Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Nov 23, 2013

Cita-Cita Dari Seorang Begawan Hukum

 Judul              : Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya
Penulis            : Satjipto Rahardjo
Penerbit          : Genta Publishing
Cetakan          : Kedua, Mei 2009
Tebal              : x+118 halaman, 12 cm x 19 cm

“…, tidak ada standar dunia mengenai bagaimana suatu bangsa harus bernegara hukum”

            Banyak yang bertanya alasan saya tidak pernah menulis, atau setidaknya meresensi buku, tentang hukum. Memang benar karena saya memiliki beberapa alasan. Pertama, Hukum begitu luas sehingga tidak baik jikalau menulisnya hanya beberapa lembar saja. Kedua, saya memiliki beberapa pemikiran yang masih mengendap dan perlu ditelaah, dieksplorasi, eksploitasi, diungkap, dan ditemukan solusinya. Ketiga, masih ada sedikit keraguan tentang posisi tulisan yang akan saya tulis, apakah berupa esai, catatan ilmiah, makalah, cerpen atau novel.
            Inilah buku tentang hukum pertama yang saya ulas. Sebuah penghormatan bagi sang Begawan Hukum yang dalam buku-bukunya mudah dimengerti dibandingkan pakar hukum lainnya. Sehingga, orang awam pun akan memahami maksud dari sang penulis. Tidak banyak yang demikian karena para pakar hukum (mayoritas) masih mempergunakan bahasa yang hanya dipahami oleh orang hukum sendiri (suatu bentuk ekslusivisme orang hukum) dan cenderung kaku serta monoton. Selain itu, berkat buku Prof. Tjip yang lain saya seperti telah memiliki legitimasi untuk melanjutkan hobi membaca komik, sastra dan non hukum (bahkan beberapa teman menyindir saya tersesat dari jurusan). Saya anggap buku non hukum itu sebagai media olah rasa. “Lha Subcomandante Marcos saja mengajarkan pemberontak EZLN buku-buku sastra, bukan mengajarkan berlatih senjata,” rutukku dalam hati sambil tetap tersenyum.
            Buku tipis ini secara garis besar berkisah tentang sejarah negara hukum yang dipahami manusia sebagai bentuk negara modern. Penulis mengupas dinamika hukum dan perkembangan negara hukum yang salah dipahami manusia (ahli hukum dan negarawan) menjadi sesuatu yang kaku dan menentukan arah politik penguasa. Berawal dari kegelisahan dan pencarian akan bentuk negara hukum yang sesuai dengan Indonesia karena Prof. Tjip beranggapan bahwa negara hukum yang dibentuk pada tahun 1945 ibarat sebuah rumah yang belum selesai. Setiap negara memiliki karakteristik sendiri dan Indonesia masih mencari itu.
            Penulis menganjurkan untuk mencontoh pada Jepang yang berusaha menemukan karakter negara hukum yang sesuai dengan tradisi dan masyarakatnya meskipun berlawanan dengan tren dunia. Mulai dari Daniel S. Lev sampai Benedict R. Anderson gagal dalam memberikan gambaran yang jelas tentang cara berhukum di Indonesia (Jadi teringat Clifford Greetz yang menyatakan bahwa anatomi budaya Indonesia adalah yang paling rumit di dunia dan kengototan Van Vollenhoven untuk menerapkan hukum adat dibandingkan hukum kolonial). Daniel S. Lev mengatakan Indonesia tidak memiliki budaya cara berhukum modern yang individualistis. Sedangkan Anderson mengaku gagal dalam memahami konsep kekuasaan orang Jawa (meskipun suku Jawa mayoritas, tetapi adalah bagian dari entitas kecil peradaban Indonesia) dengan pisau analisa ilmu politik barat.
            Pada kesimpulannya, penulis ingin mengatakan bahwa negara hukum yang membahagiakan rakyatnya cenderung untuk menjadi negara hukum yang progresif (lagi-lagi progresif hehehe). Negara yang memiliki inisiatif bertindak dan melayani bukan menunggu rakyat “merengek dan meminta-minta” untuk dilayani oleh negara. Sampai sini saya sedikit lega karena memeroleh jawaban dari substansi buku, namun ada kalimat pada paragraf terakhir yang membuatku terusik,
            “… negara ini masih membutuhkan pengidentifikasian dan pemberian makna lebih tajam lagi, untuk menjawab pertanyaan ‘bernegara hukum untuk apa?’ Risalah ini menjawab dengan mengatakan, kita bernegara hukum untuk membuat rakyat merasa bahagia hidup dalam negara hukum Indonesia.”

            Aduuuh… Pernyataan tersebut mengisyaratkan dan mengajak kita harus menemukan konsep kebahagiaan ala rakyat Indonesia yang kemudian dapat diaplikasikan ke dalam negara hukum yang Indonesia. Mikir maning, mikir maning.

Irfa Ronaboyd


Membaca Novel Pertama Murakami

Judul              : Dengarlah Nyanyian Angin (Kaze No Uta O Kike)
Penulis            : Haruki Murakami
Tebal              : iv+119 hlm. 13,5 cm x 20 cm.
Cetakan          : Kedua, Mei 2013
Penerbit          : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)


“Kamu sedang apa sekarang?”
“Aku sedang membaca buku.”
“Ck,ck,ck. Nggak baik tuh. Kamu harus mendengarkan radio. Kamu justru akan semakin terasing kalau membaca buku.”

            Pertama kali mendengar (lebih tepatnya membaca) nama Haruki Murakami dari sebuah pengantar novel “Di Bawah Bendera Merah” karya Mo Yan. Murakami dan Mo Yan menjadi dua nama sastrawan Asia (Jika Pramoedya masih hidup mungkin namanya akan ikut serta) dengan urutan teratas masuk nominasi peraih Nobel Sastra 2012. Selepas membaca “Di Bawah Bendera Merah” segera kucari novel Murakami dan suatu kebetulan yang teramat bahwa buku Murakami tinggal satu dan itu adalah novel pertamanya.
            Paragraf pertama yang pendek sebagai pembuka sekaligus permintaan maaf karena itulah novel pertamanya, berbunyi “Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.” Novel tipis ini berlatar belakang tahun 1960an yang bercerita si Aku, mahasiswa Biologi yang sedang libur di tempat tinggalnya yang kecil. Kehidupan remaja yang kompleks, tidak jelas, penuh rokok dan alkohol menjadi ciri yang menonjol dari novel ini. Kalimat-kalimat yang mudah dipahami namun menusuk dan dalam seolah melupakan bahwa alur dari kisah pada novel ini melompat serta tidak beraturan.
            Tipis tetapi memberikan kesan mendalam melalui dialog-dialog dan deskripsi yang menggelitik. Misalnya,
            Selagi aku membersihkan debu di kaca depan dengan tisu, dia berjalan perlahan mengelilingi mobil dengan penuh rasa curiga. Setelah berkeliling satu kali, sejenak dia menatap lekat-lekat gambar muka sapi berukuran besar yang dilukis dengan cat putih di atas kap mobil. Sapi itu mengenakan anting hidung, sementara di mulutnya terselip setangkai bunga mawar putih. Sapi itu tertawa. Tawa yang sangat mesum.
“Kamu yang menggambarnya?”
“Bukan. Pemilik sebelumnya.”
“Kenapa harus gambar sapi sih?”
“Entahlah.” Kataku.

            Karakter si Aku juga memiliki keanehan yang condong pada sedikit gila. Masa kecilnya yang begitu pendiam membuat orang tuanya membawa ke psikiater, dan memperoleh cerita tentang kambing gunung, kelinci, gajah. Umur empat belas tahun pada musim semi selama tiga bulan mengoceh tanpa henti dan seketika berhenti karena demam tinggi, setelah itu menjadi pria yang biasa (secara fisik iya, secara otak tidak beres). Lebih suka membaca buku karya orang yang sudah mati karena akan lebih mudah memaafkan. Terobsesi pada penulis Amerika yang tidak terkenal yang mati bunuh diri. Menyukai binatang karena mereka tidak bisa tertawa. Ada lagi, tokoh Nezumi seorang anak kaya yang tidak suka dengan kekayaannya. Tidak suka membaca, namun menulis novel. Novel yang tiap tahun dikirim sebagai hadiah ulang tahun si Aku. Karakteristik novelnya yang tidak ada adegan seks dan tiada tokoh yang mati.
            Overall, novel ini benar-benar membuat dirimu wajib membacanya. Cukup luangkan waktu 1 jam, setelah itu perenungan bisa sampai 2 hari. Saat tulisan ini di upload pun, saya masih tertawa sendiri memikirkan kisah dalam novel yang penuh humor dan ajakan berpikir. Suatu gerbang yang membuka untuk terus membaca karya Murakami selanjutnya. 

Irfa Ronaboyd


‘Tragedi Impian Gatsby’

Genre            : Drama
Pemain       : Leonardo DiCaprio, Tobey Maguire, Carey Mulligan, Joel Edgerton, Isla Fisher, Elizabeth Debicki, Amitabh Bachchan
Sutradara      : Baz Luhrmann
Naskah          : Baz Luhrmann & Craig Pierce
Durasi           : 143 Menit

“He had come such a long way.
And his dream must have seemed so close, 
that he could hardly fail to grasp it.
But he did not know… that it was already behind him.”

            Jangan berpikiran bahwa film ini menceritakan kisah hidup pemilik pabrik Gatsby karena itu tidak ada kaitannya dengan kosmetik pesolek untuk pria. Atau ada alasan logis bahwa pemilik pabrik pesolek tersebut terinspirasi oleh karakter Gatsby dalam novel karya F. Scott Fitzgerald, sehingga para pria tertarik untuk membeli produknya.
            Ok, kembali fokus. Ini adalah film adaptasi dari sebuah novel berjudul sama karya Francis Scott Key Fitsgerald. Bagi yang sudah pernah melihat The Curious Case of Benjamin Button mungkin tidak asing lagi dengan Fitsgerald. Kisah diawali dengan narasi Nick Carraway (Tobey Maguire), seorang penulis lulusan Yale dan bekerja di Wall Street di sebuah klinik psikiater. Ia menceritakan tentang pengalaman yang ia alami di sebuah musim panas tahun 1922. Diceritakan bahwa Nick yang baru saja pindah kerja ke New York ini menyewa rumah di kota West Egg di Long Island. Nick memiliki tetangga misterius, bernama Jay Gatsby (Leonardo DiCaprio), pemilik mansion yang sangat besar dengan hobi menyelenggarakan pesta-pesta besar, mewah, dan glamour setiap malamnya. Nick sering mengunjungi sepupunya, Daisy Buchanan (Carey Mulligan) dan suaminya, yang juga teman kuliah Nick, Tom Buchanan (Joel Edgerton), persis di seberang kotanya yang terpisah oleh teluk (atau tanjung), di East Egg. Suatu hari ia menerima undangan dari sang tetangga yang secara pribadi mengundangnya datang ke pestanya dan menemui pria misterius tersebut. Pertemuannya dengan Jay Gatsby mengawali setiap konflik pada sebuah dunia penuh ambisi, romansa, mimpi hingga konflik cinta orang-orang terdekatnya.
            Sejujurnya, film ini tidak memiliki kesan mendalam dalam membangun emosi antar pemain. Ada beberapa tokoh yang menonjol karakternya, yakni Tom Buchanan dan Jordan. Yah, akting Tobey dan Leonardo yang tidak bisa dikesampingkan, walaupun Leonardo dalam membangun sosok Gatsby tidak jauh berbeda dengan karakter dalam filmnya yang lain (berbanding terbalik dengan Johnny Depp): karismatik, penuh pesona, cool, meledak-ledak. Kehadiran Amitabh Bachchan sebagai Meyer Wolfsheim juga sempat mengagetkanku, sempat terpikir bahwa itu bukan Amitabh karena dalam Meyer dalam novel adalah seorang Yahudi bukan India (Yaah.. meskipun akhir-akhir ini antara Israel dan India dekat).
            Ambisi, harapan dan mimpi Gatsby (pada objek yang berbeda tentunya) mengingatkanku pada tragedi kehidupan Tony Montana (Al Pacino) dalam Scarface. Pesta yang riuh, mewah, dan glamor berbanding terbalik ketika pemakaman Gatsby yang hanya dihadiri oleh Nick. Alur dibangun dengan lambat dan sedikit menjenuhkan, meskipun ada beberapa adegan lucu dan narasi menggelitik. Apabila menganggap film ini bertemakan drama perselingkuhan mungkin lebih nyaman menonton Closer, The Reader, atau Killing Me Softly. Namun inilah kisah American Dream pasca perang dunia pertama, pesta, histeria, romansa, konflik sosial. Semua kekurangan plot dan cerita tertutupi dengan audio visual yang memanjakan mata dengan berbagai musik dan efek CGI (terutama bangunan tahun 1920an dan balapan motor jadul di jalanan).
                                     

Cerita: 7/10                                         Pemain: 8/10
Ending: 7/10                                       Keseluruhan: 7/10