Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Nov 23, 2018



Judul               : Searching
Durasi             : 102 menit
Sutradara       : Annesh Chaganty
Naskah           : Annesh Chaganty, Sev Ohanian
Pemain           : John Cho, Debra Messing, Joseph Lee, Michelle La, Sara Sohn.

Aku tak ingat kapan film ini berada di laptopku. Tetapi,  pagi ini kuputuskan untuk menontonnya setelah jenuh pada anime Hanebado yang kurang greget kisahnya. Boleh disebut membuang waktu dengan menonton film yang kita tidak tahu kualitasnya.

Lima sampai sepuluh menit pertama kita disodorkan tayangan melalui layar komputer. Jernih dan tanpa unsur kegelapan. Jika melihat judulnya, Searching, aku berasumsi memiliki kisah pencarian seperti penculikan atau pencarian harta karun. Tidak seperti Prisoner yang muram, kita diberikan gambaran jernih sebuah keluarga melalui layar komputer layaknya film UP! Dan sepanjang film kita hanya menyaksikan para tokoh melalui medium layar komputer, laptop, ponsel, televisi, media sosial, dan bahkan CCTV.

Alkisah, David Kim (John Cho) membesarkan anak semata wayangnya, Margot (Michele La), seorang diri setelah sang istri meninggal karena kanker. Ketika beranjak remaja sang anak tiba-tiba menghilang. Si Ayah jelas kebingungan karena tidak ingin kehilangan lagi orang yang dicintai, tetapi semua petunjuk tak ia miliki. Margot dikenal penyendiri dan tak memiliki teman. Satu-satunya petunjuk ialah jejak digital di dunia maya.

Tidak ada yang istimewa dari kisah film ini. Tema serupa dapat kau temukan dalam banyak film. Salah satunya ialah film yang mengisahkan si ibu yang dibunuh secara brutal menyebabkan ayahnya protektif, dan membuat si anak ngambek hingga akhirnya diculik. Kasih sayang si ayah membuatnya menjelajah benua dan samudra dan ditemani teman perjalanan yang bodoh. Yap, itulah Finding Nemo. Tidak ada yang baru dari segi ini.

Justru, yang menarik ialah eksplorasi konteks kekinian: Media sosial, kondisi sosial, dan kasih sayang orangtua pada masa kini. Cho mampu memerankan karakter ayah yang menjurus patut dipersalahkan atau malah dikasihani. Semua gegara media sosial. Pada sisi lain kita menjadi gemas pada Margot yang terkesan misterius dan mendadak terkenal hingga seolah semua temannya merasa dekat dengannya. Sisi emosi dan satire memberikan dampak yang kuat pada film ini, khususnya era digital dan internet.

Pada saat marak phubbing dan hal tersebut jelas menyebalkan bagi siapa pun. Ada berbagai pertanyaan. Apakah pertemuan virtual dapat menggantikan keintiman dari perjumpaan langsung? Apalagi ini terkait hubungan orangtua dan anak. Pada sisi lain, jejak virtual dapat menjadi bahan kenangan yang menyakitkan atau mencipta rindu. Setidaknya, para orangtua juga sadar kehidupan anak-anaknya saat di luar pengawasannya. Bentuk perhatian ortu yang terkadang malah disalahpahami anak sebagai pengekangan. Hingga hadir kata-kata, “anakku tidak seperti itu,” atau “Anakku baik. Dia penurut.” Atau malah “Dia baik-baik saja. Tanpa masalah.” Saya pun turut bertanya-tanya, apakah perubahan era mempengaruhi relasi ortu-anak? Ada kehendak menganalisis melalui Baudrillard atau Derrida, tapi terlalu panjang nantinya. Intinya, seburuk apa pun keluarga, akan ada sesuatu yang dapat diambil sebagai pembelajaran (jika kau ingin berkeluarga).

Chaganty dengan cerdas dan agak pongah memanfaatkan itu semua. Kita diberikan berbagai spekulasi si penculik, penyebab dan akhir kisah ini. Model film seperti ini tentunya akan membuat plot twist yang mengejutkan. Yah, meski akhirnya kelicikan film ini membuat kita merasa tidak dibodohi dan mengumpat seperti The Prestige. Sebagaimana kita menghadapi orang cerdas, kita perlu bersabar pada film ini.

Kita dimanjakan pada kejernihan visual dan akting pemainnya meski nampak dramatik. Setiap detail pada layar menjadi penting. Trik visual yang unik juga mengingatkanku pada pop-up text message yang revolusioner dari serial Sherlock dan House of Cards. Sedikit aneh melihat visual yang tampak kurang mendukung untuk sebuah film thriller, ataukah kita memasuki era baru sebuah film thriller dan misteri pada era internet?


Searching menjadi film tahun 2018 yang cerdas dan tidak sia-sia. Film bagus tidak melulu masalah budget.

Cerita              : 7.5/10
Pemain           : 8,5/10
Ending            : 8/10
Overall            : 8/10

Nov 4, 2018


Tiba-tiba kita disodorkan bahwa buku adalah sumber kekacauan dan ketidakbahagiaan. 
Masyarakat tempat Montag tinggal merupakan gambaran distopia dunia tanpa buku. Memiliki buku ialah kejahatan. Membaca buku adalah tindakan ilegal dan buku harus dilenyapkan. “... bakar sampai menjadi abu, lalu bakar abunya.” Itulah yang terjadi pada buku-buku.

Judul               : Fahrenheit 451
Penulis            : Ray Bradbury
Penerjemah   : Lulu Wijaya
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan          : 2018
Tebal              : 208 halaman

“Benarkah bahwa dulu sekali, petugas kebakaran memadamkan api, dan bukan membakar?”
“Tidak. Rumah-rumah sejak dulu tahan api, percayalah.” (h. 17)
            Apa yang akan kamu lakukan saat pulang dari sekolah melihat abu di depan rumahmu? Tumpukan abu hasil pembakaran buku-buku yang susah payah kamu beli, baca, dan koleksi (dari komik hingga novel). Abu yang masih mengeluarkan asap dan membuatmu melakukan gerakan bawah tanah melakukan perlawanan. Saya pernah mengalaminya. Sungguh. Petugas kebakaran yang telah membakar itu ialah ayahku sendiri.
            Pada saat itu saya bertanya-tanya, “apa yang membuat ayahku membakar buku-bukuku?” Kejadian serupa terjadi lagi beberapa tahun kemudian saat awal masuk kuliah. Saya pulang membawa buku-buku kiri yang susah payah kucari di jalan semarang, Surabaya. Beberapa dapat kubeli kembali karena sudah dijual bebas, tapi tak sedikit yang sudah sulit dicari.
Tentu saja keherananku bukan tanpa sebab. Masih kuingat jika dulu sering disuruh banyak membaca karena sampai akhir kelas dua sekolah dasar baru lancar membaca. Sebelumnya, saya kesulitan membedakan: “ng”, “ny”, dan “y”; “s” dengan “x”; atau “b”, “p” dengan “d”. Barangkali kamu akan mendengar nama “boyd” terdengar seperti “boip” atau “boib” seperti orang membaca qalqalah.
Ketika saya memegang buku ini terjadi kebimbangan. Perlukah saya membacanya lagi karena telah membaca Fahrenheit 451 terbitan Elex Media Komputindo? Kemudian kubaca lagi dan kutemukan beberapa perbedaan, khususnya wawancara Bradbury di akhir buku pada terbitan Elex Media. Selebihnya, bagiku sama. Pertanyaan itu muncul, apakah saya perlu menulis resensinya? Hal itu mengusikku. Beberapa kali terbangun dan memikirkannya, perihal buku dan pembakaran yang pernah kualami dan dikisahkan dalam Fahrenheit 451.
Fahrenheit 451 memberikan sebuah pemahaman tentang kisah pembakaran buku-buku. Tokoh utama buku ini, Guy Montag, merupakan petugas kebakaran yang bertugas untuk menghancurkan buku. Si Anjing pemburu yang bekerja di Departemen Kebakaran yang dikawal helikopter dan Robot Anjing Pemburu. Siap melacak para pembangkang yang menentang aturan, orang-orang yang nekat menyimpan dan membaca buku.

Distopia Dunia Tanpa Buku
Fahrenheit 451 membawa kita pada kondisi masyarakat yang tidak membaca buku, menikmati alam, berpikir secara mandiri, atau memiliki percakapan yang bermakna. Pemerintah mengendalikan rakyat dengan kenikmatan yang terus-menerus, yang mematikan pikiran. Mereka menonton televisi secara berlebihan dengan informasi yang telah disediakan oleh pemerintah, iklan kereta bawah tanah yang memekakkan telinga, berkendara sangat cepat pada dunia yang bergegas sehingga memutuskan orang-orang dari pikiran dan tubuh mereka.

Masyarakat tempat Montag tinggal merupakan gambaran distopia dunia tanpa buku. Memiliki buku ialah kejahatan. Membaca buku adalah tindakan ilegal dan buku harus dilenyapkan. “... bakar sampai menjadi abu, lalu bakar abunya.” Itulah yang terjadi pada buku-buku.
Terdengar familiar? Tentu saja. Sejarah negara kita tak lepas dari pembakaran dan penyensoran terhadap buku-buku. Bahkan Pramoedya Ananta Toer pernah dituduh atau terlibat dalam pembakaran buku-buku pada masa orde lama. Pada lain kesempatan, buku-bukunya pun pernah dilarang tatkala negara begitu galak terhadap pemikiran yang berbau komunis.
Sebenarnya, penghancuran buku bukanlah suatu hal yang baru. Fernando Baez melalui bukunya A Universsal History of the Destruction of Books telah menguraikan penghancuran buku dari masa ke masa, sejak zaman kuno hingga masa kini. Mulai buku non fiksi sampai ke fiksi. Penghancuran buku-buku fiksi terkenal seperti Don Quixote - Carventes, Time  Machine - H.G. Wells,  Fahrenheit 451 - Ray Bradbury,  The Name of The Rose - Umberto Eco,  hingga novel Voices karya Ursula K, Le Guin. Kamu sedang tidak salah baca. Fahrenheit 451 juga mengalami penghancuran.
Fernande Baez melihat hancurnya buku dapat terjadi karena beberapa faktor. Beberapa karena bencana alam, adapula rusak karena serangga atau cuaca, tetapi tak sedikit karena ulah manusia sendiri. Manusia menghancurkan buku karena ada kebencian etnis, sentimen politis, atau kepentingan ideologis.
“Orang-orang berwarna tidak menyukai Little Black Sambo. Bakar saja. Orang-orang kulit putih tidak gembira membaca Uncle Tom’s Cabin. Bakar saja.” (h. 79)
Lantas saya memahami alasan tindakan ayah membakar buku. Inilah yang terjadi pada ayahku yang merupakan didikan orde baru. Negara mengontrol dan menyensor buku-buku yang berkaitan dengan kiri atau komunis. Well, saya mampu memahami alasan pembakaran buku-buku kiri dengan melihat latar belakang beliau. Tapi, apa yang salah dengan novel dan komik? Bradbury dengan lihai menjadikan buku sebagai lambang individualitas dan bentuk pelarian diri dari pengendalian pikiran. Pembaca buku dipandang sebagai makhluk asosial dan pada konteks diriku, buku membuat prestasi akademikku justru merosot.
“Hidup adalah saat ini, pekerjaan menjadi penting, kenikmatan ada di mana-mana setelah selesai bekerja. Untuk apa belajar apa pun selain memencet tombol, menarik saklar, memasang baut dan paku?” (h. 74)
Ironisnya, manusia pun lupa bahwa buku-buku mewakili kemanusiaan itu sendiri. Montag mulai menyadari ada manusia di balik setiap buku yang dibakarnya, pencipta buku itu. Buku juga mewakili kemampuan untuk menata kembali dan membangun kembali peradaban.
“... Pasti ada sesuatu dalam buku-buku, hal-hal yang tak bisa kita bayangkan, .... untuk pertama kali aku menyadari ada orang di balik setiap buku itu. Ada orang yang harus memikirkan isinya. Ada orang yang harus menghabiskan waktu lama sekali untuk menuliskannya di kertas.” (h. 69-70)
Dehumanisasi menjadi dampak mengerikan yang dirasakan Montag. Masyarakat lantas terputus dari diri mereka sendiri, keluarga, orang lain, sejarah, dan dunia.  Terlalu bergantung televisi dan teknologi. Semua serba instan dan cepat. Akibatnya, orang-orang juga terputus dari pengetahuan dan kemampuan berpikir. Manusia menjadi seperti robot dan statis. 

Evolusi Dunia dan Kekuatan Buku
            Mengapa buku begitu mudah ditakuti? Fahrenheit 451 tidak memberikan penjelasan tunggal yang jelas tentang alasan pelarangan buku. Tiba-tiba kita disodorkan bahwa buku adalah sumber kekacauan dan ketidakbahagiaan. Parameter kekacauan dan ketidakbahagiaan pun tidak jelas bila alasan pembakaran buku seperti yang dikatakan Baez, sentimen politis atau kepentingan ideologi.
Pada suatu dialog antara Montag dan Faber, seorang profesor Sastra Inggris menjelaskan alasan buku begitu dibenci dan ditakuti,
“Buku memperlihatkan pori-pori di wajah kehidupan. Orang-orang yang nyaman hanya menginginkan wajah mulus, tak berpori, tak berbulu, tak berekspresi. Kita hidup pada masa ketika bunga berusaha hidup dari bunga lain, bukannya tumbuh dari hujan yang cukup dan tanah humus hitam.” (h. 106)
Si Beatty, kapten Departemen Kebakaran, memiliki pandangan lain perihal ini. Perkembangan teknologi hingga peningkatan populasi menyebabkan semuanya ingin bergerak cepat. Pada sisi lain, majalah dan buku mengalami kemorosotan mutu sampai sangat hambar hingga kurangnya minat baca. Pada titik tertentu, masyarakat melihat para penulis dengan pikiran jahat disuruh berhenti karena masyarakat ingin hidup tenang.
“Asalnya bukan dari pengarahan pemerintah di atas. Tidak ada perintah, tidak ada deklarasi, tidak ada sensor, sejak awal, tidak ada! Teknologi, eksploitasi massal, dan tekanan minoritas yang membuatnya terjadi, puji Tuhan.” (h. 77)
Membaca pernyataan Beatty terasa sangat logis dan terdengar seperti runtuhlah teori Baez. Penghancuran buku terjadi begitu alami pada tataran masyarakat. Akan tetapi, percayakah kamu dengan yang dikatakan Beatty?
Saya tentunya tak begitu saja percaya dengan Beatty karena ada rentang waktu dalam sejarah yang hilang dan dilupakan. Meski demikian, antara Beatty dan Faber saling mendukung perihal buku, kualitas dan penulis baik-buruk. Buku-buku yang bagus diperpendek dan direproduksi dalam bentuk lain.
Pada saat ini buku tak melulu dari kertas. Ia telah berevolusi dalam bentuk digital menjadi ebook atau sepenggalan kisah di website yang bisa kita nikmati melalui layar tablet atau gawai. Kendati telah berevolusi, buku masih digemari dan dikagumi. Mulai dari aroma, sentuhan tangan membalik kertas, interaksi mata yang jelas berbeda antara buku dan layar bahkan terkadang muncul edisi khusus atau premium. Dari segi substansi pun buku lebih memiliki kedalaman, detail, serta kelengkapan. Lagipula saat kamu bertemu penulis, mereka akan kesulitan membubuhkan tanda tangan di ebook atau website. Orisinalitasnya dipertanyakan.
Perubahan zaman dan kebutuhan menyebabkan buku semakin tersudutkan saat dunia menyerukan gerakan paperless. Gerakan ini sebagai bentuk dari kesadaran penyelamatan lingkungan. Semakin sedikit kertas yang diproduksi, sedikit pula pohon yang ditebang. Benarkah? Bukankah pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan pun banyak mengurangi area hutan? Silakan dicek sendiri.
Apakah kebiasaan pemakaian teknologi tidak memiliki dampak lingkungan yang serupa? The Washington Post merilis artikel yang berjudul How bad is email for the environment yang mengulas dampak dari email dan teknologi yang biasa dipergunakan oleh masyarakat terhadap emisi karbon (carbon footprint). Mulai dari streaming video dan musik, video games, televisi, hingga email. The Radicati Group, sebuah perusahaan riset pasar teknologi, pada tahun 2015 melaporkan jumlah email yang dikirim dan diterima di seluruh dunia per hari mencapai 205 miliar. Angka ini diperkirakan akan meningkat 3% per tahun dan mencapai sekitar 246 miliar pada akhir 2019. Ini berarti hampir 2,4 juta email dikirim setiap detik dan sekitar 74 triliun email dikirim per tahun. Apabila tiap email mengandung estimasi terendah 0,3 karbon, total karbon yang dihasilkan oleh seluruh email di seluruh dunia mencapai 22 juta metrik ton karbon tiap tahunnya. Total ini sama dengan gas rumah kaca yang dihasilkan oleh 5 juta mobil.
Buku yang terbuat dari bahan dasar kayu masih mudah untuk didaur ulang dan diperbarui. Sebaliknya, limbah elektronik (e-waste) yang memiliki karakteristik berbeda dengan limbah lainnya sulit didaur ulang dan semakin meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan laporan United Nations Environment Programme (UNEP) PBB mencatat sampah elektronik di dunia bertambah 40 juta ton per tahun. Rata-rata volume e-waste terus terjadi peningkatan 3 – 5 % per tahun. Jumlah ini tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan limbah jenis lain. Sampah ponsel dan komputer personal sebagai penyumbang terbesar. Limbah emas dan perak 3%, palladium 13% dan kobalt 15%, setiap tahunnya. Selain terdapat komponen-komponen berharga, limbah elektronik juga mengandung banyak komponen yang bersifat racun. Sebuah komputer (PC) saja mengandung komponen yang terdiri dari merkuri, arsenik, dan krom, yang termasuk dalam logam berat. E-waste apabila ditimbun bahan-bahan kimianya mengalami dekomposisi serta masuk ke dalam tanah, tetapi jika dibakar melepaskan dioksin yang sangat beracun.

Pusing? Ya, sama. Saya memang sengaja tidak langsung menyederhanakannya agar kamu merasakan sesuatu yang kurasakan. Intinya, ketika kita beranggapan bahwa paperless merupakan usaha penyelematan lingkungan, kita seolah menutup diri telah turut andil menyebabkan kerusakan lingkungan pada sektor lain yang sama berbahayanya.
Evolusi perwujudan buku pada bentuk lain menyisakan suatu pertanyaan, “masihkah buku berbahaya?” Pada dasarnya, buku seperti halnya ebook dan website tak perlu ditakuti karena tidak memiliki kekuatan. Mereka hanyalah wadah untuk menyimpan berbagai hal yang tak ingin dilupakan. Informasi dan beberapa hal yang tersimpan dalam buku, ebook, atau website itulah yang membuatnya ditakuti.
Boom! Manusia memasuki era digital yang serba cepat. Informasi melaju cepat. Kondisi ini diperparah dengan pemotongan dan sensor beberapa bagian buku sehingga menampilkan sebagian fakta, bukannya detail keseluruhan fakta. Belum lagi mata kita yang mudah lelah karena terlalu lama menatap layar sehingga proses mencerna informasi tidak maksimal. Tiba-tiba kita menjadi kecanduan gawai dan informasi yang terpenggal-penggal. Bangun tidur langsung mencari gawai dan di mana-mana kamu menemukan orang-orang menatap gawainya.
Pada situasi melenakan inilah yang paling menakutkan. Kita terlalu sibuk sehingga tidak sempat memilah informasi yang berkualitas. Tidak ada waktu bersantai untuk mencernanya dan melakukan tindakan hasil pelajaran dari interaksi terhadap berbagai informasi. Pikiran kita menjadi malas dan mudah termakan informasi yang menyesatkan.
Tidakkah terdengar familiar?
Saya pun merasa demikian.

Eli, 1984, dan Berbagai Hal yang Terbakar dalam Farenheit 451
Fiksi-fiksi distopia, mulai dari buku hingga film, bagaimanapun bentuknya dianggap seperti sebuah nubuat. In Time seperti sebuah dunia yang tak masuk akal ketika waktu diibaratkan dengan nyawa, tetapi film ini memiliki kritikan tajam terhadap cara kerja dunia saat ini. The Book of Eli memvisualisasikan runtuhnya peradaban dan buku merupakan kunci keselamatan dunia, khususnya kitab suci yang dianggap mampu mengobati dahaga spiritual saat itu. Sekali lagi, bukan bukunya, melainkan isi pengetahuan dari buku. Pengetahuan inilah sumber kekuasaan.

Kekuasaan tentu membutuhkan dukungan fakta yang dimanipulasi. Fakta di media menjadi sebuah realitas yang tidak lengkap. Pada 22 Januari 2017 Kellyanne Conway dalam sebuah wawancara yang membela jubir Gedung Putih terkait jumlah penonton pelantikan Donald Trump, membuat kita tertawa perihal pengenalan sebuah frasa: “fakta alternatif”.
Mungkin yang dimaksud alternatif fakta seperti ini.
Kekuasaan dan kontrol masyarakat seperti menjadi tema sentral dalam fiksi-fiksi distopia. Pada The Book of Eli kekuasaan seperti nampak tradisional dan sederhana karena kemunduran peradaban paska perang dunia. Pada 1984 dan A Clockwork Orange memiliki struktur kekuasaan yang jelas. Fahrenheit 451 struktur kekuasaan tidak terlalu ditonjolkan, pembaca buku terlihat aneh bagi masyarakat biasa. A Clockwork Orange, 1984, dan Fahrenheit 451 memiliki beberapa kesamaan. Penyembunyian fakta dan kontrol pemerintah kepada seluruh masyarakat dilakukan pada 1984 dan Fahrenheit 451. Pada A Clockwork Orange kontrol terhadap masyarakat hanya dilakukan seperlunya pada individu yang bermasalah.
Cara-cara cuci otak demi melanggengkan kekuasaan ditempuh sedemikian rupa. Media dipilih sebagai alat pertama dalam propaganda penguasa. Pola pikir masyarakat menjadi terkontrol dan tidak memiliki pilihan. Apabila tidak berhasil, kekerasan serta penyiksaan adalah pilihan terbaik dalam menangani Winston (1984) dan Alex (A Clockwork Orange). Pada Fahrenheit 451, Bradbury memilih mengirimkan para pembaca buku ke rumah sakit jiwa atau diasingkan dan dibakar bersama buku-buku bila masih membangkang. Mana yang lebih baik? Pilihlah sendiri yang menurutmu  terbaik untuk mencuci otakmu.
Nuansa. Sebuah fiksi distopia perlu kesuksesan dalam membangun nuansa. Orwell dalam 1984 yang begitu gelap berhasil menghadirkan suara-suara lirih nan mencekam untuk meneror pembaca. Burgess dalam A Clockwork Orange mampu menampilkan estetika budaya pop yang banal berbalut kekerasan dengan kebimbangan pilihan moral. Melalui pengetahuannya yang luar biasa tentang potensi teknologi, Bradbury menampilkan Fahrenheit 451 dengan prosa yang kuat sekaligus bergerak cepat dan terlihat puitis (baik dalam terjemahan Elex Media Komputindo maupun Gramedia Pustaka Utama).
Setetes hujan. Clarisse. Tetesan lain. Mildred. Ketiga. Sang paman. Keempat. Api malam ini. Satu, Clarisse. Dua, Mildred. Tiga, paman. Empat, api. Satu, Mildred, dua, Clarisse. Satu, dua, tiga, empat, lima, Clarisse, Mildred, paman, api, pil tidur, tisu sekali pakai, kerah baju, embus, remas, buang, Clarisse, Mildred, paman, api, pil, tisu, embus, remas, buang. Satu, dua tiga, satu, dua, tiga! Hujan. Badai. Tawa sang paman. Petir di lantai bawah. Seluruh dunia kehujanan. (h. 20-21, Elex Media)
Satu tetes air hujan. Clarisse. Satu tetes lagi. Mildred. Tetes ketiga. Paman. Keempat. Api malam ini. Satu, Mildred, dua, Clarisse. Satu, dua, tiga, empat, lima, Clarisse, Mildred, paman, api, obat tidur, pria-pria, tisu sekali pakai, memanfaatkan, buang ingus, gumpal, buang, Clarisse, Mildred, paman, api, pil, tisu, buang ingus, gumpal, buang. Satu, dua, tiga, satu dua, tiga! Hujan. Badai. Paman tertawa. Halilintar jatuh di bawah. Seluruh dunia berhamburan turun. (h. 28, GPU)
Bradbury mungkin tidak akan mengira bahwa karyanya kemudian menimbulkan begitu banyak paradoks, baik dari segi substansi maupun dampak. Kita dibuat terombang-ambing dengan narasi dan dialog, “apakah saya tetap membaca buku atau membuangnya saja? Bradbury menceritakan semua ini dengan paradoks melalui perspektif orang ketiga yang terbatas perihal pikiran dan perasaan Montag. “... Kamar itu tidak kosong. ... Kamar itu memang kosong.” Itulah dunia imaji Bradbury tentang masa depan yang dia tulis pada tahun 1950 (dua tahun setelah Orwell menulis 1984). Selain itu, kekayaan kosa kata yang kasar telah membelah masyarakat untuk mendukung atau menolak buku ini masuk ke dalam kurikulum maupun perpustakaan sekolah di Amerika Serikat.
Tebal Fahrenheit 451 yang hanya 200 halaman tampil seperti sebuah film yang bergerak cepat dan meloncat. Sebuah buku yang cukup pendek dengan tema yang kompleks, sangat disayangkan. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghalangi pengembangan karaktek Montag yang rumit dan radikal, Beatty yang begitu intens dan cerdas dalam memanipulasi.
Fahrenheit 451 membakar semua yang kamu miliki dalam pikiranmu. Layaknya burung yang terbang bebas lalu terbakar menjadi abu. Dari tumpukan abu tersebut lahir burung api, phoenix.
Bagiku, Fahrenheit 451 bukanlah sebuah nubuat melainkan peringatan. Pembakaran buku oleh sebab dibenci atau ditakuti tentu tak dibenarkan. Pelarangannya pun justru membuat orang-orang kian penasaran. Bagaimana kita dapat membantah sebuah buku tanpa membacanya sedangkan membacanya saja dilarang? Tindakan yang perlu dilakukan ialah membuat buku bantahan atau tandingan. Sambil sesekali berdoa agar buku itu tidak kalah populer sehingga dibaca dan dimengerti oleh khalayak. Terakhir, saya hampir lupa mengingatkan bahwa industri percetakan buku mengikuti selera pasar. Ini bisnis, bung.