinya proses berpikir dalam dunia pendidikan. Hal tersebut yang dapat menghambat pemikiran agar tetap percaya pada realitas. Teori-teori hanya sebatas fiksasi realitas dan bukan lagi sebuah perkembangan yang bisa berubah. Penelitian-penelitian yang dihasilkan cenderung bersifat final. Dogmatisme menyebabkan ketidak mampuan melihat struktur sosial, termasuk dirinya. Pendidik meneruskan metode-metode baku yang kemudian makin diendapkan. Realitas dipandang sebagai objek untuk dimanupulasi, dikuasai dan ditundukkan. Menurut Jean-Francois Lyotard saat ini sedang memasuki fase di mana logika tunggal yang diyakini kaum modernis telah digantikan dengan pluralitas logika. Bagi yang tertutup matanya oleh paradigma mereka sendiri tidak menyadari akan hal ini. Dampaknya adalah mereka membangun dunia hanya dalam satu dimensi, apa yang ada dihadapannya hanyalah hitam dan putih. Maka matilah mereka!
Kita tidak akan menemukan kebebasan dalam menentukan pilihan. Kita hanya akan mendapatkan para pendidik yang membentuk pola pikir peserta didik sesuai dengan pola pikir mereka. Biarkan kita memilih, mengikuti atau bahkan menciptakan mahzab sendiri. Biarkan kita menemukan sintesis apa yang disampaikan pendidik tanpa memaksakan pola pikirnya.

Jikalau lampu tidak padam gara-gara layang-layang, kita tidak bisa menikmati malam dengan kelembutan angin, bintang dan bulan di alam terbuka. Mungkin kita akan sibuk dengan televisi atau komputer di depan kita.