Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Mar 25, 2019


Si Berlin tiap kudekati tersenyum. Senyumnya lebar. Aku tidak tahu alasannya tersenyum. Mungkin karena dia merasa melihat teman sebaya padahal aslinya baby face dududu... Aku pun ikut-ikutan tertawa karena dia tersenyum dengan memamerkan gusi yang belum tumbuh gigi alias senyum gigi ompong dedek bayi emez.

Ketika melihat si Berlin diriku mengingat saat-saat “apakah aku harus segera menikah dan memiliki anak?” Pada banyak sisi diriku belum siap, akan tetapi saat melihat kondisi fisik ada dorongan untuk menyegerakannya. Khususnya, anak. Perihal anak ini aku jadi menyadari suatu obrolan dengan sobat lama dari Masalembu yang sedang di Mesir. Kejadiannya delapan tahun silam melalui chat facebook. Ada kekhawatiran pada diriku merawat anak dalam dunia yang serba nisbi dan penuh chaos. Lantas ia seperti menenangkan dengan mengatakan, “Tenang, cak. Sampeyan maqamnya seperti Basudewa.” Pada saat itu aku tak menimpali kelakarnya dan tidak menanyakan lebih lanjut Basudewa si ayah atau anak? Sepengetahuanku Basudewa ialah ayah yang mendidik Baladewa dan Kresna menjadi ksatria dalam Baratayudha yang sakti dan ditakuti. Bahkan keduanya dihalangi untuk mendukung salah satu pihak karena kesaktiannya. Namun, nama Basudewa juga pernah dipakai Kresna dalam sebuah penyamaran dalam salah satu babak wayang.

Seingatku, Basudewa dalam mendidik kedua anaknya mencampurkan berbagai metode. Ia seperti mempergunakan konsep phronesis Aristoteles, membuat Baladewa dan Kresna belajar untuk membuat penilaian yang logis dan benar sekaligus juga moral excellence sebagai seorang calon raja. Basudewa mengajak Kresna dan Baladewa mendefinisikan kebaikan layaknya seorang idealis dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Mereka sering diajak sang ayah berkeliling menemukan esensi dari setiap kejadian: di pasar, hutan, kerajaan, laut. Hal ini penting karena kenyataan memang pahit dan mereka harus siap menerima takdir Hyang Wenang. Ketika Kresna tua, ia duduk di atas gunung sambil melihat Dwarawati yang dibangun dan di puncak jaya lenyap bersama wangsa Yadawa. Pada momen itu, aku seperti melihat perdebatan mu’tazilah, qadariyah, jabariyah maupun ahlu sunnah tentang qada’ dan qadar.

Saat ini manusia merasa memiliki kebebasan dan free choice. Akan tetapi, menurutku, itu semu belaka. Memang benar ada ayat yang menyatakan Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Akan tetapi, itu ada lanjutan ayatnya, yakni jika Allah menghendaki. Akan terasa janggal bila Allah yang mengikuti kehendak manusia, sifat Ketuhanan justru akan hilang. Kita saja tidak pernah dilibatkan dalam memilih ayah dan ibu. Kita juga tidak pernah bisa mengendalikan aliran darah dalam tubuh. Bahkan saat manusia berusaha sekuat tenaga menjaga kesehatan, ia tetap akan sakit.

Perihal kebebasan dan free choice ini pula yang membuatku banyak tersenyum. Apalagi jika berkaitan dengan tuntutan hak. Menuntut hak itu seperti menuntut hawa nafsu dan ego. Manusia memang punya hak, tetapi juga punya kewajiban. Jangan-jangan kita menuntut hak lebih banyak daripada kewajiban yang kita lakukan. Itu pun kalau kita berhak, kalau tidak?

Terasa janggal? Tentu saja karena Allah tidak melihat hasil, melainkan proses dan ikhtiar. Yah, memang ada kalanya kita hanya dapat tawakal, tidak ada ikhtiar di dalamnya. Contohnya? Lihatlah Indonesia saat dijajah Belanda lalu Jepang. Berbagai bentuk perwanan untuk mengalahkan Belanda telah dilakukan, tetapi gagal. Lalu muncul Jepang yang mengalahkan Belanda. Jepang tak jauh beda. Kita berusaha mengusirnya, namun hasilnya sama. Lucu bin aneh saat Jepang mundur teratur bukan karena kita melainkan mengaku kalah pada sekutu. Allah punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah-masalah hambanya. Tetapi, perlu diingat konsep itu tidak selalu karena ikhtiar juga sangat penting. Lihatlah perjuangan proklamasi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Yang penting cara dan prosesnya diridhoi Allah.

Akhir-akhir ini, diriku memikirkan itu kembali. Tak mungkin aku membiarkannya tumbuh dan besar dalam lingkungan buruk. Ia tak seperti Musa yang masih beriman meski diasuh Fir’aun. Juga bukan Yusuf yang memiliki keberuntungan sedemikian rupa. Mereka kekasih-kekasih Allah dan Allah menjamin-Nya.

Pusing memikirkan anak, aku tertidur dan bermimpi. Mimpinya terasa seperti ulangan kejadian lampau. Saat aku menakwilkan mimpi seseorang, aku melihat mimpinya. Dia sedang makan dengan lauk yang banyak dan nasi yang sedikit. Sekonyong-konyong kulihat tiga ular (satu besar dan dua kecil) berwarna garis hitam dan kuning berada di kakinya. Saat hendak kuusir, aku terbangun karena suara adzan subuh.

Mar 23, 2019






Apa yang menjemukan dari sebuah kota besar? Betul, macet. Untungnya, kemacetan yang kulalui melewati sungai Rolak, Gunung Sari yang lumayan menghibur mata. Setidak-tidaknya saya dapat sedikit memainkan imajinasi di sungai yang berwarna coklat itu.

Di tengah kemacetan saat jam pulang kantor muncul robot Godzila yang membuyarkan motor dan mobil. Lalu di bawah tol Karah, Kong yang asyik berendam merasa terusik ikut-ikutan ngamuk. Sial, efek Spielberg.

Malam sebelumnya saya menonton Ready Player One karya sutradara kawakan itu. Film yang mencampur berbagai budaya populer ke dalam suatu tampilan yang wah. Aku tentu tak pernah membayangkan motor PX-03 dari anime Akira hancur oleh si Kong yang turun dari tower. Atau Mechagodzilla yang bertarung dengan robot legendaris Gundam RX-78 dan Iron Giant. Spielberg dengan cerdas dan rapi memainkan berbagai wahana budaya pop ke dalam sebuah film. Sangat cocok untuk manusia yang stres saat melihat keranjang pakaian yang menggunung.

Tak ada Godzilla atau Kong yang saya temui di sungai itu. Adakalanya saya menemukan orang melarung sesaji di sana. Tak sering dan biasanya malam. Tiap orang dan tempat mungkin memaknai hal itu secara berbeda. Dalam budaya populer di Jepang, persembahan sangat penting untuk seorang dewa. Anime Noragami barangkali dapat menjadi representasi akan hal ini. Seorang dewa jika kehilangan penyembah atau yang berdoa untuknya, maka dia akan hilang karena terlupakan. Jauh sebelum Noragami, Neil Gaiman dengan sangat unik dan keren mengisahkan hal serupa: pertarungan dewa lama dengan dewa baru di tanah Amerika. Engkau akan terasa merinding bagaimana kubu Odin dan dewa-dewa dalam mitologi melawan Dewa Dunia dan Dewi Media. Yah semua hanya fiksi, dan seperti kata Gaiman dalam bukunya American Gods “Fiksi membantu kita menyelinap ke dalam kepala-kepala lain, tempat-tempat lain, dan melihat keluar melalui mata yang lain.” Baik Yato maupun Odin tentu mengalami hal yang menyakitkan. Dulunya dipuja kemudian dilupakan sehingga memiliki obsesinya sendiri.

Aku bersyukur karena tidak hidup dalam pemahaman yang demikian. Dalam pemahamanku Allah tidak melihat orangnya, melainkan perbuatannya. Amal kebaikan akan terus mengalir selama dia memberikan contoh yang baik, begitu pun kemaksiatan dan keburukan. Keduanya akan terus menggelinding bahkan setelah kematiannya. Pandangan ini kudasarkan pada hadist tentang putra pertama Adam tetap akan tetap menanggung dosa setiap jiwa yang terbunuh secara zalim.

Begitu menyedihkan menjadi dewa yang mengemis untuk dipuja. Aku lebih memilih tak dikenal, tetapi amal baik terus mengalir bahkan setelah kematianku.

Mar 16, 2019



Pekan ini diriku agak kepayahan. Akan tetapi, berkat hal itu membuat tubuhku dapat memanjakan diri dengan menonton film-film yang belum sempat kutonton. Ada yang bagus dan beberapa biasa saja. Sejenak kutaruh kisah-kisah yang sempat mampir dari orang-orang lama yang tak sengaja jumpa. Aku menyimak kisah itu sembari sesekali menimpali iya atau yang dalam era saat ini dilihat sebagai bentuk kesopanan dan tentunya aku perlu menyembunyikan kondisi yang kurang fit. Menurutku, itu bukan sebagai bentuk kesopanan melainkan sebagai sebuah kewajiban menjalankan perintah Allah untuk menjawab bila ada yang bertanya, termasuk pesan chat. Makanya, aku hanya cengar-cengir jika bermunculan meme yang berisi keluhan karena cuma di-read doang. 

Lanjut...

Tampilan Mortal Engines lumayan memanjakan mata meski yah ceritanya tak begitu istimewa dengan latar belakang apocalyptic. Dari cerita yang biasa itu ada kalimat yang menggelitik terkait perang enam puluh menit, “mengapa masyarakat yang begitu maju dan sangat ilmiah dapat sangat bodoh?” Hal ini kontradiktif dengan pertanyaan yang sering kudengar, “mengapa Indonesia yang terkenal religius tidak dapat maju?” atau di lain kesempatan “sering melakukan hal-hal buruk (korupsi dll)”.

Kemajuan dan beradab terdengar seperti sinonim, tapi ada kalanya itu antonim kalau indikator kemajuan adalah teknologi, jumlah gedung, dan kekayaan. Aku lebih sering melihat betapa kemajuan menoleransi kemaksiatan. Ada kalimat al-Haddad yang begitu membekas tentang persoalan ini, “jika ada orang toleran terhadap maksiat, maka ia rela Allah dihina di muka bumi.”

Di tengah kepungan toleransi semacam ini, ada rasa takut melukai. Sampai sekarang aku menyakini bahwa keberadaanku bukan untuk saat ini, melainkan untuk orang-orang yang belum lahir. Keyakinan itu tumbuh dan setelah melihat konsep logika kenabian (nubuwwah) yang sering kupraktikkan kerap berbenturan dengan logika dunia. Meskipun demikian, diriku masih enjoy, cocok dan aman sehingga akan tetap kujalankan sampai mati.

Pada sisi lain, logika ini melahirkan misi yang menuntut tanggungjawab yang besar dan berat. Orang-orang yang menjegal atau menghalangi misi itu kerap berakhir dengan kondisi batin yang menyedihkan. Sayangnya, aku tidak berani protes pada Allah layaknya nabi Musa AS. Aku hanya dapat mendoakan dan seringnya setelah mereka mengakui telah menghalangi atau menjegal terkait misi-misi itu.

Setelah beberapa film, kepalaku agak pusing dengan sistem menonton maraton, terlebih film Aquaman membuatku sedikit jengkel dengan salah satu akting aktornya. Diriku belum siap sepenuhnya saat melihat peran Dafoe. Padahal, sebelumnya aku menikmati perannya dalam beberapa film lainnya.

Lagu-lagu Keane yang kuputar untuk mengobati kecewa justru membuatku larut dan malas di kasur.  Kata-kata “love” atau “cinta” terdengar banal di telinga. Apakah ini implikasi pasar yang memonopoli kata tersebut sehingga terdengar banal dan vulgar? Ataukah konsumen yang telah menghendaki kata itu menjadi demikian? Aku ingat sebuah penelitian orang Jepang yang menyebutkan kata suki desu membuat muda-mudi kehilangan keperawanannya dibandingkan ai shiteru yang sudah pasaran.




Sabtu malam ialah waktu paling kutunggu. Ada aroma udara kebebasan, tentu saja asap mengepul yang meliuk dan menari. Tetapi, sejak minggu pertama diriku hanya mampu mengisap enam batang dalam sekali duduk. Barangkali ini efek samping dari karantina yang seluruh luas wilayah kantor beberapa hektar itu sebagai area bebas asap rokok.

Kawan-kawanku dibuat heran karena aku lebih memilih duduk di warkop dibandingkan menghabiskan akhir pekan dengan jalan-jalan. Duduk dan menghisap jisamsu cukuplah menghiburku. Kapan lagi aku dapat duduk dan mengetik dengan tenang? Setidaknya untuk menulis catatan ini.

Beberapa waktu silam ada kawan yang bertanya tentang alasan judulnya, ‘si pemalas’. Mungkin karena saya menulisnya dengan malas dan ringan-ringan saja.  Saat ini aku lelah untuk menulis hal-hal serius. Pendapatku itu kemudian dibantah bahwa tulisan yang serius dapat berguna bagi pembaca. Aku terkekeh karena maksud catatan ini bukan diambil manfaatnya untuk khalayak. Aku tahu. Aku tahu Al-bidayah wan-Nihayah, apa yang salah di awal, akan salah di akhir. Bahkan doa yang sifatnya duniawi akan membawa banyak jin-jin ikut masuk dalam tubuh. Jadi, tak ada niat khusus untuk catatan yang sifatnya personal ini, semua lillahi ta’ala. Apa pun yang kulihat, kurasa, kupikirkan di sekitarku dan kutemukan lantas kutulis. Tak ada yang istimewa di dalamnya, kecuali Allah berkehendak lain.

Ah, karena sifat malasku itu muncul ingatan sebuah perdebatan yang terjadi di dalam kamar kos. “Sekuat apa pun dirimu berusaha kelihatan bodoh, tak menonjol, serta tak peduli perdebatan di dalam kelas, kau akan terusik dan akan muncul momen itu,” sergah seorang kawan yang kini telah menjadi bapak. Ia tidak sekadar bicara, tapi juga memberi bukti. Lalu ia berkisah bagaimana aku mendapatkan nilai tertinggi di dalam kelas atau menjadi penengah saat perdebatan panas kerap terjadi, meski dalam sudut pandangku hanya mengutarakan hal yang kuketahui dan kupikirkan.

Setelah kudalami ucapan temanku itu ada benarnya juga. Aku kerap terusik pada sebuah perdebatan dan berusaha untuk menguraikannya. Mungkin ini kulakukan secara tak sadar yang berasal dari pemahamanku bahwa orang alim (berilmu) harus menunjukkan kealimannya, falyudhiril ‘alim ilmahu. Takut juga diriku bila menyembunyikan kebenaran ilmu terlebih ayat-ayat Allah karena bila demikian akan mendapatkan laknat, wa illa fa’alaihi la’natullahi walmalaikati wannasi ajma’in. Ngeri euy... kapan-kapan aku ingin membahas ini lebih dalam, tapi jangan sekarang. Aku sedang asyik memerhatikan ibu dan dua anak itu.

Aku memerhatikan si ibu sedang memarahi anaknya yang lebih tua, sebut saja si sulung. Si sulung nampaknya membela diri, ia tidak mau disalahkan karena si adik bertindak sendiri. Si adik terlihat tidak mengerti apa yang terjadi sehingga dia hanya berdiri dan diam. Tangis si adik pecah saat si sulung memukulnya karena kesal telah dimarahi si ibu. Spontan si ibu mencubit si sulung. Kedua kakak-beradik itu menangis dan akhirnya si ibu memarahi keduanya.

Aku tidak tahu musabab perkara itu. Obrolan mereka tidak begitu jelas karena aku tidak tahu bahasa lokal di sini. Senyumku tersungging melihat mereka. Aku teringat waktu kecil pernah mengalaminya pula. Mungkin kita pernah mengalami rasa marah dan merasa tidak adil ketika orangtua memarahi kita karena perbuatan atau kesalahan adik. Orangtua sering marah bila si kakak tidak menasihati atau memberikan contoh yang tidak baik pada si adik. Akan tetapi, seingatku kala itu, aku seperti cemburu tanpa alasan. Saya sepakat dengan Ben Jelloun bahwa cemburu muncul dari fakta sederhana bahwa ada orang lain, yakni adikku.

Setelah dewasa aku menjadi mengerti alasan mereka memarahi kita sebagai si kakak. Yah, ada tanggungjawab kakak untuk menjaga dan menjadi teladan bagi si adik. Pada satu sisi orangtua juga ingin mengajari si kakak mengenai tanggungjawab yang diembannya. Bukan lagi cemburu, tetapi pada tanggungjawab yang lebih besar. Ajaran inilah yang kupegang hingga kini.

Mar 8, 2019





Keringatku belum kering betul setelah berjingkrak-jingkrak di ruang karaoke. Kunikmati dini hari jalan-jalan sebuah kota yang sebenarnya tidak begitu asing bagiku. Aku lepaskan lelah dan suntuk dengan bersandar malas di sebuah kursi yang tak begitu nyaman diduduki. Rinai-rinai turun membasahi ingatanku.

Pagi tadi kudapat kabar bila bocil berkelamin lelaki. Banyak orangtua terkadang menghendaki anaknya berjenis kelamin tertentu. Aku pun demikian. Ada sedikit keinginan memiliki anak lelaki tetapi aku tak terlalu muluk-muluk. Asalkan bayi itu lahir sehat dan menjadi anak yang sholeh sudah cukup. Kemudian semua kukembalikan pada Allah. Hal ini berangkat dari sebuah kesadaran bahwa ada sesuatu yang sifatnya hanya tawakal, tidak ada ikhtiar di dalamnya. Ada hak-hak prerogatif Allah yang tidak satu pun makhluk mengetahui secara pasti dan mencampurinya. Kiamat, ajal, dan alam rahim adalah buktinya. Kita hanya diberi tahu tanda dan gejalanya.

Kabar itu kupandang sebagai tanda dari jawaban doa-doa, dan sekaligus bukti bahwa beberapa tindakanku dikehendaki oleh Allah SWT, insya Allah.  Meskipun demikan, saya masih menunggu jawaban doa-doa yang lain untuk mengganti beberapa kegagalanku dalam menjalankan misi. Sepenuhnya, aku mafhum harus memulai kembali dari nol.

Kulihat air-air jatuh dari langit. Satu per satu seperti bulir-bulir padi. Air itu selalu jujur. Ia bergerak dan berinteraksi sesuai aturan-aturan Allah. Walau jujur, ia juga rentan. Ia menjadi panas jika dipanaskan, dingin jika didinginkan. Berubah warna bila tercampur zat lain.  Cair dan fleksibel. Ia dapat sangat bermanfaat, tetapi bisa menjadi sangat beracun. Tergantung cara kita memperlakukan air.
Bagi yang lain, nol sekadar angka tak berharga. Namun, bagiku nol ialah mula tempatku berpijak dan memantapkan diri untuk melangkah agar terhindar dari minus. Pernahkah kamu melihat dunia runtuh beserta isinya? Dan tersisa dirimu seorang diri di dunia itu. Pada saat itulah aku memutuskan kembali dalam posisi nol, menjadi abel (anak gembel) lagi.

Tentunya, hal itu tak mudah. Berdasarkan penglamanku ada hukum-hukum tak tertulis dalam setiap perjuangan untuk melangkah menuju angka satu. Sampai kapan pun dan di mana pun, tiap rumpun perjuangan tak hanya melahirkan pahlawan, tetapi juga pengkhianat. Aku pun harus bersiap lagi dalam hal ini.

Seperti siklus: berjalan, mengumpulkan, membangun, bersebarangan, dibohongi, ditikam, sekarat, ditinggalkan, runtuh, merasa gagal, bangkit dan kembali berjalan. Seorang Bugis Wajo yang tak kukenal menasihatiku untuk berisitirahat saja karena diriku sudah penuh luka karena si penyebab luka itu sampai mati tak akan tenang dan terus kesusahan. Temanku yang menerjemahkan ucapannya tak begitu paham maksudnya, tapi kini aku sedikit mengerti setelah melihat orang-orang yang pernah membohongi, menikam, atau meninggalkanku. Aku hanya dapat mendoakan karena mereka juga bagian dari hidupku, tapi sekali lagi segala sesuatu ada hak prerogatif Allah.

Sore tadi, Anis mengirimkan sebuah video undangan pernikahan. Setelah dua tahun mengawalnya agar bisa berubah akhirnya salah satu misiku hampir selesai.

Begitulah sejarah perjuangan, tiap orang ada masanya dan tiap masa ada orangnya.