Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Sep 16, 2011

PARALAKS TULISAN (I)

Malam selalu gelap. Segelap tinta yang senantiasa kugores pada selembar kertas yang putih dan terkadang bergaris. Dikala malam sering kali kudengar suara-suara asing yang selalu bertanya. Mungkinkah karena itu orang memilih tidur daripada bangun mendengar pertanyaan yang setiap jawaban selalu dikejar? Tak kan pernah usai tatkala pagi menyingsing menyisakan pertanyaan yang terus membekas dalam benak.

Malam tak dapat dihindari, begitu pula mempertanyakan jawaban kembali. Malam kali ini berbeda. Kali ini dia menyerang apa yang sering kulakukan dan tetap teguh kupegang. Sekali-kali dia menggoyahkan keyakinanku dengan semilir angin lembut yang membelai rambut. Dia mempertanyakan kekuatan tulisan.

"Mengapa engkau menulis?" tanya malam. "Karena menulis adalah kewajiban" jawabku. "Kewajiban dari siapa? Bukankah engkau menulis karena ambisi pribadimu?" tanyanya lagi. Pertanyaan yang langsung menohok hati. Tanpa sadar aku merasa malu sendiri dibuatnya.

"Ada amal yang tak kan terputus ketika kita mati, yakni amal jariyah, do'a anak yang sholeh, dan ilmu yang bermanfaat. Melalui tulisan kita bisa menyalurkan sebuah ilmu." jawabku dengan nada serius. "Hah!! Engkau ingin abadi? Bila engkau ingin abadi, kau melupakan-Nya!! Jikalau semua manusia musnah, siapa yang akan membaca tulisanmu? Tulisanmu hanya hidup sepanjang manusia itu ada. Munafik!" ujarnya dengan menahan geram. 

"Bukan begitu" kataku.
"Bukan begitu bagaimana? Meneruskan ilmu yang bermanfaat? Hanya ada manusia berlomba-lomba menjadi kekal lewat tulisan. Itu alibi!" bentaknya.

"Tulisan memiliki kekuatan untuk menginspirasi seseorang melakukan sesuatu, mengubah cara pandang bagi yang membaca dan sebagai salah satu cara menyampaikan sebuah kebenaran" kataku sambil meraih rokok di depanku. "Menginspirasi atau agitasi? Bukankah dengan mengubah paradigma seseorang berarti engkaau menginginkan dunia ini berjalan sesuai keinginanmu? Hebat betul kamu yah.." ujarnya sambil meraih rokok, menyalakannya, menghisap dan kemudian mengepulkan awan-awan gelap yang berarakan. "Menyampaikan kebenaran... Dengan lihainya para penulis menyusun kata yang mampu membelokkan logika yang salah menjadi benar dan sebaliknya. Kebenaran bagi otak si penulis sendiri" lanjutnya.

"Ada benarnya juga. Kertas, note, blog atau media apa pun itu merupakan sebuah lahan kosong. Lahan yang menunggu untuk kita bangun sebuah dunia baru. Meninggalkan dunia nyata kita yang telah banyak mengecewakan. Di lahan kosong itu kita bebas, sebebas-bebasnya mengeluarkan gagasan dan ide kita. Walaupun terkadang gagasan itu utopis, namun dominan orang menulis mempergunakan dunia riil sebagai fondasinya dengan memperbaiki apa saja yang salah padanya. Setelah sempurna ada kalanya dunia gagasan ditaruh begitu saja ke dunia riil." ucapku dalam hati.

"Nah!" kejutnya, membuyarkan lamunanku. "Bagaimana dunia gagasan ditaruh begitu saja ke dunia riil?" tanya malam.
"Kau membaca pikiranku?" tanyaku penuh curiga. 
"Tak bolehkah?" jawabnya.
"Tak sopan tanpa izin" kataku singkat.

"Paling tidak dengan begini aku bisa membantumu berdialektika. Tidak seperti para penulis yang memanfaatkan momen kesengsaraan bagi masyarakat yang dia jadikan objek. Masyarakat menjadi objek paling menarik untuk menuju ketenaran mereka, tanpa memberikan sumbangsih bagi objeknya itu. Kalian hanya berdiri di belakang meja." ungkapnya.

Realisasi Tulisan
Malam semakin malam. Rerumputan dengan mudah bergoyang ditiup angin semilir. Menimbulkan gemirisik khas rumput kering menanti hujan yang tak kunjung datang.

"Siapa bilang kami hanya bekerja di balik meja? Banyak juga yang turut serta merealisasikan gagasan mereka dan memberikan sumbangsih bagi objek mereka."
"Dan engkau mengetahui akibatnya kan?" malam bertanya balik. "Lihat Tolstoy mati di stasiun kereta api setelah diusir istrinya karena akan memberikan kekayaannya pada petani. Syari'ati yang dibunuh intelejen SAVAK. Rosa Luxemburg yang disiksa dan dibunuh Freikorps. Kau tahu akibatnya kan?"

"Yah. Tak perlu mereka turun lapangan merealisasikan gagasan mereka. Hanya berjuang melalui tulisan sama saja membahayakannya bergerilya di bawah tanah, itu kata Syari'ati."

"Apalah gunanya jikalau hanya menulis saja? Bagaimana bila tulisan tersebut tidak sesuai jika diterapkan karena sang penulis sendiri tidak ikut turun lapangan?" tanya malam sebelum menyeruput kopi yang aku suguhkan.

"Bukan berarti tidak berguna. Sang penulis hanya bisa menulis, belum diberi kesempatan turun lapangan untuk merealisasikannya. Meskipun tulisan tersebut tidak sesuai dengan lapangan, apabila ada yang membaca dan menyadari kekurangan tersebut kemudian membenahinya bisa bermanfaat juga tulisan tersebut." kataku.

"Hmm..." kata malam sambil manggut-manggut.
"Tanpa adanya tesis tak mungkin sintesis terjadi." ujarku sambil berdiri.
"Hei... Mau kemana?"
"Tidur. Ngantuk." ucapku dengan berjalan masuk menuju tempat tidur.
"Jam segini sudah ngantuk?" seru malam dari luar.
"Kita lanjutkan besok!" teriakku.

Dia adalah malam tak mungkin mengantuk.







No comments:

Post a Comment