Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Apr 13, 2019



Jauh sebelum mengenal Levinas, saya sudah memercayai perihal wajah sebagai jejak ilahi yang bersifat transenden. Berkali-kali saya bertemu dengan seseorang yang mengatakan bahwa wajahku seperti A, B, C yang merujuk beberapa tokoh yang telah tiada. Yang mengejutkan, mereka ada benarnya setelah kutelusuri silsilahku. Ini bukan perihal reinkarnasi, dan Tuhan dalam wujud manusia. Ini suatu hal yang berbeda, aku melihat wajah dari suatu sudut pandang yang berbeda: dapat berupa pengingat, hukuman, penghormatan, atau bentuk perbaikan kesalahan masa lalu. Bagi sebagian orang mungkin terdengar konyol dan terlau mengada-ada, namun ini riil.

Bagi Levinas, wajah dilihat sebagai jejak (trace) yang tak terbatas (the infinite). Ia lebih memilih kata “jejak” dibandingkan kata “tanda” karena terdapat unsur transenden dari tak terbatas, kalau dalam sudut pandangku Ilahi. Kata jejak memberikan suatu pemahaman bahwa ada objek yang tertinggal dan masih bisa dikenali. Objek sebagai sumber jejak sudah tidak ada lagi. Ia tidak hadir, tetapi masih bisa ditelusuri kehadirannya.

Saat aku melihat foto si bocil, aku seperti melihat jejak seseorang yang tak hadir di sana, namun masih bisa kukenali, yakni diriku sendiri. Pada kasus lain, aku juga melihat wajah seseorang yang kukenali, akan tetapi bukan wajah orang tersebut. Nah, di sinilah sifat transendennya. Ada relasi saat wajah dapat didominasi persepsi, namun sesuatu yang khas dari wajah tak dapat direduksi oleh persepsi. Kamu melihat orang yang kau kenal, dan saat yang bersamaan dia bukanlah orang yang dimaksud. Wajah mampu mengungkapkan keberlainan yang lain yang tak mampu direduksi, baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan di baliknya. Yang tak terbatas atau Ilahi sebagai pihak ketiga telah menyingkapkan jejak sekaligus memberikan perintah kepada subjek yang melihatnya untuk bertanggungjawab.

Pada sisi lain, perlu diketahui bahwa jejak juga memiliki fungsi seperti tanda yang mengandung pesan untukku. Manusia tak hanya memberikan makna-makna berbagai objek intensional yang disadari, melainkan juga dibentuk dan dipengaruhi secara kuat oleh berbagai penampakan objek yang implisit.

Wajah memang layaknya enigma. Terkadang, wajah memberikan sifat traumatis atau kekhawatiran. Trauma bukan dalam artian berteriak ketakutan atau histeris, melainkan semacam ada kehadiran yang lain dari objek yang lain. Saya tahu karena pernah mengalami fase ini. Wajah itu bahkan pernah hadir dalam mimpi dan saat terbangun bantal menjadi basah. Uniknya, beberapa minggu silam atau mungkin sebulan lalu saya mimpi bertemu dengan orang yang sama, akan tetapi wajahnya tertutup cadar.

Di negara yang mengaku bermahzab Syafi’i yang menulis al-Umm, cadar seperti sesuatu yang ganjil. Saya seperti melihat sisi lain dari cadar: mengikis trauma pada wajah-wajah tertentu.

Dari berbagai rasa kepo dan wawancara terhadap pengguna cadar ada beberapa problem yang kerap mereka hadapi. Saya membaginya menjadi dua problem, yaitu internal dan eksternal. Dari Sisi internal adalah konsistensi. Saat seseorang bercadar, ia dituntut untuk konsisten dalam memakainya, mengamalkan ajaran-ajaran agama, serta perilaku yang berbeda. Inkonsistensi justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri dan juga bagi pengguna cadar yang lain. Pada dasarnya cadar untuk menghindari fitnah, tetapi apa yang dipikirkan manusia saat melihat wanita bercadar keluar-masuk kamar lelaki yang bukan suaminya? Atau bagaimana jika istri/anak perempuan/saudarimu dibawa oleh lelaki yang tak dikenal? Hal tersebut justru menimbulkan streotip negatif dan fitnah.

Pada sisi eksternal, tekanan keluarga dan lingkungan sekitar yang asing terhadap cadar begitu besar. Kurasa ini wajar mengingat cadar mulai berkembang (dalam pengamatanku) di tengah masyarakat Indonesia sekitar sepuluh tahun silam. Sebelum era reformasi wanita bercadar, maupun berjilbab sangat langka. Sekiranya masyarakat mengerti dan memahami pendapat empat mahzab tentang cadar, kurasa tak akan terjadi kehebohan pada tataran sosial. Khususnya pada ruang lingkup keluarga apabila salah satu anggotanya memutuskan bercadar, tambahan pula mendesak ingin segera menikah. Ini seperti geledek siang hari yang menyambar-menyambar langit kaum umat Nabi Yunus AS. Tak usah dibayangkan, nyatanya memang ada dan banyak.

Begitulah ujian nyata bagi kaum perempuan. Jika keputusannya itu datang dari diri sendiri dan ikhlas, ia akan tetap konsisten. Dan bila keputusannya itu bukan dari dirinya atau ternodai motif-motif lain, Ia akan mengalami kekecewaan dan berhenti serta menanggalkan cadarnya.

Kalau kamu bertanya ujian bagi lelaki, yang pasti menjaga pandangannya. Mau telanjang ataupun bercadar kalau mata lelaki jelalatan yo podo wae marai perkoro. Sayangnya, di luar sana banyak yang seperti itu. Aku kerap bersyukur mataku menjadi minus sehingga wajah-wajah nampak pudar.

Apr 2, 2019









Berbagai kegiatan mekanik yang bertubi-tubi membuat otak dan psikisku letih. Di bawah pohon kersen dan beberapa ekor burung perkutut, iseng-iseng aku membuat proposal pelatihan: Kawula Training. Pelatihan kepemimpinan (leadership training) sudah mainstream bos... jadi, pelatihan menjadi kawula, abdi, babu, jongos, kacung juga sama pentingnya. Tetapi, perihal kawula ini dianggap rendahan, tidak modern, tidak menjual bahkan menjijikkan sehingga tidak layak untuk dijadikan pelatihan.

Pelatihan kepemimpinan memang penting karena setiap orang akan memimpin, minimal dirinya sendiri. Namun, mereka kerap lupa bahwa di luar sana mereka juga akan menjadi kawula, abdi, kacung, ma’mum orang lain. Kepemimpinan itu terkait kekuasaan. Benar bila ada yang mengatakan bahwa kekuasaan dapat mengubah banyak hal dan biasanya yang pertama berubah ialah pemegangnya. Sayangnya, pemimpin itu hanya satu sedangkan yang memeroleh pelatihan kepemimpina itu banyak sekali. Apa yang terjadi jika seseorang sudah tidak lagi menjadi seorang pemimpin? Post power syndrome.

Kawula training akan berfokus pada cara-cara menjadi kawula, abdi, babu, jongos, kacung yang baik sekaligus mempersiapkan mental saat kembali menjadi kawula dan tak lagi memimpin. Kawula yang baik tidak harus patuh seratus persen. Ia harus ingat kewajiban-kewajibannya karena ada kalanya seorang pemimpin memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Misalkan, ada pemimpin yang menyuruh datang bawahannya hanya untuk permasalahan-permasalahan pribadi. Padahal si bawahan masih memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang harus diselesaikan. Relasi yang seperti ini berbahaya. Berbagai skandal dalam institusi formal maupun sosial-keagamaan dimulai dari model relasi seperti ini. Apalagi jika hal tersebut dibalut dengan alasan agenda atau kegiatan institusi. Yah maklum saja, tak mungkin si bos berkata terus terang “temani saya” yang justru malah mengkhawatirkan.

Sang kawula, babu, atau abdi dalam menghadapi pemimpin yang seperti ini perlu tegas dan fokus pada prioritas kewajiban. Sayangnya, karena model pelatihan kawula itu minim, jadi saya kerap menjumpai kawula, babu, atau abdi yang taklid. Ini tentu saja berbahaya karena sifat taklid seseorang sering bingung sendiri dan dengan mudah akan diperbudak model pemimpin tadi. Sifat taklid ini juga yang menghalangi si kawula, babu, atau jongos tidak dapat mandiri. Coba bayangkan sikap taklidmu dibawa sampai mati, saat ditanya malaikat penjaga kubur, meski sudah dikasih tahu modin kisi-kisi jawaban tak akan berpengaruh karena ke-taklid-an yang membutakan jawaban. Masa saat kamu ditanya malaikat, siapa Tuhanmu? Lantas kamu jawab, “Tuhanku si Bos”. Akhirnya, kena gebuk malaikat.

Jadi, hal pertama yang harus dilakukan oleh kawula, abdi, kacung, jongos, atau ma’mum adalah mencari pemimpin yang baik. Apabila hidupmu fiksi bolehlah kamu seperti Togog yang kerap salah dalam mencari majikan. Akan tetapi, ini dunia real. Dunia dengan aneka macam persoalan yang akan menentukan hendak kemana setelah kematian, dan para kawula itu butuh penuntun yang memiliki prinsip, tegas, adil, tahu benar-salah dan pada satu sisi bisa membuat para kawula mandiri.

Kedua, carilah majikan yang tak hanya menyakinkan dalam berbicara, tetapi juga dalam tindakan. Banyak majikan yang hanya bisa menyuruh, tetapi tidak dapat dengan baik memberikan teladan. Aku sudah kenyang bertemu dengan model majikan seperti ini. Apalagi jika majikan itu dibekali kemampuan public speaking yang mampu menyakinkan audien.

Kira-kira begitulah bocoran isi proposal iseng-isengku. Ada suara derak daun-daun keres dan obrolan singkat muda-mudi. Mereka berceloteh karena sang guru keluar tanpa sebab dan seluruh kelas tidak tahu alasannya. Aku tersenyum dan membatin, “kalian ditinggalkan karena seluruh kelas tidak mendengarkan.” Bagaimana aku tahu? Karena aku pernah meninggalkan kelas yang demikian. Bukannya tak peduli, sebaliknya kelas itu yang tak peduli pada tujuan dan tanggungjawabnya. Pada sisi lain si guru ingin menyadarkan seluruh kelas dan melatih untuk mendengarkan. Sayangnya, mungkin ada yang melihat hal ini bukan sebagai bagian dari pelajaran melainkan bentuk ketidakpedulian. Nah, argumen seperti ini terkesan angkuh dan sentimen. Tak cocok menjadi calon majikan penerus bangsa.

Nampaknya, aku perlu menyudahi tulisan ini. Senja mereda menebar belas kasih di tangan. Sayup-sayup terdengar sebuah nada dari handphone salah satu muda-mudi itu. Aku suka lagu lama yang memberi demam hujan.