Jhttp://nasional.kompas.com/read/2011/10/13/06183141/Indonesia.Terus.Kehilangan.Wilayah.TeritiorialAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta bekerja lebih baik lagi mempertahankan setiap jengkal tanah negeri ini di daerah perbatasan ketimbang reaktif terhadap temuan Dewan Perwakilan Rakyat tentang pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia.
Pemerintah bisa memulainya dengan meningkatkan kesejahteraan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan. Kondisi warga Indonesia di perbatasan dinilai memprihatinkan dibandingkan dengan warga Malaysia yang juga tinggal di perbatasan.
”Ini, kan, kasus kesekian kalinya. Pemerintah seharusnya bisa bekerja lebih lagi untuk mempertahankan setiap jengkal tanah kita di perbatasan. Sebagai pimpinan DPR, saya menyetujui dan mendorong penuh temuan-temuan dari Komisi I. Saya juga sudah meneken persetujuan, Komisi II ingin melakukan kunjungan ke lapangan untuk menelisik semua itu, termasuk di Kalimantan Barat dan daerah perbatasan lain,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Jakarta, Rabu (12/10/2011).
Menanggapi kritik mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak berani meminta penjelasan kepada Malaysia soal pencaplokan wilayah Indonesia di Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Priyo mengatakan, pemerintah seharusnya jangan reaktif.
”Apa yang disampaikan Ibu Megawati mengonfirmasi ulang kerisauan kita mengenai daerah perbatasan. Pemerintah tidak perlu reaktif, tetapi harus lebih proaktif melakukan langkah-langkah sehingga temuan DPR menjadi alat pelecut bagi pemerintah melakukan langkah luar biasa dalam mempertahankan setiap jengkal tanah di daerah perbatasan,” katanya.
Menurut Priyo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan harus segera melakukan langkah konkret dengan menteri terkait dan melaporkannya langsung kepada Presiden. Priyo mengatakan, langkah konkret itu bisa dimulai dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan.
”Kalau perlu, buat anggaran khusus untuk meningkatkan harkat martabat dari lingkungan masyarakat kita yang ada di perbatasan. Itu karena yang saya temukan ketika berkesempatan melakukan kunjungan ke daerah adalah Malaysia itu penduduknya berpendar cahaya, sementara kita gelap gulita. Kan, jadi pilu juga. Padahal, itu halaman depan kita punya negeri dan republik,” tutur Priyo.
Ia menilai pemerintah masih sangat konservatif dalam menangani masalah perbatasan. Jawaban pemerintah ketika DPR menemukan ada pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia melalui pergeseran patok di daerah perbatasan terkesan memang pemerintah tak berani menggugat Malaysia.
”Yang kemarin saya baca seolah-olah ini masih pembicaraan dengan Malaysia. Ini jawaban yang konservatif. Semua orang juga tahu kalau sudah bicara dengan Malaysia. Tetapi, dapat data sekian ribu kilometer persegi yang kemudian diubah patoknya itu perlu dikonfirmasi ulang ke Malaysia. Jadikan peluru untuk bicara dengan Malaysia,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin (Fraksi PDI-P) menjelaskan, tak ada persoalan perbatasan apabila mengacu pada garis batas Peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind), dan peta kolonial Inggris Federated Malay States Survey tahun 1935.
”Akan tetapi, kemudian dalam MOU (nota kesepahaman) antara tim Border Committee Indonesia dan pihak Malaysia, garis batas itu diubah dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai peta tua tersebut. Akibat kelalaian tim ini, Indonesia akan kehilangan 1.490 hektar di wilayah Camar Bulan dan 800 meter garis pantai di Tanjung Datu,” kata Hasanuddin.
Dengan hilangnya garis pantai tersebut, Indonesia kehilangan wilayah teritorial laut yang diprediksi memiliki kandungan timah, minyak, dan gas. Ia menegaskan, MOU itu belum diratifikasi sehingga Pemerintah RI perlu membatalkannya dan melakukan perundingan ulang.
Mantan sekretaris militer itu menambahkan, walau belum diratifikasi, ternyata Pemerintah Malaysia telah membuat tempat wisata konservasi di Tanjung Datu berupa Taman Negara Tanjung Datu dan proyek penangkaran penyu.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin, mengatakan, sengketa perbatasan negara yang kembali terjadi antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan lemahnya kedaulatan negara. Pemerintah dan DPR hendaknya segera menyusun undang-undang tentang tapal batas negara.
”Sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang menunjukkan batas-batas konkret dengan negara lain,” ungkapnya. (ONG/RIZ/BIL)
Pemerintah bisa memulainya dengan meningkatkan kesejahteraan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan. Kondisi warga Indonesia di perbatasan dinilai memprihatinkan dibandingkan dengan warga Malaysia yang juga tinggal di perbatasan.
”Ini, kan, kasus kesekian kalinya. Pemerintah seharusnya bisa bekerja lebih lagi untuk mempertahankan setiap jengkal tanah kita di perbatasan. Sebagai pimpinan DPR, saya menyetujui dan mendorong penuh temuan-temuan dari Komisi I. Saya juga sudah meneken persetujuan, Komisi II ingin melakukan kunjungan ke lapangan untuk menelisik semua itu, termasuk di Kalimantan Barat dan daerah perbatasan lain,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Jakarta, Rabu (12/10/2011).
Menanggapi kritik mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak berani meminta penjelasan kepada Malaysia soal pencaplokan wilayah Indonesia di Tanjung Datu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Priyo mengatakan, pemerintah seharusnya jangan reaktif.
”Apa yang disampaikan Ibu Megawati mengonfirmasi ulang kerisauan kita mengenai daerah perbatasan. Pemerintah tidak perlu reaktif, tetapi harus lebih proaktif melakukan langkah-langkah sehingga temuan DPR menjadi alat pelecut bagi pemerintah melakukan langkah luar biasa dalam mempertahankan setiap jengkal tanah di daerah perbatasan,” katanya.
Menurut Priyo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan harus segera melakukan langkah konkret dengan menteri terkait dan melaporkannya langsung kepada Presiden. Priyo mengatakan, langkah konkret itu bisa dimulai dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan.
”Kalau perlu, buat anggaran khusus untuk meningkatkan harkat martabat dari lingkungan masyarakat kita yang ada di perbatasan. Itu karena yang saya temukan ketika berkesempatan melakukan kunjungan ke daerah adalah Malaysia itu penduduknya berpendar cahaya, sementara kita gelap gulita. Kan, jadi pilu juga. Padahal, itu halaman depan kita punya negeri dan republik,” tutur Priyo.
Ia menilai pemerintah masih sangat konservatif dalam menangani masalah perbatasan. Jawaban pemerintah ketika DPR menemukan ada pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia melalui pergeseran patok di daerah perbatasan terkesan memang pemerintah tak berani menggugat Malaysia.
”Yang kemarin saya baca seolah-olah ini masih pembicaraan dengan Malaysia. Ini jawaban yang konservatif. Semua orang juga tahu kalau sudah bicara dengan Malaysia. Tetapi, dapat data sekian ribu kilometer persegi yang kemudian diubah patoknya itu perlu dikonfirmasi ulang ke Malaysia. Jadikan peluru untuk bicara dengan Malaysia,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin (Fraksi PDI-P) menjelaskan, tak ada persoalan perbatasan apabila mengacu pada garis batas Peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind), dan peta kolonial Inggris Federated Malay States Survey tahun 1935.
”Akan tetapi, kemudian dalam MOU (nota kesepahaman) antara tim Border Committee Indonesia dan pihak Malaysia, garis batas itu diubah dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai peta tua tersebut. Akibat kelalaian tim ini, Indonesia akan kehilangan 1.490 hektar di wilayah Camar Bulan dan 800 meter garis pantai di Tanjung Datu,” kata Hasanuddin.
Dengan hilangnya garis pantai tersebut, Indonesia kehilangan wilayah teritorial laut yang diprediksi memiliki kandungan timah, minyak, dan gas. Ia menegaskan, MOU itu belum diratifikasi sehingga Pemerintah RI perlu membatalkannya dan melakukan perundingan ulang.
Mantan sekretaris militer itu menambahkan, walau belum diratifikasi, ternyata Pemerintah Malaysia telah membuat tempat wisata konservasi di Tanjung Datu berupa Taman Negara Tanjung Datu dan proyek penangkaran penyu.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin, mengatakan, sengketa perbatasan negara yang kembali terjadi antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan lemahnya kedaulatan negara. Pemerintah dan DPR hendaknya segera menyusun undang-undang tentang tapal batas negara.
”Sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang menunjukkan batas-batas konkret dengan negara lain,” ungkapnya. (ONG/RIZ/BIL)
No comments:
Post a Comment