Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Mar 27, 2018



Judul               : Three Billboards Outside Ebbing, Missouri
Durasi             : 115 menit
Sutradara       : Martin McDonagh
Naskah           : Martin McDonagh
                           Pemain           : Frances McDormand, Woody Harrelson, Sam Rockwell, Caleb Landry Jones, Lucas Hedges, Peter Dinklage, Abbie Cornish, Clarke Peters, John Hawkes

                           










Dixon: What are you, an idiot?
Desk Sergeant: Don't call me an idiot, Dixon!
Dixon: I didn't call you an idiot, I asked if you was an idiot... That was a question.



Judulnya sudah menarik minatku. Ada kesan lucu, aneh, dan kritis saat membaca judulnya. Tiga buah papan reklame di luar Ebbing, Missouri yang menjadi latar kisah film ini. Terkesan lucu memberi judul dengan menunjuk papa reklame, pasti akan banyak hal yang terjadi.

Pasca menonton The Greatest Showman yang megah nan meriah, lantas Darkest Hour yang menegangkan sesekali mengharukan, dilanjutkan oleh All The Money In The World yang menjanjikan di awal sayangnya menjemukan sejak pertengahan, saya memerlukan sesuatu yang lucu. Semua itu kutemukan pada pembukaan film yang tenang dengan iringan lagu The Last Rose of Summer yang bernuansa orkestra. Dan ada Mildred memandang papan reklame dengan sebuah ide yang provokatif. Dimulailah film dengan seorang emak-emak yang depresi karena anaknya terbunuh memprovokasi lembaga kepolisian setempat. Detail selanjutnya bisa kalian baca sendiri di sinopsis film yang bertebaran di internet.

Cerita kemudian berkembang liar dan anggun sekaligus lucu. Ada kritik dan sesuatu yang dapat didiskusikan dalam film ini. Transformasi, ya, begitulah. Transformasi karakter dapat kalian lihat dan rasakan. Jengkel jadi iba atau lucu, simpati menjadi sebal dan yaah mahfum. Semua bercampur dalam adonan kisah yang mengejutkan. Film tak terlalu detail mendalami kasus pembunuhan anak Mildred, melainkan efek yang ditimbulkan dalam pemasangan papan reklame yang notabene jarang dilewati kendaraan.

Ada tiga bintang dalam film ini yang kuat: sang Ibu Mildred, Polisi yang menyebalkan Dixon, dan Wiloughby penderita kanker yang dicintai warga kota sekaligus sosok yang diprotes. Ketiganya mampu memainkan sosok dan menentukan jalan cerita yang mengejutkan. Sam Rockwell menjadi benar-benar menyebalkan atau memang dia cocok memerankan tokoh yang menyebalkan seperti dalam The Green Mile? Walau memiliki ending yang menggantung, I like it. Saya sudahi dulu, ada kabar tak menyenangkan datang.

All this anger, man, it just begets greater anger






Cerita              : 8/10
Pemain           : 9/10
Ending            : 8/10
Overall            : 8.3/10


Mar 26, 2018

Judul               : Darkest Hour
Durasi             : 125 menit
Sutradara        : Joe Wright
Naskah           : Anthony McCarten
Pemain           : Gary Oldman, Kristin Scott Thomas, Lily James, Ronald Pickup, Stephen Dillane, Ben Mendelsohn





            Jujur saja saya enggan menulis review film ini. Darkest hour sudah lama mengendap di laptop dan belum tersentuh hingga saya kembali ke kos. Jikalau bukan karena Uda Jayuzka menyuruh nonton dan nampaknya dia ingin mendengarkan pendapatku tentang film (bukankah begitu da? 😁). So, saya niatkan saja akan mereview pasca menontonnya.
       Tanpa mencari informasi ini film tentang apa dan siapa pemerannya, langsung kuputar saja. Kesan awal film diputar menunjukkan bahwa ini adalah film tentang perang dan muncullah nama sutradaranya, Joe Wright. Ah, tak mungkin Joe bermain-main dengan film aksi pasca kegagalan dalam Pan. Saya lebih suka Ia membuat film drama seperti Atonement atau minimal Pride & Prejudice.
         Benar saja, kegaduhan di gedung parlemen menjadi tanda bahwa ini film drama dengan latar perang dunia kedua tahun 1940. Panggung politik kerajaan Inggris memanas seiring munculnya ancaman dari Jerman yang telah melakukan ekspansi ke beberapa negara Eropa Barat. Neville Chamberlain dituntut mundur oleh oposan karena dianggap tak cocok menjadi pemimpin pada saat genting. Muncullah Winston, meski tidak disukai, tetapi dia dianggap sosok yang dapat diterima oleh pihak oposan. Walaupun perang, persatuan tetap harus dijaga. Winston diragukan oleh berbagai pihak, termasuk dari partainya sendiri, karena track record dan sikapnya.
           Darkest Hour memiliki konflik yang sudah umum, namun dieksplorasi dengan baik. Ada pihak yang menginginkan negosiasi perdamaian dengan Jerman, sedangkan Winston ingin melawan Hitler karena Ia melihatnya sebagai “monstrous savage”. Barangkali usul perdamaian bagi Hitler tak mempan. Melalui operasi Barbossa tahun 1941, Jerman menyerang Soviet yang sebelumnya telah melakukan pakta perdamaian tahun 1939 yang dikenal dengan Pakta Molotov-Ribbentrop. Serangan yang membuat Stalin mencak-mencak. Film ini menunjukkan kejelian Winston dalam membaca situasi sekaligus usaha menjawab berbagai keraguan terhadap dirinya.

Winston          : My Copy of Cicero, did you shelve it?
Clemmie         : Did you hear what I said?
Winston          : What was that?
Clemmie         : We’re broke.
Akting pemeran Winston Churchill yang menutupi segala aspek kelemahan film ini. Pada akhirnya saya terkejut saat mengetahui pemeran si Winston Churchill adalah Gary Oldman. Whaat?? Saya benar-benar tidak menyadarinya. Bunglon adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Bagimu, bunglon mungkin si Johnny Depp, tetapi saya masih bisa mengenalinya. Coba tonton si Gary yang menjadi drakula (Bram Stoker’s Dracula) lantas menjadi animagus pada sosok Sirius Black (Harry Potter series) atau seorang komposer klasik (Immortal Beloved) dan berubah drastis pada seorang bassist Sex Pistols (Sid & Nancy). Dahulu saya pernah mengernyitkan dahi ketika tahu Nolan menunjuknya sebagai polisi yang baik (Batman Trilogy) sangat bertolak belakang dengan Norman yang korup (Leon: The Professional). Ah, mengapa saya terlalu terkejut. Bukankah Gary juga pernah menjadi seorang pembunuh presiden (JFK) dan kini menjadi seorang Perdana Menteri.
Kita terus dibawa pada sosok Winston yang menonjol, cerdik, dan temperamen sekaligus memiliki sisi humor dan lembut dengan balutan make up yang luar biasa sehingga kita mungkin akan terkecoh jika dia adalah Gary. Sinematografinya pun memuaskan. Mampu merealisasikan ketenangan dan ledakan emosi antara terang dan bayang-bayang. Saya suka saat pengambilan gambar di Istana Buckingham dan pidato terakhirnya.
Tahun 2017 kita seperti diperlihatkan lukisan sejarah dari kejadian perang dunia kedua dengan Darkest Hour sebagai lukisan utama dan Dunkirk sebagai spin-off nya. Anda tak perlu pusing seperti menonton Dunkirk karena Darkest Hour memiliki alur yang sederhana ditambah pemacu semangat (yang menumbuhkan rasa nasionalisme) dan (juga) haru.

Cerita              : 7.5/10
Pemain            : 8.5/10
Ending            : 8/10
Overall            : 8/10

NB: Baru tahu jika Gary Oldman dalam film ini meraih penghargaan sebagai Aktor Terbaik Oscar 2018.

Mar 25, 2018


thisscoop.com

            Tempo hari saya bertemu mbak-mbak yang menjual buku-buku ayahnya. Seorang ayah penggila buku dan bekerja dalam bidang jasa konstruksi. Semua buku itu, katanya, untuk “sangu pensiun”. Kegilaannya membeli buku hingga memenuhi rumahnya dan membuat sang istri marah. Anaknya pun menjual buku-buku sang ayah satu per satu dengan harga second.
         Sebagai sesama pecinta buku, saya pun memahami alam pemikiran sang ayah. Sembari membayangkan bagaimana keluargaku kelak dalam merespon hobiku tersebut. Ada senyum tersungging saat mendengarkan penuturan si mbak-mbak. Saya bayangkan jika kelak anakku menjual buku-bukuku tanpa sepengetahuanku. Tanpa Ia tahu bahwa ayahnya ingin membuat perpustakaan mini untuk orang-orang di desa yang jarang bersentuhan dengan buku.
       Berhadapan dengan orang yang tak suka buku sudah biasa kutemui. Tetapi, beruntunglah si Mbak itu buku-buku ayahnya dijual kepadaku. Setidaknya, buku tersebut dapat bermanfaat di tangan orang lain. Dan bersyukur juga saya karena mbak dan ibunya tidak membakar buku-buku itu sehingga dapat saya beli.
            Jangan seolah-olah tak tahu jika ada pembakaran buku. Pertanyaan tersebut jikalau engkau ajukan ke Fernando Baez akan dijawab bahwa pembakaran buku adalah salah satu cara menghancurkan buku dan karena motif ideologi. Tesis Baez tersebut barangkali meleset ketika melihat pengalaman pembakaran buku yang pernah kualami. Tentu saja buku-bukuku pernah dibakar, bukan oleh pemerintah atau aliran ekstremis tertentu melainkan oleh ayahku sendiri. Buku-buku saya dibakar karena waktuku habis dengan membaca buku yang tidak berkaitan dengan pelajaran. Lantas ayah membakarnya di belakang rumah agar saya berhenti membaca buku selain buku pelajaran. Buku yang bermanfaat ialah buku pelajaran, mungkin begitu kesimpulannya.
            Terselip rasa bahagia tatkala melihat orang lain membaca buku yang pernah kubaca. Biasanya saya akan mengajak diskusi orang tersebut. Bahkan sampai ada yang mengejek, “jangan-jangan cewek yang kau dekati itu kamu ajak juga membaca buku.” Ia tidak seratus persen salah, ada benarnya juga sih. Lah memang seperti itulah saya biasanya mengawali pembicaraan dengan lawan jenis. Mengawali dari obrolan yang kita suka to?  
Dahulu saya percaya bahwa ada semacam rasa solidaritas antar pembaca buku. Pada saat itu, saya belum tahu bahwa ada banyak tipikal pembaca buku. Tak heran bila saya dengan mudah meminjamkan buku kepada seseorang dengan rasa percaya bahwa dia akan mengembalikannya. Bahkan sering pula kupinjamkan hingga sering saya sendiri yang mengantar ke kosnya.
Saya lupa, mungkin ada ratusan buku yang saya pinjamkan dan tak kembali. Kesadaran tersebut muncul ketika menjalani akhir pekan pada masa awal-awal perkuliahan dahulu. Perlu kalian ketahui bahwa tempat saya kuliah dulu, akhir pekan merupakan sebuah kesunyian panjang yang menjemukan. Kampus menjadi sekumpulan gedung yang sangat amat minim mahasiswa. Kawan-kawanku mayoritas pulang dan juga dengan mahasiswa lainnya. Apa yang dilakukan mahasiswa pada saat akhir pekan di tengah kampus yang dikepung sawah dan minim hiburan semacam mall atau hal-hal menyenangkan lainnya? Tidak ada. Mereka tentu saja pulang karena rumah relatif dekat.
Saya? rumah saya jauh. Pulang pun bisa satu semester sekali jika beruntung, jika buntung ya tak pulang dalam setahun. Pada kondisi sunyi dan tak ada kawan bicara tersebut, tiap awal bulan saya memborong buku untuk dibaca tiap akhir pekan. Hingga aku sadar bahwa buku-buku tersebut entah lari kemana saja. Ada yang saya ingat dipinjam oleh siapa dan terkadang lupa. Lebih menyebalkannya lagi ialah saya memintanya dengan cara mengemis, bukan atas dasar kesadaran si peminjam mengembalikan dengan sukarela.
Bagimu buku merupakan hal sepele untuk dikembalikan, tetapi bagiku adalah hal yang lain. Bolehlah engkau tak mengembalikan sandal, sepatu, baju atau yang lain. Saya sering ikhlas jika itu yang diambil orang lain. Oh, kalau buku rasanya hampir menangis jika tak kembali. Pernah suatu ketika ada yang nyeletuk,”Ah, Cuma buku saja diributkan.” Tentu saja Ia tak memahami perjuanganku membeli buku. Tiap bulan saya kerap menyisihkan uang makan untuk membelinya. Tiap akhir pekan ketika yang lain pulang kampung, buku yang menemaniku. Saat yang lain malam mingguan bersama pacar, buku yang menghiburku. Bahkan saat kawan-kawan yang lain sudah kelon dengan pasangannya, buku yang jadi teman tidurku.  
tapiture.com
Ada juga celotehan lain, “kalau hilang kan bisa beli lagi to.” Saya hanya mengelus dada. Dia tak tahu perjuanganku memeroleh buku Arus Balik dengan membongkar sebuah toko buku di jalan Semarang Surabaya. Saat ini carilah buku Arus Balik yang asli (bukan bajakan) seharga lima puluh ribu. Engkau tak akan menemukannya, kecuali seharga ratusan ribu bahkan jutaan. Atau seberapa sadar mereka bahwa buku Cerita Dari Blora seharga setengah dari uang bulananmu. Atau apakah engkau bisa menemukan novel Seratus Tahun Kesunyian karya Gabo yang asli dibawah seratus ribu? Tidak, kau akan sulit menemukannya alih-alih justru tak menemukannya. Meskipun kau temukan yang ori, terkadang sulit untuk menebusnya karena kau tak selalu memiliki uang.