“J****k!”
Sekitar jam 09.00 pagi sudah
kena makian dari orang nomer tiga yang kuharap tak jumpa. Ia menghampiriku.
Memberiku senyum dan gaya jalannya yang khas parlente itu. Sejak awal bertemu,
aku dan dia sudah saling menegaskan tidak pernah akan cocok sama sekali. Yah,
semua itu terjadi pada forum diskusi dan debat.
“C****K!
WA ora dibales, bareng diWA maneh wes centang siji.”
“Sepurane,
crut. Oleh karena suatu hal, hpku rusak dan nomerku wes habis masa aktife.” Awal
bulan November mungkin, karena hal tak terduga ponselku wafat selamanya.
Diperbaiki pun lebih baik beli yang baru. Di sisi lain, nomer ponselku pun masa
aktifnya habis. Mengurus SIM card membuatku malasnya gak ketulungan. Alhasil,
beli baru semuanya.
Aku memaklumi amarahnya karena
pesannya tertimbun dengan pesan-pesan yang lain ketika aku fokus menjawab
beberapa pertanyaan di salah satu group. Untunglah di sekitar gazebo tak banyak
orang.
“Pertanyaanku bien pie, crut?”
“Pertanyaan sing endi? Aku
lali.”
“C***k!”
“Sek... sek... awakmu arep
ngombe opo?”
“Halah, terserah.”
Walau kami tak akan pernah
saling cocok, aku tetap harus memuliakan tamu dan seorang manusia. Hubungan
kami agak membingungkan. Disebut teman, kami sudah tidak cocok dari berbagai
hal. Bahkan secara blak-blakan di depan umum Ia mengatakan membenciku. Disebut
musuh, aku tak ingin memiliki musuh. Di sisi lain, ia juga sering mengkritik
pandanganku meski aku dapat mematahkannya. Bagiku dan mungkin beberapa orang, Ia
adalah orang keras kepala yang pandai dan cerdas, tapi salah jalan. Sesat lagi
menyesatkan. Suatu ketika, aku pernah mengkritik habis caranya belajar. Intinya,
Ia adalah tipikal manusia yang malas kutemui, namun tak bisa kubenci.
Kebingungan tersebut menarikku
untuk membahasnya dalam perspektif Derrida. Pada buku The Politics of Friendship, Derrida mengawalinya dari kontradiksi
Aristoteles “O philoi, Oudeis philos”
(wahai teman-teman, tidak ada teman). Derrida melihat ungkapan tersebut sebagai
suatu sentimen aneh, ada pengakuan sekaligus negasi. Ia tertarik melihat
kemungkinan baru dari ungkapan tersebut.
Ada yang melihat persahabatan
bersifat abadi dan berirama layaknya musik. Mungkin bagi yang lain persahabatan
adalah bagian dari nostalgia dengan keintiman sporadis dan berbagai percakapan
yang telah lama ditinggalkan. Kita memilih teman atau kawan untuk hal-hal
serius, sebagian hanya pada saat bersenang belaka. Beberapa menutupi kekurangan
kita, dan lebih banyak merepotkan. Derrida ingin membongkar itu semua dalam
bukunya.
Aku mendengarkan permasalahannya,
mematahkan pendapatnya, dan memberikan pandanganku. Ia terdiam. Barangkali akan
berbeda jika hal ini terjadi di suatu forum atau diskusi terbuka karena dia
akan membantah pendapatku. Tindakannya itu justru kian memperlihatkan
kebodohannya setelah susah payah mempertontonkan kecerdasannya. Ia tak mau
kalah di forum-forum besar. Namun, kali ini kami hanya berdua.
“Awakmu ngerti,crut. Sejak
pertama ketemu aku sudah gak suka dan benci awakmu.”
“Ora ngerti dan ora peduli. Toh,
semua itu tak menyakiti dan merugikanku,” kataku sambil ngakak.
“C****K! malah nggegeg.
Ketawamu dikurangi, c***k!”
“Inna min khiyari ummati
qauman yadhakuna jahran min sa'ati rahmatillah, wa yabkuna sirran min khaufi
adzabi.”
“Saiki moco ihya’?”
“Lagi mendalami ulang iki.
Serius ngapalno.”
“Ora usah moco-moco kitablah,
crut. Awakmu sing bien-bien wes menyebalkan, ketambahan moco-moco kui aku malah
soyo benci.”
“Knopo to? Cek bencine.”
“Yoiku, c*k. Buatku,
pendapatmu iku hampir selalu benar dan masuk akal. Ora usah ditambahi
dasar-dasar agama. Aku malah wedi, c*k.”
“Itu kan berasal dari dirimu
sendiri yang mengingkari kebenaran. Salah siapa menyakini kebenaran, tapi tidak
dilakukan?”
“Oh iya, gara-gara
peringatanmu kae aku sering kena masalah, crut.”
“Sing ndi?”
“Yang terakhir awak dewe
ketemu.”
“Njiir. Wes suwi. Aku lali
lah.”
“Awakmu pernah ngomong kalau
orang yang tidak mau mendengarkan nasihat atau mengatakan ‘jangan campuri urusanku’,
suatu saat orang lain takkan peduli dengan urusannya.”
“Oalah. Aku lali je.” Jawabku
sambil terkekeh"
Aku
tak bisa menahan tawa mendengarnya. Sebenarnya itu adalah ejekan untuk orang
liberal nan egois, tetapi ketika masalah itu menimpanya Ia berseru lantang
macam orang-orang sosialis. “Ora iku,
tapi quasi libersos.”
***
Benar. Aku pernah kecewa
karena dikhianati. Sering kecewa jika ada yang tidak percaya padaku. Sangat kecewa
bila amanah yang kuberikan dimanfaatkan untuk pribadi atau dirusak. Aku pun
kecewa melihat yang seharusnya dijaga malah tidak dijaga, yang seharusnya
dinasihati malah dibiarkan saja. Akan tetapi, aku kecewa pada diriku
sendiri karena tak bisa mencegah hal tersebut. Aku kecewa pada diriku karena
terlalu naif dan mudah percaya sehingga sering dibohongi dan dibodohi. Aku
kecewa pada diriku sendiri karena mudah menaruh harapan pada manusia, bukan
kepada Allah SWT. Anehnya, semua rasa itu tidak pernah berasal dari dirinya. Sebaliknya,
semua luka itu berasal dari peristiwa-peristiwa bersama teman atau orang-orang
terdekat. “No friend without the possible
wound. The tension between friendship and enmity would be pharmacological,”
kata Derrida dalam bukunya itu.
Narasi persahabatan membuat
Derrida terus membayangkan masa depan yang akan melampaui kematian. Hal ini
dapat dilihat dari tulisan Derrida yang lain saat mengenang Lyotard, yaitu Lyotard and Us. Pada tulisannya
tersebut, Derrida memperlihatkan kepada kita bahwa terlibat dan bergulat dalam
ide-ide orang lain dapat menjadi salah satu bentuk ungkapan persahabatan
sekaligus penghormatan. “How to leave him
alone without abandoning him? How to, without further treason, disavow the act
of narcissistic remembrance so full of memories to cry or make cry about?”
tulis Derrida dalam Lyotard and Us.
Pergulatan pengalaman manusia
perihal persahabatan memberikan kita suatu pemahaman ikatan sosial dan bayangan
masa depan kolektif. Cara kita berduka, cara kita mengenal dan melihat orang
tidak hanya ditentukan hubungan kita dengan masa lalu, tetapi juga segala
kemungkinan masa depan. Pada The Politics
of Friendship, Derrida memberikan pesan atau sebutlah wasiat yang berani
dan tidak egois: “Demi persahabatan dalam cinta, tidak cukup hanya tahu
bagaimana menanggung duka pasangannya: seseorang harus mencintai masa depan.”
Pada dunia yang makin nisbi. Banyak
kutemukan ‘kematian’ sebelum waktunya. Duka, kenangan, dan pelestarian
kewarasan terikat pada tanggungjawab untuk hari esok. Sayangnya, hal ini tidak
dapat dilihat dengan bijak. Alih-alih mencintai masa depan, pasangan suami
istri merobohkan tiang-tiang penyangga rumah dengan eskavator. Dapat ditebak, tindakan
mereka berdasarkan ego masing-masing pihak. Ego yang mengarahkan mereka ke masa
depan paska kehilangan memiliki konsekuensi memori atau warisan dari apa pun
atau siapa pun yang telah rata oleh tanah.
Mungkin tahun inilah puncak histeria
masal yang telah menjadi sampar.
***
The
intimacy of friendship lies in the sensation of recognizing oneself in the eyes
of another.
Keintiman persahabatan terletak pada sensasi
mengenali diri sendiri di mata orang lain.
(Derrida, The Politics of Friendship)
Kulihat wajahnya sudah mulai
menua. Kuberikan alternatif-alternatif solusi dan pandanganku terkait
masalahnya. Sesekali kuajak bercanda agar sedap kupandang raut wajahnya. Walaupun
aku tahu semua nasihat atau solusi yang kuberikan padanya tak akan dilakukan. Alasannya
sudah pasti jelas, dia mencari celah argumentasinya sendiri dari lawan yang
sebanding. Dengan begitu, Ia akan mencari siasat untuk mengelak atau menutup
celah hal-hal buruk yang dapat terjadi pada dirinya.
Dia sendiri yang memberikan
perumpamaan. Apabila Rasulullah punya Jibril yang menjadi pendamping dan menunjukkan
jalan yang lurus. Baginya, aku adalah orang yang dapat menunjukkan kelemahannya
agar dia bisa menutupi kelemahan itu di hadapan orang lain. Hal itulah yang menyebabkan aku malas menemuinya.
Kadang aku berpikir, mengapa Allah mempertemukan diriku dengan manusia macam itu? Jawaban sementaraku, intinya, bagaimanapun juga meski bukan teman maupun
musuh, aku masih harus memuliakannya sebagai seorang tamu dan manusia.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny