Mungkin
saja manusia punya titik didihnya tersendiri. Ada yang memiliki titik puncak
melalui ledakan amarah, tangis atau pukulan. Mereka berbeda dalam berbagai
tingkatan emosional. Saya pun demikian, barangkali.
Saya coba melihat ke belakang dengan
berbagai masalah yang ada. Kecendurangan diri dalam melihat berbagai persoalan
rata-rata dengan tanggapan santai, biasa, dan lumrah. Bahkan kerap merespon
berbagai permasalahan dengan tertawa atau tersenyum. Akan tetapi, pada suatu
ketika ada hal-hal urgen dan mendasar yang membuatku tak mampu mengendalikan
diri. Spontanitas dengan ledakan amarah. “Ini seperti anak kecil,” ungkapku.
“Kau berdosa membuat orang lain takut” ungkapku. Saya menolak, “Itu bukan titik
puncakku.”
Benar. Titik puncakku bukan dengan
menangis. Saya bahkan lupa kapan terakhir menangis. Pun bukan pula ledakan
amarah atau memukul. Mereka hanya ada di tengah-tengah puncak. “Lantas apa?”
tanyaku. “Diam dan membiarkan,” jawabku.
Ledakan amarah itu merupakan gelagat
bahwa engkau sudah melampaui batas. Yah, termasuk golongan manusia yang
melampaui batas kewajaran. Kompromi-kompromi itu sudah terkikis habis. Akan
tetapi, tenanglah. Itu bukan puncak. Seperti kataku tadi, titik puncakku pada
diam dan membiarkan.
Beruntunglah engkau saat ada yang
memarahi karena itu tanda Ia masih peduli. Beruntunglah dirimu ketika ada yang
memaki sebab ia menegurmu dengan jujur. Celakalah kau saat didiamkan berarti
aku tak acuh. Apabila sudah demikian, itu terserah kamu karena aku tak mau tahu
tentangmu.
Instrospeksi dan evaluasi diri itu
perlu untuk melihat ke dalam. Yunus as melakukannya saat di perut ikan. Hal
tersebut sangat sukar.
Bersambung >>>>>>
No comments:
Post a Comment