Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Apr 18, 2018





Apa yang akan kamu lakukan ketika ada yang berkata “Call me Ishmael” saat membuka halaman pertama? Tentu saja hal ini tak lumrah pada zaman dulu, seolah ada orang asing yang mengajakmu berbicara dan kamu akan terus diajak dalam petualangannya dalam buku Moby Dick. Atau saat Kafka mendobrak kesadaran dan mengagetkan kita dengan kalimat pembuka, As Gregor Samsa awoke one morning from uneasy dreams he found himself transformed in his bed into a gigantic insect.”
Pada suatu karya kalimat pembuka menjadi sangat sakral karena akan memberikan kesan dan kehendak membaca kalimat berikutnya. Akan tetapi, saya punya pendapat lain saat Leila S. Chudori membuka novel Pulang: “Dia muncul seperti selarik puisi yang belum selesai.” Selain memberi nuansa misterius, kalimat tersebut terkesan puitis. Leila memberikan diksi puitis untuk pembacanya. Pembuka tersebut memenuhi keutamaan unsur diksi menurut Aristoteles: jelas dan tidak biasa. Ini tentu tidak mudah dan tidak semua penulis mampu membuatnya. Saya kerap heran bagaimana seseorang mampu menulis diksi puitis.
Konon, kalimat puitis identik dengan puisi. Well, sejak SD sampai sekarang puisi merupakan hal yang sulit kupahami sehingga saya hanya mampu menikmati larik-larik puitis karya penyair, tanpa mampu membuatnya. Mungkin, dulu bagiku, puisi hanya sekedar untaian kata untuk merayu wanita.
Dengarkanlah puisi Neruda berjudul I Like for You to be Still:
I like for you to be still
it is as though you are absent
And you hear me from far away
And my voice does not touch you
it seems as though your eyes had flown away
And it seems that a kiss had sealed your mouth

Atau Are You The New Person, Drawn Toward Me? Milik Walt Whitman:
Are you the new person drawn toward me?
To begin with, take warning—I am surely far different from what you suppose;
Do you suppose you will find in me your ideal?
Do you think it so easy to have me become your lover?
Do you think the friendship of me would be unalloy’d satisfaction?
Do you think I am trusty and faithful?
Do you see no further than this façade—this smooth and tolerant manner of me?
Do you suppose yourself advancing on real ground toward a real heroic man?
Have you no thought, O dreamer, that it may be all maya, illusion?

Sebenarnya masih banyak lagi soneta-soneta cinta Neruda, Whitman, atau Gibran. Maklum, ini pemahaman dangkal seseorang yang tak mendalami puisi. Begitulah saya melihat puisi yang selalu puitis, sehingga saya menulis puisi saat jatuh cinta. Dan itu bermula dari nasihat seorang kawan,
“Koen, yen pengen dapat pacar: nulis puisi! Kirimi dia puisi pas tengah malam.”  
Saya yang tak pernah tuntas menulis puisi sejak kecil kemudian mendadak latihan membuat puisi. Meski nasihatnya terasa menyimpang dan terasa ganjil, tetap saja saya menurutinya. Layaknya kalimat pembuka novel Pulang, puisi-puisiku jarang selesai dan jikalau selesai kemudian menjadi puisi gelap. Walaupun begitu, ternyata benar, resep itu manjur.
Lambat laun saya pun menyadari bahwa tak semua puisi bernada puitis untuk lawan jenis. Kita dapat melihat karya-karya Chairil atau Wiji Thukul yang lugas dan tajam. Mungkin juga dengan... hmmm... gimana ya? Begini, apa yang terlintas dalam benakmu saat mendengar kalimat “starving hysterical naked”? Terkesan aneh dan membuat kita ingin tertawa, kan? Puisi Howl oleh Ginsberg mewakili karya-karya Beat Generation.
Sepulang dari Jogja yang mampir dahulu ke Solo, selepas pengalaman-pengalaman emosional dan spritual, kulihat puisi-puisiku yang lampau. Sesekali tersenyum kecil dan geleng-geleng, dan tentunya banyak bertanya: apa maksud puisiku ini? Atau mengapa aku menggunakan kata ini? Jejak rasa dalam puisiku itu seperti lindap, adakalanya saya seperti terputus dengan jejakku sendiri. 
Dahulu saya tak paham maksud dari kata-kata Octavio Paz, “Like a poem, it is not linear, it meanders and twists back on itself, shows us what we do not see with our eyes, but in the eyes of our spirit.” Benar, apa yang diperlihatkan puisi tak melalui mata lahiriah, melainkan penyelaman relung –relung jiwa manusia. Dan saya telah kehilangan makna dari puisi yang belum terselesaikan. Apakah rasa dan ingatan saat itu sudah menguap sehingga tak mampu lagi kutelusuri? 
Entah siapa yang bilang, saya lupa, tetapi masih teringat betul kata-kata tersebut yang mengatakan, “Jika kamu tidak dapat menulis puisi, atau setidaknya tak mampu menikmatinya, berhati-hatilah karena itu menandakan hatimu keras.” Dan kusadari ternyata tugas penyair itu sulit karena menyampaikan perwakilan rasa dari jiwa manusia yang melampaui bahasa.
Pada momen-momen tersebut saya bersyukur ternyata masih terdapat lilin kecil yang menyala dan mungkin akan terus kujaga: menulis puisi. Yap, puisi yang tak lagi melulu masalah cinta. Meski begitu tetap saja saya malu untuk memperlihatkannya, kecuali orang-orang terdekat atau kuanggap dekat. Sementara ini, cukuplah kutulis dan simpan sendiri coretan-coretan mungil itu. Puisi-puisi gelap itu memberiku ketakutan jika pembacanya salah menafsirkan atau salah menangkap maknanya sehingga memunculkan kecurigaan, permusuhan, atau pertikaian. Tak dipungkiri saya pun berharap kelak ada yang membacanya, akan tetapi saat saya sudah tidak di sana dan tak mengetahui jika ada yang membacanya.

Apr 14, 2018




            Bagaimana kita melihat suatu paradoks? Yup, paradoks yang menyelimutiku hari-hari ini. Kali ini saya akan mengawalinya dengan membahas salah satu karya Shakespeare, Macbeth. Meski bukan karya Shakespeare favoritku (Hamlet is my favourite), namun Macbeth mampu memberikan suatu gambaran mengenai paradoks. Karya tersebut terangkum dalam sebuah frasa terkenal, “fair is foul, foul is fair”. Sebuah frasa yang dikatakan penyihir ketiga yang terkesan bijaksana dan penengah. Karakter penyihir dalam Macbeth memiliki kepribadian yang berbeda. Seperti sebuah dialektika, penyihir pertam yang kerap bertanya dan gelisah; penyihir kedua yang reaktif dan pemberi jawaban; dan penyihir ketiga yang menjadi penengah dan terkesan bijaksana.
            Shakespeare dengan jeli membungkus niat dengan cantik. Cobalah lihat apa yang dikatakan Lady Macbeth saat diberitahu rahasia oleh Macbeth: “My hands are of your color; but I shame to wear a heart so white. Dan selanjutnya, jika anda membacanya, akan tahu karakternya.
            Paradoks yang sama akan anda temukan pada beberapa kisah lain. Ada seorang yang berniat mencuri dan mengatakan niatnya tersebut kepada seorang kawan. Apakah sang kawan mencegahnya? Tidak. Ia membiarkan dan kawannya pun mencuri dan membunuh pemilik rumah. Seminggu sebelum eksekusi, sang kawan mengunjungi si pencuri dan terjadi banyak dialog. Si kawan mengungkapkan penyesalan dan berjanji membantu keluarga si pencuri jika Ia mati. A heart look so white. Si pencuri bersikeras bahwa itu adalah niatnya sendiri dan ia mengatakan bahwa “Satu-satunya kesalahanku adalah aku menjalankan niat burukku.” Yang menarik dari kisah tersebut adalah bagaimana seorang kawan digambarkan layaknya super hero, dan si pencuri menjadi pesakitan. Adil itu busuk.

     Adapula kisah lain yang lebih terkenal dalam film Trainspotting. Yup... film Skotlandia terbaik sepanjang masa dan berdiri kokoh di puncak sebagai film terbaik yang mengisahkan kehidupan pemadat (Maaf Requiem for a Dream kutaruh nomor dua). Akan tetapi, saya tak akan fokus ke narkoba melainkan sisi lain dari film tersebut. Trainspotting mengisahkan beberapa manusia yang bersahabat sejak kecil yang memiliki kehidupan beragam. Lihatlah bagaimana si Renton memberikan heroin kepada Tommy, kemudian kecanduan heroin dan mati karena terkena HIV. Penyesalan kehilangan kawan belum terlalu terekspos saat itu. Kemudian T2 Trainspotting kehidupan para tokoh yang sudah menua dan konflik berpusat pada Begbie yang lari dari penjara karena tidak ingin menghabiskan hidupnya di penjara. Lantas apa yang dilakukan kawan-kawannya? Mereka menaruh si pembuat onar di bagasi mobil dan mengirimnya kembali ke penjara. Begbie marah dan mengutuk teman-temannya, sedangkan teman-temannya tak ingin kehilangan sahabat karibnya lagi. Busuk itu adil.
Fair is foul, foul is fair juga tersebar dalam kisah sehari-hari. Dan ada kisah yang menggelitik yang pernah mampir ke telingaku. Kisah pertama seorang pemuda-pemudi kasmaran yang berlibur menghabiskan waktu di wilayah Batu, Malang, dan terus berlanjut di kosan beberapa bulan kemudian. Si wanita hamil dan menuntut pertanggungjawaban, sedangkan si pria menolak dengan berbagai alasan. Dialog perdebatan tersebut masih kuingat jelas karena keduanya bertengkar dengan nada kencang sehingga tetangga rumah kontrakan mendengarnya.
“Kau tak bisa terus menyalahkanku! Kau sendiri menikmatinya! Kita suka sama suka!” teriak si pria.
“Dulu di Malang aku sudah merengek minta pulang. Kau tidak mencegah rencanamu dan malah melanjutkan perbuatanmu! Aku paham jika keluarga kita pasti akan malu. Jika sudah begini bagaimana?” si wanita tak kalah meraung disertai isak tangis.
Waktu memang tak bisa diulang kembali. Semenjak itu Si cantik berubah wajah pucat pasi karena aborsi. Si pria menggandeng wanita lain lagi. Fair is foul.
Kisah kedua sedikit lucu dan menggelitik. Kisah temanku sendiri yang curhat kala sore hari yang biasa saja. Ketika baru jadian saya berasumsi kawanku ini beruntung mendapatkan pacar yang cantik. Akan tetapi saat mendengarkan penuturan kawanku, mereka jadian dan putus karena kesangean pacarnya. Loh kok bisa? Mereka jadian saat si cewek sange dan kawanku tergoda. Akhirnya mereka kerap petting di berbagai tempat. Pada suatu ketika saat petting, ceweknya benar-benar gak kuat dan segera meminta untuk lebih.
“Kau masukkan gak?” tanyaku penasaran.
“Ya, enggaklah! Aku tolak. Aku masih bisa mikir masa depannya. Iya kalau jodoh, jika tidak? Kasihan dia dan suaminya,” ungkapnya pelan. Pada sisi ini saya salut pengendalian dirinya.
“Lha kenapa bisa putus?”
“Ya, karena aku menolak permintaannya itu. Seketika itu juga aku langsung ditendang, dimaki-maki kolot, puritan, pengecut, cemen. Wes macem-macem lah.”
Mendengarkan kisahnya sontak saya tertawa terbahak-bahak dan spontan saja bungkus rokok kena lempar mukaku. Meski begitu saya masih penasaran, “Eh, yang bawahnya gimana kayak artis bokep?”
“Dulu dia sering petting sama mantannya dan masturbasi pas njomblo.
“Terus?” Saya bertanya sambil mikir kok gak nyambung sih jawabannya.
“Yaaa item laaah!”
Kami pun tertawa sore itu. Setelah itu kawanku menikah dengan wanita dan sekarang sudah menjadi ayah. Nampaknya, dia baik-baik saja dan hidup normal. Semenjak putus, mantannya itu kerap mengunggah status di media sosial yang bernada keras, ketus, dan kontroversial. Beberapa pekan yang lalu saya dapat kabar bahwa dia telah menikah, tetapi status di media sosialnya masih tetap dengan gaya konsisten. Yah... Foul is Fair.
Paradoks Macbeth setidaknya memberikan pembelajaran mengenai niat dan tindakan. Adakalanya niat yang salah perlu tindakan pencegahan yang keras dan tegas. Dan niat yang baik perlu pengorbanan dan jalan berliku. Seorang ibu sekaligus pelacur tak ingin anak-anaknya merasakan pengalaman sakit yang sama dengan dirinya. Setidaknya, kakak yang baik akan mencegah tindakan dari niat bodoh adiknya. Seperti halnya pengetahuan yang diperoleh melalui proses tanpa pengalaman (apriori). Sedangkan, banyak orang ingin memeroleh pengetahun yang diperoleh dari pengalaman (posteriori). Jikalau itu adalah pengalaman yang buruk sehingga tak sedikit membuat orang jatuh ke dalam lubang keledai, cukuplah itu menjadi pelajaran dan tak perlu dilakukan. Sayangnya, kita kurang mendengarkan pengalama-pengalaman buruk itu dan kurang percaya terhadapnya.
            Dari berbagai kisah, saya lebih suka adegan ketika Sunan Bonang berdialog dengan Lokajaya. Apriori dan posteriori berkelindan pada dialog tersebut: niat dan tindakan Lokajaya seperti mencuci pakaian dengan air kencing; rumput yang tercerabut dengan kesia-siaan; dan pengalaman langkah-langkah Sunan Bonang dalam mengentaskan kemiskinan.


Apr 11, 2018





Aku kerap mengkerut saat Soe mengucapkan seseorang yang bernama Kehlil. Tak hanya ucapan, terkadang saya menemukan nama tersebut dalam tulisannya. Rasa penasaran pun mendera, lantas kubertanya

“Kehlil itu siapa Soe?”

“Itu lho mas Kehlil Gibran.”

Mampus aku... Tawaku tak terbendung. Dia malu, namun selanjutnya dia masih mengulangi hal yang sama.

Khalil atau barat mengejanya menjadi Kahlil. Lidah Jawa mungkin berubah menjadi Kholil, Sedangkan Soe menjadi Kehlil. Entah Soe dapat darimana cara tersebut. Ini asumsiku, dia pernah baca bukunya dan tertulis Kahlil Gibran dan kemudian dia mendapatkan pelajaran bahasa inggris, yang mana, a dibaca e. Saya tak sempat menanyakannya karena Ia hidup dengan kerumitan hidup yang tak seharusnya tak rumit-rumit banget.

Kenangan percakapan dengan Soe mengenai Kehlil dan Kahlil membawaku terfokus pada buku-buku karya Kahlil Gibran. Ada banyak buku karya Kahli Gibran berjejer dari berbagai penerbit. Hampir semuanya telah kubaca mulai dari Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Kematian Sebuah Bangsa, Airmata dan Senyuman, serta Yesus Anak Tuhan. Dari semua buku Kahlil, favoritku adalah Sayap-Sayap Patah.

Kahlil Gibran merupakan salah satu penulis yang malas saya bahas. Pernah suatu ketika ada yang bertanya, “Pernah baca Kahlil Gibran?” Lantas kujawab, “Tidak pernah.” Ada juga yang bertanya, “Mengapa tidak suka Kahlil Gibran?” atau “Mengapa tidak membaca Kahlil Gibran?” Aku hanya menjawab, “terlalu melankolis” atau “terlalu dramatikal.” Bahkan ada yang lebih jeli lagi, “Mengapa tulisanmu tak pernah menyinggung Kahlil Gibran?”

Kahlil Gibran, bagiku, identik dengan masa-masa memalukan saat sekolah dulu. Kutemukan dirinya terselip diantara pajangan koran-koran mesum yang tengah marak kala itu. Tentu saja hal ini aneh: pada sebuah kecamatan desa yang tak memiliki toko buku, kecuali toko buku tulis atau sekolah, terdapat sebuah buku mungil. Sampul buku tersebut bagian atasnya berwarna merah dengan tiga wajah, sedangkan sampul belakang berwarna kuning terang. Berharga murah dan di depannya tertulis nama pengarang serta judulnya: Sayap-Sayap Patah terbitan Pustaka Jaya.

Lihatlah bagian pembuka dari buku itu:
“Usiaku baru delapan belas tahun ketika cinta membuka mataku dengan sinar-sinar ajaibnya dan menyentuh jiwaku untuk pertama kalinya dengan jari-jemarinya yang membaca, dan Selma Karamy adalah wanita pertama yang membangkitkan jiwaku...”

Dulu saya hafal diluar kepala lanjutannya, sekarang sudah tidak. Maaf. Anak ingusan ini pun terkesiap. Wew... itu baru pembukaan, belum masuk bab pertama yang saat itu bagiku begitu puitis: Duka yang Bisu. Bab pertama akan engkau dapatkan kata-kata yang menohok
“Para tetanggaku, kalian tentu ingat masa remaja dengan segala kesenangannya, dan tentu menyesalkan berlalunya semua itu; namun aku mengenangnya sebagai seorang narapidana yang mengingat-ingat kembali terali besi serta belenggu-belenggu rumah tahanannya.”

Hingga larik kalimat, “Cinta datang dengan lidah dan air mata.” Si anak ingusan itu membatin untuk membacanya sekali duduk. Akhirnya, buku tersebut ditutup “... aku pun tak dapat bertahan lagi; aku menghambur ke atas makam Selma dan meratap.” Buku kututup dan berencana membawanya kemana pun serta mencari karya-karyanya yang lain.

Seperti bukuku yang sudah-sudah, buku tersebut dipinjam dan berpindah tangan selama berbulan-bulan tanpa sempat mampir ke rumahku. Setelah itu, banyak anak yang membeli buku-buku Kahlil karena harganya memang murah. Punya mereka masih terlihat baru, sedangkan milikku sudah lusuh dan penuh tekukkan. Mendadak muncul fenomena baru: lahirnya pujangga-pujangga dadakan. Mereka membuat kata-kata puitis di buku tulis, buku pelajaran, diary, bangku maupun meja tak luput dari sasaran vandalisme. Lambat laun kondisi tersebut menjemukan hingga taraf mual. Well, ada rasa terkhianati, “Kahlil, gombalanmu ternyata tidak hanya untukku, tetapi juga untuk yang lain.” Buku-bukunya pun kuberikan pada teman atau adik kelas yang membutuhkan. Semenjak itu, aku tak pernah membahas Kahlil hingga tulisan ini muncul.

Sampai pada kulihat berderet buku-bukunya lagi. Terbersit pemikiranku untuk membayar hutang pada seseorang dengan satu set buku-buku Kahlil. Ah, aku teringat dia menolak dibayar. Kuurungkan niatku. Aku meninggalkan rak buku tersebut dan melihat tumpukan buku yang lain jikalau ada yang menarik.

Saat mengetik tulisan ini aku sering tersenyum sendiri jika mengenangnya. Kenapa aku merasa terkhianati? Bukankah aku yang mengenalkan dia pada teman-temanku? Padahal aku mengenal konsep kemurnian cinta dari Kahlil. Namun, aku lebih suka istilah yang dipergunakan Octavio Paz, yakni “cinta yang sopan”. Kawanku lebih canggih lagi dia mengistilahkannya sebagai cinta sejati setelah melihat pasangan idamannya.

Ia berjuang mendapatkan cinta sejatinya. Setelah menikah dengan cinta sejatinya, kawanku ini malah ingin muntah dan hendak bercerai. Ia tak percaya lagi dengan cinta sejati. Saat mendengarkan kisahnya, aku seperti ingat dua bab awal The Art of Loving nya Erich Fromm yang banyak membahas cinta sebagai kemenangan manusia dari keterasingan dan kerinduan akan bersatu. Apalah dayaku, Ia adalah temanku. Ada syair Kahlil tentang sahabat, entah di dalam Sang Nabi atau syair-syair cinta saya lupa, kurang lebih isinya seperti ini
“Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mendapat imbangan. ...
Carilah ia untuk bersama: membunuh waktu!
Sebab dialah orang yang mengisi kekuranganmu. Bukannya mengisi keisenganmu.
Dan dalam kemanisan persahabatan, biarkanlah ada tawa ria kegirangan, berbagi duka dan kesenangan...”

Buku-buku Kahlil memang sangat cocok untuk manusia yang kasmaran atau patah hati. Khususnya, para kawula muda yang masih ingusan akan mudah terhipnotis Buku Kahlil akan penuh penanda seandainya kau beri sticky note/post it. Aku yakin itu. Bahasanya  puitis, bersayap, dan tak jarang paradoks memberikan  banyak ruang untuk perenungan.

Minggu-minggu ini memang terasa membosankan. Pekan yang serba menunggu. Toko buku salah satu cara untuk menghilangkan kejumudan. Sesekali mencium aroma buku yang beragam serta mengagumi pembaruan-pembaruan sampul buku. Jikalau ada yang menarik kumasukkan dalam tas yang disediakan toko buku itu. Setelah mengitari dan melihat, ternyata kusadari langkahku kembali pada rak si Kahlil. Kutengok sebentar dan kumasukkan judul buku yang terasa asing: Almustafa. Sampul biru dengan  gambar perahu di tengah laut memikatku. Dan perlu dicatat, aku belum pernah membaca karya Kahlil yang berjudul Almustafa, meski nama tersebut terasa familiar di telinga. Oh, seperti nama tetanggaku di desa, Pak Tofa. Hehehehe...

Aku tak ingin merusak kebahagiaanku dengan membaca sinopsis buku. Itu salah satu kebiasaan dalam membeli buku: harus ada kejutan. Yah, setidaknya si Kahlil tidak jauh-jauh membicarakan kasmaran, patah hati, atau kehidupan. Tak mungkin pula Ia membahas pramuka atau pers. Tema besar karyanya memang berkutat dalam hal cinta. Begitulah, cinta memang sesuatu yang mudah untuk dijual. Walau Octavio Paz melihat cinta sebagai sebuah penggelembungan waktu yang merentang dari menit ke abad, cinta tak memberikan jaminan melindungi kita dari risiko dan kemalangan eksistensi. Hmm seperti kemalangan si Kahlil. Well, jangan khawatir bila bukumu membicarakan cinta, Insya Allah tetap laku, karena “cinta berbicara perihal kebutuhan luhur dan riil dalam setiap manusia” begitulah kata Fromm.

Saat ini, dapat dikatakan aku telah memiliki konsep yang berbeda tentang cinta ala Kahlil jika dibandingkan ketika sekolah dulu. Aku membeli lagi buku si Kahlil bukan karena sedang kasmaran atau patah hati, melainkan lebih pada keisengan di tengah kemalasan. Dengan polos aku membatin, “mungkin ada hal baru dari buku Kahlil yang kubaca itu.”

Di kamar ku buka semua buku termasuk Almustafa. Aku tertegun karena buku tersebut adalah terjemahan dari The Prophet yang biasa diberikan judul “Sang Nabi” atau “Sang Utusan”. Oleh penerjemah judul tersebut tidak dipilih karena membimbing pembaca kepada pengertian yang sudah pasti, dan alasannya memilih Almustafa “agar kemungkinannya menjadi lebih lapang.” Pantas saja seperti familiar dengan nama tersebut. Yaweslah, setidaknya aku dapat menikmati kelembutan berbahasa si penerjemah: Sapardi Djoko Damono.

Well, begitulah aku menulis dengan malas dan membahas orang yang sebetulnya malas kubahas. Dan brengseknya, engkau pun membacanya.

Apr 7, 2018



Judul               : A Quiet Place
Durasi             : 90 menit
Sutradara       : John Krasinski
Naskah           : John Krasinski, Bryan Woods, dan Scott Beck
Pemain           : John Krasinski, Emily Blunt, Millicent Simmonds, Noah Jupe


Kakiku mendadak dingin. Aku berusaha bernapas dengan teratur. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar bioskop, jaket ku lepas untuk menutup kakiku yang mulai menggigil. Aku misuh dalam hati berharap film cepat kelar, meski mata fokus di layar.
            Semua itu kualami ketika menonton film A Quiet Place. Bermula dari tag instagram si Vain pada sebuah trailer film dengan tagline “If They Hear You, They Hunt You”. Tag line tersebut sebenarnya terasa seperti film horror lainnya, tetapi di akhir trailer menunjukkan klue lain “Silence is Survival” terasa wah...
            Silence salah satu kata pertama yang kupelajari: Keep Silent hehehe beda ya. Jika The Silence of the Lamb pasti kan sama. Setidaknya kata silence maupun silent akrab denganku, entah itu menjaga keheningan dalam kegelapan selama 4 hari atau tidak berbicara selama beberapa hari. Rasanya hening. Perasaannya tentu saja sangat jauh berbeda seperti hampir gila. Jadi, aku belum gila. Aku bisa buktikan dengan surat keterangan sehat kejiwaan lhooo...
Pengalaman dengan keheningan maupun tak bicara membuatku tertarik untuk menonton film ini. Jadi, kuputuskan untuk berangkat ke bioskop dengan memakai boxer karena stock celana pendek masih di laundry dan terjadilah ‘acara’ menggigil di dalam bioskop itu. Celana panjang? Oh, aku hanya memakai celana panjang saat acara-acara formal. Lagian akhir-akhir ini alergiku terhadap celana panjang kumatnya parah.
Secara garis besar film ini mengisahkan sebuah keluarga yang bertahan hidup dengan keheningan. Jangan bertanya dimana pemerintah, ini bukan film politik. Pemerintah mbuh ono, mbuh ora tidak mengganggu jalannya cerita. Monsternya selama film diputar tak dijelaskan datang dari mana. Mbuh ora ngerti monster itu dari mana lan ora penting omahe asli endi. Bukan dari hasil uji coba ilmiah karena tak ada kerusakan di muka bumi layaknya film The Road nya Cormac McCharty atau The Book of Eli, alih-alih Mad Max. Buktinya hutan masih hijau, hanya saja kotanya menjadi sunyi. Monsternya Ujug-ujug ono ngono wae.
Pada sepanjang film pikiran kita telah dibangunkan atmosfer keheningan yang menegangkan sekaligus menyebalkan. Tak ada jeda pemikiran secuil pun mengenai pemerintah atau asal monster. Kita disuguhi interaksi para pemain yang melakukan akting luar biasa: dengan gimik, isyarat, ketakutakan, kesakitan, dan kesunyian. Bagaimana kalian menjaga anakmu dari bahaya? Bagaimana orangtua melakukan sesuatu yang baik menurut mereka dan kita kerap sebal dibuatnya.
Nggegeg sak durunge katisen
A Quiet Place salah satu film yang mungkin tidak akan disukai Uda Jay karena selain keheningan tentu saja hentakan yang membuat jantung terlonjak. Suspense yang dibangun pun mampu memengaruhi kita, bahkan saat dirimu sendirian di kamar. Terlebih adegan ketika air ketuban Evelyn pecah, kita dibuat benar-benar tak mampu bergerak. Pahamkan jika air ketuban pecah peristiwa yang selanjutnya terjadi? No Woman, No Cry  begitulah. Padahal suara kecil pun akan disambangi si monster yang tak bernama itu (Nanti ada rule nya kok, tenang saja). Si monster seperti manusia yang sakit gigi lantas mendatangi pembuat kebisingan. Atau Squidward yang menghendaki dunia tanpa kebisingan SpongeBob dan Patrick Star. Napas? Lihat saja sendiri. Hehehe...
Ini film recomended. Meski bukan film yang cerdas, A Quiet Place dapat dikatakan berkualitas: minim dialog, aura horor dan suspensinya ketat banget. Terakhir kali saya menonton film dengan minim dialog adalah All Is Loss sekitar tahun 2013/2014. Film model ini biasanya menjual ketegangan dan butuh akting pemain yang optimal. Setidaknya, si aktor atau dalam film itu kudu ada teriakanlah masa dibayar mahal-mahal gak ngomong (Kecuali, film The Artist dan film jadul zaman bahula ya). Sayangnya, teriakan adalah cara bunuh diri dalam A Quiet Place. Cara mati yang menyeramkan sekaligus heroik.
A Quiet Place bukan horror spiritual semacam Ringu, The Others, atau The Six Sense, melainkan horror sci-fi (Maaf, Insidious bagiku horror yang tak terlalu menegangkan). Yaah, layaknya film Alien nya Ridley Scott. Nuansa ketegangan yang membuat saya perlu menahan napas mengingatkanku pada Jaws maupun Saw.
Ide yang orisinal dengan elemen paling dasar film horor maupun suspense mampu dieksplorasi habis-habisan. Dan ditutup dengan ending yang cakep. BTS eh BTW, saya masih kepikiran kaleng-kaleng bekas di sawah.  

Cerita             : 8/10
Pemain           : 8.5/10
Ending           : 8.5/10
Overall           : 8.3/10