Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Sep 29, 2019





Aku dibuat bingung oleh laptop maupun jaringan internet lantaran berbagai upaya untuk mengunduh film selalu gagal. Keduanya nampak baik-baik saja. Normal tanpa ada masalah, lantas mengapa selalu gagal? Hal tersebut terjadi dalam beberapa hari.

Demi menghilangkan kejengkelan, mau tidak mau, suka tidak suka kusentuh koran. Berharap ada yang menghibur. Ternyata tidak ada artikel yang mampu menyembuhkan kebosananku. Barangkali karena koran hampir mirip dengan jurnal dari segi tulisannya yang objektif. Akhir-akhir ini memang diriku terlalu tenggelam dalam tulisan-tulisan jurnal. Sesekali beralih pada opini dan esai untuk ganti suasana, namun masih saja tidak ada yang menghibur.

Gerutu dan kebawelan menjadi suara yang memecah keheningan tatkala kubaca opini dan esai di gubuk dekat kantin. Berkali-kali diriku dibuat kecewa oleh strategi penulis dalam membangun narasi dan argumentasi. Aku merasa menjadi kritikus yang agung nan jeli untuk tiap kalimat dan paragraf. Padahal biasanya satu atau dua paragraf pembuka saya akan menutup tulisan tersebut, entah karena bosan, jelek, atau mudah ditebak.

Fase-fase kejemuan seperti ini, aku menetapkan opini dan esai yang mampu menghiburku. Pertama, kebaruan atau novelty. Oleh karena tingkat kesulitan itulah, yang membuatku dapat terhibur. Opini dan esai yang memiliki kebaruan selalu menawarkan nuansa, rasa, cara pandang, gagasan, atau solusi baru. Kebaruan itulah yang menjadi jaminan bahwa karyanya orisinal. Tidak sedikit penulis yang menyadari hal ini malah kerap jatuh karena membebani teks dengan pertanyaan-pertanyaan retorik dan metofora.

Penulis yang bermain aman dia akan membuat suatu pertanyaan remeh atau kecil dibandingkan bermuluk-muluk mengawali dengan narasi-narasi besar. Mereka hanya membutuhkan koherensi dan konsistensi. Selanjutnya akan lebih mudah. Biasanya, penulis akan menambahkan pendekatan sejarah, atau menambahkan draft dengan pertanyaan-pertanyaan besar meski mengawalinya dengan pertanyaan remeh. Selain itu, bisa juga dengan memperkaya kedalaman analisis atau argumentasi dengan cara perbandingan atau pendekatan dari ilmu lain.

Kedua, non obviousness. Sulit menerjemahkannya dalam bahasa indonesia karena artinya tidak jelas atau tidak mudah, atau ora umum. Saya tidak menggunakan terminologi anti mainstream karena setiap orang dapat meniru sesuatu yang anti mainstream. Non obviousness ingin menekankan bahwa tidak semua orang bisa mencapai gagasan atau cara yang penulis lakukan. Atau lebih radikal lagi, si penulis ingin menunjukkan bahwa hanya dirinyalah yang mampu mengeluarkan gagasan atau ide seperti itu.

Berdasarkan kedua kriteria tersebut, diriku belum merasa terpuaskan dengan opini dan esai yang kubaca. Dalam batinku terus menerus berkata, “jika tidak ada seharusnya kamu.” Aku mengabaikan suara itu dan mencoba kembali mengunduh film. Tetap gagal hingga aku menyadari sesuatu: kapasitas google drive ku telah penuh. Serta merta kuhapus semua file yang ada di dalamnya. Aku hanya ingin istirahat dan menonton film.
Bagi Ali Syariati, haji adalah deskripsi hidup manusia tentang masa (dulu, kini, mendatang) yang memiliki latar (pagi, siang, malam). Intinya, haji bukanlah tujuan, melainkan evolusi keimanan manusia, suatu pertunjukan simultan dari berbagai hal menuju Allah.

Tak mengherankan bila kita sering mendengar berbagai kabar tentang usaha seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji, saat berhaji, dan setelah berhaji. Saban tahun, kisah naik haji atau kegagalannya berulang dalam berbagai versi. Kisah tersebut terbungkus dalam berbagai bentuk. Ada yang mengharukan, sedih, luar biasa, kocak, atau malah biasa saja. Paling tidak ada berbagai cerita yang aku bisa dengar.

Ada kisah yang berbeda pernah kudengar perihal haji, salah satunya dari guruku. Perlu dicatat, aku tak begitu memerhatikan tentang musim haji, kecuali jika sedang melihat berita televisi atau iringan pengantar. Padahal dalam sebulan, aku menonton televisi dapat dihitung dengan jari. Aku berkunjung ke rumah guruku untuk mengisahkan mimpiku yang berulang. Lalu beliau memberikan sebuah nasihat berupa suatu kisah yang bertepatan dengan musim haji kala itu.

Ibrahim butuh tiga hari untuk memastikan mimpinya yang akan selalu diperingati saat musim haji. Pertama, yaumul tarwiyah. Hari pertama ketika Ibrahim as ditagih janjinya. Seharian Ibrahim as merenung dan mengingat, apakah mimpinya dari Allah atau dari setan? Semua dicek dari doa, wudhu sebelum tidur dll. Apakah ia pernah berjanji kepada Allah? Apakah janjinya bertentangan dengan janji yang lain? Apakah didasarkan nafsu atau iman? Semuanya dicek. Sedetail itu. Inilah fase merenung dan berpikir.

Mimpi kedua adalah yaumul arafah. Segala pertanyaan telah terjawab dan muncullah kemantapan dari hatinya. Inilah fase pengujian amanah. Mimpi ketiga, di hari ketiga adalah yaumun nahr. Keyakinan dan keteguhan hati telah membuatnya untuk menunaikan kewajibannya: menyembelih anaknya, Ismail as. Janji yang diikrarkan karena murni iman.

Yah, mungkin itu salah satu kisah saat musim haji yang masih kuingat hingga sekarang.

***

Tahun ini sedikit berbeda. Ada keseragaman pembahasan ketika musim haji: meninggalnya Mbah Moen. Banyak air mata mengantar kepergian mbah Moen di media sosial. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Apa yang mereka tangisi? Beliau meninggal di Mekkah, pada hari Selasa, hari saat ilmu diturunkan paska penciptaan. Dan Mbah Moen dikenal sebagai seorang yang alim.

Konon, orang alim (berilmu) sering terlihat plin plan dalam membuat keputusan. Sebenarnya, ada berbagai hal dan variabel yang dipikirkan dan dipertimbangkan dalam membuat keputusan. Perbedaan variabel dan kondisi sedikit saja dapat mempengaruhi keputusan. Hal ini dapat kita pahami jika mengenal pola penalaran seorang yang mengerti hukum. Pemahaman hukum yang mendalam akan mengetahui bahwa setiap masalah itu unik. Landasan hukum yang kuat ialah bekal dalam melakukan pola penalaran dengan dua pendekatan masalah sekaligus, yaitu bottom-up yang sifatnya nondoktrinal-induktif dan pola top-down yang bersifat doktrinal-deduktif.

Apa yang terjadi identik dengan apa yang tidak terjadi. Apa yang kita abaikan identik dengan apa yang kita terima. Mengapa khawatir pada 'barangkali' atau 'mungkin', padahal belum terjadi? Kapan tetap diam disebut menolak? Ketika segala kebenaran tidak ditegaskan, semuanya terus menerus dalam proses hilang. Itulah tugas seorang alim untuk membedakan segala yang dibuat hampir sama. Melalui simbol-simbol ritual, segalanya diuji. Bukankah semua ilmu memang harus diuji? Bahkan sebelum ujian sesungguhnya pun, kita telah diuji.

Makanya, tidak disarankan penimba ilmu tanpa memiliki seorang guru atau pembimbing. Ia dilarang membuka kajian sebelum gurunya mati atau diperbolehkan dengan batas-batas tertentu.