Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Dec 23, 2018







Ada banyak cara untuk menghemat energi. Salah satunya, menonton anime. Aku tiduran pada bantal yang kutekuk menjadi dua. Aku menekuk bantal karena itu barang sudah kempes. Jadi, bisa kalian ketahui intensitasku dalam bermalas-malasan menghemat energi. Begitulah aku menikmati anime.

Kali ini Hinamatsuri. Anime absurd yang bikin ngakak so hard. Aku tahu jika lelucon itu relatif, tapi jika kotak tertawamu tak terganggu minimal dirimu akan tersenyum. Bahkan Ndoro yang tak begitu suka anime direwangi nonton. Hana, anak manusia super yang berasal dari antah berantah hidup bersama dengan seorang mafia jomblo bernama Nitta. Ceritanya menggelinding begitu saja dengan para tokoh yang unik dan kocak.

Ada banyak pesan dan kisah dalam anime ini, kadang mengharukan, menyebalkan, dan tentunya jenaka. Ada episode lucu ketika keluarga Nitta mempertanyakan “siapa Hana?” Berbagai upaya dilakukan untuk menjelaskan siapa Hana, tetapi tentu saja ia tak tahu. Penonton saja tak tahu siapa si Hana. Daripada rumit dan banyak akting, akhirnya si Nitta memiliki solusi terakhir.

Episode itu seperti mengingatkanku pada kisah Walid bin al-Mugirah (ayahnya Khalid). Bahkan ada sekitar 104 ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan si Walid. Ada salah satu kisah lucu perihal ini yang kuingat. Si Walid yang pesohor kaum Quraisy tahu dan seorang sastrawan paham bahwa Al Qur’an bukan buatan manusia, tapi dirinya ingkar.

Pada surat Al Qalam: 10-16, si Walid disifati aibnya oleh Al-Qur’an dengan sepuluh sifat. Sembilan sifat itu diakuinya, tapi ada sifat yang tidak ia mengerti dan membuatnya marah, yaitu kata zanim. Zanim memiliki arti mengaku-ngaku nasab atau nasabnya tidak jelas atau lahir sebagai anak zina. Tentu saja hal ini berkebalikan dengan yang sering Walid gaungkan sebagai keluarga Quraisy terhormat dan memiliki kedudukan yang tinggi. Satu kata itulah yang membuatnya marah dan mendatangi ibunya. 

"Bu, Al Qur'annya Muhammad menyifatiku sepuluh hal. Sembilannya saya akui itu, tapi ada satu yang mengganjal: zanim. Muhammad tidak mungkin bohong soal ini. Saiki, Ibu cerita yang sebenarnya kalau tidak pedang ini bisa menebas lehermu." Sambil mengancam membunuh ibunya, secara tidak langsung ia mengakui kesembilan sifat yang melekat dalam dirinya. 

Ibunya pun berkata, "Ngene lho le, bapakmu kuwi impoten, pada satu sisi memiliki harta yang banyak, dari keluarga terpandang, di sisi lain ya butuh keturunan. Akhirnya, ibu melakukannya dengan seorang penggembala. Yo, tukang angon kuwi bapak aslimu."

Kurang lebih seperti aku mengingat kisahnya. Terasa aneh jika seseorang mengakui kehebatan Al Qur’an, tapi ingkar. Ini menandakan bahwa Al Qur’an pada dasarnya dapat dengan mudah dipahami oleh siapa saja, bahkan orang kafir. Jadi, kelak tak ada alasan manusia di hadapan Allah tidak paham risalah Ketuhanan. Lantas mengapa mereka menolaknya? Mungkin ada sesuatu yang menghalangi. Jawabannya bisa beragam. Salah satunya adalah keangkuhan.

Keangkuhan pula yang membuat azazil terusir dari kedudukannya. Perihal ini banyak orang membuat tafsir mengenai keimanan azazil pada Tuhan dan blablabla. Namun, tiap kali aku bertanya, “mengapa dirimu tidak menjadi pengikutnya azazil atau iblis saja? Tak perlu sholat, zakat, atau puasa. Hidup bisa sesuka hatimu dan bebas hukum.” Tetapi, mereka tidak mau atau menolak. Mereka mengaku masih mencintai Rasulullah, dan sayang sekali tidak pernah kudengarkan mereka mengisahkan kehebatan Rasulullah. Kapan-kapan aku ceritakan kerennya Rasulullah.

Aku sering memikirkan ini, kata orang-orang aku itu baik meski agak sinting, tetapi aku tak sebaik itu. Yah, aku kelihatan baik karena Allah telah menjaga aibku. Tentunya, aku tak berharap memiliki nasib senahas karakter David Lurie nya Coetzee. Ah, menjadi seorang kriminal bukanlah hal yang memalukan. Tetap menjadi penjahat itulah aib yang memalukan.

Nani kore?
Gohan...

Si Hana membuat perutku lapar, tapi kok ya ngantuk.

Dec 22, 2018



Setiap kali ada pertanyaan: sibuk apa?, aku kelimpungan bagaimana menjawabnya. Apalagi akhir-akhir ini menjelang tutup tahun. Tak mungkin kujawab, sibuk menyimpan energi. 

Pada beberapa kesempatan, aku menyimpan energi sambil memikirkan nasib MU yang dilibas Liverpool, dan Milan yang ditahan imbang Bologna yang dilatih Inzaghi (mantan pelatih AC Milan). Lalu membayangkan mengolah kedelai yang lama tak tersentuh atau lupa kusentuh hingga ada banyak hewan di dalamnya. Aku ingin mengolahnya menjadi peyek kedelai. Dulu pernah sekali aku membuatnya dan hasilnya enak. Bahan-bahannya pun sederhana: ketumbar, kemiri, garam, merica, daun jeruk, terigu, tepung beras. Pertama kulumat bumbunya, lalu campur terig, tepung beras, dan air. Setelah itu iris daun jeruk dan masukkan ke adonan. Simpel.

Beberapa hari kemudian coba kupraktikkan. Realitasnya, adonan terlalu encer. Selain itu, ada obsesi untuk memasukkan sebanyak-banyaknya kedelai yang telah kurendam. Hasilnya, adonan kedelai nempel di wajan hingga membuatku beralih ke wajan teflon. Peyek pun tidak gurih malah seperti lemah syahwat. Apa kurang minyaknya atau kurang besar apinya.

Aku matikan kompor, kutinggalkan adonan dan kembali menyimpan energi. Ndoro turun gunung, meski tak mengubah hasil seperti dalam bayangan tentang peyek yang pernah kubuat dulu. Disimpannya dalam toples seperti menyimpan aib agar orang lain tak tahu atau paling fatal, agar tidak masuk ke perut manusia. Mana ada peyek di seluruh dunia yang lemah syahwat? Itu aib dunia rempeyek.

Aku tiduran sambil mengawang nasib Mourinho yang dipecat dan bertanya, kapan Rino Gattuso juga dipecat? Lelah sendiri jadinya. Kubuka toples dan memandang peyek lemah syahwat itu. Sebuah aib bagi dunia rempeyek. Maafkan aku penggemar peyek dan juga produsen peyek di mana pun kalian berada.

Semacam rasa malu yang tak terkira yang mendorong munculnya sebuah kekuatan yang tentunya bukan kekuatan super saiya. Kekuatan melawan rasa malu yang membuatku bersedia melalui perasaan itu. Kugoreng kembali si peyek kedelai. Dan rasanya kriuk...

Yah, bagaimana pun, aku tak berharap sepenuhnya mampu menundukkan kesalahan masa lalu dengan menderita pada saat kini. Bisa kalian lihat peyek itu berwarna kecoklatan, bukan cerah. Minimal, itu peyek bisa dimakan dan aman masuk perut.

Kudengar suara si Tiara yang menggemaskan itu. Tiap lihat dia rasanya pengen nyiwel pipinya yang dalam anganku bisa melar kayak Luffy, tapi takut nangis. Jadi, tak pernah kulakukan. 

Ada rasa was-was saat memberi si Tiara. Kira-kira dia doyan gak? Giginya mampu menguyah gak? Atau berdampak buruk untuk kesehatannya gak? Was-was, gelisah itu normal lah. Namanya juga manusia. Manusia kan dapat melakukan kejahatan saat berbuat kebaikan, dan tanpa diniatkan manusia juga dapat melakukan kebaikan saat berbuat kejahatan.


Peyek Kedelai yang Brutal

Dec 6, 2018


Siapa itu Larry King? Pada saat itu aku tidak mengenalnya dan tidak begitu peduli dengan nama penulisnya. Aku menarik buku ini dari rak perpustakaan kampus oleh karena judulnya. Berbicara dilihat sebagai sebuah seni. Cukup menarik.
Bagi mahasiswa baru sekaligus manusia yang pemalu, berbicara ialah suatu hal yang menakutkan sekaligus menyilaukan. Apalagi saat kau memasuki dunia yang menuntutmu pandai berbicara, yakni dalam bidang hukum. Pandangan awam  melihat bahwa mahasiswa hukum harus pandai berbicara terutama pada khalayak. Tentu saja hal tersebut terasa menakutkan sebab diriku tipikal orang yang pemalu pada siapa pun, kecuali pada orang yang sudah kukenal dekat dan dalam obrolan person to person.
Sebaliknya, terasa menyilaukan saat melihat para senior begitu pandai dalam berbicara. Siapa yang tak ingin seperti mereka? Aku pun demikian. Makanya, buku ini merupakan salah satu buku pertama yang kupinjam dari perpustakaan kampus saat masuk perkuliahan. Begitu menggelikan.
Setelah membaca buku ini, segera kuputuskan untuk memilikinya. Ada banyak hal yang diungkapkan Larry dalam buku ini. Saking banyaknya, informasi yang diberikan tak mampu kuterapkan semua. Akan tetapi, ada poin-poin penting (bagiku) yang sampai saat ini masih kuingat.
Pertama, jangan melabeli seseorang pandai karena ia banyak bicara. Ini kesalahanku pertama saat itu karena mudah silau terhadap orang-orang yang banyak bicara. Aku menjadi mulai jeli ketika orang-orang banyak bicara selama bermenit-menit, tetapi tidak efektif terkadang juga mbulet tur njlimet serta miskin substansi. Beberapa tahun belakangan kerap kutemui orang-orang semacam ini. Bedakan antara pandai dan berani dalam berbicara. Orang pandai berbicara selalu kaya substansi bahkan dalam humornya.
Kedua, dengarkanlah. Mendengarkan ialah hukum pertama dalam suatu percakapan. Banyak orang ingin bicara, tapi sedikit ingin mendengarkan. Hingga kau paham ketika seseorang mengelak dan saat seseorang benar-benar tidak tahu. Dari mendengarkan pun kau menjadi tahu semakin banyak orang berbicara, semakin memperlihatkan kebodohannya.
Ketiga, humor. Aku suka bercanda itu fakta. Namun, aku mulai menyadari cara mempergunakan humor yang tepat. Setidaknya tahu saat harus menggunakan humor untuk menyentuh, menyentil, atau memecah kebekuan. Meskipun dalam praktiknya juga kerap salah karena terbawa suasana.
Sebagaimana buku tips maupun motivasi, lebih tepat bila membacanya secara intensif lantas mempraktikkannya. Buku pinjaman dari perpustakaan tak cocok dengan karakter seperti ini karena keterbatasan waktu pinjam. Jadi, memilikinya merupakan solusi. Sayangnya, buku ini telah kucari di beberapa toko buku dan hasilnya nihil. Saat aku sudah melupakan buku ini, dia terselip di bawah tumpukan buku di sebuah toko buku bekas.
Ada beberapa hal penting yang luput dari perhatianku kala itu. Salah satunya ialah berbicara dengan lawan jenis. Andai dulu aku saksama barangkali tidak akan menjomblo bertahun-tahun lamanya. Jangan tertawa. Satu hal lagi, tak sadarkah kau dalam tulisan ini bila aku terlalu banyak membicarakan diriku? Dalam suatu tulisan, khususnya di dalam blog, sah-sah saja (daripada ngerasani orang lain?) Akan tetapi, dalam suatu obrolan membicarakan diri sendiri perlu dihindari.
Larry seperti membuat sebuah peta untuk mengatasi ketakutan serta mengikuti segala perbincangan dengan keyakinan. Melalui bahasa yang menarik dan mudah dimengerti buku ini cepat untuk segera diselesaikan, tetapi cukup sulit untuk dipraktikkan terutama mencari gaya sendiri dalam berbicara.
Setidaknya, ada dua bagian substansi dalam buku ini, yaitu Larry dan berbagai keterampilan praktis dalam berbicara. Buku ini seperti sebuah buku semi biografi tentang seorang Larry King sendiri dan juga pekerjaannya. Tak percaya? Tengoklah bagian “Tamu Terbaik dan Terburuk Saya” yang menurutku tak begitu penting. Seperti ulasan buku ini, Larry melarang berbicara mengenai diri sendiri, tetapi dalam tulisannya banyak membicarakan dirinya sendiri. Selain itu, pengalaman-pengalaman Larry yang terserak di sepanjang buku membuatnya nampak tersusun secara acak sehingga ada aspek-aspek lain dari seni berbicara yang belum tersentuh. Dampaknya, buku ini menjadi lemah untuk menjadi rujukan akademis.
Oh, maaf jika terlalu panjang.
Dan perihal judulnya, mungkin, bagian strategi pemasaran.



Judul                : Seni berbicara: kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja
Penulis             : Larry King
Penerjemah      : Marcus Primhinto Widodo
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Kelima, Desember 2012

Tebal               : xvi+ 212 halaman

Nov 23, 2018



Judul               : Searching
Durasi             : 102 menit
Sutradara       : Annesh Chaganty
Naskah           : Annesh Chaganty, Sev Ohanian
Pemain           : John Cho, Debra Messing, Joseph Lee, Michelle La, Sara Sohn.

Aku tak ingat kapan film ini berada di laptopku. Tetapi,  pagi ini kuputuskan untuk menontonnya setelah jenuh pada anime Hanebado yang kurang greget kisahnya. Boleh disebut membuang waktu dengan menonton film yang kita tidak tahu kualitasnya.

Lima sampai sepuluh menit pertama kita disodorkan tayangan melalui layar komputer. Jernih dan tanpa unsur kegelapan. Jika melihat judulnya, Searching, aku berasumsi memiliki kisah pencarian seperti penculikan atau pencarian harta karun. Tidak seperti Prisoner yang muram, kita diberikan gambaran jernih sebuah keluarga melalui layar komputer layaknya film UP! Dan sepanjang film kita hanya menyaksikan para tokoh melalui medium layar komputer, laptop, ponsel, televisi, media sosial, dan bahkan CCTV.

Alkisah, David Kim (John Cho) membesarkan anak semata wayangnya, Margot (Michele La), seorang diri setelah sang istri meninggal karena kanker. Ketika beranjak remaja sang anak tiba-tiba menghilang. Si Ayah jelas kebingungan karena tidak ingin kehilangan lagi orang yang dicintai, tetapi semua petunjuk tak ia miliki. Margot dikenal penyendiri dan tak memiliki teman. Satu-satunya petunjuk ialah jejak digital di dunia maya.

Tidak ada yang istimewa dari kisah film ini. Tema serupa dapat kau temukan dalam banyak film. Salah satunya ialah film yang mengisahkan si ibu yang dibunuh secara brutal menyebabkan ayahnya protektif, dan membuat si anak ngambek hingga akhirnya diculik. Kasih sayang si ayah membuatnya menjelajah benua dan samudra dan ditemani teman perjalanan yang bodoh. Yap, itulah Finding Nemo. Tidak ada yang baru dari segi ini.

Justru, yang menarik ialah eksplorasi konteks kekinian: Media sosial, kondisi sosial, dan kasih sayang orangtua pada masa kini. Cho mampu memerankan karakter ayah yang menjurus patut dipersalahkan atau malah dikasihani. Semua gegara media sosial. Pada sisi lain kita menjadi gemas pada Margot yang terkesan misterius dan mendadak terkenal hingga seolah semua temannya merasa dekat dengannya. Sisi emosi dan satire memberikan dampak yang kuat pada film ini, khususnya era digital dan internet.

Pada saat marak phubbing dan hal tersebut jelas menyebalkan bagi siapa pun. Ada berbagai pertanyaan. Apakah pertemuan virtual dapat menggantikan keintiman dari perjumpaan langsung? Apalagi ini terkait hubungan orangtua dan anak. Pada sisi lain, jejak virtual dapat menjadi bahan kenangan yang menyakitkan atau mencipta rindu. Setidaknya, para orangtua juga sadar kehidupan anak-anaknya saat di luar pengawasannya. Bentuk perhatian ortu yang terkadang malah disalahpahami anak sebagai pengekangan. Hingga hadir kata-kata, “anakku tidak seperti itu,” atau “Anakku baik. Dia penurut.” Atau malah “Dia baik-baik saja. Tanpa masalah.” Saya pun turut bertanya-tanya, apakah perubahan era mempengaruhi relasi ortu-anak? Ada kehendak menganalisis melalui Baudrillard atau Derrida, tapi terlalu panjang nantinya. Intinya, seburuk apa pun keluarga, akan ada sesuatu yang dapat diambil sebagai pembelajaran (jika kau ingin berkeluarga).

Chaganty dengan cerdas dan agak pongah memanfaatkan itu semua. Kita diberikan berbagai spekulasi si penculik, penyebab dan akhir kisah ini. Model film seperti ini tentunya akan membuat plot twist yang mengejutkan. Yah, meski akhirnya kelicikan film ini membuat kita merasa tidak dibodohi dan mengumpat seperti The Prestige. Sebagaimana kita menghadapi orang cerdas, kita perlu bersabar pada film ini.

Kita dimanjakan pada kejernihan visual dan akting pemainnya meski nampak dramatik. Setiap detail pada layar menjadi penting. Trik visual yang unik juga mengingatkanku pada pop-up text message yang revolusioner dari serial Sherlock dan House of Cards. Sedikit aneh melihat visual yang tampak kurang mendukung untuk sebuah film thriller, ataukah kita memasuki era baru sebuah film thriller dan misteri pada era internet?


Searching menjadi film tahun 2018 yang cerdas dan tidak sia-sia. Film bagus tidak melulu masalah budget.

Cerita              : 7.5/10
Pemain           : 8,5/10
Ending            : 8/10
Overall            : 8/10

Nov 4, 2018


Tiba-tiba kita disodorkan bahwa buku adalah sumber kekacauan dan ketidakbahagiaan. 
Masyarakat tempat Montag tinggal merupakan gambaran distopia dunia tanpa buku. Memiliki buku ialah kejahatan. Membaca buku adalah tindakan ilegal dan buku harus dilenyapkan. “... bakar sampai menjadi abu, lalu bakar abunya.” Itulah yang terjadi pada buku-buku.

Judul               : Fahrenheit 451
Penulis            : Ray Bradbury
Penerjemah   : Lulu Wijaya
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan          : 2018
Tebal              : 208 halaman

“Benarkah bahwa dulu sekali, petugas kebakaran memadamkan api, dan bukan membakar?”
“Tidak. Rumah-rumah sejak dulu tahan api, percayalah.” (h. 17)
            Apa yang akan kamu lakukan saat pulang dari sekolah melihat abu di depan rumahmu? Tumpukan abu hasil pembakaran buku-buku yang susah payah kamu beli, baca, dan koleksi (dari komik hingga novel). Abu yang masih mengeluarkan asap dan membuatmu melakukan gerakan bawah tanah melakukan perlawanan. Saya pernah mengalaminya. Sungguh. Petugas kebakaran yang telah membakar itu ialah ayahku sendiri.
            Pada saat itu saya bertanya-tanya, “apa yang membuat ayahku membakar buku-bukuku?” Kejadian serupa terjadi lagi beberapa tahun kemudian saat awal masuk kuliah. Saya pulang membawa buku-buku kiri yang susah payah kucari di jalan semarang, Surabaya. Beberapa dapat kubeli kembali karena sudah dijual bebas, tapi tak sedikit yang sudah sulit dicari.
Tentu saja keherananku bukan tanpa sebab. Masih kuingat jika dulu sering disuruh banyak membaca karena sampai akhir kelas dua sekolah dasar baru lancar membaca. Sebelumnya, saya kesulitan membedakan: “ng”, “ny”, dan “y”; “s” dengan “x”; atau “b”, “p” dengan “d”. Barangkali kamu akan mendengar nama “boyd” terdengar seperti “boip” atau “boib” seperti orang membaca qalqalah.
Ketika saya memegang buku ini terjadi kebimbangan. Perlukah saya membacanya lagi karena telah membaca Fahrenheit 451 terbitan Elex Media Komputindo? Kemudian kubaca lagi dan kutemukan beberapa perbedaan, khususnya wawancara Bradbury di akhir buku pada terbitan Elex Media. Selebihnya, bagiku sama. Pertanyaan itu muncul, apakah saya perlu menulis resensinya? Hal itu mengusikku. Beberapa kali terbangun dan memikirkannya, perihal buku dan pembakaran yang pernah kualami dan dikisahkan dalam Fahrenheit 451.
Fahrenheit 451 memberikan sebuah pemahaman tentang kisah pembakaran buku-buku. Tokoh utama buku ini, Guy Montag, merupakan petugas kebakaran yang bertugas untuk menghancurkan buku. Si Anjing pemburu yang bekerja di Departemen Kebakaran yang dikawal helikopter dan Robot Anjing Pemburu. Siap melacak para pembangkang yang menentang aturan, orang-orang yang nekat menyimpan dan membaca buku.

Distopia Dunia Tanpa Buku
Fahrenheit 451 membawa kita pada kondisi masyarakat yang tidak membaca buku, menikmati alam, berpikir secara mandiri, atau memiliki percakapan yang bermakna. Pemerintah mengendalikan rakyat dengan kenikmatan yang terus-menerus, yang mematikan pikiran. Mereka menonton televisi secara berlebihan dengan informasi yang telah disediakan oleh pemerintah, iklan kereta bawah tanah yang memekakkan telinga, berkendara sangat cepat pada dunia yang bergegas sehingga memutuskan orang-orang dari pikiran dan tubuh mereka.

Masyarakat tempat Montag tinggal merupakan gambaran distopia dunia tanpa buku. Memiliki buku ialah kejahatan. Membaca buku adalah tindakan ilegal dan buku harus dilenyapkan. “... bakar sampai menjadi abu, lalu bakar abunya.” Itulah yang terjadi pada buku-buku.
Terdengar familiar? Tentu saja. Sejarah negara kita tak lepas dari pembakaran dan penyensoran terhadap buku-buku. Bahkan Pramoedya Ananta Toer pernah dituduh atau terlibat dalam pembakaran buku-buku pada masa orde lama. Pada lain kesempatan, buku-bukunya pun pernah dilarang tatkala negara begitu galak terhadap pemikiran yang berbau komunis.
Sebenarnya, penghancuran buku bukanlah suatu hal yang baru. Fernando Baez melalui bukunya A Universsal History of the Destruction of Books telah menguraikan penghancuran buku dari masa ke masa, sejak zaman kuno hingga masa kini. Mulai buku non fiksi sampai ke fiksi. Penghancuran buku-buku fiksi terkenal seperti Don Quixote - Carventes, Time  Machine - H.G. Wells,  Fahrenheit 451 - Ray Bradbury,  The Name of The Rose - Umberto Eco,  hingga novel Voices karya Ursula K, Le Guin. Kamu sedang tidak salah baca. Fahrenheit 451 juga mengalami penghancuran.
Fernande Baez melihat hancurnya buku dapat terjadi karena beberapa faktor. Beberapa karena bencana alam, adapula rusak karena serangga atau cuaca, tetapi tak sedikit karena ulah manusia sendiri. Manusia menghancurkan buku karena ada kebencian etnis, sentimen politis, atau kepentingan ideologis.
“Orang-orang berwarna tidak menyukai Little Black Sambo. Bakar saja. Orang-orang kulit putih tidak gembira membaca Uncle Tom’s Cabin. Bakar saja.” (h. 79)
Lantas saya memahami alasan tindakan ayah membakar buku. Inilah yang terjadi pada ayahku yang merupakan didikan orde baru. Negara mengontrol dan menyensor buku-buku yang berkaitan dengan kiri atau komunis. Well, saya mampu memahami alasan pembakaran buku-buku kiri dengan melihat latar belakang beliau. Tapi, apa yang salah dengan novel dan komik? Bradbury dengan lihai menjadikan buku sebagai lambang individualitas dan bentuk pelarian diri dari pengendalian pikiran. Pembaca buku dipandang sebagai makhluk asosial dan pada konteks diriku, buku membuat prestasi akademikku justru merosot.
“Hidup adalah saat ini, pekerjaan menjadi penting, kenikmatan ada di mana-mana setelah selesai bekerja. Untuk apa belajar apa pun selain memencet tombol, menarik saklar, memasang baut dan paku?” (h. 74)
Ironisnya, manusia pun lupa bahwa buku-buku mewakili kemanusiaan itu sendiri. Montag mulai menyadari ada manusia di balik setiap buku yang dibakarnya, pencipta buku itu. Buku juga mewakili kemampuan untuk menata kembali dan membangun kembali peradaban.
“... Pasti ada sesuatu dalam buku-buku, hal-hal yang tak bisa kita bayangkan, .... untuk pertama kali aku menyadari ada orang di balik setiap buku itu. Ada orang yang harus memikirkan isinya. Ada orang yang harus menghabiskan waktu lama sekali untuk menuliskannya di kertas.” (h. 69-70)
Dehumanisasi menjadi dampak mengerikan yang dirasakan Montag. Masyarakat lantas terputus dari diri mereka sendiri, keluarga, orang lain, sejarah, dan dunia.  Terlalu bergantung televisi dan teknologi. Semua serba instan dan cepat. Akibatnya, orang-orang juga terputus dari pengetahuan dan kemampuan berpikir. Manusia menjadi seperti robot dan statis. 

Evolusi Dunia dan Kekuatan Buku
            Mengapa buku begitu mudah ditakuti? Fahrenheit 451 tidak memberikan penjelasan tunggal yang jelas tentang alasan pelarangan buku. Tiba-tiba kita disodorkan bahwa buku adalah sumber kekacauan dan ketidakbahagiaan. Parameter kekacauan dan ketidakbahagiaan pun tidak jelas bila alasan pembakaran buku seperti yang dikatakan Baez, sentimen politis atau kepentingan ideologi.
Pada suatu dialog antara Montag dan Faber, seorang profesor Sastra Inggris menjelaskan alasan buku begitu dibenci dan ditakuti,
“Buku memperlihatkan pori-pori di wajah kehidupan. Orang-orang yang nyaman hanya menginginkan wajah mulus, tak berpori, tak berbulu, tak berekspresi. Kita hidup pada masa ketika bunga berusaha hidup dari bunga lain, bukannya tumbuh dari hujan yang cukup dan tanah humus hitam.” (h. 106)
Si Beatty, kapten Departemen Kebakaran, memiliki pandangan lain perihal ini. Perkembangan teknologi hingga peningkatan populasi menyebabkan semuanya ingin bergerak cepat. Pada sisi lain, majalah dan buku mengalami kemorosotan mutu sampai sangat hambar hingga kurangnya minat baca. Pada titik tertentu, masyarakat melihat para penulis dengan pikiran jahat disuruh berhenti karena masyarakat ingin hidup tenang.
“Asalnya bukan dari pengarahan pemerintah di atas. Tidak ada perintah, tidak ada deklarasi, tidak ada sensor, sejak awal, tidak ada! Teknologi, eksploitasi massal, dan tekanan minoritas yang membuatnya terjadi, puji Tuhan.” (h. 77)
Membaca pernyataan Beatty terasa sangat logis dan terdengar seperti runtuhlah teori Baez. Penghancuran buku terjadi begitu alami pada tataran masyarakat. Akan tetapi, percayakah kamu dengan yang dikatakan Beatty?
Saya tentunya tak begitu saja percaya dengan Beatty karena ada rentang waktu dalam sejarah yang hilang dan dilupakan. Meski demikian, antara Beatty dan Faber saling mendukung perihal buku, kualitas dan penulis baik-buruk. Buku-buku yang bagus diperpendek dan direproduksi dalam bentuk lain.
Pada saat ini buku tak melulu dari kertas. Ia telah berevolusi dalam bentuk digital menjadi ebook atau sepenggalan kisah di website yang bisa kita nikmati melalui layar tablet atau gawai. Kendati telah berevolusi, buku masih digemari dan dikagumi. Mulai dari aroma, sentuhan tangan membalik kertas, interaksi mata yang jelas berbeda antara buku dan layar bahkan terkadang muncul edisi khusus atau premium. Dari segi substansi pun buku lebih memiliki kedalaman, detail, serta kelengkapan. Lagipula saat kamu bertemu penulis, mereka akan kesulitan membubuhkan tanda tangan di ebook atau website. Orisinalitasnya dipertanyakan.
Perubahan zaman dan kebutuhan menyebabkan buku semakin tersudutkan saat dunia menyerukan gerakan paperless. Gerakan ini sebagai bentuk dari kesadaran penyelamatan lingkungan. Semakin sedikit kertas yang diproduksi, sedikit pula pohon yang ditebang. Benarkah? Bukankah pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan pun banyak mengurangi area hutan? Silakan dicek sendiri.
Apakah kebiasaan pemakaian teknologi tidak memiliki dampak lingkungan yang serupa? The Washington Post merilis artikel yang berjudul How bad is email for the environment yang mengulas dampak dari email dan teknologi yang biasa dipergunakan oleh masyarakat terhadap emisi karbon (carbon footprint). Mulai dari streaming video dan musik, video games, televisi, hingga email. The Radicati Group, sebuah perusahaan riset pasar teknologi, pada tahun 2015 melaporkan jumlah email yang dikirim dan diterima di seluruh dunia per hari mencapai 205 miliar. Angka ini diperkirakan akan meningkat 3% per tahun dan mencapai sekitar 246 miliar pada akhir 2019. Ini berarti hampir 2,4 juta email dikirim setiap detik dan sekitar 74 triliun email dikirim per tahun. Apabila tiap email mengandung estimasi terendah 0,3 karbon, total karbon yang dihasilkan oleh seluruh email di seluruh dunia mencapai 22 juta metrik ton karbon tiap tahunnya. Total ini sama dengan gas rumah kaca yang dihasilkan oleh 5 juta mobil.
Buku yang terbuat dari bahan dasar kayu masih mudah untuk didaur ulang dan diperbarui. Sebaliknya, limbah elektronik (e-waste) yang memiliki karakteristik berbeda dengan limbah lainnya sulit didaur ulang dan semakin meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan laporan United Nations Environment Programme (UNEP) PBB mencatat sampah elektronik di dunia bertambah 40 juta ton per tahun. Rata-rata volume e-waste terus terjadi peningkatan 3 – 5 % per tahun. Jumlah ini tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan limbah jenis lain. Sampah ponsel dan komputer personal sebagai penyumbang terbesar. Limbah emas dan perak 3%, palladium 13% dan kobalt 15%, setiap tahunnya. Selain terdapat komponen-komponen berharga, limbah elektronik juga mengandung banyak komponen yang bersifat racun. Sebuah komputer (PC) saja mengandung komponen yang terdiri dari merkuri, arsenik, dan krom, yang termasuk dalam logam berat. E-waste apabila ditimbun bahan-bahan kimianya mengalami dekomposisi serta masuk ke dalam tanah, tetapi jika dibakar melepaskan dioksin yang sangat beracun.

Pusing? Ya, sama. Saya memang sengaja tidak langsung menyederhanakannya agar kamu merasakan sesuatu yang kurasakan. Intinya, ketika kita beranggapan bahwa paperless merupakan usaha penyelematan lingkungan, kita seolah menutup diri telah turut andil menyebabkan kerusakan lingkungan pada sektor lain yang sama berbahayanya.
Evolusi perwujudan buku pada bentuk lain menyisakan suatu pertanyaan, “masihkah buku berbahaya?” Pada dasarnya, buku seperti halnya ebook dan website tak perlu ditakuti karena tidak memiliki kekuatan. Mereka hanyalah wadah untuk menyimpan berbagai hal yang tak ingin dilupakan. Informasi dan beberapa hal yang tersimpan dalam buku, ebook, atau website itulah yang membuatnya ditakuti.
Boom! Manusia memasuki era digital yang serba cepat. Informasi melaju cepat. Kondisi ini diperparah dengan pemotongan dan sensor beberapa bagian buku sehingga menampilkan sebagian fakta, bukannya detail keseluruhan fakta. Belum lagi mata kita yang mudah lelah karena terlalu lama menatap layar sehingga proses mencerna informasi tidak maksimal. Tiba-tiba kita menjadi kecanduan gawai dan informasi yang terpenggal-penggal. Bangun tidur langsung mencari gawai dan di mana-mana kamu menemukan orang-orang menatap gawainya.
Pada situasi melenakan inilah yang paling menakutkan. Kita terlalu sibuk sehingga tidak sempat memilah informasi yang berkualitas. Tidak ada waktu bersantai untuk mencernanya dan melakukan tindakan hasil pelajaran dari interaksi terhadap berbagai informasi. Pikiran kita menjadi malas dan mudah termakan informasi yang menyesatkan.
Tidakkah terdengar familiar?
Saya pun merasa demikian.

Eli, 1984, dan Berbagai Hal yang Terbakar dalam Farenheit 451
Fiksi-fiksi distopia, mulai dari buku hingga film, bagaimanapun bentuknya dianggap seperti sebuah nubuat. In Time seperti sebuah dunia yang tak masuk akal ketika waktu diibaratkan dengan nyawa, tetapi film ini memiliki kritikan tajam terhadap cara kerja dunia saat ini. The Book of Eli memvisualisasikan runtuhnya peradaban dan buku merupakan kunci keselamatan dunia, khususnya kitab suci yang dianggap mampu mengobati dahaga spiritual saat itu. Sekali lagi, bukan bukunya, melainkan isi pengetahuan dari buku. Pengetahuan inilah sumber kekuasaan.

Kekuasaan tentu membutuhkan dukungan fakta yang dimanipulasi. Fakta di media menjadi sebuah realitas yang tidak lengkap. Pada 22 Januari 2017 Kellyanne Conway dalam sebuah wawancara yang membela jubir Gedung Putih terkait jumlah penonton pelantikan Donald Trump, membuat kita tertawa perihal pengenalan sebuah frasa: “fakta alternatif”.
Mungkin yang dimaksud alternatif fakta seperti ini.
Kekuasaan dan kontrol masyarakat seperti menjadi tema sentral dalam fiksi-fiksi distopia. Pada The Book of Eli kekuasaan seperti nampak tradisional dan sederhana karena kemunduran peradaban paska perang dunia. Pada 1984 dan A Clockwork Orange memiliki struktur kekuasaan yang jelas. Fahrenheit 451 struktur kekuasaan tidak terlalu ditonjolkan, pembaca buku terlihat aneh bagi masyarakat biasa. A Clockwork Orange, 1984, dan Fahrenheit 451 memiliki beberapa kesamaan. Penyembunyian fakta dan kontrol pemerintah kepada seluruh masyarakat dilakukan pada 1984 dan Fahrenheit 451. Pada A Clockwork Orange kontrol terhadap masyarakat hanya dilakukan seperlunya pada individu yang bermasalah.
Cara-cara cuci otak demi melanggengkan kekuasaan ditempuh sedemikian rupa. Media dipilih sebagai alat pertama dalam propaganda penguasa. Pola pikir masyarakat menjadi terkontrol dan tidak memiliki pilihan. Apabila tidak berhasil, kekerasan serta penyiksaan adalah pilihan terbaik dalam menangani Winston (1984) dan Alex (A Clockwork Orange). Pada Fahrenheit 451, Bradbury memilih mengirimkan para pembaca buku ke rumah sakit jiwa atau diasingkan dan dibakar bersama buku-buku bila masih membangkang. Mana yang lebih baik? Pilihlah sendiri yang menurutmu  terbaik untuk mencuci otakmu.
Nuansa. Sebuah fiksi distopia perlu kesuksesan dalam membangun nuansa. Orwell dalam 1984 yang begitu gelap berhasil menghadirkan suara-suara lirih nan mencekam untuk meneror pembaca. Burgess dalam A Clockwork Orange mampu menampilkan estetika budaya pop yang banal berbalut kekerasan dengan kebimbangan pilihan moral. Melalui pengetahuannya yang luar biasa tentang potensi teknologi, Bradbury menampilkan Fahrenheit 451 dengan prosa yang kuat sekaligus bergerak cepat dan terlihat puitis (baik dalam terjemahan Elex Media Komputindo maupun Gramedia Pustaka Utama).
Setetes hujan. Clarisse. Tetesan lain. Mildred. Ketiga. Sang paman. Keempat. Api malam ini. Satu, Clarisse. Dua, Mildred. Tiga, paman. Empat, api. Satu, Mildred, dua, Clarisse. Satu, dua, tiga, empat, lima, Clarisse, Mildred, paman, api, pil tidur, tisu sekali pakai, kerah baju, embus, remas, buang, Clarisse, Mildred, paman, api, pil, tisu, embus, remas, buang. Satu, dua tiga, satu, dua, tiga! Hujan. Badai. Tawa sang paman. Petir di lantai bawah. Seluruh dunia kehujanan. (h. 20-21, Elex Media)
Satu tetes air hujan. Clarisse. Satu tetes lagi. Mildred. Tetes ketiga. Paman. Keempat. Api malam ini. Satu, Mildred, dua, Clarisse. Satu, dua, tiga, empat, lima, Clarisse, Mildred, paman, api, obat tidur, pria-pria, tisu sekali pakai, memanfaatkan, buang ingus, gumpal, buang, Clarisse, Mildred, paman, api, pil, tisu, buang ingus, gumpal, buang. Satu, dua, tiga, satu dua, tiga! Hujan. Badai. Paman tertawa. Halilintar jatuh di bawah. Seluruh dunia berhamburan turun. (h. 28, GPU)
Bradbury mungkin tidak akan mengira bahwa karyanya kemudian menimbulkan begitu banyak paradoks, baik dari segi substansi maupun dampak. Kita dibuat terombang-ambing dengan narasi dan dialog, “apakah saya tetap membaca buku atau membuangnya saja? Bradbury menceritakan semua ini dengan paradoks melalui perspektif orang ketiga yang terbatas perihal pikiran dan perasaan Montag. “... Kamar itu tidak kosong. ... Kamar itu memang kosong.” Itulah dunia imaji Bradbury tentang masa depan yang dia tulis pada tahun 1950 (dua tahun setelah Orwell menulis 1984). Selain itu, kekayaan kosa kata yang kasar telah membelah masyarakat untuk mendukung atau menolak buku ini masuk ke dalam kurikulum maupun perpustakaan sekolah di Amerika Serikat.
Tebal Fahrenheit 451 yang hanya 200 halaman tampil seperti sebuah film yang bergerak cepat dan meloncat. Sebuah buku yang cukup pendek dengan tema yang kompleks, sangat disayangkan. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghalangi pengembangan karaktek Montag yang rumit dan radikal, Beatty yang begitu intens dan cerdas dalam memanipulasi.
Fahrenheit 451 membakar semua yang kamu miliki dalam pikiranmu. Layaknya burung yang terbang bebas lalu terbakar menjadi abu. Dari tumpukan abu tersebut lahir burung api, phoenix.
Bagiku, Fahrenheit 451 bukanlah sebuah nubuat melainkan peringatan. Pembakaran buku oleh sebab dibenci atau ditakuti tentu tak dibenarkan. Pelarangannya pun justru membuat orang-orang kian penasaran. Bagaimana kita dapat membantah sebuah buku tanpa membacanya sedangkan membacanya saja dilarang? Tindakan yang perlu dilakukan ialah membuat buku bantahan atau tandingan. Sambil sesekali berdoa agar buku itu tidak kalah populer sehingga dibaca dan dimengerti oleh khalayak. Terakhir, saya hampir lupa mengingatkan bahwa industri percetakan buku mengikuti selera pasar. Ini bisnis, bung.



Oct 12, 2018







Life can only be understood looking backward. It must be lived forward.- Eric Roth, The Curious Case of Benjamin Button Screenplay

Aku menjamah Pedro Paramo berulang kali. Akhir-akhir ini lebih sering dengan membandingkan terjemahan yang berbeda (Gambang dan Gramedia). Bolak-balik menuju lorong masa kini dan silam di kota Comala. Kurasakan gegar riuh dan sunyi dalam deretan kata Rulfo. Hal itu tak lantas memberikanku sebuah kesimpulan bahwa hidup ialah seperiuk tai. Jangan dengarkan gerutuan Kilgore Trout, kakek uzur yang mengalami ‘gegar’ karena gempa waktu.

Vonnegut menjelma menjadi lebih cerewet dari biasanya. Mohon mahfum namanya juga kakek-kakek, nenek-nenek pun demikian. Meskipun mereka menyebar hoax atau haus perhatian, biarkanlah namanya juga kakek-nenek. Adakalanya mereka sudah makan sepiring nasi tapi merasa belum makan sama sekali. Janganlah kita ikut-ikutan membully walau mereka bullyable. Tentu saja merepotkan. Anggaplah menahan diri sebagai latihan menjadi lelaki atau anak/kawula muda yang berbakti.

Bicara merepotkan, aku ingin membawamu pada sejarah dalam definisi Carr, dialog tanpa akhir antara masa kini dan masa lalu. Belakangan ini ada sebuah kerepotan yang membayangiku. Terlepas dari repotnya kakek-nenek yang merepotkan itu, aku bertanya-tanya, sejauh mana dulu aku merepotkan.  Ketika belum lahir pun kita kerap merepotkan orang tua. Cobalah bayangkan dirimu mendekam di rahim sedangkan orangtuamu berkeliling mencari lele penyet pada pagi hari saat anak-anak sekolah di Surabaya (yang luas). Atau pagi buta mencari warung rawon yang masih buka. Merepotkan? Tidak, justru menyenangkan dan lucu meski saat mencarinya jelas-jelas mengerutu. Pemahaman ini setelah ada jeda dan jarak.

Jeda dan jarak itulah yang membuatku terpingkal-pingkal tatkala membaca tulisan-tulisanku bertahun lampau. Aku tak mampu menemukan betapa merepotkannya diriku saat masih dalam kandungan. Selain ayahku yang irit bicara, aku tak begitu dekat dengan ibu (karena jarang berjumpa). Jadi, tulisan-tulisan itulah yang merepresentasikan betapa merepotkannya diriku. Tulisan-tulisan hasil belajar yang oleh para mentor dibuang, disobek, dihujat, dibanting, diinjak, dan diamini.

Dulu tiada tebersit kegiatan yang menjemukan itu menghasilkan uang atau sekumpulan karya. Lha wong aku sinau nulis biar skripsiku lancar. Memang dangkal banget. Mungkin sedikit berbeda dengan orang-orang yang berniat belajar menulis untuk menembus media, menghasilkan maha karya atau alih-alih menjadi abadi. Bagiku itu hanyalah bonus sebab ora kepikiran blas.

Ketika kian jamak pelatihan menulis tentu saja hal tersebut membuatku semakin merinding. Mereka berharap banyak setelah mengikuti pelatihan menjadikan tulisan mereka semakin bagus secara tiba-tiba. Kerap kutemui muda-mudi dengan semangat menggebu yang kemudian menjadi lesu ketika mereka dijatuhkan. Padahal menulis merupakan proses berulang penghancuran dan pembentukan. Hanya orang keras kepala yang mau dan belajar berbenah dari proses ini.

Aku tak mampu membayangkan betapa repotnya para mentorku. Barangkali mereka pusing atau bahkan hendak muntah saat membacanya. Pasti akan mengejutkan mendengar komentar-komentar mereka. Sayangnya, diriku belum sempat menanyakannya. 

Sejauh apapun diriku membayangkan betapa merepotkannya pada masa silam, hidup memang selalu ke depan dan harus dijalani. Aih, benar memang jika sejarah nampak seperti pelacur yang bersahaja. Tapi, ...

Though wise men at their end know dark is right,
Because their words had forked no lightning they
Do not go gentle into that good night.
Dylan Thomas

May 17, 2018




Judul               : Deadpool 2
Durasi             : 119 menit
Sutradara       : David Leitch
Naskah           : Rhett Reese, Paul Wernick, Ryan Reynolds
Pemain           : Ryan Reinolds, Josh Brolin, Morena Baccarin, Karan Soni, Zazie Beetz, T.J. Miller, Jullian Dennison, Brianna Hildebrand, Leslie Uggams, dan Stefan Kapicic, Brad Pitt.

Well, that's just lazy writing.
            Bukan, bukan karena joke atau sindirannya Deadpool yang kusuka pada tokoh ini, melainkan kesadaran dirinya yang sedang berada di dunia komik atau film. Saya pun sadar sedang di Surabaya beberapa hari setelah kejadian BOM yang membuat kota ini agak sepi dibandingkan hari-hari biasa. Pusat keramaian dijaga ketat dan semua pengunjung diperiksa, termasuk saya yang notabene tak bertampang teroris hanya saja ada sedikit brewok yang sedang malas kupotong. Langit Surabaya masih dalam nuansa parno, dan saya pun ikut-ikutan parno saat masuk di dalam studio. Ada sekelebat aksi penembakan brutal dalam gedung bioskop seperti di Amerika Serikat sana. Sialnya, posisi dudukku tak menguntungkan untuk berlindung maupun melarikan diri.
            Well, kita bahas Deadpool saja. Film ini memiliki formula yang hampir mirip dengan film pertama yang memerlukan latar belakang kejadian. Tak ada yang istimewa, namun saya suka. Dengan penghormatan terhadap Wolverine sebagai mantan rekan kerjanya, diikuti narasi-narasi kematian super hero untuk menaikkan rating, Deadpool memiliki caranya sendiri untuk mengapresiasi hal tersebut.
            Saya tak ingin membawamu kepada spoiler karena memang film ini tak memiliki plot yang mencengangkan. Terasa pendek dan lebih drama. So, Deadpool tak berbohong ketika mengatakan film ini adalah film keluarga. Super hero yang tak muluk-muluk mengisahkan penyelamatan dunia, tetapi lebih kepada dirinya sendiri yang begitu rumit dan sarkas.
            Di awal, kukatan Deadpool memiliki kesadaran bahwa dirinya berada di dalam dunia komik atau film. Hal ini membuat dialog-dialognya menerabas batas dunia perfilman. Jika kamu penikmat film, tentunya tahu bahwa Ryan Reinolds pernah memerankan Green Lantern dan paska Christian Bale, dia digadang-gadang memerankan sosok Batman (dan akhirnya diperankan oleh Ben Affleck). Banyak parodi dan joke mengenai hal tersebut. Selain itu, saya sendiri tak begitu yakin semua penonton memahami joke dari Merc with a mouth ini karena terlalu banyak referensi budaya pop luar yang tak banyak diketahui masyarakat Indonesia. Apalagi anak muda zaman now yang tak begitu akrab dengan Robocop.
            Akting ryan tak diragukan lagi. Ia benar-benar ingin move on dari green lantern dan menggampar para pengkritiknya melalui Deadpool (jadi, jangan langsung pulang). Ia seperti terinspirasi Hugh Jackman untuk bertaubat memerankan satu karakter super hero. Ryan is Deadpool, Deadpool is Ryan. Josh Brolin tak memiliki ruang khusus untuk mengeksplorasi karakternya. Dan Domino, saya menyukainya. Sepertinya dia akan menjadi tokoh sentral dalam X-Force.
            Adegan laga dan aksi salah satu yang paling ditunggu pada Deadpool. Dengan rating R, film ini menampilkan kebrutalan yang terkadang konyol dan kocak. Seoalah Deadpool ingin mengatakan “namanya juga film”. Berbagai kekacauan yang mengandung kecabulan serta Domino, aku menyukainya. Sudah berapa kali aku mengatakannya?
            Ada satu lagi yang menarik perhatianku: musik. Deadpool seperti mencoba mencuri formula Guardian of Galaxy dalam menempatkan musik-musik lama. Misalkan, Ost Yentl: Papa, can you hear me?  dengan bumbu parodi. Ada juga scene dengan latar Moonage Daydream David Bowie yang menjadi andalan para penjaga galaksi. All Out Love nya Air Suply saat trailer, serta Thunderstruck milik AC/DC ketik para X-Force terjun bebas. Ah, kalau dirimu tahu film Annie (1999), ada lagu Tomorrow-Alicia Morton yang mengiringi slow motion.
            Sesungguhnya yang paling besar mencuri perhatianku ialah Juggernaut. Pada film X-Men: The Last Stand, Ia nampak tak terlalu kuat dan seperti disia-siakan hanya untuk menabrak tembok dan kalah dengan konyol. Cobalah bermain SEGA Genesis atau video game Marvel, kau akan dibuat jengkel oleh Juggernaut sebagai salah satu bos sebelum menghadapi Magneto. Dan bersyukurlah karena Juggernaut mengikuti gaya komiknya, mulai dari kostum maupun kekuatan.
            Kau tahu, saat saya mendapatkan realitas bahwa gedung bioskop di surabaya, khususnya film Deadpool tak mengurangi kecemasan paska kejadian BOM. Buktinya, penonton Surabaya begitu antusias dengan film ini. Saat saya sampai, kursi full, dan kami mendapatkan tempat duduk deret ketiga di depan layar. Kali ini saya kurang begitu puas merasakan sensasi menonton Deadpool 2 lebih karena posisi duduk yang tak menguntungkan. Saranku, menontonlah setelah seminggu film ini diputar, semoga sudah mulai lengang. Ketika pulang nuansa bulan puasa mulai terasa. Tandanya bunyi petasan. Aku sulit membedakan bunyi petasan dengan bom di kota ini. Mungki karena belum pernah mendengarkan suara ledakan asli. Semoga saja tidak pernah. Jadi, saya akhiri dengan menyanyikan sebuah lagu

The sun will come out tomorrow
Bet your bottom dollar that tomorrow
There'll be sun
Just thinkin' about tomorrow
Clears away the cobwebs and the sorrow
'til there's none
When I'm stuck with a day that's grey and lonely
I just stick up my chin and grin and say, oh
The sun will come out tomorrow
So you gotta hang on
'til tomorrow, come what may!
Tomorrow, tomorrow, I love ya, tomorrow
You're always a day away!
            Oh, jangan mengalihkan pandanganmu dari layar karena ada banyak cameo pada film tersebut.

Cerita              : 8/10
Pemain           : 8,5/10
Ending            : 8/10
Overall            : 8/0

May 11, 2018





Ingatlah ini hanyalah fiksi dan aku sedang ingin bercinta eh bercanda. Tak kurang dan tak lebih. Maklum saja di ruangan tanpa pencahayaan yang mencukupi nan pengap ini, para manusianya kurang bercanda. Apalagi setelah ada insiden. Aku hanya meminta mereka untuk memberikan kesempatan posting cerpen di blogku.
Sebelum sampai di tempat ini, aku berada di Cirebon. Bersinggah dan mengamati sebuah angka, angka 14. Ada hal keren pada angka 14. Mencerminkan korsa dan kolektivitas tiada banding. Aku kerap dibuat geleng-geleng dengan angka ini, batas privat dan publik menjadi bias. Ketika dunia semakin terpisah dengan ego dan individualis, angka 14 menunjukkan sebaliknya. Aku hanya mampu mencoba memahami, sayangnya diantara mereka ada saling tidak mengerti. Atau lebih tepatnya muncul kecemburuan tak terstruktur. Angka 1 memberikan pengaruh kepemimpinan sekaligus sifat otoriter, namun tetap diimbangi oleh pengaruh angka 4 sang pembaharu yang jujur dan adil. Lebih realistis dan tak mudah percaya, bahkan kepadaku.
“Bagaimana menurutmu?” tanya salah seorang dari mereka kepadaku tiba-tiba.
“Apanya?”
“Tentu saja insiden itu,” ujarnya.
Kuhentikan tulisanku sambil menatapnya yang sedang menghisap rokok dengan wajah mengkerut untuk menghindari asap rokok dari matanya. “Kalian lebih tahu daripada aku cara membedakan pengalihan isu ataukah hanya sebuah kecelakaan yang tak terprediksi,” jawabku. Lalu melanjutkan mengetik.
Di Tasikmalaya, aku bertemu dengan seorang pria Jawa yang sudah tua. Mbah Trimo namanya. Ia banyak bicara. Kasihan aku melihatnya, kusodorkan satu plastik kacang rebus padanya. Ia memakannya dengan suara yang aneh di mulutnya kraus kraus kraus. Aku makan kacang rebus tak seberisik itu. Hanya terdengar suara retakan pelan dari terbelahnya kulit kacang yang basah.
Sambil mengunyah kacang dan dengan bahasa Jawa, Ia bertanya, “Kau belum menikah?” Aku mengangguk. “Pantas bisa keluyuran.”
“Belum dapat pasangan?” Aku kembali mengangguk. Ia terbahak memuncratkan kacang-kacang dalam mutunya.
Nang, tak kasih tips mencari pasangan.”
“Apa itu, mbah?”
“Dengan lima bidak yang tumbang? Bukankah itu aneh?” tanya orang itu. Rokoknya sebentar lagi habis. Aku mencoba bersandar pada kursi, tetapi punggungku sakit. Mereka tak mengincar wajah atau kepala bukan karena terlalu kentara, melainkan yang di dalamnya sangat berharga. Bahkan jikalau aku lumpuh sekalipun asalkan isi kepalaku masih berfungsi, masih dapat diberdayakan.
“Lalat tak mungkin dapat menghancurkan sebuah toko. Menggeser botol atau gelas pun mereka tak sanggup. Mereka hanya mengganggu. Kecuali, lalat itu masuk ke telinga seekor banteng dan membuatnya marah. Toko tersebut dapat hancur berantakan. Mungkin saja akan ada kejadian susulan yang membuat banteng marah.”
“Di mana?”
“Bukankah itu tugas kalian mencari tahu. Tugasku hanyalah ini,” jawabku memamerkan kepadanya beberapa lembar kertas yang membuatku berada dalam ruangan ini. Kualihkan pandanganku pada tulisanku.
“Tips pertama, ujilah pasanganmu dengan jarak dan intensitas pertemuan. Aneh jikalau menguji atau untuk mengetahui karakter pasanganmu dengan mengajaknya ke gunung. Itu hal bodoh dan dangkal. Jika hal itu kamu lakukan Ia tetap setia dan tak berpaling meski sekejap, maka Ia benar-benar mencintaimu dan cocok menjadi pasanganmu. Bukankah kita diuji Tuhan dengan cara yang sama?”
“Bagaimana kita tahu dia setia dan tidak? Sedangkan, kita tak bersamanya.”
“Sabar... tips kedua, Ia membuatmu lebih baik, bukannya menjadi lebih buruk di mata Tuhan. Jika Ia baik untukmu, tentunya kamu akan lebih mendekat pada Tuhan: rajin sholat, puasa yang benar, hubungan sesama manusia juga menjadi baik, tidak mudah emosi, dan selalu tenang. Lha sekarang ini, banyak muda-mudi galau. Itu tandanya hubungan mereka tak sehat. Jadi pemalas, waktu habis untuk memikirkan atau bersamanya, sering berbohong sama orang tua, mudah marah kepada teman atau keluarga. Semua tak sehat karena hubungan mereka dilandasi sesuatu yang buruk, maksiat dan lain-lain. Jika nuranimu ada dan tak tertutup hidayah, tentu mampu membedakan mana pasangan atau orang yang membuatmu lebih baik, bukannya menjadi lebih buruk.”

Aku hanya mengangguk-angguk mendengarkan nasihat Mbah Trimo. “Nah... yang ketiga jangan mendengarkan promosi dari teman dekatnya.”
“Loh mengapa?” tanyaku heran, “Bukankah yang dekat justru lebih tahu.”
Mbah Trimo mendekatkan telapak tangannya ke mataku. Sangat dekat, bahkan aku dapat merasakan hembusan nafasku sendiri. “Apa yang kau lihat?”
“Buram, mbah.”
“Kalau saya bilang ini daging kerbau, kamu percaya gak?”
“Mungkin saja, mbah. Telapak tangannya Mbah memenuhi pandanganku. Kabur, tidak jelas.”
“Banyak orang tertipu promo, nang. Politik percintaan itu benar-benar ada. Apalagi kamu lanang. Ada ikatan antar lelaki untuk saling menutupi kebusukan sesama. Dan lagi, kamu paham promosi melalui SPG lebih menarik. Jadi, yang ditampilkan yang baik-baik saja. Busuknya, tidak. Bukankah begitu sebagai lelaki?”
Aku hanya terkekeh mendengarkan penuturannya.
“Ada itu orang China yang bilang, kita disuruh mendekati musuh karena pandangan mereka yang jelas dan selalu berkata jujur mengenai lawannya,” tambah Mbah Trimo. “Untuk mengetahui setia atau tidak, ya perlu dua puluh empat jam bersamanya. Nikahi dia! Kamu percaya orang baik untuk orang baik, yang buruk untuk yang buruk?” Aku mengangguk.
“Jika kamu tak setia, dia pun akan tak setia. Jika tidak, Ia akan melakukan hal serupa. Apalagi lelaki seperti dirimu, pasti akan mencari pelampiasan jika dikhianati kan?” Aku nyengir karena belum pernah dikhianati pasangan, tetapi banyak contohnya juga sih. “Baik buruknya ini tak dilihat dari masa lalu, tapi saat ini. Sekarang! Kalau bertaubat, ya dikasih yang baik. Jika tidak ya dikasih dengan kwalitas yang nilainya sama.” Suara kraus kraus kraus masih terdengar. Bibir kananku terangkat, tersenyum karena tak mampu menghasilkan suara yang sama dengan Mbah Trimo.
Kutengok angka 15. Ah, lupakan. Dia masih suwung dan bergelut dengan dirinya sendiri. Rajin membaca, tapi malas menulis.  
Gawaiku berbunyi. “Pesan tak penting,” ucap orang itu sebelum aku bertanya. Aku mencoba mengubah posisi dudukku agar rasa sakit di punggung, perut dan kaki beralih.
Angka 16 hadir di Cianjur. Angka ini sering menunda sesuatu yang penting dan genting. Sok tahu dan keusilan mereka membuatnya populer di kalangan kawan. Masih perlu belajar tanggungjawab dan dominan individualis. Jikalau mampu melewatinya, angka 16 dapat menjadi guru yang baik.
Ia sedang sibuk mengetik sesuatu di gawaiku. “Hei, jangan membalas seenaknya.”
“Pesan tak penting perlu dibalas singkat saja dan tak penting juga.”
“Balasanku selalu penting meski terkadang tidak jelas.”
“Oh, iya? Segera selesaikan. Nanti akan kukembalikan.”
“Minta rokoknya. Sedari tadi aku tak merokok.”
“Karena kau mengerjakan sesuatu yang sedang tidak kami suruh.”
“Ambilkan rokokku saja di saku tas samping.” Ia merogoh saku samping dan menyerahkannya padaku. “Koreknya?” Ia memberikan rokoknya yang tinggal satu hisapan kepadaku.
Sukabumi. Setelah dari sana aku ke Banten dan berencana menyeberang ke Sumatera. Itu rencana awalku. Sambil menunggu kendaraan, terlintas angka 17. Angka yang barangkali paling membenci dan tak memercayaiku. Tentunya setelah kejadian itu. Angka yang mengingatkanku pada Athos, Porthos, dan Aramis. Ah, tri mbak kenter atau bolehlah identik dengan akronim Bely. Angka ini sulit menerima nasihat orang lain, perfeksionis sehingga sering menunda dan pada akhirnya kerap menyusahkan diri mereka sendiri. Sebenarnya, angka 7 yang menaungi mereka merupakan tipekal penyendiri yang barangkali spesialis pekerjaan yang cocok dikerjakan seorang diri. Selain itu, angka 7 tak menyukai kegiatan fisik, cenderung dingin pada perjumpaan pertama, dan mudah frustasi. Hari-hari ke depan cobaan mereka semakin berat, dan mereka perlu menyingkirkan ego dan sifat individualis. Angka ini perlu diarahkan pada belajar dari pengalaman orang lain bila nasihat tak mempan. Semoga saja bukan Tuhan yang memberikan nasihat secara langsung padanya. Cukuplah kita doakan agar mereka menjadi tempat curhat kisah-kisah kelam bagi keluarga, teman-temannya di luar sana agar mengerti, memahami, serta pandai bersyukur. Agar angka ini dapat menggunakan pengetahuan dan kebijaksanaannya dengan tepat sehingga mampu menjadi pencanang kehidupan. Sangat berbahaya jika mereka mengalaminya langsung, namanya juga Tri Mbak Kenter.
Dari situlah aku tertidur di sebuah pom bensin dan bangun sudah berada di ruangan ini. Adu mulut dan hantaman. Kuselesaikan keinginan mereka. Diantarkan keluar dan mendapati silau matahari. Kulihat gawai ku penuh pesan. Tubuhku terasa kaku dan lelah, terutama lututku. Aku perlu mencari tempat duduk dan memesan teh hangat.
Belum genap mengistirahatkan tubuh, ada panggilan dari nomer baru.
“Mas, aku mau menikah!” terdengar suara wanita yang sangat lama mampir di telinga.
“Kamu belum menikah?”
“Belumlah.”
“Aku kira sudah,” jawabku setengah kaget. Dengan usianya yang terpaut setahun denganku kukira Ia memang sudah menikah.
“Dengan siapa aku menikah?”
“Pacarmu dong.”
“Dulu siapa yang melarang aku pacaran terus berjanji akan menikahiku saat sudah lulus?” tanya wanita itu ketus. “Bahkan saat Ia dua kali lulus pun tak segera mendatangiku. Dan aku lelah.”
“Loh, siapa?” tanyaku penasaran.
“Kamu, mas.”
“Ha? Aku pernah berjanji seperti itu? Jika melarang pacaran aku masih ingat, kalau yang janji menikah itu aku benar-benar lupa.” Aku sedikit terkesiap. Mencoba mengingat-ingat kembali. Memang dulu aku melarangnya berpacaran hingga Ia sibuk bergiat dalam berbagai acara keagamaan. Sampai-sampai keluarganya mengatakan bahwa Ia ‘salah masuk masjid’ karena penampilan dan sikapnya berubah.
“Dasar Cowok!” Kata-kata itu menujukkan sepertinya Ia tidak berubah. Atau Ia seperti itu hanya padaku saja, aku tak tahu pasti.
“Memangnya calonmu tidak cowok juga?”
“Ya cowok, Alhamdulillah tidak sepertimu.” Terdengar ada senyum dalam nada bicaranya.
“Syukur deh,” ucapku tertawa kecil.
Lalu Ia banyak bertanya dan bicara. Aku menjawab dan balik bertanya sembari menahan rasa lelah di tubuh. Tak lupa Ia menasihatiku dan menanyakan kebiasaan-kebiasaan buruk masa silam. Perbincangan itu berakhir dengan sebuah ultimatum. “Mas harus datang ya! Pokoknya wajib!”
“Yang penting kan doanya,” jawabku sambil melihat teh yang mulai dingin dan hampir habis.
Ada rasa haru dalam keheningan di penghujung perbincangan. Ada kilas balik keceriaan masa SMA dan pertengkaran kecil yang membuat kita terputus kabar. Oh, manusia dengan segala kelupaannya. Berbeda dengan khilaf, ini semacam anugerah lupa dari Pencipta untuk saling menjaga dari jauh.
Bus yang hendak mengantarkanku ke Banten sudah datang. Akan tetapi, kabar itu mendadak membuyarkan segalanya. Bang Toyyib pulang dan aku masih punya kewajiban terhadapnya. Inginku berkata halus dan lembut ternyata tidak bisa.

8’3092  x2:12=  8’:2:,  52_2±  ±’8’=7,3 52=  6’8262≠ 


Jumat, 11 Mei 2018