Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Jan 12, 2020








Beberapa waktu silam saya berdebat dengan teman tentang boba. Yah, menurut lidahku boba atau pearl terasa seperti makanan tradisional yang dijual di pasar-pasar, cetot. Oleh sebab itu, saya menyadari sesuatu dan terpikirkan untuk menutup blog ini.


Cetot dan boba sumber perdebatan kami

Terima kasih kepada pembaca budiman yang mungkin tersesat dan bertemu blog ini. Terima kasih juga pada teman-teman yang menawarkan berbagai ide. Saya belum memiliki rencana-rencana itu. Tak mungkin karena cetot itu saya berhenti menulis karena saya sudah memiliki bekal: kehebatan tulisan yang ditentukan oleh kedalaman penderitaan. Well, meski sebagus-bagusnya kalimat tentu tak dapat mewakili hakikat.

Rencananya saya hendak menutup blog ini, namun urung kulakukan. Yah, siapa tahu di waktu-waktu mendatang Allah menggerakkan hatiku untuk kembali menulis di sini. Selain itu, lebih baik kubiarkan saja seperti ini sebagai jejak pemikiran sekaligus pengingat diriku di masa lalu. Pantengin saja status-status di medsosku, barangkali ada tulisan terbaruku di jurnal atau blog/web baru.

2020 dan seterusnya adalah tahun-tahun penuh keriuhan. Gaungnya sudah mulai terasa pada awal tahun lalu. Saya telah memikirkannya secara mendalam perihal keputusan ini. Perlu kulepaskan beban tahun-tahun lampau dengan segala konsekuensinya sambil terus menghadapi berbagai tantangan ke depan.

Pada mula tahun ini ada hasrat untuk tak lagi menyiakan energi dan waktu. Di luar sana masih banyak yang membutuhkan uluran tangan dan penyadaran. Masih banyak isu atau wacana yang perlu dieksplorasi dan memerlukan perhatian lebih. Masih ada waktu, energi, dan kehidupan yang pantas untuk dicurahkan. Terlebih lagi, ternyata, ada yang bersedia berbagi beban. Saya patut bersyukur karena selama ini belum ada yang kuat dan mampu menahannya. Alhamdulillah.


Come on... Let’s go on JOURNEY!!!


Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia). (Ali Imran: 8) 

Jan 9, 2020






Beberapa bulan terakhir, aku dipaksa mengangkrabkan diri dengan angka. Padahal dulu kami begitu akrab. Selepas lulus SD, angka nampak berbeda. Ia jadi lebih ruwet dan berderet. Perlu dicatat, yang kumaksud di sini adalah angka arab, bukan romawi. Yup, angka yang berakar dari india, dipergunakan bangsa arab, dimodifikasi dan diperkenalkan oleh al-Khawarizmi. Panjang betul sejarahnya jadi kuringkas saja dalam satu kalimat.

Kubaca terjemahan The Wealth of Nations yang tebalnya hampir seribu halaman itu untuk menyiasatinya. Nyatanya, tidak banyak angka dalam buku itu. Tanpa kusadari, setiap penghitungan ekonomi dalam buku tersebut kerap terlewati. Alam bawah sadarku malah mempelajari konsep ekonominya dan tak memedulikan angka-angkanya. Apesnya, semua itu kusadari setelah usai membaca bukunya. Aku mengulanginya lagi, namun tetap enggan untuk fokus pada angka.

Mau tidak mau, kulakukan tugasku pada kondisi belum begitu akrab. Aku pun memulai survei harga pasar. Kupilih cara melalui online terlebih dahulu. Sambil berselancar terbersit pikiranku perihal perusahaan-perusahaan startup berstatus unicorn. Persaingan mereka begitu mengerikan. Terus menerus membakar uang, padahal belum mendapatkan keuntungan sama sekali. Isinya rugi terus. Yah, namanya rintisan pada era kekinian memang lebih mengejar valuasi daripada profit. Langkah ini cukup wajar sebagai upaya memberikan edukasi era industri 4.0 melalui disrupsi untuk mengalahkan pemain lama (jual-beli konvensional).

Keuntungan? Yang ada malah kerugian besar. Semua hal ini akan terus terjadi hingga diketahui siapa pemenangnya. Kamu boleh menyebutnya sebagai pemenang yang memegang monopoli atau kartel. Lihatlah Gugle dengan gmel, youcup, dan androidnya. Atau facebuk dengan instogram dan watsapp nya. Lantas, bagaimana dengan Compassionate Capitalism karya Blaine Bartlett dan David Meltzer? Terlalu panjang dan melelahkan untuk diuraikan pada catatan yang malas ini.

***
Pada sela waktu menunggu jemputan survei, ada seorang yang ingin konsultasi tulisan. Aku membolak-balik draft tulisan tersebut, sambil mendengarkan dia berceloteh tentang latar belakang dan rintangannya dalam menulis. Aku meliriknya yang masih saja bercerita.

“Kok cuma gini?” tanyaku. Ia menjawabnya dengan berkilah. “Kalau begitu rugi dong. Usaha yang kau ceritakan sejak tadi tidak menunjukkan hasil yang maksimal.”

Ia akhirnya diam. Aku masih mencorat-coret draft itu dan kuserahkan padanya untuk diperbaiki.

Aku melihatnya melangkah pergi dengan gontai. Mungkin terdengar sedikit kejam. Akan tetapi, itu untuk memberikan kesadaran padanya. Bayangkan, ia telah membaca buku yang kurekomendasikan. Tetapi, ia membohongi hampir semua orang untuk pergi kencan. Bahkan melakukan pemberontakan kecil-kecilan dengan orang tuanya. Menjelang hari pengumpulan, dia baru menulis. Diselingi perdebatan dengan si pacar yang tidak ia ceritakan sebabnya. Sedikit makan dan tidur. Hasilnya, draft tulisan amburadul. Terlalu banyak deskriptif tambal sulam tanpa analisis.

Ponselku telah berbunyi, tanda jemputan telah datang.

Semua ini kulakukan karena barang-barang yang kucari ternyata sangat sulit diperoleh di internet. Mungkin karena terlalu spesifik atau modelnya sudah tidak diproduksi lagi. Satu-satunya cara, ya, survei lapangan.

Begitu banyaknya mall di kota ini. Kuputuskan untuk survei yang besar-besar saja atau kemungkinan terdapat barang yang kucari.

Ajaibnya, di berbagai tempat yang kukunjungi selalu saja bertemu dengan orang yang kukenal. Entah itu kenalan lama, orang-orang dekat atau teman-teman yang sudah bertahun tak jumpa. Secara tak sengaja aku dipertemukan dengan mereka yang pernah hadir dan singgah dalam kehidupanku. Ada yang menyapa duluan, terkadang aku yang menyapa mereka, dan beberapa kubiarkan karena takut mengganggu aktivitas mereka.

Pada perjalanan mengunjungi beberapa outlet di beberapa mall, aku bertanya-tanya sampai kapan perang dagang antara penjual konvensional dan e-commerce berlangsung? Ruko-ruko yang hanya mengandalkan pengunjung tanpa mengikuti perkembangan era digital banyak yang merugi, startup yang kurang modal pun silih berganti tumbang. Yah, cukup masuk akal bagi pelapak kekinian yang menyebar jaring dengan membuka toko di berbagai marketplace dan platform online sembari membangun tempat bisnis di dunia nyata.

Data sudah terkumpul dan kuputuskan pulang. Dari dalam kendaraan kulihat banyak toko dan muda-mudi berseliweran. Melihat mereka aku teringat kalimat dari Bu Yas. Fase pertama ‘cinta’ adalah fase kepalsuan-kepalsuan. Yang cowok kelihatan baik dan loyal, yang cewek kelihatan taat dan perhatian. Inilah yang katanya orang sekarang disebut cinta, tetapi sebetulnya hanyalah imajinasi belaka. Mereka membayangkan keindahan semu. Itulah, cobaan Allah yang pertama. Fase kepalsuan ini sama sekali tidak dapat memprediksi apa yang bakal terjadi karena pada dasarnya mereka hanya mencintai dirinya sendiri dan ingin menyenangkan diri sendiri. Gabungan antara produksi hormon dan dorongan imajinasi malah memperburuk situasi di lingkungan keluarga dan teman. Dampaknya, hubungan mereka semakin rumit dan penuh masalah. Ketika berumah tangga malah muncul berbagai kekecewaan dan rasa hambar. Aku pernah ditanya solusi masalah ini. Kujawab tidak ada. Setiap dosa terdapat sanksi dari Allah. Itulah konsekuensinya dan terimalah sanksinya oleh sebab caranya sudah salah.

***
Esoknya, di depanku sudah ada bertumpuk-tumpuk kertas yang perlu kuperiksa. Ketika kubuka isinya angka semua. Aku coba mengakrabkan diri dengan angka-angka itu. Dua puluh menit kami berdialektika. Namun, setelah itu berkali-kali aku mengalami microsleep.

Mak klutik. Kepalaku terantuk tumpukan kertas. Orang-orang di ruangan kecil dan ber-AC itu tertawa karena kejadian itu.

“Goblok banget,” ucapku dalam batin sambil senyam-senyum.




NB: Dengan demikian, inilah postingan terakhir tentang Catatan Si Pemalas di blog ini. Di tengah perjalanan memang rencananya akan kuakhiri pada edisi #25. Masih ada satu catatan kecil sebagai salam terkahir pada blog ini karena telah menemani selama bertahun-tahun. Pastinya, saya tidak akan berhenti menulis. Mungkin bentuk tulisan atau tempatnya saja berubah.

Jan 6, 2020





“J****k!”

Sekitar jam 09.00 pagi sudah kena makian dari orang nomer tiga yang kuharap tak jumpa. Ia menghampiriku. Memberiku senyum dan gaya jalannya yang khas parlente itu. Sejak awal bertemu, aku dan dia sudah saling menegaskan tidak pernah akan cocok sama sekali. Yah, semua itu terjadi pada forum diskusi dan debat.

“C****K! WA ora dibales, bareng diWA maneh wes centang siji.”

“Sepurane, crut. Oleh karena suatu hal, hpku rusak dan nomerku wes habis masa aktife.” Awal bulan November mungkin, karena hal tak terduga ponselku wafat selamanya. Diperbaiki pun lebih baik beli yang baru. Di sisi lain, nomer ponselku pun masa aktifnya habis. Mengurus SIM card membuatku malasnya gak ketulungan. Alhasil, beli baru semuanya.

Aku memaklumi amarahnya karena pesannya tertimbun dengan pesan-pesan yang lain ketika aku fokus menjawab beberapa pertanyaan di salah satu group. Untunglah di sekitar gazebo tak banyak orang.

“Pertanyaanku bien pie, crut?”

“Pertanyaan sing endi? Aku lali.”

“C***k!”

“Sek... sek... awakmu arep ngombe opo?”

“Halah, terserah.”

Walau kami tak akan pernah saling cocok, aku tetap harus memuliakan tamu dan seorang manusia. Hubungan kami agak membingungkan. Disebut teman, kami sudah tidak cocok dari berbagai hal. Bahkan secara blak-blakan di depan umum Ia mengatakan membenciku. Disebut musuh, aku tak ingin memiliki musuh. Di sisi lain, ia juga sering mengkritik pandanganku meski aku dapat mematahkannya. Bagiku dan mungkin beberapa orang, Ia adalah orang keras kepala yang pandai dan cerdas, tapi salah jalan. Sesat lagi menyesatkan. Suatu ketika, aku pernah mengkritik habis caranya belajar. Intinya, Ia adalah tipikal manusia yang malas kutemui, namun tak bisa kubenci.

Kebingungan tersebut menarikku untuk membahasnya dalam perspektif Derrida. Pada buku The Politics of Friendship, Derrida mengawalinya dari kontradiksi Aristoteles “O philoi, Oudeis philos” (wahai teman-teman, tidak ada teman). Derrida melihat ungkapan tersebut sebagai suatu sentimen aneh, ada pengakuan sekaligus negasi. Ia tertarik melihat kemungkinan baru dari ungkapan tersebut.

Ada yang melihat persahabatan bersifat abadi dan berirama layaknya musik. Mungkin bagi yang lain persahabatan adalah bagian dari nostalgia dengan keintiman sporadis dan berbagai percakapan yang telah lama ditinggalkan. Kita memilih teman atau kawan untuk hal-hal serius, sebagian hanya pada saat bersenang belaka. Beberapa menutupi kekurangan kita, dan lebih banyak merepotkan. Derrida ingin membongkar itu semua dalam bukunya.

Aku mendengarkan permasalahannya, mematahkan pendapatnya, dan memberikan pandanganku. Ia terdiam. Barangkali akan berbeda jika hal ini terjadi di suatu forum atau diskusi terbuka karena dia akan membantah pendapatku. Tindakannya itu justru kian memperlihatkan kebodohannya setelah susah payah mempertontonkan kecerdasannya. Ia tak mau kalah di forum-forum besar. Namun, kali ini kami hanya berdua.

“Awakmu ngerti,crut. Sejak pertama ketemu aku sudah gak suka dan benci awakmu.”

“Ora ngerti dan ora peduli. Toh, semua itu tak menyakiti dan merugikanku,” kataku sambil ngakak.

“C****K! malah nggegeg. Ketawamu dikurangi, c***k!”

“Inna min khiyari ummati qauman yadhakuna jahran min sa'ati rahmatillah, wa yabkuna sirran min khaufi adzabi.”

“Saiki moco ihya’?”

“Lagi mendalami ulang iki. Serius ngapalno.”

“Ora usah moco-moco kitablah, crut. Awakmu sing bien-bien wes menyebalkan, ketambahan moco-moco kui aku malah soyo benci.”

“Knopo to? Cek bencine.”

“Yoiku, c*k. Buatku, pendapatmu iku hampir selalu benar dan masuk akal. Ora usah ditambahi dasar-dasar agama. Aku malah wedi, c*k.”

“Itu kan berasal dari dirimu sendiri yang mengingkari kebenaran. Salah siapa menyakini kebenaran, tapi tidak dilakukan?”

“Oh iya, gara-gara peringatanmu kae aku sering kena masalah, crut.”

“Sing ndi?”

“Yang terakhir awak dewe ketemu.”

“Njiir. Wes suwi. Aku lali lah.”

“Awakmu pernah ngomong kalau orang yang tidak mau mendengarkan nasihat atau mengatakan ‘jangan campuri urusanku’, suatu saat orang lain takkan peduli dengan urusannya.”

“Oalah. Aku lali je.” Jawabku sambil terkekeh"

“Semenjak itu, crut, ora ono blas sing berempati dengan permasalahanku. Bahkan sampe urusan remeh, crut. Aku jadi ngerti alasane dirimu bien nyebut aku manusia libersos, yo?”

Aku tak bisa menahan tawa mendengarnya. Sebenarnya itu adalah ejekan untuk orang liberal nan egois, tetapi ketika masalah itu menimpanya Ia berseru lantang macam orang-orang sosialis. “Ora iku, tapi quasi libersos.”

***

Benar. Aku pernah kecewa karena dikhianati. Sering kecewa jika ada yang tidak percaya padaku. Sangat kecewa bila amanah yang kuberikan dimanfaatkan untuk pribadi atau dirusak. Aku pun kecewa melihat yang seharusnya dijaga malah tidak dijaga, yang seharusnya dinasihati malah dibiarkan saja. Akan tetapi, aku kecewa pada diriku sendiri karena tak bisa mencegah hal tersebut. Aku kecewa pada diriku karena terlalu naif dan mudah percaya sehingga sering dibohongi dan dibodohi. Aku kecewa pada diriku sendiri karena mudah menaruh harapan pada manusia, bukan kepada Allah SWT. Anehnya, semua rasa itu tidak pernah berasal dari dirinya. Sebaliknya, semua luka itu berasal dari peristiwa-peristiwa bersama teman atau orang-orang terdekat. “No friend without the possible wound. The tension between friendship and enmity would be pharmacological,” kata Derrida dalam bukunya itu.

Narasi persahabatan membuat Derrida terus membayangkan masa depan yang akan melampaui kematian. Hal ini dapat dilihat dari tulisan Derrida yang lain saat mengenang Lyotard, yaitu Lyotard and Us. Pada tulisannya tersebut, Derrida memperlihatkan kepada kita bahwa terlibat dan bergulat dalam ide-ide orang lain dapat menjadi salah satu bentuk ungkapan persahabatan sekaligus penghormatan. “How to leave him alone without abandoning him? How to, without further treason, disavow the act of narcissistic remembrance so full of memories to cry or make cry about?” tulis Derrida dalam Lyotard and Us.

Pergulatan pengalaman manusia perihal persahabatan memberikan kita suatu pemahaman ikatan sosial dan bayangan masa depan kolektif. Cara kita berduka, cara kita mengenal dan melihat orang tidak hanya ditentukan hubungan kita dengan masa lalu, tetapi juga segala kemungkinan masa depan. Pada The Politics of Friendship, Derrida memberikan pesan atau sebutlah wasiat yang berani dan tidak egois: “Demi persahabatan dalam cinta, tidak cukup hanya tahu bagaimana menanggung duka pasangannya: seseorang harus mencintai masa depan.”

Pada dunia yang makin nisbi. Banyak kutemukan ‘kematian’ sebelum waktunya. Duka, kenangan, dan pelestarian kewarasan terikat pada tanggungjawab untuk hari esok. Sayangnya, hal ini tidak dapat dilihat dengan bijak. Alih-alih mencintai masa depan, pasangan suami istri merobohkan tiang-tiang penyangga rumah dengan eskavator. Dapat ditebak, tindakan mereka berdasarkan ego masing-masing pihak. Ego yang mengarahkan mereka ke masa depan paska kehilangan memiliki konsekuensi memori atau warisan dari apa pun atau siapa pun yang telah rata oleh tanah.

Mungkin tahun inilah puncak histeria masal yang telah menjadi sampar.

***

The intimacy of friendship lies in the sensation of recognizing oneself in the eyes of another. 
Keintiman persahabatan terletak pada sensasi mengenali diri sendiri di mata orang lain. 
(Derrida, The Politics of Friendship)

Kulihat wajahnya sudah mulai menua. Kuberikan alternatif-alternatif solusi dan pandanganku terkait masalahnya. Sesekali kuajak bercanda agar sedap kupandang raut wajahnya. Walaupun aku tahu semua nasihat atau solusi yang kuberikan padanya tak akan dilakukan. Alasannya sudah pasti jelas, dia mencari celah argumentasinya sendiri dari lawan yang sebanding. Dengan begitu, Ia akan mencari siasat untuk mengelak atau menutup celah hal-hal buruk yang dapat terjadi pada dirinya.

Dia sendiri yang memberikan perumpamaan. Apabila Rasulullah punya Jibril yang menjadi pendamping dan menunjukkan jalan yang lurus. Baginya, aku adalah orang yang dapat menunjukkan kelemahannya agar dia bisa menutupi kelemahan itu di hadapan orang lain. Hal itulah yang menyebabkan aku malas menemuinya.

Kadang aku berpikir, mengapa Allah mempertemukan diriku dengan manusia macam itu? Jawaban sementaraku, intinya, bagaimanapun juga meski bukan teman maupun musuh, aku masih harus memuliakannya sebagai seorang tamu dan manusia.

Jan 4, 2020





Ia menyelisik sesuatu yang kupegang. Ada rasa segan untuk menggangguku. Bukan lantaran buku yang sedang kupegang, melainkan benda yang melekat di telingaku. Benda itu sengaja kupakai agar dapat fokus membaca meskipun tidak sedang mendengarkan musik. Namun, gelagatnya yang ingin mengajak bicara malah mengganggu konsentrasiku.

Aku tersenyum padanya dan melepas earphone di telingaku. “Pripun, pak? Ada yang bisa kubantu?”

“Buku apa yang dibaca?” tanyanya. Bapak itu berusia sekitar lima puluh tahunan dengan uban yang telah mulai tumbuh. Kulitnya putih khas etnis Tionghoa. Kuserahkan buku Interpretasi dan over interpretasi karya Umberto Eco padanya. Kemudian, di atas kereta sepanjang perjalanan menuju Yogyakarta kami membicarakan banyak hal. Dari masalah ramah tamah hingga masalah yang sedang hangat. Tetapi, ada suatu obrolan yang membuatku terkesan sekaligus membuatku tercenung saat sampai di stasiun tujuan.

“Indonesia ini jumlah muslimnya terbesar di dunia, tapi bodoh-bodoh.” Ia memulai pembicaraan yang kontroversial.

Aku kaget dengan pernyataannya itu. Lalu ia mejelaskan. “Perintah pertama mereka kan disuruh membaca. Temanku yang islam jarang yang suka baca. Baca buku itu kan paling gampang dibanding melihat kondisi sekitar. Itu aja malas, eh sok-sokan jadi pakar.”

Ternyata bapak itu paham konteks membaca dalam surat tersebut. Ia mendapatkan pemahaman tersebut dari temannya. Setelah itu ia jadi rajin membaca dan menyuruh anak-anaknya untuk senang membaca. Baginya mungkin itu sudah cukup, namun bagiku belum.

Aku akan coba membedah ayat yang dimaksud beliau, yakni surat Al-Alaq ayat 1-5. Aku menguraikan surat tersebut dengan ringkas. Tentu saja ada versi panjangnya, tetapi tidak pada tulisan ini. Semoga Allah memberikan kekuatan dan kesempatan untuk menuliskan versi lengkapnya.

Sebenarnya, dari pembedahan tersebut diriku memiliki rumus atau kiat dalam mempelajari ilmu dunia:
  1. Berdoa
  2. Membaca
  3. Menganalisis dan berdiskusi
  4. Menulis
  5. Berterima kasih kepada Allah dan penulis buku
  6. Mengamalkannya.

Ada dua kali perintah iqra’. Iqra’ yang pertama ingin menegaskan perbedaan membaca biasa dengan membaca yang benar. Pada ayat pertama, ketika akan membaca harus menyebut nama Allah yang telah menciptakan segala sesuatu. Kecelakaan membaca tanpa berdoa atau menyebut nama Allah ialah kesalahan dalam menyimpulkan atau tidak meresapnya ilmu dalam qalbu manusia. Ayat pertama ini mengukuhkan bahwa Allah pemilik segala sesuatu. Dari sesuatu yang tiada menjadi ada, dan sebaliknya yang mulanya ada menjadi tiada. Termasuk ilmu. Atas kehendak Allah, siapapun dapat dicabut atau diambil lagi ilmu yang dimilikinya. Atau Allah ganti dengan ilmu yang lain. Hal ini tergantung dari tingkat konsistensi pemegang ilmu, salah satunya adalah mengajarkannya kembali dan mengamalkannya. Ada hadist yang membahas lengkap perihal ini.

Ayat kedua pada surat Al-Alaq hendak mengingatkan asal-usul kita. Perihal ini aku teringat kisah salah seorang sahabat, Abu Bakar jika tidak salah ingat. Sahabat Rasulullah tersebut kerap mengingatkan orang sombong dan angkuh dengan istilah ini. Diriwayat lain ada juga yang mengingatkan orang sombong atau angkuh dengan istilah “air mani”. Aku belum mengecek kembali terkait hal ini.

Posisi manusia yang berasal dari segumpal darah memberikan suatu pemahaman bahwa kita dulunya bukanlah apa-apa. Apakah orang tua kita pernah mengajarkan cara merangkak, menangis, tertawa, berdiri? Lantas, siapakah yang mengajarkan itu semua jika bukan Allah? Insting? Siapa yang menaruh insting pada diri kita sejak lahir kalau bukan Allah? Istilah insting adalah pemberian yang melekat pada manusia karena berangkat dari kebingungan manusia untuk menjelaskan hal-hal yang tanpa perlu dipelajari sejak lahir.

Ayat ketiga terdapat perintah “bacalah” lagi. Perintah ini berbeda dengan perintah “bacalah” yang pertama, tetapi memiliki maksud mengukuhkan. Iqra’ yang pertama aku menakwilkannya dengan kata terakhir, khalaqa, saat diriku benar-benar kosong, nihil, hina, dan bodoh. Tak memiliki apapun, hingga Allah menghadirkan pengetahuan dan pemahaman atas sesuatu dari yang kubaca. Pengetahuan dan pemahaman tersebut semakin bertambah setelah melalui proses analisis dan diskusi.

Iqra’ kedua berkaitan dengan kata Al-Akram, sifat Allah yang Maha Pemurah. Dapat pula kata tersebut dimaknai memberikan sesuatu yang pantas, tanpa pamrih, mulia, dan bernilai tinggi. Sifat inilah yang perlu diresapi. Segala sesuatu yang kita peroleh dari Allah melalui membaca tak boleh berhenti pada diri sendiri. Harus disebarkan dan diajarkan pada orang yang belum mengetahui, namun dengan memerhatikan makna dari kata Al-Akram. Hal ini memiliki maksud untuk melihat kondisi serta kepantasan atau kelayakan dari si penerima ilmu. Ilmu yang kuajarkan dan berikan cukup Allah yang membalas dengan cara-Nya sendiri. Jikalau hal tersebut dirasa sulit maka perlu dilatih.

Ayat keempat memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya. Secara garis besar salah satu sifat pemurah Allah ialah mengajarkan manusia melalui Al-Qalam yang biasanya diartikan sebagai pena. Sesungguhnya, ada banyak tafsir perihal bentuk dari Al-Qalam sehingga menunjukkan berbagai maksud. Ada yang menafsirkan bahwa Qalam adalah pena yang diciptakan Allah untuk mencatat segala kejadian atau takdir sebelum penciptaan. Ada juga yang memaknai Al-Qalam sebagai tulisan (hasil kerja dari pena).

Begitu umumnya makna dari Al-Qalam, kita dapat memaknainya sebagai pena takdir Allah dan bisa juga menganggapnya sebagai tulisan. Maka daripada itu, perlu melihat ayat berikutnya: Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Apakah pena takdir Allah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya? Bisa saja, namun tidak semua kejadian atau takdir dapat dipahami dengan baik oleh manusia. Belum lagi perihal macam takdir yang dapat diubah dan tak dapat diubah. Hal tersebut terlalu membingungkan dan njlimet untuk diuraikan pada orang awam.

Aku sendiri lebih nyaman dengan pemahaman bahwa maksud Al-Qalam pada konteks ini adalah tulisan. Menurut beberapa ulama, ada beberapa sarana untuk menyimpan ilmu: otak, hati, lisan, dan tulisan. Tulisan memiliki keistimewaan bagi manusia. Konon, nabi Idris A.S adalah orang pertama yang mengajarkan manusia baca tulis.  Tulisan memiliki sejarah panjang yang menunjukkan tingkat peradaban manusia karena dapat ditelusuri jejaknya. Ia berisi kalimat, kata, huruf, dan tanda. Proses menulis pun pada dasarnya melibatkan berbagai indera, termasuk otak dan hati. Melalui tulisan, Al-Qur’an dapat dibaca dan dihafalkan sehingga terjaga kemurniannya (karena ada bukti autentik: tulisan dan hafalan). Intinya, tulisan merupakan sarana mengikat ilmu. Sifat lupa adalah hal yang wajar bagi manusia sehingga butuh pengingat atau pengikat yang dapat dibaca ulang.

Sadar atau tidak sadar, lahirnya tulisan merupakan suatu bentuk kekuasaan Allah. Melalui tulisan, kita dapat membaca dan mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia. Ini adalah suatu bentuk nikmat dari Allah yang Maha Pemurah untuk mengenalkan dan mengajarkan kita melalui manusia-manusia yang menulis. Entah itu dari masa silam, saat ini, maupun yang akan datang. Kita menjadi mengenal orang-orang yang disebut dalam tulisan itu maupun karakter si penulis.

Ayat kelima surat Al-Alaq meneruskan ayat ketiga dan keempat. Selain itu, meneguhkan makna dari ayat kedua. Kata manusia pada ayat ini terdapat beberapa tafsir: Nabi Adam A.S, Nabi Muhammad SAW, dan manusia pada umumnya. Aku lebih condong dalam pemahaman manusia pada umumnya karena sejak lahir tidak memiliki kemampuan atau ilmu sehingga terangkatlah harkat kehormatan manusia karena ilmunya. Menariknya, surat ini tidak hanya memberitahu asal usul manusia, tetapi juga cara manusia memperoleh ilmu pengetahuan tentang dirinya dan segala hal yang diciptakan Allah. Maka daripada itu wajarlah bila kita harus berterima kasih kepada Allah pemilik ilmu dan juga orang-orang yang mengajarkan ilmu (pada konteks ini adalah si penulis buku).

Wallahu a’lam bish-shawabi
***
Aku memberitahukan bapak itu bahwa membaca saja tidak cukup kalau dilihat dari makna surat Al-Alaq ayat 1-5. Perlu analisis, diskusi, dan juga menulis lalu disebarkan. Oleh sebab itulah, para pencari ilmu membutuhkan mentor atau guru yang paham ilmu yang akan dipelajarinya. Ada banyak hadist terkait ini. Pada sisi lain juga perlu memperhatikan sesuatu di luar ilmu, yakni adab.

Bapak itu manggut-manggut dan memberikan beberapa pertanyaan. Aku menjawabnya sesuai pengetahuanku dan semampuku. Nampaknya, jawabanku cukup memuaskannya.

Di stasiun kami berpisah dan berjabat tangan.

Di stasiun aku tertegun cukup lama. Betapa Pemurahnya Allah memberikan ilmu kepada semua manusia dan mengikat ilmu pada manusia yang dikehendaki oleh-Nya. Secara tersirat bapak itu membenarkan cara-cara Islam, namun hidayah tak kunjung hadir padanya. Buru-buru aku ke mushola untuk sekadar sujud syukur. Aku takut pintu hidayah sewaktu-waktu tertutup dariku: mengakui kebenaran-Nya, tapi tak menjalankan perintah-Nya.

Pertemuan tersebut membuatku mempertimbangkan kembali untuk menutup blog ini.

Dec 30, 2019


Kepada diriku, mari kita ucapkan selamat tinggal pada tahun yang penuh luka, kegagalan, air mata, dan juga sehimpun syukur. Inilah tahun pembelajaran hidup dan misteri manusia yang kita jumpai di persimpangan jalan, trotoar, di atas bus, kereta dan bahkan di dunia tanpa tapal batas. Mari kita sampaikan terima kasih pada mereka semua.

Kepada diriku, mari kita sambut tahun mendatang pada hal-hal yang perlu dan penting. Sebab, itulah tahun yang penuh hukuman atas konsekuensi kegagalan dan kecerobohan. Masih ada lima, sepuluh, atau mungkin malah dua tahun lagi untuk segera menuntaskan segala sesuatu yang terlupakan.

Mari akhiri tahun ini dengan berziarah pada semiotika Eco yang nampak lapuk dan berdebu.

Dec 23, 2019



Minggu lalu aku telah memposting bagian pertama. Setelah menyelesaikan tugas akhir tahun yang banyak menumpuk, akhirnya ada waktu luang untuk memposting bagian kedua. Inilah 10 buku terbaik yang kubaca pada tahun 2019 bagian kedua.

6. Empat Aku – Yudhi Herwibowo

Menikmati kumcer yang ditulis pada tahun yang berbeda tentu menyenangkan. Aku pun menikmati cerita-cerita dalam buku kumcer ini. Aku menikmati kisah yang berubah dari waktu ke waktu, variasi teknik penceritaan, juga obsesi penulis, dan tak lupa kisah-kisah lokalitas yang begitu dekat denganku. Cerita-cerita tutur di desa menjadi favoritku, seperti mengingatkanku pada tanah kelahiranku. Kampung rampok terasa begitu dekat. Penulis mengakhiri cerita dengan mengesankan:

Datanglah kalau kau berani!
            Singgahi kampungku, kampung rampok! Kampung yang kami sendiri takut untuk tinggal...

Start with a pisser, end with a pisser, begitulah kira-kira penulis mengisahkan ceritanya. Kisah “Tanah Kabut” terasa begitu intim dengan penulis. Kematian dan desa begitu lekat dengan cerita-cerita Yudhi. Akan sangat menarik bila menganalisisnya dalam kaca mata psikoanalisis, entah itu Freud, Jung, atau Lacan. Sayangnya, aku tak memiliki waktu untuk menuliskannya.

Ah, satu lagi cerita “Empat Aku” begitu familiar. Konsep watak ‘ganda’ manusia dalam dunia sastra telah mengalami evolusi sejak abad pertengahan hingga kini. Kapan-kapan aku ingin mendiskusikan ini lebih jauh.



7. Yang Terkubur – Kazuo Ishiguro

Pada novel ini Ishiguro ingin menegaskan posisinya dalam ranah sastra. Ia tak ingin dengan mudah dikenal karena kategorisasi dalam sastra layaknya penulis-penulis besar lain. Ia adalah sastrawan yang lembut sekaligus kompleks. Novel Yang Terkubur memiliki inti kompleksitas teka-teki filosfis dalam tema-tema personal yang mendalam.

Setelah berhari-hari dihantui oleh akhir cerita, Ishiguro mengharuskanku untuk membaca kembali novel ini. Pada pembacaan kedua, karakter, peristiwa dan juga motif lebih mudah dipahami tanpa meninggalkan kesan misterius kehidupan manusia.

Novel sastra (yang serius), ogre, dan naga sungguh langka berjalan beriringan. Itulah kesan pertamaku pada buku ini. Ogre dan naga lebih banyak kutemui dalam genre fantasi sebagai alat dongeng, terutama karya-karya yang terinspirasi oleh Tolkien.

Berbeda dengan George RR Martin yang dengan percaya diri memadukan plot intrik kekuasaan dengan fantasi ala Tolkien, Ishiguro mengeksplorasi tema-tema Shakespeare dengan dunia fantasi Tolkien. Bahkan aku menemukan sesosok yang menyerupai Don Quixote. Pengaruh sastra dalam prosa Ishigura begitu kuat, elegan, dan cemerlang.

Sulur-sulur kabut mendekam di pedesaaan yang damai, melupakan pembantaian yang mengerikan. Ishiguro dengan sabar mengawali kisah dengan latar sejarah Inggris dan Saxon yang misterius. Masa tua, amnesia, penderitaan, cinta, dan perang tertutup kabut fantasi. Barangkali dengan itulah Ishiguro membuat metafora, menampung mitos, dan alegori di sisi lain.

Pada dasarnya novel ini adalah petualangan pasangan lansia dalam narasi yang terkadang puitis dan terselimuti kabut melankolis. Sebagai seorang novelis, Ishiguro merupakan novelis yang melakukan pendekatan bahasa dan karakter yang cermat. Berulang kali Ia berusaha menekan dan menyembunyikan makna. Dengan penuh percaya diri, Ia telah menulis novel dengan berbagai jenis yang berbeda sehingga karya-karyanya memiliki kualitas yang baik.

Penulis yang mengambil latar sejarah kerap terjebak pada parodi dan klise, tetapi Ishiguro memiliki variasi cara tersendiri untuk mengatasinya. Ia tidak cukup berani memberikan jawaban dari suatu pertanyaan yang memberikan denyut nadi buku karena memiliki konsekuensi menghancurkan.

Dapatkah luka lama sembuh sementara belatung masih hidup begitu mewah? Apakah yang telah terlupakan dapat kembali dan haruskah manusia menebusnya?

Bagaimanapun, Ishiguro adalah master ingatan yang memaksa pembaca terus terbayang dan mencari jawaban.


8. The Travelers – Regina Porter

Aku tidak yakin jika semua orang akan menyukai novel ini. Aku menyebutnya novel karena pada sampulnya mengatakan demikian, meski bagi pembaca lain akan menyebutnya kumpulan cerpen. Tidak salah memang karena novel ini memiliki plot yang rumit dan terputus-putus. Pada sisi lain, tidak ada pakem yang baku bahwa novel harus linier.

Porter mengemas cerita antar karakter dan waktu yang meloncat-loncat. Cukup menyulitkan untuk memikirkan pengembangan cerita, namun aku malah menikmatinya.

Kita akan disuguhi kehidupan beberapa keluarga yang berbeda warna kulit selama enam dekade! Porter menyisakan kronologi yang melompat melalui para tokoh, waktu dan tempat. Agak sumir untuk mendeskripsikan secara utuh. Misalkan, James Vincent Jr. Yang berusia empat tahun bertanya pada ayah, “mengapa orang butuh tidur?”. Sang ayah menjawab, “agar Tuhan dapat membuka semua hal yang telah dikacaukan orang.” Beberapa puluh tahun kemudian, cucunya menanyakan hal yang sama pada James Vincen Jr. Ia ragu dalam menjawab hingga akhirnya ia berkata, “Tidak ada yang tahu. Tidur adalah misteri.”

Saga beberapa keluarga antargenerasi ini sebenarnya memiliki jarak emosi pada tiap adegan yang seharusnya menggetarkan. Semua tokoh pada novel ini dipengaruhi berbagai pantulan dampak dari keputusan masa silam. Lantas, Porter mengemas ceritanya dengan cerdik dan terkadang kocak, seperti pola jahitan yang acak. Menariknya, ia membenturkan ilusi pilihan dan takdir.



9. Deaf Republic – Ilya Kaminsky

Berangkat dari rasa kecewa pada beberapa terjemahan puisi Najwa Zebian, “Bejana Pikiran” aku ingin membaca teks aslinya, “Mind Platter”. Pada situs belanja online aku menemukan nama Kaminsky di daftar rekomendasi sejenis. Berdasarkan judul dan sampulnya nampak sederhana dan menarik. Beberapa tahun belakangan aku kerap berhadapan dengan ketulian manusia. Aku tertarik terhadap konsep ketulian model apa yang hendak dibicarakan oleh Kaminsky dalam Deaf Republic. Dengan harga yang lumayan, tak masalah karena mumpung ada.

And when they bombed other people’s houses, we

protested
but not enough, we opposed them but not

enough. I was
in my bed, around my bed America

was falling: invisible house by invisible house by invisible house.

I took a chair outside and watched the sun.

In the sixth month
of a disastrous reign in the house of money

in the street of money in the city of money in the country of money,
our great country of money, we (forgive us)

lived happily during the war.
(Ilya Kaminsky – We Lived Happily During the War)

Puisi pembuka tersebut terlalu jelas untuk dihindari sebagai pesan politis. Sebagai pengantar, We Lived Happily During the War memberikan peringatan atas keterikatan tamsil pada puisi-puisi selanjutnya. Kerumitan dalam keheningan membuat Kaminsky mendefinisikan ketulian bukan dalam konteks mendengar. Ia mengajak kita mengevaluasi bahasa dan budaya yang kita kenal. Ia memberikan proposisi yang sebenarnya paradoks: ketulian sebagai bentuk perlawanan dan adegan puisi pembuka telah membuat seluruh kota menjadi tuli. Paradoks kota dan ketulian semakin kuat pada puisi On Silence,

The deaf don’t believe in silence. Silence is the invention of the hearing.

Lembar demi lembar puisi bergerak maju mengisahkan manusia dalam krisis, juga penaklukan, penyerahan diri, kematian tragis, dan juga semangat. Deaf republic sebagai pusat metafora memaksaku melihat lebih dekat dan mendesak dari yang kusadari sendiri. Warga kota yang berhenti ‘bicara’ dan menggunakan bahasa isyarat membawa gagasan kedamaian yang kerap relatif dan rapuh. Hal ini juga mengulik garis batas privat dan publik, apakah garis itu benar-benar ada?

Pada konsep individualisme, konsep privat dan publik memiliki garis tegas dan tebal. Paham ini membuat orang berpikir, jangan campuri urusan pribadiku: “Apakah masalahku akan menjadi masalahmu?” Sebenarnya, konsep ini tampak usang bagiku karena sejauh kutemui ada pertentangan dalam diri manusia yang menganut paham ini sehingga di lain kesempatan ia akhirnya berkata, “seharusnya masalahku adalah masalahmu.” Konsep garis batas inilah yang dituangkan Kaminsky melalui narasi dan liris pada As Soldiers March, Alfonso Covers the Boy's Face with a Newspaper:
...
Fourteen of us watch:
Sonya kisses his forehead—her shout a hole

torn in the sky, it shimmers the park benches, porch lights.
We see in Sonya’s open mouth

the nakedness
of a whole nation.
 ...


10. Steinbeck – Kepada Ilah yang Tak Diketahui

Barangkali jika aku membaca novel ini dalam kondisi normal, mungkin aku tak begitu menyukainya. Akan tetapi, kondisi dan tema yang diangkat Steinbeck pada novel ini begitu pas saat melihat berbagai kejadian aneh yang mendahuluinya.

Sebagai mantan mahasiswa Universitas Stanford yang tak tuntas kuliahnya, Steinbeck menjadi buruh selama menulis buku apalagi pada masa-masa depresi besar Amerika Serikat. Hal itulah yang kemudian membuat karyanya begitu realistis dalam menggambarkan kehidupan kaum buruh. Dari berbagai buku Steinbeck yang telah kubaca, novel ini yang terasa aneh, bukan seperti Steinbeck yang kukenal.

Buku ini menggambarkan bagaimana iman terhadap suatu hal terbentuk dan menyebar. Lantas berbenturan dengan iman dan keyakinan yang telah mapan. Yang menarik, bagaimana persepsi pada akhir novel memengaruhi rasa penasaran pembaca, siapa diantara Joseph dan Bapa Angelo yang tindakannya telah mendatangkan hujan? Keduanya percaya bahwa klaim mereka benar.

Steinbeck seperti kebingungan dalam menyusun dialog sehingga terasa kaku. Selain itu, tema yang diusung pun jauh berbeda: ritual mistis, spiritual, bercampur realis dan simbol-simbol alam. Ia seperti bermain-main dan mencoba hal baru sehingga aku perlu mencernanya secara pelan-pelan.

Setelah kutelusuri novel ini terbit sebelum karya-karya monumental Steinbeck seperti Dataran Tortila, Tikus dan Manusia, dan The Grapes of Wrath (dalam terjemahan bahasa Indonesia menjadi “Amarah”). Aku jadi sedikit memahami dalam melihat buku ini sebagai karya eksperimental Steinbeck dalam mencari karakter kepenulisannya. Aku membayangkan apa jadinya bila ia menyerah dan pensiun dini dari kepenulisan? Akankah aku bisa menikmati karyanya yang luar biasa itu? Atau kita tak akan melihat penyempurnaan gaya cerita plastis Pramoedya yang mengidolakan Steinbeck.