Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Apr 1, 2014

Gareth Evans dan Iko Uwais kembali menggebrak dunia dengan film The Raid 2 (Berandal). Film The Raid yang sebelumnya mendapatkan kritik karena miskin cerita dibenahi pada film Berandal. Keinginan tersebut nampak bahwa Berandal mengarah adanya konspirasi ala film-film mafia Infernal Affairs dan Godfather. Kisah yang lebih dalam dan konflik yang diciptakan membuat film ini lebih baik dibandingkan sebelumnya. Akan tetapi, bobot film ini memang terletak pada laga yang disuguhkan.
            Alur cerita yang terkesan cepat membuat drama yang coba dibangun Evans kurang mengena. Jika saja Evans lebih bersabar untuk membangun cerita pada film ini dapat memberikan nilai lebih. Banyak tokoh yang memiliki kans besar untuk memperoleh porsi tampil yang lebih. Tidak dapat ditampik apabila mayoritas film laga memang minim cerita, namun dibandingkan film laga lain Berandal menyuguhkan pertarungan, kebrutalan, kekerasan, intrik, dan darah tanpa henti. Tidak ada waktu untuk sekedar nafas dan membuat anda berkali-kali terlonjak dari duduk. Di bioskop anda akan menemukan cewek menangis, merem melek, gemataran, kaget, dan bahkan di lur negeri film ini dihentikan sesaat karena ada penonton yang pingsan. So, memang tidak direkomendasikan bagi penonton yang lemah jantung.
            Adegan laga yang dilakukan melibatkan banyak petarung asli, sehingga pertarungan dibentuk sedemikian nyata dan mampu diterima akal. Pertarungan yang benar-benar masuk akal ternyata tidak diimbangi dengan beberapa adegan yang tidak masuk akal. Misal saja salju di Jakarta. Salju? Di Jakarta? Maaf saya tidak membual. Pada film ini memang terdapat adegan dimana Prakoso terbunuh setelah melakukan perkelahian dengan puluhan pria dan sebelum dieksekusi The Assassin. Niat hati untuk memberikan efek dramatis justru Evans membuat blunder. Walaupun tidak dikatakan setting di Jakarta pada adegan tersebut, tetapi melihat percakapan antara Ucok dan Prakoso di tempat hiburan wilayah kekuasaan Bangun menunjukkan salju memang turun di Jakarta. Disamping itu, adegan kejar-kejaran mobil yang dilaksanakan menunjukkan jalan raya di Jakarta yang lengang. Blunder kedua Evans pada film ini. Sudah menjadi rahasia umum jika Jakarta adalah kota yang penuh kemacetan. Blunder ketiga adalah kondisi penjara yang tidak Indonesia banget. Bagaimana mungkin ruang sel penjara di Indonesia diisi oleh satu orang saja? Faktanya satu sel biasanya diisi oleh puluhan narapidana, kecuali tahanan-tahanan khusus. Selain itu, makanan para napi yang ngalahin atau setidaknya setara makanan anak kos (ada ayam gorengnya lho).
            Bagi saya pribadi blunder yang dilakukan Evans cukup diambil positifnya saja, yaitu sekali-kali orang luar dibodohi oleh film Indonesia. Cukup banyak orang Indonesia dibodohi film luar dan inilah pembalasannya. Biarkan mereka berpikir di Jakarta ada salju. Ketika mereka datang untuk menikmati salju di Jakarta yang ditemukan hanya panas yang menusuk tulang dan banjir dimana-mana. Biarlah mereka berpikir di Jakarta tidak ada macet agar kita bisa berbagi stres karena macet dengan mereka. Untuk kondisi penjara dan makanannya agar mereka dengan ikhlas masuk penjara Indonesia tanpa perlu menyuap karena ingin lepas dari jeratan hukum Indonesia. Pikiran positif saya perihal makanan di penjara yang lumayan enak, mungkin pada saat syuting, tempe lebih mahal dan langka dibandingkan daging ayam (dapat dilihat ukuran tempe yang kecil).
            Terlepas dari ketiga blunder dalam film ini, Berandal sangat sempurna untuk genre film laga. Film diawali eksekusi Andi di kebun tebu yang tentunya membekas dalam benak penonton. Langit mendung dengan angin yang bertiup cukup tenang dan beberapa mobil serta manusia di pojok layar membuat penonton bertanya-tanya. Aura kegelapan segera menyelimuti film. Tawuran di dalam penjara pada ruang sempit dan di lapangan penjara yang berlumpur sangat orisinal. Saya tidak ingat ada adegan seperti itu pada film-film lain. Adegan lain yang bagus adalah pertarungan di dalam mobil dan kereta api. Khusus pertarungan di dalam kereta api sedikit mengingatkan saya adegan pertarungan pedang pada film Hitman, tapi Hammer Girl mampu memberikan nuansa berbeda dalam pertarungan tersebut. Aksi Baseball Bat Man di Kota Tua Jakarta membuat tubuh begidik mendengar suara tulang yang dipukul pentungan baseball. Standing ovation patut diberikan tatkala pertarungan antara Rama dengan Assassin berlangsung. Penonton dibuat menahan nafas selama pertarungan silat berlangsung. Adegan bela diri yang menurut saya sebagai best fight scene. Sedikit di atas ketika adegan pertarungan Andi dan Rama vs Mad Dog. Adegan yang menyebabkan pertarungan Neo vs Agen Smith (The Matrix), Yu Shu Lien vs Jen Yu (Crouching Tiger, Hidden Dragon), The Bride vs The Crazy 88 (Kill Bill Vol. 1) kalah kelas. Mungkin masih banyak adegan laga dalam film ini yang bagus, namun yang perlu dicatat adalah ada pemotongan 20 menit karena terdapat adegan yang terlalu brutal.
            Pada kesempatan ini, Evans mampu menciptakan tokoh ikonik seperti Hammer Girl, Baseball Bat Man dan The Assassin yang akan selalu dikenang pecinta laga. Selain pencak silat yang menjadi ciri khas Indonesia, ternyata Evans juga menonjolkan beberapa hal bersejarah yang sesuai dengan film ini: kebun tebu dan palu. Kebun tebu sepertinya menjadi tempat favorit untuk menyembunyikan suatu pembunuhan di Indonesia. Kejadian 30 September mengingatkan kisah-kisah di pedesaan pembantaian simpatisan PKI dilaksanakan di kebun tebu. Jauh dari perkotaan dan keramaian. Palu yang identik dengan lambang partai terlarang di Indonesia pun ikut naik pamornya. Sesuatu yang tradisional memang dapat memberikan visual yang menyeramkan. Hentakan tanpa jeda pada tiap scence. Miskinnya teknologi CGI justru menambah kesan riil film ini. Secara keseluruhan, film ini benar-benar mengesankan dan meletakkan dasar baru bagi film aksi di seluruh dunia. Cukuplah membuat Malaysia jengkel dan iri sehingga film ini dilarang penayangannya disana.