Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Mar 17, 2011

Sebelum tanggal 2 Mei yang bertepatan Hari Pendidikan, beberapa minggu terakhir kita disuguhi berita yang menarik dari bidang pendidikan. Mulai Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai uji materiil Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, prestasi Indonesia sebagai juara umum International Conference of Young Scientists (ICYS) ke-17 di Denpasar, Bali serta yang terakhir adalah hasil Ujian Nasional. Ini juga dibarengi dengan peningkatan prestasi beberapa Universitas di Indonesia yang masuk dalam 500 Universitas terbaik di dunia. Prestasi demi prestasi yang diukir oleh anak bangsa tidak mempengaruhi kehidupan di Indonesia. Meningat pendidikan sebagai lokomtif pembaharuan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dikarenakan pendidikan kita yang masih berorientasi pada pasar. Bahkan karena tuntutan pasar sering manusia mengabaikan moral terhadap sesame maupun pada alam. Rumus yang berlaku adalah apa yang pasar inginkan maka banyak sekolah maupun Perguruan Tinggi yang berlomba-lomba memberikan kurikulum kepada anak didiknya. Penting kiranya melakukan perombakan paradigma dalam sistem pendidikan kita demi menjadi bangsa yang cerdas dalam mengelola potensi daerahnya masing-masing tanpa terprovokasi oleh pasar. Sehingga, masing-masing daerah memaksimalkan potensinya masing-masing.


Pendidikan Berbasis Lokalitas

Pada dasarnya Indonesia dengan letak geografis, keberagaman budaya, adat istiadat menunjukkan ciri dan karakter yang berbeda-beda dari masyarakat. Apabila dicermati, kita sering menemukan pembangunan industri yang diusung oleh pemerintah tidak sinkron dengan kondisi dan Sumber Daya Manusia (SDM) pada suatu daerah. Meskipun, industri yang berdiri pada daerah tersebut memberikan lapangan pekerjaan pada masyarakat sekitar. Akan tetapi, karena tidak dibarengi dengan SDM yang memadai, sehingga penduduk di sekitar lokasi industri biasanya hanya menjadi buruh di tempat tersebut. Apalagi pembangunan sebuah industri ataupun pembangunan dalam sektor lain sering kali memiliki dampak pada lingkungan yang berubah ke arah lebih buruk. Dalam hal ini pemerintah harus berperan semaksimal mungkin dengan menyediakan sarana-sarana sosial seperti adanya ruang public sebagai tempat proses pengembangan kualitas pendidikan yang didalamnya masyarakat kemudian mengembangkan kreatifitas dan merupakan wujud aktualisasi untuk memanusiakan manusia beserta lingkungan di sekitarnya.


Dalam proses memanusiakan manusia juga diperlukan dalam penggalian akar-akar budaya, serta tidak ketinggalan dalam menggali potensi-potensi Sumber Daya Alam (SDA) lokal. Dengan melihat potensi dan karakter daerah di Indonesia perlu digali dan dikembangkan. Selama ini, pendidikan umum yang diperoleh siswa hanya melihat kebutuhan pasar tanpa melihat potensi daerah. Misalkan suatu daerah X memiliki potensi pariwisata maka kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi tersebut fokus terhadap permasalahan pariwisata. Daerah Y memiliki potensi minyak yang besar sehingga kurikulum daerah Y didasarkan potensi daerah Y, mulai dari teknik pertambangan, pengelolaan minyak, dan penambangan minyak yang minim biaya dan ramah lingkungan. Atau misalkan suatu daerah memiliki potensi pertanian, dimana disana dikembangkan potensi pertanian yang diperlukan dalam memperoleh varietas baru, menemukan produk yang bisa dimanfaatkan dari hasil pertanian tersebut. Ini juga bermanfaat mengurangi penumpukan penduduk di suatu wilayah dan memberikan persebaran wilayah pasar dan potensi pasar.


Maka daripada itu, kurikulum pada suatu daerah bisa berbeda dengan daerah lain karena tiap daerah juga memiliki potensi SDA yang berbeda. Perlu diingat juga kurikulum berbasis potensi daerah ini sudah diajarkan pada sekolah paling rendah, sehingga sejak dini siswa mengenali potensi dan semakin intensif terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya. Dengan begitu masyarakat sekitar nantinya tidak melulu menjadi buruh apabila di daerah tersebut dibangun pabrik.

Dengan memaksimalkan potensi lokal tidak akan terjadi penumpukan penduduk. Pengelolaan dan memaksimalakan potensi lokal secara baik mampu menyerap tenaga kerja atau membuka usaha baru di tiap daerah. Dominasi daerah yang memberikan peluang pekerjaan akan luntur dengan sendirinya dan konsentrasi penduduk pun sedikit demi sedikit terkikis.


Pengenyahan Atas Nama Modernisasi
Modernisasi sering kali disalah tafsirkan dengan mengenyahkan kearifan lokal. Pendapat ini berawal dari modernisasi yang menimbulkan kerusakan lingkungan, sehingga memberikan gambaran bahwa modernisasi mengabaikan moralitas. Disinilah kearifan lokal perlu diajarkan dalam kurikulum pada setiaap jenjang pendidikan. Membahas moralitas tidaklah selalu agama tetapi tiap-tiap daerah memiliki pandangan filosofis tentang kehidupan, hubungan sesama dan hubungan dengan alam. Dengan kurikulum ini menjadi seimbang antara intelektualitas dengan memperlakukan makhluk, karena perusakan baik fisik dan psikis alam serta sosial tidak seimbangnya hal tadi.

Ada kerinduan individu di Indonesia untuk kepada nilai-nilai lama disebabkan kondisi riil saat ini yang jauh dari harapan. Dulu kita menganggap nenek moyang kita orang yang kolot dan kuno. Tetapi, sekarang kita tersadar bahwa apa yang diajarkan dan diturunkan melalui peribahasa, pantun maupun lagu mengandung makna serta pelajaran yang berhaga bagi kita, para penerusnya.
Telah terjadi pengenyahan budaya menulis di tiap insan akademis di kampus ini. Menulis dianggap suatu yang sulit dan ditakuti oleh mahasiswa. Inilah satu kesalahan fatal ketika menulis tidak dinikmati tetapi malah ditakuti. Bagaimana kita sering mendengar keluhan jika disuruh menulis. Tetapi lucunya mereka malah menikmati jika diplonco waktu OSPEK. Bukannya menolak atau membantah ketika tidak diperkenalkan budaya akademik. Nampak seperti anjing yang menurut saja apa kata tuannya dan pemilik anjing juga menikmati atraksi binatang peliharaannya.

Tidak disadari budaya menulis telah dikesampingkan dan menjadi fobia terbesar dalam kehidupan kampus dewasa ini. Sejujurnya saya tidak sependapat dengan Bung Karno mengenai definisi bangsa yang besar. Menurut beliau bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa akan jasa para pahlawannya tetapi menurut pendapat pribadi saya bangsa yang besar adalah bangsa yang suka menulis. Kita seakan lupa atau memang tidak tahu bahwa orang yang besar dan berpengaruh di negaranya di dunia ini mengawali perjuangannya dengan tulisan.

Karl Marx mengawali kegiatan tulis menulisnya dengan bergabung surat kabar berhaluan kiri liberal,Rheinische Zeitung. Bung Karno juga tidak ketinggalan dalam dunia tulisan. Dia pernah memimpin harian suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka pada tahun 1926. Begitu juga para founding fathers yang lain juga tidak ketinggalan untuk menulis. Mereka sadar bagaimana mengawetkan keabadian diri dan pemikiran mereka, yaitu dengan tulisan. Bagaimana kita masih bisa mengikuti pemikiran Aristoteles, Plato maupun Socrates sampai saat ini jika bukan dari tulisan.

Tulisan yang tidak sembarang tulisan. Tulisan yang memiliki kekuatan mengubah dunia karena tulisan tersebut mengandung kata - kata yang bermakna. Kata-kata adalah serdadu, yang siap menyerang dan membunuh. Kata-kata adalah pasukan bertopeng yang tak hentinya menyerbu. Kata yang mampu menjadi senjata penghancur atau senjata pelindung. Hal tersebut didukung oleh Ketua EZLN, Subcomandante Marcos bahwa "Kata Adalah Senjata".

Sudah kita tahu bersama kata - kata Karl Marx dan "Ernesto" Che Guevara mampu menghipnotis pemuda dan buruh yang baru membaca tulisan mereka, dan juga kita tahu Kalimat - kalimat Sigmund Freud mampu mendobrak ilmu pikoanalisa dengan Hysteria-nya. Serta bait - bait Ali Syariati yang mampu mendorong Revolusi Iran. Cerita - cerita Niccolo Machiavelli dalam il Principle yang menjadi teman tidur para diktator.