Oct 27, 2011
Oct 19, 2011
2020, 15:32 WIB
menyerahkan tubuh ke badai
panas adalah namanya
kau diam atau turut serta
tegak tanpa langkah
menjadi mati
gerak terhisap pasir
lebih berarti
aku datang bersama pasukan timur
membawa panji-panji hitam
memberikan sapuan duri
pada pion-pion bermata satu
jelas
maut mengintip bahagia
daun jatuh di musim semi, kita bahagia
daging membusuk, mereka takut
kalian tinggalkan aku
sendiri di tiang-tiang malam
menunggu cahaya itu datang
berdiri di samping pedang yang berayun geram
simpul senyum ku raih
sampai gersang menjadi hijau zamrud membentang
Oct 13, 2011
Jhttp://nasional.kompas.com/read/2011/10/13/06183141/Indonesia.Terus.Kehilangan.Wilayah.TeritiorialAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta bekerja lebih baik lagi mempertahankan setiap jengkal tanah negeri ini di daerah perbatasan ketimbang reaktif terhadap temuan Dewan Perwakilan Rakyat tentang pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia.
Pemerintah bisa memulainya dengan meningkatkan kesejahteraan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan. Kondisi warga Indonesia di perbatasan dinilai memprihatinkan dibandingkan dengan warga Malaysia yang juga tinggal di perbatasan.
”Ini, kan, kasus kesekian kalinya. Pemerintah seharusnya bisa bekerja lebih lagi untuk mempertahankan setiap jengkal tanah kita di perbatasan. Sebagai pimpinan DPR, saya menyetujui dan mendorong penuh temuan-temuan dari Komisi I. Saya juga sudah meneken persetujuan, Komisi II ingin melakukan kunjungan ke lapangan untuk menelisik semua itu, termasuk di Kalimantan Barat dan daerah perbatasan lain,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Jakarta, Rabu (12/10/2011).
Menanggapi kritik mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak berani meminta penjelasan kepada Malaysia soal pencaplokan wilayah Indonesia di Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Priyo mengatakan, pemerintah seharusnya jangan reaktif.
”Apa yang disampaikan Ibu Megawati mengonfirmasi ulang kerisauan kita mengenai daerah perbatasan. Pemerintah tidak perlu reaktif, tetapi harus lebih proaktif melakukan langkah-langkah sehingga temuan DPR menjadi alat pelecut bagi pemerintah melakukan langkah luar biasa dalam mempertahankan setiap jengkal tanah di daerah perbatasan,” katanya.
Menurut Priyo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan harus segera melakukan langkah konkret dengan menteri terkait dan melaporkannya langsung kepada Presiden. Priyo mengatakan, langkah konkret itu bisa dimulai dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan.
”Kalau perlu, buat anggaran khusus untuk meningkatkan harkat martabat dari lingkungan masyarakat kita yang ada di perbatasan. Itu karena yang saya temukan ketika berkesempatan melakukan kunjungan ke daerah adalah Malaysia itu penduduknya berpendar cahaya, sementara kita gelap gulita. Kan, jadi pilu juga. Padahal, itu halaman depan kita punya negeri dan republik,” tutur Priyo.
Ia menilai pemerintah masih sangat konservatif dalam menangani masalah perbatasan. Jawaban pemerintah ketika DPR menemukan ada pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia melalui pergeseran patok di daerah perbatasan terkesan memang pemerintah tak berani menggugat Malaysia.
”Yang kemarin saya baca seolah-olah ini masih pembicaraan dengan Malaysia. Ini jawaban yang konservatif. Semua orang juga tahu kalau sudah bicara dengan Malaysia. Tetapi, dapat data sekian ribu kilometer persegi yang kemudian diubah patoknya itu perlu dikonfirmasi ulang ke Malaysia. Jadikan peluru untuk bicara dengan Malaysia,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin (Fraksi PDI-P) menjelaskan, tak ada persoalan perbatasan apabila mengacu pada garis batas Peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind), dan peta kolonial Inggris Federated Malay States Survey tahun 1935.
”Akan tetapi, kemudian dalam MOU (nota kesepahaman) antara tim Border Committee Indonesia dan pihak Malaysia, garis batas itu diubah dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai peta tua tersebut. Akibat kelalaian tim ini, Indonesia akan kehilangan 1.490 hektar di wilayah Camar Bulan dan 800 meter garis pantai di Tanjung Datu,” kata Hasanuddin.
Dengan hilangnya garis pantai tersebut, Indonesia kehilangan wilayah teritorial laut yang diprediksi memiliki kandungan timah, minyak, dan gas. Ia menegaskan, MOU itu belum diratifikasi sehingga Pemerintah RI perlu membatalkannya dan melakukan perundingan ulang.
Mantan sekretaris militer itu menambahkan, walau belum diratifikasi, ternyata Pemerintah Malaysia telah membuat tempat wisata konservasi di Tanjung Datu berupa Taman Negara Tanjung Datu dan proyek penangkaran penyu.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin, mengatakan, sengketa perbatasan negara yang kembali terjadi antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan lemahnya kedaulatan negara. Pemerintah dan DPR hendaknya segera menyusun undang-undang tentang tapal batas negara.
”Sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang menunjukkan batas-batas konkret dengan negara lain,” ungkapnya. (ONG/RIZ/BIL)
Pemerintah bisa memulainya dengan meningkatkan kesejahteraan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan. Kondisi warga Indonesia di perbatasan dinilai memprihatinkan dibandingkan dengan warga Malaysia yang juga tinggal di perbatasan.
”Ini, kan, kasus kesekian kalinya. Pemerintah seharusnya bisa bekerja lebih lagi untuk mempertahankan setiap jengkal tanah kita di perbatasan. Sebagai pimpinan DPR, saya menyetujui dan mendorong penuh temuan-temuan dari Komisi I. Saya juga sudah meneken persetujuan, Komisi II ingin melakukan kunjungan ke lapangan untuk menelisik semua itu, termasuk di Kalimantan Barat dan daerah perbatasan lain,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Jakarta, Rabu (12/10/2011).
Menanggapi kritik mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak berani meminta penjelasan kepada Malaysia soal pencaplokan wilayah Indonesia di Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Priyo mengatakan, pemerintah seharusnya jangan reaktif.
”Apa yang disampaikan Ibu Megawati mengonfirmasi ulang kerisauan kita mengenai daerah perbatasan. Pemerintah tidak perlu reaktif, tetapi harus lebih proaktif melakukan langkah-langkah sehingga temuan DPR menjadi alat pelecut bagi pemerintah melakukan langkah luar biasa dalam mempertahankan setiap jengkal tanah di daerah perbatasan,” katanya.
Menurut Priyo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan harus segera melakukan langkah konkret dengan menteri terkait dan melaporkannya langsung kepada Presiden. Priyo mengatakan, langkah konkret itu bisa dimulai dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan.
”Kalau perlu, buat anggaran khusus untuk meningkatkan harkat martabat dari lingkungan masyarakat kita yang ada di perbatasan. Itu karena yang saya temukan ketika berkesempatan melakukan kunjungan ke daerah adalah Malaysia itu penduduknya berpendar cahaya, sementara kita gelap gulita. Kan, jadi pilu juga. Padahal, itu halaman depan kita punya negeri dan republik,” tutur Priyo.
Ia menilai pemerintah masih sangat konservatif dalam menangani masalah perbatasan. Jawaban pemerintah ketika DPR menemukan ada pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia melalui pergeseran patok di daerah perbatasan terkesan memang pemerintah tak berani menggugat Malaysia.
”Yang kemarin saya baca seolah-olah ini masih pembicaraan dengan Malaysia. Ini jawaban yang konservatif. Semua orang juga tahu kalau sudah bicara dengan Malaysia. Tetapi, dapat data sekian ribu kilometer persegi yang kemudian diubah patoknya itu perlu dikonfirmasi ulang ke Malaysia. Jadikan peluru untuk bicara dengan Malaysia,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin (Fraksi PDI-P) menjelaskan, tak ada persoalan perbatasan apabila mengacu pada garis batas Peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind), dan peta kolonial Inggris Federated Malay States Survey tahun 1935.
”Akan tetapi, kemudian dalam MOU (nota kesepahaman) antara tim Border Committee Indonesia dan pihak Malaysia, garis batas itu diubah dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai peta tua tersebut. Akibat kelalaian tim ini, Indonesia akan kehilangan 1.490 hektar di wilayah Camar Bulan dan 800 meter garis pantai di Tanjung Datu,” kata Hasanuddin.
Dengan hilangnya garis pantai tersebut, Indonesia kehilangan wilayah teritorial laut yang diprediksi memiliki kandungan timah, minyak, dan gas. Ia menegaskan, MOU itu belum diratifikasi sehingga Pemerintah RI perlu membatalkannya dan melakukan perundingan ulang.
Mantan sekretaris militer itu menambahkan, walau belum diratifikasi, ternyata Pemerintah Malaysia telah membuat tempat wisata konservasi di Tanjung Datu berupa Taman Negara Tanjung Datu dan proyek penangkaran penyu.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin, mengatakan, sengketa perbatasan negara yang kembali terjadi antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan lemahnya kedaulatan negara. Pemerintah dan DPR hendaknya segera menyusun undang-undang tentang tapal batas negara.
”Sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang menunjukkan batas-batas konkret dengan negara lain,” ungkapnya. (ONG/RIZ/BIL)
Berhentilah bilang kebohongan tentang aku, dan aku
akan berhenti bilang kebenaran tentang dirimu.(Gordon Gekko kepada Bretton James dalam film Wall Street:Money Never Sleep)
Kurang dari seminggu proses pra
diklat dilaksanakan hambatan tahun ajaran 2011-2012 sudah mulai terasa. Kali
ini dalam diri calon anggota baru yang menjadi incaran berbagai organisasi
ekstra kampus (OMEK). Kebijakan internal LPM SM memang melarang calon anggota
baru untuk ikut organisasi lain selain LPM SM, Intra maupun ekstra kampus.
Siapa yang ingin dimadu? Kami pun tak mau dan kami rasa organisasi lain pun tak
mau pula jika dimadu. Pada perkembangannya ada beberapa calon anggota baru yang
dibujuk salah seorang ketua HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) untuk bergabung
salah satu OMEK. Untuk menggoyahkan niatnya, sang ketua membuat pernyataan yang
intinya menyudutkan LPM SM. Selama ini banyak informasi yang kami terima entah
itu dukungan atau sebaliknya, menjelekkan. Telinga kami menjadi mulai terbiasa
dengan ungkapan “SM itu suka bikin ricuh”, “Tempatnya pemberontak”,
“Menjelek-jelekkan kampus”.
Kami tak ingin seperti Gordon Gekko
yang berhenti bohong jika Bretton James akan berhenti mengatakan kebenaran
tentang dirinya. Kami akan tetap mengatakan kebenaran, walaupun dalam penyampaiannya
kurang memuaskan dan sering dianggap kebohongan. Itu tidak lebih karena kami
juga terus belajar memperbaiki diri. Apabila tulisan-tulisan kami masuk
kategori sebagai menjelek-jelekkan kampus, disebabkan kami selalu memberitakan
kelemahan dari kampus. Kami tidak ingin bilang jika kampus ini dalam keadaan
baik-baik saja, tentunya dengan cara jurnalistik. Seperti kata Sudirman Tebba
bahwa wartawan ataupun media berfungsi menyebarkan informasi kepada khalayak. Memang
kami bukanlah humas yang selalu memberitakan hal-hal yang selalu baik. Meminjam
penjelasan Noam Chomsky dalam bukunya Politik
Kuasa Media yang mengkritisi industri humas di Amerika. Dari humas instansi
ataupun organisasi memanfaatkan media untuk kepentingan mereka. Kucuran dana
besar dikeluarkan untuk mendanai dan mendesain agar dapat mengontrol opini
publik.
Teringat cerita seorang teman yang
kuliah di Kedokteran UNS. Dia bercerita jika ada seorang pasien diberi tahu
memiliki potensi kanker payu dara, tetapi sang pasien tidak mengacuhkan kata
Dokter. Sang pasien selalu merasa baik-baik saja sampai akhirnya dia mengatahui
jika kanker payu dara yang menyerangnya telah stadium IIIC. Begitu juga dengan
kampus bila menolak kritik dan menutup-nutupi borok yang ada pada akhirnya bisa
saja mengalami penyakit akut.
Kami hanya bisa memberikan masukan calon anggota
tersebut untuk berpikir sendiri atau shalat istikharah apabila mentok. Kami
tidak ingin mencari anggota yang banyak untuk pilpres, tapi kami hanya ingin
anggota kami mau membaca dan menulis. Meneruskan dan membangun peradaban
melalui tulisan bukan iming-iming kekuasaan ataupun kekayaan.
Salam Redaksi, Buletin OPOSISI Edisi VIII 2011, LPM Spirit Mahasiswa
"Mana
yang lebih berbahaya, perokok aktif atau pasif?" tanyaku.
"Perokok
pasif!" teriak mereka serentak.
"Nah,
makanya jadilah perokok aktif" timpalku.
Aku
keluar dari ruangan dengan menyisakan gemuruh dan tanda tanya. Malamnya aku
temukan diriku yang lain duduk di depanku dengan raut wajah serius.
"Siang
tadi, apakah kau merasa menang?" tanyanya dengan senyum sinis.
"Sama
sekali tidak." jawabku.
"Kau
mengetahui merokok adalah kata kerja dan perokok adalah kata benda (dalam hal
ini proper noun). Kau sendiri yang mengumpamakan perokok aktif
adalah penguasa. Lantas, mengapa kau menyuruh mereka menjadi
penguasa?"
"Aku
hanya mengajak mereka berpikir."
Malam
itu diriku ngoceh padaku, tapi aku sudah tenggelam pada lautan rokok. Aku tak
menggubrisnya. Perokok dan merokok. Subjek dan predikat. Pada dasarnya mereka
membenci merokok bukan perokok. Perokok aktif lah yang mereka benci karena
dialah yang mengisap rokok secara aktif. Lain halnya dengan perokok pasif yang
hanya menerima asap rokoknya saja, namun dialah yang kena pengaruh buruk lebih
banyak. Bencilah mereka pada perokok aktif. Tanpa disadari sebenarnya perokok
aktif juga sekaligus perokok pasif. Perokok aktif selain mengisap rokok juga
mengisap asapnya. Perokok aktif pun tidak menyadarinya karena dia telah
terbiasa dengan bau asap rokok.
Kekuasaan
pun demikian. Menjadi candu bagi yang haus kekuasaan. Masyarakat sangat marah
pada penguasa, disebabkan tindakan yang dilakukan oleh penguasa menyebabkan
masyarakat menerima dampak negatifnya. Apabila masyarakat yang keblinger ingin menjadi perokok
aktif alias ingin menjadi penguasa, maka mereka pun tanpa sadar juga turut
masuk ke dalam lingkaran bahaya rokok. Pikiran sederhana mereka: kenapa mereka
tidak menjadi penguasa saja? Dampaknya lebih kecil daripada menjadi rakyat
biasa.
Penguasa
memiliki tanggung jawab besar: terhadap dirinya dan orang di sekitarnya.
Penguasa pula yang menyebabkan sebuah bangsa hancur atau sejahtera. Masyarakat
yang menjadi perokok pasif pun ikut terkena dampaknya. Pengangguran, pendidikan
tidak merata, perampokan, hutan gundul merupakan dampak tidak langsung dari
penguasa yang rakus. Mereka mengisap asap rokok dan perokok aktif tak mengisap
asap yang dikeluarkannya. Begitu juga bencana longsor, tanggul jebol, banjir,
tsunami dan faktor alam lainnya merupakan akibat penguasa. Bencana alam
tersebut digerakkan oleh sesuatu dari alam non materi.
"Bencana
itu berasal dari alam." kata penguasa. Hal ini persis yang dikatakan dalam
Surat Al-Jaatsiyah ayat 24, namun penguasa tidak sadar apabila Ada yang
menggerakan non materi yang kemudian menggerakan materi. Sekali lagi masyarakat
yang terkena dampaknya dan penguasa selamat. Walaupun penguasa selamat dari
bencana sesaat, namun penguasa akan mengalami penderitaan psikis yang
panjang. Jiwa dan hati para penguasa akan tersiksa dan tersayat dengan
perantara harta yang tidak halal, menyalahgunakan kekuasaan, ketakutan akan
digulingkan dari kekuasaan.
Fiksasi
dan Dalih
Freud
pernah mengatakan apabila orang merokok memiliki kecenderungan fase oralnya
terganggu, sehingga untuk memenuhi kepuasaan oral ketika dewasa menyalurkannya
dengan rokok. Kita juga sering melihat ambisi masyarakat yang ingin sekali
mengisi pos-pos penguasa atau paling tidak di bawahnya. Hal ini tidak terlepas
dari keinginan mereka yang tertindas dari penguasa yang kemudian muncul
keinginan menjadi penguasa berikutnya.
Orang
yang merokok pun punya dalih. Orang yang merokok memiliki ciri-ciri, yakni dia
itu sehat, memiliki uang, dan beriman. Apabila tidak sehat seorang perokok akan
dilarang merokok. Kemudian bila tidak memiliki uang janganlah jadi perokok. Dan
oleh sebab hidup matinya makhluk itu ditentukan Tuhan kenapa musti takut
merokok? Toh tidak merokok pun juga akan mati. Kesehatan terkadang dilupakan
atau tidak diacuhkan oleh kita. Seorang dokter bilang kita sakit, namun tetap
saja kita merokok. Tak selamanya orang yang merokok itu memiliki uang, bisa
saja dia meminta rokok pada orang yang sudah punya rokok. Memang benar hidup
mati seseorang yang menetukan Tuhan, di samping itu kita juga tidak bisa
melupakan bahwa kita harus menjaga apa yang Tuhan ciptakan termasuk tubuh kita.
Tuhan yang menciptakan, manusia yang menjaganya.
Penguasa
tidak jauh berbeda. Menjadi Penguasa juga harus memiliki kesehatan, uang, dan
iman. Kesehatan diperlukan untuk menjalankan kehidupan masyarakat. Kesehatan
fisik bisa dilihat, namun kesehatan rohani sulit diterima. Kita bisa lihat
penguasa yang arogan menggusur rumah-rumah atas nama kepentingan negara dengan
mengenyahkan keberadaan warga yang digusur sebagai unsur terbentuknya negara.
Melalui kekuasaannya membeli tanah dengan harga murah. Uang adalah modal
awal menjadi seorang penguasa. Tidak punya uang tinggal kongkalikong dengan
pemilik modal. Aku rasa hal tersebut sudah jamak kita ketahui. Terlebih proses
pemilihan seorang penguasa dalam demokrasi saat ini memerlukan banyak biaya.
Iman menjadi simbol-simbol mereka. Menjual ayat-ayat suci dalam kampanye mereka
denga harga murah.
"Bagaimana
jika industri rokok di tutup? Bukankah itu mengakibatkan pengangguran bagi
orang yang bekerja di sana? Makanya kita mau berkorban demi mereka" tanya
para perokok. Inilah tugas penguasa untuk memberikan industri alternatif untuk
buruh tembakau. Penguasa sering sibuk mengeruk untung dari industri rokok dan
enggan memberikan perhatian kepada penelitian alternatif agar tembakau memiliki
manfaat lain dari pada digunakan untuk rokok.
Aku
sendiri menulis ini dengan merokok, namun alam bawah sadarku terkadang
mengingatkan untuk berhenti. Aku seperti penguasa yang candu akan kekuasaan.
Penguasa menyediakan tempat khusus area perokok. Di sana kita menjadi perokok
sebenarnya: perokok aktif sekaligus perokok pasif. Nikmatnya merokok di alam
terbuka. Membebaskan asap-asap lari kemana mereka mau. Ke arah kita atau
filter-filter alam. Bahkan lebih nikmat tidak merokok.
Irfa R. Boyd Utama |
Malam menjadi gelap lebih awal. Bintang dan bulan
nampak lebih terang. Listrik menjadi padam di sekitar kampus dari sore sampai
kembali pagi. Penyebabnya sepele, layang-layang tersangkut penangkal petir pada
tiang listrik. Musim dan angin yang
mendukung menarik minat masyarakat bermain layang-layang. Semua menyalahkan
layang-layang dan orang yang bermain. “Jaman sekarang kok masih ada yang bermain layang-layang” celetuk orang dengan raut
kesal.
Benar bila layang-layang adalah usang. Ketika putus
tali, dia bergerak sesuai angin bertiup. Kita sendiri tahu bila angin selalu
berubah dan bergerak. Uni Soviet menjadi pelajaran bagaimana perubahan dan
gerak angin tidak dapat ditebak. Layang-layang berubah kehendak. Dulu diminati
dan sekarang dicaci. Layang-layang mempunyai sejarah yang panjang. Dia menjadi
alat petarungan udara di kala manusia bermimpi terbang. Kemeriahan mengejar
layang-layang yang putus memiliki keasyikan tersendiri. Tanpa takut nyangkut di
tiang listrik atau tertabrak kendaraan.
Sekarang, layang-layang seolah tak bersahabat dengan
modernitas atau justru modernitas yang tak bersahabat dengan layang-layang. Dia
memiliki kejayaan masa lampau yang coba dipertahankan dengan derasnya arus
modernitas. Apanya yang salah? Modern menjadi musuh dari arkais. Modernitas memang membawa perubahan terhadap
kehidupan, namun adakalanya modernitas menjadi alat bagi kapitalis yang rakus.
Mengeruk keuntungan tanpa memedulikan lingkungan dan budaya. Mereka
menumbangkan keindahan alami dan menciptakan keindahan buatan. Mereka mengisap
kekayaan alam dan memberikan kerusakan di atas permukaan tanah.
Di mana yang salah? Pendidikan kita. Pendidikan adalah
jantung bagi perubahan sosial. Pergeseran persepsi bahwa pendidikan hanya
dimaknai sebagai sekolah-sekolah yang telah kita tempuh. Bagaimana bisa sekolah
yang hanya dibatasi dinding tersebut bisa melakukan perubahan sosial? Bagaimana
bisa dari tempat itu mengajarkan kita cara mengubah realitas-realitas sosial?
Janganlah heran jika pendidikan kita berada dalam
situasi stagnan. Pendidikan kita masih menganut paradigma dogmatisme. Inilah
penyebab terhentinya proses berpikir dalam dunia pendidikan. Hal tersebut yang
dapat menghambat pemikiran agar tetap percaya pada realitas. Teori-teori hanya
sebatas fiksasi realitas dan bukan lagi sebuah perkembangan yang bisa berubah.
Penelitian-penelitian yang dihasilkan cenderung bersifat final. Dogmatisme
menyebabkan ketidak mampuan melihat struktur sosial, termasuk dirinya. Pendidik
meneruskan metode-metode baku yang kemudian makin diendapkan. Realitas
dipandang sebagai objek untuk dimanupulasi, dikuasai dan ditundukkan. Menurut
Jean-Francois Lyotard saat ini sedang memasuki fase di mana logika tunggal yang
diyakini kaum modernis telah digantikan dengan pluralitas logika. Bagi yang
tertutup matanya oleh paradigma mereka sendiri tidak menyadari akan hal ini.
Dampaknya adalah mereka membangun dunia hanya dalam satu dimensi, apa yang ada
dihadapannya hanyalah hitam dan putih. Maka matilah mereka!
Kita tidak akan menemukan kebebasan dalam menentukan
pilihan. Kita hanya akan mendapatkan para pendidik yang membentuk pola pikir
peserta didik sesuai dengan pola pikir mereka. Biarkan kita memilih, mengikuti
atau bahkan menciptakan mahzab sendiri. Biarkan kita menemukan sintesis apa
yang disampaikan pendidik tanpa memaksakan pola pikirnya.
Jikalau
lampu tidak padam gara-gara layang-layang, kita tidak bisa menikmati malam
dengan kelembutan angin, bintang dan bulan di alam terbuka. Mungkin kita akan
sibuk dengan televisi atau komputer di depan kita.
Sep 20, 2011
Kemarin menjadi hari yang bergelora dengan semangat yang membara. Alasannya? Pada saat itu adalah hari pertama perkuliahan aktif dimulai. Tekad sebelumnya yang sudah merencanakan pembenahan dalam masuk kuliah pada diri sendiri. Orang tua telah memberikan amanah yang mau tidak mau, suka tidak suka tahun depan sudah harus selesai kuliahnya. Agar kemudian biaya perkuliahan bisa di alokasikan kepada adek yang terpaksa cuti karena biaya kurang (maaf ya dek kalau kamu sampai berkorban begitu).
Masuk kuliah mental perlu ditata disebabkan oleh karena aku harus masuk dengan adik tingkatku, adik yang pernah aku ospek sebelumnya (Oh begini rasanya). Kuliah semester ini fokus pada perbaikan. Makanya agak sedikit kurang ngeh ketika bilang "yang dapt nilai 'E' itu yang ngasih tanpa pertimbangan karena sering tidak masuk, tidak pernah mengumpulkan tugas, dan tidak ikut UAS". Itu benar. Namun stereotipe orang yang mendapat nilai E adalah orang bodoh. Pada saat itu aku hanyut pada masa lampau. Masa-masa yang mengorbankan kuliah untuk kegiatan berorganisasi. Masa-masa tatkala harus cuti karena perkara organisasi. Meskipun organisasi tidak boleh dipersalahkan karena kita yang mengambil keputusan tersebut. Tidak perlu disesali ataupun disesali. Mencerna kata-kata dosen tersebut, aku pun yakin seyakin yakinnya bahwa kuliah itu hanya sekedar datang, duduk, dengarkan, pulang, buat tugas maka nilaimu akan bagus. Sebuah rutinitas yang membosankan bukan? Itu juga alasan yang membuatku untuk cuti, keluar dari rutinitas dan mencoba keliling pulau jawa dengan nggembel.
Pagi ini aku bangun lebih awal. Memang tidak ada acara download. Mungkin karena ketiduran akibat capek habis wawancara calon anggota SM. Tapi entah lah ada yang aneh, suara-suara asing itu muncul lagi lewat bisikan yang membuat kepalaku agak pusing. Bisikan yang mengabarkan ada bayi kelaparan di Afrika, entah dimana aku kurang tahu. Ada bisikan warga kekurangan air bersih, aku juga kurang tahu ada dimana itu. Bisikan itu terus berbisik, sampai aku pusing dibuatnya dan pada akhirnya aku sudah dalam keadaan tertidur.
Pagi yang menarik karena diawali dengan kritik di status warta utm. Yah kritik, lantas aku takut? Tidak. Setiap kritik harus kita terima dengan terbawa apapun jeleknya itu. Bagaimanapun itu melumpuhkan mental dan emosi. Toh tak ada yang salah dengan kritik. Melalui kritik kita berbincang dengan diri. Menyempatkan waktu untuk mengenal lebih dekat siapa diri ini. Tanpa kritik kita hanya menjadi borok. Tindakan yang perlu kita lakukan hanyalah mengobatinya. Ibaratkanlah kritik itu adalah penyakit. Dibenci dan ditakuti, akan tetapi apa hak kita untuk menolak itu? Kita hanya menerimanya. Apakah kita akan marah tatkala ada dokter atau seseorang bilang kita sedang sakit? Apa yang mereka katakan adalah peringatan atau lebih halusnya nasehat. Mengingatkan kita apabila kita sedang sakit. Menasehati kita apabila kita sakit berobatlah.
Namun tidak semua orang dibilang sakit itu menerimanya. Mereka akan bilang "aku tidak sakit. Aku sehat kok. Lha aku yang punya tubuh masak kamu yang bilang sakit." Ini adalah tipe manusia keras kepala. Tak sadar jika penyakit itu bekerja dengan sangat lambat dan kita akan menyesalinya apabila sudah terlanjur parah. Kemudian orang itu akan bilang "Kenapa tidak bilang dari dulu??".
Alhamdulilah bila ada yang memberi kritik. Berarti kita diperhatikan. Mereka ingin kita sehat kembali. Jangan marah dengan pemberi kritik. Jangan takut karena tanpa mereka bisa saja anda tidak bisa berdiri tegak.
Sep 19, 2011
Aku terbangun di sebuah perumahan Knightsbridge, London. Di sana aku menemukan beberapa gambar pada hp ku. Entah aku tidak benar-benar tahu bagaimana aku sampai di sana. Muncul sebuah nama dan angka yang tidak saya kenal sebelumnya.
Hari kala itu berubah malam, malam memberikan apapun yang kita inginkan: dengan mimpi. Aku cukup muda untuk mengatakan dunia harus sesuai kehendakku, harus menjadi kehidupan yang lebih baik. Namun, banyak yang mengatakan jika kamu tidak bisa melawan. Seperti London pada malam berapi itu. Pesawat seperti melompat keluar. Ini menjadi omong kosong yang tidak bekerja, London yang eksotis pada malam sebelum berubah seketika. Sebagian orang berteriak gembira seperti orang bodoh.
Aku putus asa di tengah kekacauan itu. Aku merasa seperti akan kehilangan sesuatu yang berharga. Ibarat ribuan jendela menutup dengan begitu cepat. Semua memberikan wajah dengan mental kalah. Alam bawah sadar mengingatkan bahwa masih ada harapan. Harapan yang kita miliki begitu banyak untuk merasa baik tentang ketidak teraturan dunia.
Malam itu aku ajak para remaja minum. Memberikan sugesti untuk berpegang teguh pada kebenaran. Itulah yang hanya dimiliki sebagai laki-laki. Pada dasarnya mereka tak ingin kehilangan apa yang mereka miliki.
Kadang-kadang ketika aku sendirian aku bertanya-tanya, apakah ada mantra yang bisa menjaga saya dari melihat hal yang nyata secara terang tanpa ada keraguan sedikitpun. Mereka tidak siap kehilangan, terkadang aku juga. "Begitu menyakitkan" kata salah seorang dari remaja itu. "Tapi terkadang itu menyakitkan yang baik kata." kataku.
Saat London musim dingin dengan gedung-gedung berapi yang tak ada seorang pun berusaha memadamkannya. Mereka terlalu putus asa. Kemudian kita bernyanyi untuk melampaui hal-hal buruk. Seketika kami ambruk begitu saja.
"ayo kita padamkan" ujar salah satu dari mereka. Dengan muka merah akibat minuman kita memadamkan api itu. Orang yang melihat kami mulai tergerak hati mereka. Gairah mulai muncu pada diri mereka. Aku merasa hidup saat itu.
Aku Menemukan diriku di dalam sebuah ruangan yang berantakan dengan berbagai macam kabel. Kabel-kabel Laptop, sound, joystick, hard disk membentuk ketidak teraturan.
Sep 16, 2011
Apa harta karunmu? Apabila yang ditanya Edward Newgate pasti dia akan menjawab "Keluarga". Dia bajak laut yang tidak memburu harta, melainkan bajak laut yang berkeliling samudra mencari orang yang diajaknya menjadi keluarga. Keluarga yang mau memanggilnya "Ayah". Dia akan melawan siapa saja yang menyakiti anggota keluarga. Bahkan mati ketika menyelematkan anaknya yang ditangkap angkatan laut.
Mengapa kau membunuh? Apabila yang ditanya Don Michael Corleone pasti akan menjawab "demi keluarga". Kepala keluarga mafia penerus marga Corleone itu tak segan membunuh siapa saja yang mengancam kehidupan keluarga Corleone, sekalipun itu kakak kandungnya.
Akhir Bulan Ramadhan menjelang awal bulan syawal lekat dalam tiap diri, sadar ataupun tak sadar dalam benak yang merayakan akan memikirkan keluarga. Tradisi maaf-memaafkan dan saling kunjung menjadi hal biasa. Dari sanalah akan diketahui keakraban sesama keluarga dan juga ... keretakannya.
Yah... keretakan. Seperti jalan yang retak dan berlubang. Kadang di pinggir, kadang di tengah atau malah keduanya. Kemudian jalan itu ditambal sulam dengan kata perbaikan bukan dengan pembuatan jalan baru. Hasilnya tentu saja mengganggu (karena bergelombang) meskipun terlihat baru.
Zaman dahulu orang berpikiran banyak anak banyak rezeki, sehingga kita seringkali melihat sebuah keluarga besar yang memiliki lusinan anak. Apalah arti lusinan anak bila anak cucu tidak saling kenal dan mengetahui apabila mereka bersaudara. Keretakanlah yang membuat para orang tua enggan mengenalkan sanak saudara mereka. Retak karena malas silaturahim dan silaturahmi.
Konteks Bernegara
Seorang teman malu, tatkala diceritakan garis keturunan. Malu karena di dalam darahnya mengalir sebuah suku yang sering kali dia ejek. Sering kali kita tdak mengetahui tentang asal usul darah yang mengalir dalam diri kita. Mungkin saja di dalam darah itu bercampur dari berbagai suku, tapi kita tidak menyadarinya. Kita menganggap saudara bagi yang jelas saja. Tanpa pernah ingin menggali lebih dalam. Kita tak perlu membenci Yahudi jika tahu kita ada darah mereka. Kita tak perlu mengejek ras tertentu bila kita memiliki garis keturunan ras tersebut. Walaupun satu tetes darah saja karena itu sama saja mengejek dan membenci diri kita sendiri.
Kerusuhan berbau SARA tak perlu terjadi ketika kita menyadari dan mengetahui bila mereka adalah keluarga. Nepotisme dapat hilang apabila kita sadar sepenuhnya bahwa kita bersaudara yang putus silsilahnya, sehingga kita saling tidak mengenal. Saling mengenal keluarga saja masih bisa berselisih apalagi jika tidak mengenal.
Sekali lagi tentang mengutamakan harta dan kekuasaan yang dibarengi dengan keengganan menjalin silaturahmi dan silaturahim menyebabkan keretakan keluarga. Berkaca dari sejarah dan cerita perihal perselisihan internal keluarga telah begitu gamblang keretakan terjadi karena itu. Bagaimana Oda Nobunaga saling berperang dengan adiknya sendiri, Oda Nobuyuki, dalam memperebutkan kepala klan Oda. Bagaimana perang saudara menenggelamkan kerajaan-kerajaan di penjuru Nusantara. Bagaimana Perang Bharatayudha terjadi oleh sesama saudara.
Manusia yang hidup dalam negara ini adalah keluarga. Dimana saling bahu membahu untuk kesejahteraan anggota keluarga lainnya. Dimana mereka bermusyawarah untuk menyelesaiakan masalah keluarganya. Dimana perbedaan, kesenjangan, dan perselisihan itu hal biasa tetapi tidak melupakan untuk memikirkan masa depan keluarganya bukannya memilih sendiri jalan hidupnya.
***
"kenapa ayah mau membantu Pak Yadi membayar uang operasi padahalkan bukan keluarga kita?" tanya seorang anak umur 10 tahunan suatu hari. "Siapa bilang bukan keluarga kita? Semua manusia di negeri ini adalah keluarga" jawab Sang Ayah tersenyum mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Keluarga dari mana? Enyang putri? Edi juga keluarga kita dong yah?" tanya anak itu lagi.
"Bukan dari Enyang putri tapi dari ibu enyang putri namanya Ibu Pertiwi. Edi juga keluarga kita."
"Tapi kenapa Edi masih saja nakal sama aku dan teman-teman?"
"Yah... Edi belum tau saja kalau semua orang Indonesia itu keluarga"
Dan Edward Newgate tetaap ditertawakan teman-temannya, dalam hatinya berkata "Kalian belum tahu bagaimana rasanya tidak memiliki keluarga. Karena Keluarga adalah harta karunku".
Malam
selalu gelap. Segelap tinta yang senantiasa kugores pada selembar kertas yang
putih dan terkadang bergaris. Dikala malam sering kali kudengar suara-suara
asing yang selalu bertanya. Mungkinkah karena itu orang memilih tidur daripada
bangun mendengar pertanyaan yang setiap jawaban selalu dikejar? Tak kan pernah
usai tatkala pagi menyingsing menyisakan pertanyaan yang terus membekas dalam
benak.
Malam
tak dapat dihindari, begitu pula mempertanyakan jawaban kembali. Malam kali ini
berbeda. Kali ini dia menyerang apa yang sering kulakukan dan tetap teguh
kupegang. Sekali-kali dia menggoyahkan keyakinanku dengan semilir angin lembut
yang membelai rambut. Dia mempertanyakan kekuatan tulisan.
"Mengapa
engkau menulis?" tanya malam. "Karena menulis adalah kewajiban"
jawabku. "Kewajiban dari siapa? Bukankah engkau menulis karena ambisi
pribadimu?" tanyanya lagi. Pertanyaan yang langsung menohok hati. Tanpa
sadar aku merasa malu sendiri dibuatnya.
"Ada
amal yang tak kan terputus ketika kita mati, yakni amal jariyah, do'a anak yang
sholeh, dan ilmu yang bermanfaat. Melalui tulisan kita bisa menyalurkan sebuah
ilmu." jawabku dengan nada serius. "Hah!! Engkau ingin abadi? Bila
engkau ingin abadi, kau melupakan-Nya!! Jikalau semua manusia musnah, siapa yang
akan membaca tulisanmu? Tulisanmu hanya hidup sepanjang manusia itu ada.
Munafik!" ujarnya dengan menahan geram.
"Bukan
begitu" kataku.
"Bukan
begitu bagaimana? Meneruskan ilmu yang bermanfaat? Hanya ada manusia
berlomba-lomba menjadi kekal lewat tulisan. Itu alibi!" bentaknya.
"Tulisan
memiliki kekuatan untuk menginspirasi seseorang melakukan sesuatu, mengubah
cara pandang bagi yang membaca dan sebagai salah satu cara menyampaikan sebuah
kebenaran" kataku sambil meraih rokok di depanku. "Menginspirasi atau agitasi? Bukankah dengan mengubah paradigma seseorang berarti engkaau
menginginkan dunia ini berjalan sesuai keinginanmu? Hebat betul kamu
yah.." ujarnya sambil meraih rokok, menyalakannya, menghisap dan kemudian
mengepulkan awan-awan gelap yang berarakan. "Menyampaikan kebenaran...
Dengan lihainya para penulis menyusun kata yang mampu membelokkan logika yang
salah menjadi benar dan sebaliknya. Kebenaran bagi otak si penulis
sendiri" lanjutnya.
"Ada benarnya juga. Kertas, note, blog atau media apa pun itu merupakan sebuah lahan kosong. Lahan yang menunggu untuk kita bangun sebuah dunia baru. Meninggalkan dunia nyata kita yang telah banyak mengecewakan. Di lahan kosong itu kita bebas, sebebas-bebasnya mengeluarkan gagasan dan ide kita. Walaupun terkadang gagasan itu utopis, namun dominan orang menulis mempergunakan dunia riil sebagai fondasinya dengan memperbaiki apa saja yang salah padanya. Setelah sempurna ada kalanya dunia gagasan ditaruh begitu saja ke dunia riil." ucapku dalam hati.
"Nah!" kejutnya, membuyarkan lamunanku. "Bagaimana dunia gagasan ditaruh begitu saja ke dunia riil?" tanya malam.
"Kau membaca pikiranku?" tanyaku penuh curiga.
"Tak bolehkah?" jawabnya.
"Tak sopan tanpa izin" kataku singkat.
"Paling tidak dengan begini aku bisa membantumu berdialektika. Tidak seperti para penulis yang memanfaatkan momen kesengsaraan bagi masyarakat yang dia jadikan objek. Masyarakat menjadi objek paling menarik untuk menuju ketenaran mereka, tanpa memberikan sumbangsih bagi objeknya itu. Kalian hanya berdiri di belakang meja." ungkapnya.
Realisasi Tulisan
Malam semakin malam. Rerumputan dengan mudah bergoyang ditiup angin semilir. Menimbulkan gemirisik khas rumput kering menanti hujan yang tak kunjung datang.
"Siapa bilang kami hanya bekerja di balik meja? Banyak juga yang turut serta merealisasikan gagasan mereka dan memberikan sumbangsih bagi objek mereka."
"Dan engkau mengetahui akibatnya kan?" malam bertanya balik. "Lihat Tolstoy mati di stasiun kereta api setelah diusir istrinya karena akan memberikan kekayaannya pada petani. Syari'ati yang dibunuh intelejen SAVAK. Rosa Luxemburg yang disiksa dan dibunuh Freikorps. Kau tahu akibatnya kan?"
"Yah. Tak perlu mereka turun lapangan merealisasikan gagasan mereka. Hanya berjuang melalui tulisan sama saja membahayakannya bergerilya di bawah tanah, itu kata Syari'ati."
"Apalah gunanya jikalau hanya menulis saja? Bagaimana bila tulisan tersebut tidak sesuai jika diterapkan karena sang penulis sendiri tidak ikut turun lapangan?" tanya malam sebelum menyeruput kopi yang aku suguhkan.
"Bukan berarti tidak berguna. Sang penulis hanya bisa menulis, belum diberi kesempatan turun lapangan untuk merealisasikannya. Meskipun tulisan tersebut tidak sesuai dengan lapangan, apabila ada yang membaca dan menyadari kekurangan tersebut kemudian membenahinya bisa bermanfaat juga tulisan tersebut." kataku.
"Hmm..." kata malam sambil manggut-manggut.
"Tanpa adanya tesis tak mungkin sintesis terjadi." ujarku sambil berdiri.
"Hei... Mau kemana?"
"Tidur. Ngantuk." ucapku dengan berjalan masuk menuju tempat tidur.
"Jam segini sudah ngantuk?" seru malam dari luar.
"Kita lanjutkan besok!" teriakku.
Dia adalah malam tak mungkin mengantuk.
Jun 23, 2011
Banyak teori mengenai penciptaan semesta. Banyak konsepsi bagaimana Tuhan menjalankan roda kehidupan. Dan tak berkesudahan sampai saat ini. Itu yang menarik umat manusia untuk mengetahui lebih dalam tentang kosmis. Dalam perkembangannya manusia menyadari semesta tidak hanya di alam material, namun juga daerah metafisik meskipun ada pula yang menolaknya karena alasan rasionalitas. Hal tersebut yang coba mereka ungkap. Berujung pada sering muncul bagaimana menghadapi masalah ini itu, bagaimana hari mereka esok, apa pekerjaan yang cocok, apakah dia jodohku, apakah hari ini baik untuk sebuah perjalanan atau pekerjaan. Muncullah ramalan, primbon, atau feng shui dan sebagainya.
Manusia dan Ramalan
Tuhan menciptakan cosmis dengan matematika. Bisa saja Tuhan menciptakan dengan kun fayakun, tetapi Tuhan lebih menyukai sebuah proses dan keteraturan. Proses inilah direncanakan dengan sebuah rumus-rumus Tuhan yang hanya Dia Yang Tahu. Di sisi lain kita sebagai salah satu ciptaan-Nya juga dibekali akal guna berpikir. Akal sebagai awal dari rasa keingintahuan akan semua hal yang tersembunyi dan mengandung misteri di benak mereka. Keinginan manusia menjelajah cosmis dengan utuh membuat mereka bertanya-tanya rumus-rumus Tuhan. Munculnya primbon, feng shui, zodiak ataupun ramalan karena ketidak mampuan manusia menemukan rumus tersebut, sehingga mereka menggunakan probabilitas yang nilainya antara 0 sampai 1. Angka probabilitas mendekati 1 semakin pasti, hasilnya 0 tidak terjadi, dan bila hasilnya 1 pasti terjadi. Mereka menarik sebuah kesimpulan dan keputusan dari suatu fenomena yang diamati. Kebenarannya tidaklah pasti absolut karena hasil dari pencarian meraka hanya berupa frekuensi relatif terhadap sesuatu. Tuntutan untuk mempercayainya pun tidak harus disebabkan hasilnya hanyalah prediksi. Kecuali jika itu termuat dalam kitab suci karena nilai probabilitasnya 1. Kitab suci bagiku tidak hanya sebuah kitab biasa. Di dalamnya juga termuat sebuah ramalan yang gamblang, tetapi ada pula yang multi interpretasi.
Peringatan Dini
Saya percaya manusia adalah makhluk otonom (bebas dan mandiri). Kebebasan dan kemandirian yang memiliki batas merupakan wujud pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Satu rumus dari Tuhan untuk menghadapi probabilitas yang dihasilkan manusia. Dominan manusia malah terpaku pada hasil probabilitas manusia sendiri. Mereka hanya tahu bagaimana menghindar tanpa pernah menghadapi sebuah rumus. Saya sendiri sering menjumpai orang yang mendapat peruntungan buruk cenderung menjadi pesimis dan terpaku pada ketakutan ramalan buruk. Bahkan bila ramalan itu bagus, mereka hanya diam dan menunggu hasilnya tanpa bergerak dan mengejarnya.
Kita sering kali lupa dimana kita hidup, lantas bagaimana kita lepas pada prediksi-prediksi. Seseorang yang lahir pada tanggal sekian akan memiliki watak demikian, apabila mendirikan disini akan begini. Jadi teringat kata yang bertautan, Tidak akan diubah nasib suatu kaum jika kaum itu sendiri tidak berubah, dan Apa yang terjadi adalah hasil buah pemikiranmu karena cosmis akan merespon apa yang ada dalam otakmu. Sejujurnya ramalan, primbon, zodiak dan semacamnya adalah peringatan bagi manusia. Sejauh mana mereka menghadapi apa yang terjadi untuk mewujudkan keinginan dari diri.
Untuk Indonesia
Kondisi Indonesia yang morat marit membawa rasa ingin tahu bagaimana negeri ini di masa mendatang. Dengan ilmu metafisik, saya iseng-iseng coba melihatnya. Hasilnya... Sekitar tahun 2018-2020 atau 2018-2022 Indonesia "Panas", banyak yang ingin melepaskan diri, depresi dan ketidak percayaan yang membawa kelompok agama radikal memiliki banyak pengikut. Munculnya satria piningit sekitar tahun 2020-2024 pada saat-saat genting,menjelang aksi pembubaran negeri ini. Butuh waktu 6 tahun untuk membawa negeri ini dalam ketentraman dan kemakmuran. Munculnya Satria Piningit ini sekitar Yogyakarta dan berawalan "B" (yang pasti bukan saya karena awalan saya "I").
Boleh percaya, boleh tidak karena ini hanyalah sebuah trawangan dari alam metafisik oleh manusia yang ingin tahu masa depan negeri ini. Mungkin nilai probabilitasnya 1/1.000.000.000.
Bumi bergerak dengan pelan dan kita tak menyadarinya karena kita diam. Bergerak maju atau diam tergilas zaman.
Boyd Trayutama
NB: Mungkin Esai ini hanyalah sampah, namun dari sampah pun bisa diolah untuk menemukan solusi dari segala keluh kesah. Apabila benar-benar terjadi, anda boleh memaki saya. Tulisan ini masih dalam tahap penggodokan, belum final.
Jun 10, 2011
Penulis : Albert Camus
Penerjemah : Anna Karina
Penerbit : Liris
Cetakan : Pertama, Desember 2010, Surabaya
Tebal : viii + 116 halaman
Presensi : Irfa Ronaboyd
Albert Camus merupakan penerima hadiah Nobel Sastra termuda kedua setelah Rudyard Kipling, sekaligus penulis kelahiran Afrika pertama yang menerima penghargaan itu. Camus dan Sartre sering terhubung sebagai pendukung eksistensialisme. Pemikiran Camus mempengaruhi peningkatan arah filsafat yang terkenal dengan absurdism. Melalui Summer, Camus mempertebal arus filsafat absurdism.
Summer memuat delapan esai jejak perjalanan pemikiran Camus sejak 1939 sampai 1953 yang akan tetap up to date. Dalam buku ini kita diajak merenung dan memaknai hidup dengan gaya tulisan puitis. Dibuka dengan esai berjudul Minotaur atau Perhentian di Oran, sebuah esai yang ditujukan untuk Pierre Galindo. Dalam paragraf pertama, Camus telah menyeret masuk dalam kehidupan orang-orang dan bahkan batu dari Oran yang berjuang menghindari menjadi bagian dari padang pasir, menjaga tetap bajik dalam menghadapi eksotis dan ganasnya alam. Ada yang menarik dari esai pertama ini, yakni sebuah pertandingan tinju di Oran. Camus ingin menunjukkan bahwa dari olahraga pun bisa didapatkan pelajaran moralitas.
Esai kedua, Camus dalam filsafatnya terinspirasi Pohon Buah Badam. Pohon yang ditunggu Camus pada Musim Dingin bulan Februari di Vallée des Consuls. Pohon Buah Badam akan dipenuhi bunga-bunga putih yang membawa kegembiraan baginya, namun setiap tahun bunga itu akan lenyap dan cukup waktu lama untuk mempersiapkan buahnya. Kemudian dia berkata “…, melalui sifat baiknya seperti warna putih dan sari pohon buah badam, beridir tegak melawan angin dari lautan. Itulah yang akan mempersiapkan buahnya dalam musim dingin dunia.”
“Di mana absurditas?” Tanya Camus dengan esai keenam, teka-teki. Esai ini mengajak kita berpikir dan merenung perihal ironi-ironi dalam sekitar kita. Mengungkap ketidak sederhanaan hidup dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa henti. Secara keseluruhan esai dalam buku berjumlah delapan. Filsafat Camus dalam buku ini paling menerangi ketika kita membacanya tidak secara langsung. Sebuah cara yang bagus untuk mencelupkan jari kita ke dalam esai Camus, sebelum menenggelamkan pikiran dan jiwa kita dalam karya-karya Camus lainnya yang lebih menantang.