Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

May 14, 2014

         
Papan Peringatan Bahwa Anda Memasuki
Wilayah Pemberontak EZLN
         Kita merasakan sesuatu yang sama. Duduk dan menonton sesekali sedikit berharap. Tahun ini panasnya terasa berbeda. Kala malam pun demikian panas. Panas yang bercampur gairah kian terasa. Akan tetapi, bukan itu yang saya rasakan. Mungkin itu yang dirasakan politisi. Saya beruntung jauh dari media yang turut serta menghembuskan angin panas kemana-mana. Panas yang menyebabkan kabut sepanjang hari hingga orang tidak mampu berjalan dengan baik.
            Kudeta posmo terhadap modernisme sudah berdengung sebelum saya lahir. Namun, posmo juga belum mampu memperbaiki kondisi. Sebagian dari kita sadar bahwa kita lahir pada zaman yang genting. Dimana manusia mencari kebahagiaan tetapi terjebak dalam kekejaman dan kekerasan yang lembut. Soft wars yang tidak disadari beberapa dari kita.
        Posmodernisme secara jujur menguraikan kebusukan modernisme sekaligus memberikan kesempatan untuk menggali nilai-nilai dalam masyarakat yang berbeda. Kondisi ini membuat masyarakat menemukan arti hidup bagi mereka masing-masing. Keraguan terhadap metanarasi menyebabkan nilai-nilai universal ditentang oleh kaum posmo. Sepintas posmo memang mendukung etnosentrisme.
            Kejujuran posmo tidak diimbangi oleh proyek selanjutnya. Kudeta yang dilaksanakan seolah tanpa perencanaan sehingga banyak kebanyakan dari mereka dan tentu saja kita kebingungan. Dan kita bertanya pada diri kita, “Lantas apa yang dilakukan setelah ini?” Saya dan mereka bingung. Tidak mengherankan apabila kebanyakan dari kita menjadi pesimis: duduk, menonton sembari berharap.

Politik & Kegilaan
            Setiap zaman memiliki definisi kegilaan yang berbeda, setidaknya itu pendapat Foucault. Perubahan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setidaknya menyumbangkan perubahan definisi tersebut. Setiap manusia berhak untuk optimis, tetapi tidak sedikit terjebak dalam optimisme yang berlebihan hingga melupakan tujuan optimisme. Optimisme itu bertransformasi menjadi sebuah ambisi. Sejarah terlalu banyak untuk mengungkapkan ambisi seorang pemimpin atau kegagalan sebuah ambisi.
            Ambisi menyeret banyak dari kita terjerembab pada sesuatu yang kita sebut kegilaan. Bulan ini kita akan menyaksikannya. Ada sedikit kesombongan bahwa kita mampu melakukan perubahan. Lihat! Kesombongan itu menjadi virus yang merusak sistem kesadaran kita. Mereka berani malu untuk mempertontonkan wajah mereka di depan publik dengan resiko mendapat caci maki atau malah coretan di wajah pada balihonya. Sedangkan kita? Kita hanya duduk dan menonton mereka memasang baliho karena kita apatis. Pesimisme ini membawa kita takluk pada ambisi mereka.
            Tahun politik bagi kita yang tidak menggairahkan tetap memaksakan diri untuk melaksanakan kewajiban politik. Hobbes membawa perdebatan kontemporer perihal kewajiban politik melalui kontrak sosial. Ketakutan yang dalam status alamiah digambarkan Hobbes sebagai ketundukan pada kondisi pemberian kekuasaan terhadap seseorang. Tindakan yang mengamini apa yang tidak kita inginkan.
            Salah satu nilai dari demokrasi menurut Henry B. Mayo adalah menyelenggarakan perubahan pemimpin secara berkala atau kita lebih mengenalnya dengan pemilu. Namun kita sendiri tidak terlalu percaya pada demokrasi yang dituhankan begitu banyak akademisi. Sejujurnya saya lebih percaya jika demokrasi adalah alat untuk mempertahankan status quo, tidak lebih.
            Richard Rorty melakukan keisengan dengan sebuha ide ketika terjadi kebuntuan politik, yaitu mengandalkan para cendikiawan. Tugas kaum intelek ini menurutnya bukan untuk menyempurnakan teori-teori sosial, tapi membuat kita ikut merasakan penderitaan orang lain, sekaligus menajamkan, memperdalam, dan memperluas kemampuan kita mengidentifikas diiri dengan orang lain, berbela rasa dengan orang lain sesuai moralitas. Tetapi, kaum intelek ini lebih suka bermain dengan imaji mereka dan beradu argumen. Kebenaran yang mereka dapatkan berbuah pesimisme. Mampukah mereka diandalkan?
            Ketidakpastian dan kemungkinan dalam fisika menggambarkan universalitas yang memungkinkan adanya kekacauan. Kekacauan yang semestinya memang harus terjadi dan menyebabkan entropi. Pertumbuhan alamiah yang menjadi dasar entropi membawa kekacauan pada kestabilan karena kekacauan memiliki nilai kecil. Karena mayoritas kita melihat kekacauan sebagai objek manusia. Alam semesta tidak pernah kita perhitungkan sebelumnya karena kita memikirkan mereka sebagai sesuatu yang terpisah. Padahal aslinya tidak karena kita bekerja pada sistem yang sama, yaitu sistem Tuhan.
            Saya percaya bahwa Tuhan itu Esa yang memiliki hukum universal yang nilainya sama. Makna atau hakikat yang ditemukan tiap manusia memiliki kemungkinan berbeda sehingga dalam pendefinisiannya dibutuhkan generalisasi. Letak generalisasinya adalah sebuah fenomena, bukan dengan tafsirnya.
Itulah mengapa posmo tersesat pada hakikat karena mereka mengabaikan generalisasi. Rata-rata mereka tidak mampu menjawab pertanyaan, selanjutnya apa?
            Lalu, apa yang harus dilakukan? Apakah kita menunggu Tuhan turun ke bumi? Hei, omong kosong apalagi itu! Tidakkah kita ingat kisah Musa yang ingin melihat Tuhan, tetapi Ia pingsan dan gunung meledak di depannya? Bukankah Tuhan sudah menunjuk manusia sebagai pemimpin di bumi? Tuhan terlalu suci untuk turun ke bumi yang diselimuti kebusukan. Cukuplah wakil-Nya yang seorang manusia yang memperbaikinya agar kita tidak terlalu sering diprotes oleh alam karena kepemimpinan kita.
            Kompleksitas negara ini sudah dalam taraf akut. Dan sekali lagi kita hanya duduk, menonton serta berharap. Dominan itu yang kita lakukan dan masih mengharapkan perubahan. Pesimisme membuat kita tertunduk dan diam. Perubahan tidak diawali dengan berdiam diri. Itulah hukum universal Tuhan.

                                                                                                       Semarang, 9 Mei 2014