Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Jul 28, 2019





Banyak pertanyaan yang hadir tentang alasanku lebih suka mojok di bawah pohon kersen. Sesekali kutimpali, “ngancani penunggu kersen.” Beberapa kali kujawab, “mendengarkan mahasiswa sedang ghibah.” Hingga kemudian ada yang mengatakan, “Di sini enak ya. Adem dan semilir pantesan sampean suka di sini.” Itu jawaban yang mendekati benar meski tak seluruhnya benar.

Mojok di bawah pohon kersen sebenarnya rutinitas baru beberapa bulan belakangan. Di sana Saya banyak mendengar suara lirih dan berbagai obrolan tanpa sekat. Ini yang paling kusuka, sayup-sayup terdengar suara musik yan terbawa angin.

Perihal musik, ada yang sempat menanyakan “apakah musik haram?” Saya sendiri tidak tahu hukum pastinya seperti apa karena sejak zaman dahulu telah terjadi polemik dan perdebatan antar ulama. Seingatku, mungkin perdebatan musik sudah dimulai ketika Nabi Syits melihat musik dipergunakan iblis dan setan untuk menyesatkan manusia.

Terlepas dari perdebatan itu, ada beberapa manusia yang justru fokus ketika ada musik. Beberapa lainnya akan terganggu dengan hadirnya musik. Saya sendiri termasuk golongan terakhir. Saya termasuk orang yang tidak bisa fokus belajar dan membaca sambil mendengarkan musik. Untuk kegiatan yang lain mungkin bisa, tapi pada momen-momen yang membutuhkan konsentrasi penuh saya tak bisa. Ada pendapat menarik dari Imam Ghazali, “siapa pun yang mengatakan bahwa semua musik dilarang, biarkan dia juga mengklaim bahwa nyanyian burung dilarang.” Maka daripada itu, saya tidak bisa melarang atau mutlak menyetujui.

Antara percaya atau tidak, acap kali bertemu dengan seseorang yang baru kukenal dan memiliki potensi suatu hubungan yang akrab dan intens, akan ada alunan musik atau melodi yang terdengar di telingaku. Dulu saya mengira musik yang terdengar adalah alunan yang menggambarkan kepribadian seseorang yang baru saja kutemui. Nyatanya bukan. Itu adalah alunan hubunganku dengan orang atau kawan baruku.

Saya masih ingat ketika kecil, Daddy membelikanku sebuah keyboard untukku bermain. Saya memainkan Frere Jacques setiap waktu dengan keyboard itu.

Semakin dewasa alunan musik kian lirih dan samar. Pada orang-orang tertentu saya mengenal musik yang mengalun, tetapi adakalanya terasa asing dan baru. Sebagai contoh, ketika pertama kali bertemu dengan seseorang ada musik yang terasa asing dan taksa. Itu bukan musik klasik yang pernah kukenal. Bertahun-tahun kemudian Hans Zimmer memperdengarkan musik yang menjadi soundtrack sebuah film. Ada perbedaan nada pada tengah dan akhir musik. Saya dibuatnya linglung hingga lupa arah pulang. Saya memikirkan musik itu berhari-hari.

Sejak itu pula saya benar-benar mengerti bahwa musik telah berkeliling dunia dan waktu. Ia menunggu seseorang untuk merumahkannya.

Dari berbagai musik sebenarnya saya menghindari orang-orang yang ketika bertemu membawa musik yang menurutku elusif, misalnya seperti musik-musik Choppin, Vivaldi, atau Rachmaninoff. Ini akan menjadi hubungan yang rumit, sulit dipahami, pelik, sekaligus intens.

Jul 18, 2019




Apa jadinya seorang pemalas seperti diriku diharuskan menulis sesuatu yang bersifat ilmiah? Ini bukan berarti saya tak pernah berpikir ilmiah, sebaliknya malah sering. Hanya saja tulisan ilmiah seperti bukan gayaku. Padahal dalam setahun, saya diwajibkan menulis minimal 2 karya ilmiah. Selama seumur hidup!

Sebenarnya ide dan isu masalah untuk diangkat dalam suatu karya ilmiah itu banyak. Problemnya, menuangkan dalam bentuk karya ilmiah itu benar-benar sulit. Sulit di sini bermula dari konflik batin diriku sendiri. Saya kembali menjadi purba dan memahat batu-batu. Seseorang yang terbiasa menulis esai atau prosa yang luwes dan santai lantas menulis jurnal atau karya ilmiah rasanya seperti ingin berak.  Tulisan ilmiah memiliki aturan yang rigid dan ketat. Tanpa ampun.

Sebentar. Esai pun berkembang ke ranah ilmiah pula. Makanya saya tertawa ketika seseorang yang terbiasa menulis esai pop lantas menuangkannya pada esai akademik menjadi penuh coretan. Dunia akademis memiliki garis tegas dengan dunia awam. Jurang pemisah inilah yang kemudian menjadi kritik bagi orang awam terhadap dunia akademis yang dianggap sebagai menara gadis gading.

***
Kini, saya mematung di depan laptop sambil berpikir. Selama hidup, baru dua karya ilmiah resmi yang kuhasilkan. Esai-esai yang pernah kutulis termasuk kategori ilmiah atau bukan, saya tak begitu peduli. Berdasarkan materi kepenulisan yang pernah kuikuti serta kupraktikkan dalam dua karya ilmiah, keindahan tulisan ilmiah dilihat dari ketundukan pada kaidah penulisan ilmiah. Entah itu dari aspek tata tulisan maupun gaya selingkung. Hal tersebut menunjukkan adanya kedisiplinan, kerapian, serta apresiasi terhadap bahasa. Selain itu, tiap karya ilmiah terdapat struktur aktivitas ilmiah yang dilandaskan pada elemen substantif serta metode.

Mumet, kan? Sama.

Saya lebih suka menulis berita dibandingkan karya ilmiah. Walaupun keduanya memiliki karakter yang objektif, berita memiliki nuansa bahasa yang lebih sederhana dan luwes. Pada banyak kesempatan, saya seperti menemukan keterbalikan. Gaya bahasa berita kulihat dalam skripsi, tesis, maupun jurnal ilmiah. Sedangkan, gaya bahasa karya ilmiah kutemukan dalam berita. Terutama berita-berita pada jurnalis pemula (mungkin dia habis lulus sarjana, lantas menjadi wartawan).

Tulisanku selesai. Responnya ada yang bilang bagus, mudah dipahami, cukup jelas, seperti karya ilmiah pada umumnya. Hanya, satu orang yang tidak paham atau sulit paham. Kubaca ulang tulisanku. Sekali lagi. Berkali-kali. Tidak ada masalah. Lantas, apanya yang salah?

Ternyata, korespondenku memiliki variabel yang berbeda. Dia orang non hukum. Well, hukum merupakan ilmu yang eksklusif dan bersifat sui generis. Bahkan dalam bahasa, hukum memiliki struktur bahasa hukum Indonesia yang khas. Bahasa hukum Indonesia memiliki karakteristik jelas makna, lugas, dan resmi. Komposisi gaya bahasa hukum Indonesia begitu khusus. Ini dilema.

Setiap akademisi pasti ingin tulisannya dapat dibaca dan dipahami oleh setiap orang. Pada sisi lain, karya ilmiah merupakan cerminan komunitas wacana keilmuan tertentu. Penulisnya pun perlu memahami bahwa karya ilmiah memiliki sosioretorik tersendiri. Intinya, orang di luar komunitas keilmuan perlu menyesuaikan istilah-istilah dan struktur yang ada sehingga penulis tak perlu lagi memberitahukan perbedaan terdakwa dan tersangka, atau coastal state dengan archipelagic state, atau channel dan strait. Penulis menganggap pembaca telah tahu istilah-istilah tersebut, kecuali hal tersebut penting untuk ditulis kembali atau apabila ingin berbasa-basi dan memenuhi persyaratan minimal halaman. Hehehe.

Proses selanjutnya adalah mengalihkan bahasa ke dalam bahasa lain. Saya kurang pede dalam hal ini. Saya mencoba mencari bantuan. Sayangnya, dia menolak secara halus dan satunya foto profilnya chat menghilang.

Saya hanya mengelus dada membayangkan menjalani hal demikian setahun dua kali selama seumur hidup. Wes pie maneh...

Jul 7, 2019



Semasa kanak, aku kerap dibuat bingung ketika menulis suatu surat yang mesti mencantumkan alamat. Lazim dalam contoh-contoh buku sekolah, alamat surat memuat nama jalan. Rumahku yang berada di tepi jalan justru tak memiliki nama jalan. Cukup kita tulis nama, rt/rw, nama desa dan keluarahan, kecamatan, kabupaten, dan tak lupa kode pos. Begitu pun bila ada pos datang, pada alamat tidak tertera nama jalan.

Bolehlah bila dikatakan bahwa rumahku berada di desa. Suatu desa yang berada tepat di jantung kecamatan sehingga lumayan padat penduduk. Hal tersebut membuatku menarik suatu kesimpulan bahwa pekerjaan tukang pos tidak hanya mengantarkan barang atau surat pada alamat yang dituju, melainkan juga mengingat nama-nama manusia pada suatu daerah. “Pasti pak pos punya ingatan yang super kuat,” batinku kala itu.

Pendingin dalam batok kepalaku membuat kenangan itu utuh membeku. Ketika berkenalan dengan lagu U2 Where the Street Have No Name, setidaknya aku tahu bahwa ada juga jalan-jalan di negara lain yang tak memiliki nama. Konon, Bono menulis lagu ini setelah mengunjungi Ethiopia pada masa perang saudara. Ia melihat jalan-jalan di negara tersebut tak memiliki nama, hanya angka. Tetapi, ada yang menyebutkan lagu ini mengisahkan jalan-jalan di Irlandia. Tiap jalan merepresentasikan orang yang menempati: agama, status, dan kepercayaan.

Kuelus-elus dada membayangkan Bono lari dan sembunyi. Aku bersyukur jalan rumahku yang tak bernama, tak pernah sekalipun membuatku berlari alih-alih sembunyi.

Hal berbeda yang secara dramatis dialami Choi Byung-Kwan. Ia mengabadikan sudut-sudut kawasan Korea’s DMZ (Demilitarized Zone) melalui foto. DMZ merupakan kawasan garis terdepan pertempuran perang Korea. Kini, menjadi wilayah yang steril dari aktivitas manusia, bahkan militer. Kawasan sepanjang 249,4 Km itu menjadi lahan tak bertuan. Tidak ada lagi jalan. Hanya sisa-sisa perang, zona ranjau, dan helm-helm tentara yang pecah dan berlubang.
***

Pada dasarnya perang melibatkan dua atau lebih pihak yang merasa memiliki posisi sama atau seimbang. Ambil contoh Argentina. Bukan Argentina yang kalian kenal sekarang dengan Messi-nya, melainkan Argentinan yang dulu. Argentina yang pede melawan Inggris dalam perang Malvinas. Oleh sebab terlalu pede karena perekonomian sedang berkembang pesat seperti Indonesia saat ini, Argentina dengan berani meladeni Inggris untuk memperebutkan kepulauan Falkland.

Akhirnya, Argentina kalah. Menurutku, itu awal mula kesialan Argentina. Selanjutnya, Argentina juga lengah dalam menghadapi middle-income countries trap. Seperti yang kita ketahui, Argentina mengalami krisis dan para ekonom menyebut fenomena tersebut sebagai “The Argentina Paradox”. Tahun 2002 The Economist menulis laporan panjang dalam “Argentina’s Collapse: A Decline Without Parallel” yang mendeskripsikan bagaimana Argentina yang menjadi bintang Amerika Latin lantas seperti pesakitan lepra. Digempur oleh Inggris, ditentang masyarakat sendiri. Kurang apes bagaimana?

Perang, bagaimanapun, selalu mendatangkan penentangan. Lihatlah kata mutiara orang-orang besar perihal perang. Sangat banyak hingga bikin suntuk. Hancur di luar, babak belur dari dalam. Respon terhadap perang memang bisa beragam.

Cicero menyebut pada masa perang, hukum diam saja (silent enim leges inter arma). Karen Armstrong terdengar membenarkan perang ketika ia mengatakan bahwa tidak ada perubahan sosial dan politik radikal yang pernah dicapai dalam sejarah umat manusia, tanpa pertumpahan darah. Bahkan pada lain kesempatan dia menyebut tiap agama memiliki sejarah kekerasan.

Berharap dunia tanpa perang mungkin terdengar naif. Ada momen ketika perang tak terhindari. Ini bukan berarti melanggar hukum. Bahkan para Nabi dan Rasul pun pernah melakukan perang ketika ada perintah dari Tuhan, misal Daud dengan perang Sharayim saat melawan Jalut maupun Muhammad dengan perang Badr. Pada titik ini aku seperti mengalami dejavu ketika membaca jilid kedua The Lord of the Ring: Dua Menara. Pada buku itu, Tolkien melalui Faramir menulis kurang lebih begini,

“Perang memang harus dilakukan, untuk membela diri melawan perusak yang mengganyang segalanya, .... Aku hanya mencintai apa yang mereka pertahankan.”

Ada fase perang itu tak perlu dilakukan, seperti Eksodus nabi Musa, era awal mula Islam ketika di Mekkah, atau Isa. Menurutku, hal ini melihat kondisi dari kaum para Nabi dan Rasul. Kaum Israel era Nabi Musa tak terlatih berperang karena lama menjadi budak. Kaum Nabi Isa belum begitu kuat dan mampu dalam berperang, akan tetapi pada nubuat akhir zaman pada akhirnya Nabi Isa pun akan ikut berperang bahkan membunuh Dajjal.

***

Pada jalan atau kawasan yang tak diketahui lagi namanya, Choi menemukan sebuah helm baja tentara yang berkarat, pecah, dan berlubang karena terjangan peluru. Dari sela-sela pecahan helm itu tumbuh bunga liar berwarna kuning yang cantik. Suatu kontras yang menarik sisi tragis dan optimis sekaligus. Ia mengabadikan objek itu dan menamai fotonya “May the Flowers of Peace Bloom”.


Di tempatku, jalan tak seperti Bono atau Choi temui. Jalan adalah ruang besar tanpa nama. Semak belukar masih sering kujumpa di sana. Namun, pak pos tak pernah salah mengantar karena ia tahu alamat yang dituju dan mengingat nama penghuninya.

Di kota besar dan era gawai canggih yang kini kutinggali, lumrah menemukan manusia memegang gawai yang dilengkapi GPS. Alamat rumahnya pun terbilang lengkap (nama, nomer rumah, gang, jalan, kecamatan, kodepos). Sayangnya, aku justru disibukkan untuk menjawab panggilan telepon dari kurir yang bertanya, “mas, posisi rumahnya di mana?”

Jul 5, 2019

Suatu ketika si Anis mengatakan bahwa Kata Pengantar dalam buku himpunan puisi yang kuterjemahkan dapat membuat seorang wanita baper. Saya sendiri tidak tahu bagian mana yang membuat baper. Setelah kubaca berulang kali, mungkin bagian awal buku. Kira-kira beginilah sepenggal Kata Pengantar buku himpunan puisi yang kuterjemahkan, dicetak secara terbatas untuk seserahan pernikahan:

KATA PENGANTAR


“I am the poet of the Body and I am the poet of the Soul.” – Walt Whitman

Engkau istimewa. Bukan karena kecantikan, kecerdasan, atau berbagai alasan lain. Melainkan karena engkau telah bersedia memilihku untuk sisa hidupmu, semoga. Maka daripada itulah, sehimpun puisi terjemahan ini kupersembahkan untukmu.
Dari begitu banyak penyair hingga akhirnya saya memilih Walt Whitman sebagai pembuka buku ini. Barangkali di Indonesia namanya tidak begitu populer karena membaca karya Whitman bagai menunggang kuda liar yang tidak patuh. Begitu banyak detail dan pengulangan untuk menciptakan kualitas mantra yang memikat dan memukau. Seringkali, Whitman memulai beberapa baris berturut-turut dengan kata atau frasa yang sama (Anaphora). Ia memaksa kita untuk menghirup kata-kata tanpa jeda napas.
Puisi Whitman mencerminkan vitalitas dan siklus kehidupan individu. Karya Whitman banyak suara-suara individu yang unik, namun setara. Ada interaksi interpersonal dan cara bagi individu untuk mengintegrasikan keyakinan mereka ke dalam kehidupan sehari-hari. Barangkali suara-suara individu itulah yang pernah atau akan menghiasi kehidupan sehingga kita dapat mengambil hikmahnya.
Ada beberapa hal yang membuatku memilih judul Song of Myself dalam kumpulan puisi ini. Pada dasarnya Song of Myself merupakan puisi yang terdapat dalam Leaves of Grass karya Walt Whitman yang mewakili inti dari visi puitis Whitman sebagai jurnalis, esais, sukarelawan perang saudara, dan juga seorang manusia. J.M. Coetzee dalam sebuah artikel berjudul Love and Walt Whitman menulis bahwa Whitman memberi tubuh makna dalam suatu konsepsi demokrasi: kerekatan yang menjadi landasan masyarakat demokratis. Kerekatan yang juga dimaknai sebagai keterikatan, persahabatan, persaudaraan nasional yang Whitman lihat dalam diri prajurit-prajurit muda yang berperang. Sebuah rasa cinta tanah air kala melihat negara dilanda perang saudara.

Jul 4, 2019





Lebih tersiksa menunggu? Atau membuat orang lain menunggu?

Bagi sebagian orang menunggu identik dengan kejumudan yang membawa kejenuhan. Bagiku, selama ada rokok dan kopi hal tersebut tak berlaku. Bahkan di bawah pohon kersen sambil menunggu jam pulang, saya masih dapat menikmatinya. Perihal menunggu ini, rasanya aneh. Tiba-tiba saya ingat Melos, bahkan sudah lupa sejak lama. Natsume Soseki yang menarik kembali Osamu Dazai pada ingatanku tentang Melos.

Run, Melos! Sebagai salah satu cerpen Dazai begitu membekas. Melos yang akan dihukum mati Raja Dionysius meminta penangguhan tiga hari karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Sebagai gantinya sahabat Melos, Selinuntius, menjadi jaminan selama dia menyelesaikan urusannya. Bermodal rasa percaya dan kesetiaan sebagai sahabat masa kanak, Selinuntius menerimanya dengan enteng walau dirinya tahu akan dieksekusi jika Melos tak datang.

Di sepanjang cerita, Melos terus berlari dengan pergulatan batin dalam dirinya. Apakah harus berhenti atau terus lari memenuhi janji. Tentunya tak mudah karena sepanjang perjalanan ada saja halangan dan godaan.

Bagi seseorang seperti diriku yang hanya memiliki kemampuan untuk percaya pada orang lain, tentu rapuh dan mudah hancur. Makanya bila diriku menjadi Selinuntius, barangkali akan menunggu Melos sambil ngopi dan ngudud mengamati orang seliweran. Sedangkan, Melos bersusah payah memenuhi janjinya dengan berbagai halangan: cuaca, begal, pergulatan batin, dan kondisi fisiknya sendiri.
Realitasnya, banyak orang tak seperti Melos. Dominan orang tidak merasa bila ditunggu. Inilah mentalitas ala pejabat yang merasa dirinya penting. Oleh sebab itulah, yang membuatku mengamini ucapan Soseki, “semakin manusia diamati, semakin dipaksa untuk menyimpulkan bahwa mereka egois.”

Pada dasarnya Run, Melos! berusaha untuk membantah bahwa manusia hidup untuk menyelamatkan dirinya sendiri, hal itu disadari bila akan dihadapkan pada kematian. Sayangnya, karya ini berbeda dengan karya Dazai lainnya yang lebih kelam seperti No Longer Human.

Dazai memang dikenal sebagai maniak bunuh diri. Berulang kali ia mencoba bunuh diri, apesnya sering gagal. Tidak sendirian, dalam riwayat menyebutkan dia pernah melakukan upaya bunuh diri berdua. Upaya itu mengalami kegagalan karena pasangannya mati, dan dirinya masih hidup. Kubayangkan sulit juga menemukan seseorang untuk melakukan bunuh diri bersama. Barangkali itu ambisi dan kebahagiaannya: bunuh diri bersama.

Bukankah terkadang manusia terluka bahkan oleh sebab kebahagiaan? Dazai menyadari konsep tersebut. Daripada terluka oleh sebab kebahagiaan yang baru dia rasakan bersama pacar barunya, lebih baik bunuh diri bersama. Mumpung ada yang bersedia. Upaya terakhir itu sukses. Dazai dan kekasih barunya ditemukan tenggelam bersama. Novel Goodbye yang dimuat bersambung menjadi tak rampung.

Kisah-kisah hidup memilukan Dazai itu terus membayangiku saat membaca Run, Melos!
Melos berlari bukan sekadar menyelamatkan nyawa seorang manusia. Ia berlari karena sesuatu yang lebih besar dan tak terhingga, sesuatu yang lebih menyeramkan dari kematian. Ia berlari karena kesetiaan pada ikrar, kepercayaan temannya. “Karena janji itu melebihi nyawaku,” tegas Melos.

Hatiku berdegup. Menunggu akhir kisah Melos sembari membatin, sesuatu yang berharga dan diinginkan oleh semua orang selalu hilang tepat saat baru saja didapatkan. Saat itu saya membayangkan, apa yang terjadi jika Melos memenuhi janjinya, sedangkan sang raja menolaknya?

Mungkin itulah yang akan menjadi masalahku. saya berusaha menepati janji, tapi ada hal atau orang yang membuat janji itu tak terpenuhi.

Jul 2, 2019




Beberapa pekan belakangan ini sambil tiduran berselimut kunikmati lantunan dua lagu terbaru dari Keane dan Imagine Dragons. Keane hadir dengan lagu “The Way I Feel” yang familiar di telinga meski tak sebagus “Somewhere Only We Know” atau “Is It Any Wonder”. Liriknya terdengar lebih bijak, tetapi tak sepuitik dulu. Barangkali karena para personil Keane telah menua sehingga memberikan pengalaman rasa yang berbeda.

Lalu dari album “Origins” milik Imagine Dragons, kupilih “Bad Liar” sebagai teman kala bermalas dan ngolet-ngolet di kasur. Lagu ini kutemukan pertama kali saat menunggu Bus di terminal Bungurasih dan berputar terus dari Surabaya sampai Jogja. Saya langsung jatuh cinta dengan lagu ini walau belum menangkap secara keseluruhan lirik. Maklum, Listening ku buruk. Vokal Reynold begitu mendalami tiap kata dan nada pada lagu ini. Lagu ini seperti membawa rasa sakit, perpisahan serta banyak emosi. Penasaran, kucari liriknya dan menelusuri tentang lagu ini. “Brengket,” begitulah respon pertama saya saat mengetahui fakta dari lagu ini.

Apa yang kau lakukan saat hubungan rumah tanggamu menjadi hambar? Begitu banyak kebohongan yang terjadi untuk menghindari luka hati, tetapi yang terjadi sebaliknya, kebohongan-kebohongan itu merusak dari dalam dan malah memberikan rasa sakit. Lantas, kau ingin menuangkannya menjadi sebuah lagu bersama istrimu dan menjadikannya backing vocal pada lagu itu. Kemudian bercerai. Saya tak mampu membayangkan betapa banyak emosi dalam penggarapannya. 

Kuputar lagu itu terus menerus. Di dalam selimut kuputuskan untuk menghentikannya. Selimut hijau bulu itu terasa wangi dan lembut karena habis kucuci. Salah satu barang yang melekat pada tubuh ayah ketika meninggal, rencanya akan dibuang atau dipendam dan pada akhirnya kuselamatkan. Sambil menggulung tubuh di dalam selimut, saya memikirkan kata-kata Natsume Soseki dalam Kokoro, kesepian adalah harga yang mesti dibayar karena lahir pada zaman modern yang begitu penuh kebebasan, kemandirian, dan egois. Begitu fantastis dan menggiurkan. Siapa saat ini yang tak memuja ketiga hal itu? Oleh sebab itulah, pada I am a Cat, Natsume dengan mudah mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang, tanpa alasan sama sekali, menciptakan penderitaan mereka sendiri yang sebenarnya tak perlu.

Saya masih ingat muda-mudi yang kuamati dari jendela bus sambil memutar Bad Liar. Mereka berpelukan erat sambil cengengesan di atas motor yang berhenti karena traffict light. Mungkin mereka sedang membayangkan menjadi Dilan dan Milea. Model kucing-kucingan seperti apa mereka? Apakah saling bertukar kabar melalui telepon? Tak mungkin. Atau berpamitan pada orang tua karena ada tambahan kursus lantas membolos? Wes mbuh lah.

Kisah cinta tak selalu lurus dan mulus. Bahkan kisah yang demikian justru melenakan seperti jalan tol yang banyak memakan korban itu. Entah ‘kecelakaan’ macam apa saya tak tahu pasti. Bisa-bisa digantung sama pasangan sendiri, seperti berita-berita di koran atau media massa.

Melihat muda-mudi itu jadi ingat obrolan kawan-kawan yang sinis, tapi lumayan realistis.
Kawanku, dengan nada sinis pernah bercerita begini: “Mereka tak tahu rasanya ditolak calon mertua hanya karena beda parpol atau aliran agama. Mereka baru tahu kenikmatan yang tiga menit itu dibayar dengan kesengsaraan seumur hidup.”

Kawanku yang satunya menimpali, “Aku penasaran gajine sepiro. Gaji UMR 1,7 jt dengan biaya kawin 100 jt. Hutang bank? Jaminan bank ora iso modal paru-paru atau ginjel. Apalagi iki bukan hal yang produktif, malah kena hukum riba. Bisa sih dengan nabung sendiri, tapi coba matematikane digawe. 1,7 jt dikurangi uang makan dan kos. Keburu m****r dadi pocong!”

Kuingat-ingat muda-mudi itu karena peringatan dari Natsume dalam Kokoro, “Tetapi ingatlah, ada kesalahan dalam mencintai. Dan ingat pula bahwa dalam mencintai ada sesuatu yang suci.” Sesuatu yang suci itu tak banal dan dangkal seperti muda-mudi di atas motor itu. Bukan sembunyi-sembunyi di bawah restu orang tua, atau sebaliknya bermesraan karena merasa direstui. Sesuatu yang suci akan membuat seseorang menjaga amanah dan menjauhkan pasangan dari dosa. Sesuatu yang suci sikapnya akan adil, adil pada waktu, adil terhadap aturan dan larangan, serta adil terhadap diri sendiri serta orang lain. Pada konsep keadilan, seseorang yang meninggalkan tanggungjawab atau kewajiban demi kepentingan pribadi tak bisa disebut adil. Misal, kamu meninggalkan tugas atau tanggungjawab yang perlu diselesaikan demi menemani pacarmu berbelanja atau janji nonton, dapat dikatakan itu tidak adil. Sesuatu yang suci juga mengandung kebenaran dan kejujuran, bukan kebohongan atau penipuan.

Saya masih percaya bila niat dan cara atau prosesnya salah, hasilnya pun salah.

Saya melingkar di dalam selimut yang aroma pewanginya mulai menghilang. Mataku mulai berat dan tercium bau khas ayah. Sayup-sayup tampak ayah sedang sholat.

Mengapa aku menunggu begitu lama untuk mati?-Natsume Soseki