Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Jul 19, 2017

Kejadian tahun 2009 seperti dipersiapkan untuk menghadapi masa-masa seperti ini. Menghabiskan hari dalam sebuah ruang gelap ketika jutaan manusia menyambut kemenangan. Boleh dikatakan tahun 2009 merupakan masa kelam. Dan apesnya, giliranku untuk menyambutnya. Merayakan hari raya di Telang yang mayoritas penghuninya mudik. Akan engkau temukan satu-satunya rumah yang terang benderang di Telang dan itulah kontrakanku. Kampus yang masih dikepung sawah bukan rumah sehingga kau dapat menemukan kunang-kunang maupun makhluk-makhluk berseliweran di rumah hantu. Motor tak ada. Warung dan Bank tutup. ATM terblokir. Kawan-kawan semua mudik dan televisi sibuk memberitakan info mudik tiap jamnya seperti tiada berita lain yang layak dijadikan berita. Sempurna. Benar-benar Bad The Bah.
            Lebaran tahun ini hampir mirip dengan tahun 2009 hanya saja berbeda rasa. Semangat mudik pun tidak. Si Mbak heboh karena mimpi bertemu Ayah. Saya hanya menanggapi sekenanya. Ia tak tahu jika tiap hari saya kerap bertemu dalam mimpi. Orang lain barangkali akan mengatakan bahwa karena saya memakai selimut yang dipakai almarhum saat meninggal dan bukannya dipendam. Tentu saja saya tolak pemikiran tersebut karena pertama saya butuh selimut yang hangat dan kedua kalau dipendam menjadi tidak bermanfaat.
Pada malam takbir rumah di Rembang gelap gulita. Bukan karena saya malas menghidupkannya, melainkan memang lampunya mati dan saya malas menggantinya. Saya biarkan demikian agar lebih hemat listrik dan saya memang sudah terbiasa dengan kegelapan. Suara takbir terdengar sayup-sayup dan lebih didominasi suara binatang malam yang berada di hutan depan rumah. Betul, di rumah tiada siapapun kecuali saya, satu-satunya manusia di tempat itu. Kodok yang dapat menempel tembok dan melompat tinggi serta makhluk-makhluk lain tak perlu dihitung. Ayah yang tinggal disana sebelumnya memang sudah tiada. Bahkan saat beliau meninggal pun tak ada air mata yang menetes. Seolah air mata ini sudah menangis bertahun-tahun silam sehingga tak perlu menangis lagi. Seakan saya sudah tahu bahwa hari itu akan tiba waktunya dan mental pun sudah siap. Alam tak memberikan tanda apapun. Pagi itu telampau biasa dan terasa tak istemewa untuk menghentakkan kesadaranku bahwa Ayahku tiada.
Akhir-akhir ini, sebagai bujang, saya seperti melihat kilasan-kilasan masa lalu yang tak pernah kualami namun ada kehadiranku di sana. Saya sering sulit tidur. Bangun pagi sudah berada di depan laptop dan tertidur di bawah ranjang dengan buku-buku berserak di sebelahku. Terkadang kutemukan kamar kos sangat bersih dan rapi, ada kalanya berantakan seketika. Ah, jangan salahkan saya.
Saya kerap mendapati mahasiswa menatapku dengan mata takut dan menghindar, meskipun saya selalu tersenyum. Seperti saya pernah melukai mereka.  Atau tatapan benci atau mengejek dan berusaha menjauh pun ada. Saya tak mempermasalahkannya karena pada dasarnya lebih suka menyepi. Kau akan seperti melihat tulisan “stay out of my territory” melayang di udara. Saya sedikit terhibur tatkala melihat mahasiswa berbohong dimana mereka tak sadar kebohongannya sudah kuketahui. Saya hanya dapat mengumpat dalam hati, “Don’t bullshit a bullshitter”.
Saya tak takut dibohongi, saya hanya benci dibohongi. Saya perlu mencari udara segar yang bebas polusi kebohongan. Dengan menyendiri atau menjadi diri sendiri.

Ronaboyd