Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

May 23, 2019



“Tanggal 1 Mei di hotel, cak. Kudu iso. Yen ora iso golekno gantimu.”
Panggilan dengan nada agak maksa itu hadir tatkala sedang khusyuk mengerjakan laporan. “Aseem,” umpatku. Untungnya si penelepon sudah terbiasa dengan umpatan itu.

Percakapan itu ditutup, “lek gak ada kamu siap-siap. Hahahaha...!”

Saat mendengar materi LKMM, “Manajemen Organisasi, Komunikasi dalam Organisasi, dan Penjabaran Gagasan Awal” dalam benakku sudah membentuk layout materi yang akan kusampaikan jika memang harus mengisi karena pada 2 Mei ada penutupan lustrum. Yah setidaknya saya akan berbicara tentang perbedaan efektif dan efisien, perencanaan, komunikasi vertikal maupun horizontal yah mirip-mirip WoG. Untuk Gaswal perlu mengidentifikasi masalah dan anakoling terlebih dahulu. Terdengar kaku dan perlu tersistematis, sayangnya bukan gayaku.

Pada akhirnya, aku perlu mencari pengganti juga karena harus ada prioritas utama: sarasehan lustrum yang menyita fisik dan pikiran.

Selama seminggu berinteraksi dengan muda/mudi pada rangkaian acara lustrum kerap muncul pertanyaan “Enak nggak, pak, jadi *****?” Pertanyaan yang sebenarnya tidak asing bagiku karena baik di sini maupun di sana akan ada yang selalu bertanya demikian. Bila dijawab secara subjektif dan bersifat khusus untuk diriku yang tidak pernah bercita-cita menjadi seorang *****, saya menjawab “Tidak enak.” Ada berbagai faktor yang membuatku menjawab demikian.

Pertama, masalah celana panjang. Mana ada ***** yang masuk kelas memakai celana 3/4 atau sarung. Orang-orang yang mengenal dekat diriku pasti tahu alasannya bahwa saya alergi dengan celana panjang. Paha dan belakang lutut sering gatal jika memakai celana. Bahkan teman SMA ku dulu sering protes karena saya selalu memakai celana ¾ saat bertamu ke guru atau acara-acara formal. Boleh dibilang sejak SMA sampai sekarang saya memiliki celana panjang yang dapat dihitung dengan jari. Selain alasan gatal, celana panjang itu panas. Sumuk. Lebih enak mengenakan sarung yang semriwing. Saya jadi merasa bersalah pada kawan-kawan magister kalau mengingat-ingat soal sarung. Mereka tentu malu ketika jalan-jalan di mall bersama denganku yang mengenakan sarung. Pada awal-awal mengajar dulu, saya selalu membawa ganti celana pendek atau sarung saat gatal dan sumuk mendera.

Kedua, masalah wibawa. Dilihat dari segi mana pun, bahkan sedotan sekali pun, diriku tidak memiliki sikap dan tingkah laku yang layak dihormati. Sering cengengesan, ketawa keras, dan terlalu woles. Saya sering mendengar bahwa profesi ini perlu menjaga wibawa, namun hal tersebut tak berlaku padaku. Intinya, kewibawaan itu tidak ada pada diriku.

Ketiga, sifat pemalas. Boleh dikatakan bahwa diriku lebih suka tidur daripada bertemu manusia dengan berbagai problematikanya. Bila demikian saya lebih memilih diam dan malas menanggapinya. Anehnya, Allah selalu ada saja cara menghadirkan permasalahan-permasalahan manusia kehadapanku. Terlebih menghadapi manusia yang kadang labil dan galau pada usia-usia puber mereka.

Keempat, tanggung jawab. Beban tanggung jawab ***** itu besar dan berat. Sejak menjalani profesi ini di pundak dan punggungku terasa ada gunung yang menggantung. Mencerdaskan kehidupan bangsa? Saya sendiri masih ragu sanggup mencerdaskan satu orang manusia. Alasannya sederhana, karena saya sendiri merasa masih belum cerdas. Saya kerap merenung, apakah yang kusampaikan kelak berguna dan mampu mendongkrak kecerdasan?

Kelima, sekarepe dewe. Well, profesi ini punya tuntutan menjaga etika dan hal-hal yang perlu dijalankan. Ini jelas berbanding terbalik dengan diriku yang sering sekarepe dewe. Kadang patuh pada sistem, dan lebih sering menciptakan sistem sendiri.

Keenam, niat. Konon, menjadi ***** perlu niat yang mulia dan blablabla. Tiada terlintas dalam benakku untuk menjadi *****. Jadi, semua terjadi begitu saja layaknya big bang. Usai sholat istikharah karena bimbang perihal kegiatan yang sedang kugeluti, Allah menceburkan diriku pada beasiswa ***** yang sangat mengikat. Hal itu terjadi hingga diriku tenggelam sampai sesak napas.

Barangkali saya tidak akan menjadi ***** yang ideal karena berbagai hal. Tetapi, karena sudah tenggelam saya hanya bisa berkata, “yawes pie maneh kudu dinikmati pilihane Gusti Allah”. 

Makanya ketika Brian mengatakan, “***** is the best job ever”, aku hanya bisa garuk-garuk ketek. Mungkin profesi ini cara Tuhan agar diriku bisa membayar kualat masa silam. Meskipun demikian, saya senang melihat muda-mudi yang memiliki niat menggebu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tinggal diasah dengan baik dan benar, meski kerap kulihat mereka layu sebelum tumbuh dan berkembang. Entah karena salah asuhan atau salah memilih jalan.

May 6, 2019





Obrolan ringan dengan mas Noe atau sekarang lebih dikenal nama Sabrang tak mampu menghindarkan diriku untuk membayangkan sedang rebahan. Ingin rasanya memejamkan mata barang sepuluh menit saja.
Setiba di kamar setelah berbagai aktivitas, kurebahkan diri dengan mengambil sembarang buku. Novela James Joyce terpilih dari sistem acak tersebut. Untungnya, Ulysses tidak termasuk buku yang kubawa ke Surabaya untuk dibaca ulang.
Aku kaget. Hantaman sebuah benda tumpul di perut membangunkanku. Seseorang yang lama tak kujumpa tersenyum.
“Lihatlah,” katanya ringan. Kesadaranku belum pulih. Aku tidak segera melihat apa yang menghantamku. Buku Joyce di samping tubuhku tertutup dan tertekuk. Jarang sekali aku tertidur saat membaca.
Benda tumpul yang menghantam perutku adalah sebuah bola kristal. Kupandangi dengan malas sambil mendengar perbincangan orang-orang di dalam bola itu. Kulempar kembali bola kristal itu pada si empunya.
“Kau tidak ingin menjawab berbagai praduga itu?”
“Tidak. Untuk apa?” jawabku sambil berdiri menghidupkan kompor dan mulai memasak air.
“Bodoh, untuk menjelaskan!” Ia berdiri membuka pintu agar udara segar masuk. “Semisal anggapan tak profesional karena mencampuradukkan sesuatu lantas menghukum semuanya.”
“Aku sudah menjelaskan semuanya. Dan kurasa selama ini telah fair sebagai manusia yang mencoba menuntun dari luar lingkaran. Mereka bukan orang-orang bodoh yang perlu dijelaskan berkali-kali, kecuali emosi menutupinya. Aku tidak suka pemilihan diksi ‘menghukum’ karena pada dasarnya tidak ada yang dihukum dan tidak ada yang merasa dihukum.”
Aku biarkan dia mengoceh sesuka hatinya. Diriku lebih terfokus pada kopi yang hanya cukup untuk segelas saja. “Jadi, kau mampir hanya untuk melempar bola kristal itu?”
“Bukan. Lama aku tidak berkunjung. Ingin kali tahu responmu saja.”
Jam di ponsel menunjukkan pukul 00:22 WIB. “Sekarang sudah tahu to?”
“Apakah kau mengalami epifani sejak itu?”
“Mungkin, tapi aku tidak tahu pasti.”
“Aaah, pantas saja akhir-akhir ini kau sering menolak murid. Bukan dirimu yang selama ini kukenal.”
“Selama ini aku tidak pernah menerima murid. Kau tahu kemenangan, kepuasan, kekenyangan seorang guru saat melihat muridnya berlaku dan berkata jujur.” Aku bersandar pada tembok dengan memegang rokok yang belum menyala. “Lagian jika sekadar bertanya dan konsul, aku cukup terbuka. Lain hal bila kemudian terjadi relasi yang intens malah akan cukup merepotkan. Bukan padaku, melainkan orang lain. Kau tahu sendiri kan akibatnya?”
“Ya, ya... kebenaran memiliki dampak yang mencerahkan sekaligus mengerikan. Jikalau tidak dikerjakan malah akan menusuk pribadi si pendengar. Terdengar kejam.”
“Di sini lebih baik aku membatasi diri.”
“Kau tidak takut mereka mendapatkan nasihat yang menjerumuskan?”
“Apa peduliku,” balasku, sambil berdiri.
“Wow...wow... sikapmu itu seolah masa bodoh, tapi nadamu sebaliknya. Ingat, ada misimu yang belum dibatalkan sama Allah.”
“Aku baru menyadari sesuatu.”
“Apa itu?”
“Rambutmu mulai memutih. Aku teringat beberapa minggu lalu, tukang cukur rambut mengatakan bahwa di kepalaku tidak ada uban. Katanya, anak muda zaman sekarang sudah tumbuh uban.”
“Tandanya apa?”
“Tandanya otakku masih waras dan belum menua. Aku masih ingat misi-misiku, mana yang telah dibatalkan dan mana yang belum.”
“Kau tidak takut pada misi yang tidak dibatalkan dan belum tuntas?”
“Aku sudah pasrah dan siap menerima semua akibatnya.”
“Kau benar-benar.... uuuh! Jangan terlalu banyak kau hisap.” Dia mengambil dua batang rokok untukku lalu menyembunyikan bungkusnya. “Aku masih ingat dirimu yang masih SMA yang jauh berbeda dengan yang sekarang.”
“Aku lho baru menghidupkan sebatang,” protesku. “Tentu saja. Setiap kali kubunuh cinta, terhapus pula separuh hidupku.”
Kami diam cukup lama. “Menurutmu, mereka juga mengalaminya?” tanyanya tiba-tiba, sambil membuka lembaran-lembaran Kitab Fathur Rabbani.
“Apa?” tanyaku balik, “hei, wudhu dulu.”
“Epifani!” jawabnya dengan nada jengkel. Dia lantas mengembalikan buku itu ke tempat semula.
“Kurasa tidak.”
“Kau tahu darimana? Berinteraksi saja tidak pernah.”
“Aku punya indikator sendiri.”
“Apaan?”
 “Aku pernah menasihati bila ada yang bertanya atau mengirim pesan, jawablah minimal ‘ya atau tidak’. Kuprediksi pesanku itu telah dibaca, yah, mungkin lima kali. Dan sampai sekarang tidak dijawab. Selain itu, aku pun telah memberitahu hanya akan menyimpan atau mengonfirmasi nomer atau akun baru dari mereka. Masih tetap sama. Tidak ada pengaruh atau titik balik.”
“Bisa saja ada yang mencegah atau melarang. Lagipula, orang gila macam mana yang rela ganti nomor dan membuat akun baru hanya demi dirimu? Sinting.”
Aku terpingkal mendengar jawabannya. “Justru itu agar mereka tetap melanjutkan hidup dan tak terlalu memikirkan hal remeh macam aku. Siapa tahu hidup mereka jauh lebih tentram bila tidak mendengarkan kebenaran-kebenaran yang sering kuungkapkan.” Kulirik dia kini sibuk menggunting kuku. “Lagian, hampir setahun lalu di mangrove aku menjelaskan pada mereka misi-misiku sebelum kejadian itu. Kau ingin tahu dampak bila ada yang mengganggu atau menjegal atau menghalangi misi itu?”
Dia buru-buru menutup telinga. “Tidak ingin tahu.”
“Akan kuberitahu hanya padamu.”
“Stop! Hentikan! Cukup! Aku tidak mendengar! Aku tidak mendengar!”
Aku tertawa melihat tingkahnya. “Ayolah...”
Sadar aku hanya menggoda, dia melanjutkan kesibukan memotong kuku. “Sesuatu yang kau tinggalkan pasti akan berbeda. Jauh berbeda. Bukan dari materiil atau kuantitas. Entah itu aura, suasana, atau jiwanya.”
“Semoga perbedaan itu mengarah pada sesuatu yang baik.”
“Lalu... bagaimana cara memperbaiki semuanya?” tanyanya dan dia berhenti memotong setelah jeda ‘klik’ yang lumayan lama.
Meski kini aku fokus pada layar laptop, aku tahu dia menunggu jawabanku. “Tidak ada.”
“Tidak ada atau tidak tahu?”
“Keduanya,” balasku enteng.
“Itu paradoks!” teriaknya sambil melempar pemotong kuku yang mengenai bahuku.

May 2, 2019

“You could not live with your own failure, and where did that bring you? Back to me.”

Judul              : Avengers: Endgame
Durasi            : 181 menit
Sutradara     : Anthony Russo, Joe Russo
Naskah           : Christopher Markus, Stephen McFeely
Pemain           : Robert Downey Jr., Chris Evans, Chris Hemsworth, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Mark Ruffalo, Paul Rudd, Brie Larson, Karen Gillan, Josh Brollin


Tahun ini ada dua hal yang tak boleh kudengar, spoiler film Avengers: Endgame dan akhir dari Game of Throne. Akan terasa menyebalkan bila kedua hal tersebut sampai ada yang memberikan spoiler. Keindahannya akan pudar seperti bila kalian sayup-sayup mendengar akhir kisah Six Sense atau The Prestige. Saya perlu menahan diri, entah itu menghindar dari status teman-teman yang telah menonton maupun membaca berita yang berkaitan dengan keduanya.

Infinity Wars telah membawa banyak spekulasi, mulai “siapa yang akan membunuh Thanos?”, kemunculan film “Captain Marvel” di sela-sela film menimbulkan praduga bahwa ia yang akan mengalahkannya. Lantas, bagaimana langkah Russo bersaudara membangkitkan kembali triliunan makhluk yang mati paska genosida Thanos dengan jentikkan jarinya? Kehadiran Ant-Man sebelum Civil Wars membuka peluang adanya dugaan multiverse ala DC. Tetapi, DC dan Marvel jelas berbeda dalam membangun universe-nya. Biasanya film-film sci-fi untuk mengatasi masalah ini dengan cara time travel, namun tidak ada yang punya kemampuan melakukan perjalanan waktu seperti Flash untuk kembali ke masa lalu atau memanipulasi waktu. Sebentar. Quick Silver telah mati dalam Age of Ultron dan kemampuannya tak sehebat Flash dari DC.  Strange bisa, tapi dia sudah menjadi debu dalam Infinity Wars. Aih, daripada memikirkan semua itu lebih baik saya melihatnya langsung.

Setelah seminggu pemutaran, kesempatan itu datang dan takkan kusia-siakan. Meski seorang diri dan waktunya malam hari, kesempatan tersebut akan sulit terulang. Mengingat jumlah penonton serta waktu luang, lebih-lebih keganjenan kawan-kawan yang ingin segera membocorkan kisah Endgame. Well, lebih baik ndang budaaal!

Hasilnya, Avengers: Endgame menjadi karya kerja keras penuh cinta untuk seluruh fans Marvel Cinematic Universe. Bagi kalian yang tumbuh bersama dengan kehadiran Iron Man, Hulk, atau Thor, dan Captain America sejak tahun 2008 akan begitu terasa keharuannya. Film ini dibuat dengan kecermatan serta kehati-hatian dengan menampilkan banyak momen yang menguras serta memuaskan secara emosional. Kita dibawa untuk menyelami lebih dalam pikiran dan jiwa para super hero yang berkawan lantas berkonflik.

Kita menyadari narasi yang dibangun selama ini begitu solid. Sepanjang film kita menghirup nuansa kelam yang intens melebur dengan humor khas Marvel. Endgame melangkah cepat dengan fokus pengembangan karakter sehingga waktu tiga jam tak terasa.

Pencapaian lain dari film ini adalah kualitas akting dari para pemainnya. Bahkan aktor yang hanya sepintas tampil memberikan sentuhan penuh makna. Perhatikan secara saksama Thor, Captain America, Hulk, Iron Man, Ant-Man, dan Dr. Strange yang membawakan pesan dan emosi yang sulit dicapai film super hero lainnya. Ada suatu anggapan bahwa film super hero atau laga tidak membutuhkan akting yang bagus karena penonton hanya butuh aksi dan baku hantam, makanya genre tersebut akan sulit masuk nominasi Oscar terutama best actor atau best actress. Akan tetapi, kali ini saya akan menganggukkan kepala bila Robert Downey Jr. dimasukkan dalam nominasi Oscar.

Kisah yang dimulai paska genosida menawarkan konsistensi kegelapan dan siksa batin para super hero karena kegagalan sebagai seorang pahlawan. Yah, meski banyak juga film super hero yang berlatar kisah serupa, Endgame memiliki level yang berbeda. Jentikkan jari Thanos memberi efek premis terhadap film ini, 14 juta banding satu.

Apesnya, solusi yang dihadirkan dalam film ini ialah perjalanan waktu. Begitulah manusia ketika ingin menyelesaikan konflik kerap berandai tentang waktu. Meski tak berbelit dalam penguraiannya, perjalanan waktu tentu memiliki kelemahan tersendiri. Lubang plot yang hadir dalam Endgame jika diuraikan malah spoiler. Tenang, saya tak ingin merusak kesenanganmu meski saat ini tanganku terasa gatal untuk mengetik bocoran film ini.

Pada aspek lain, sinematografer nampak bergembira dengan memainkan skema cahaya dan warna dalam berbagai referensi film Marvel terdahulu. Ada juga skor musik yang menyajikan nada-nada riuh di dada. Suatu tawaran yang tak mampu kita tolak sambil bernostalgia ria.

Alhasil, Endgame memiliki struktur film yang kita inginkan dan beberapa ada makna yang kita butuhkan. Capaian langka dari film super hero setelah dengan kesabaran memulainya dalam dekade silam.

Cerita             : 7.5/10
Pemain          : 8.5/10
Ending           : 8/10
Overall           : 8/10