Malam
selalu gelap. Segelap tinta yang senantiasa kugores pada selembar kertas yang
putih dan terkadang bergaris. Dikala malam sering kali kudengar suara-suara
asing yang selalu bertanya. Mungkinkah karena itu orang memilih tidur daripada
bangun mendengar pertanyaan yang setiap jawaban selalu dikejar? Tak kan pernah
usai tatkala pagi menyingsing menyisakan pertanyaan yang terus membekas dalam
benak.
Malam
tak dapat dihindari, begitu pula mempertanyakan jawaban kembali. Malam kali ini
berbeda. Kali ini dia menyerang apa yang sering kulakukan dan tetap teguh
kupegang. Sekali-kali dia menggoyahkan keyakinanku dengan semilir angin lembut
yang membelai rambut. Dia mempertanyakan kekuatan tulisan.
"Mengapa
engkau menulis?" tanya malam. "Karena menulis adalah kewajiban"
jawabku. "Kewajiban dari siapa? Bukankah engkau menulis karena ambisi
pribadimu?" tanyanya lagi. Pertanyaan yang langsung menohok hati. Tanpa
sadar aku merasa malu sendiri dibuatnya.
"Ada
amal yang tak kan terputus ketika kita mati, yakni amal jariyah, do'a anak yang
sholeh, dan ilmu yang bermanfaat. Melalui tulisan kita bisa menyalurkan sebuah
ilmu." jawabku dengan nada serius. "Hah!! Engkau ingin abadi? Bila
engkau ingin abadi, kau melupakan-Nya!! Jikalau semua manusia musnah, siapa yang
akan membaca tulisanmu? Tulisanmu hanya hidup sepanjang manusia itu ada.
Munafik!" ujarnya dengan menahan geram.
"Bukan
begitu" kataku.
"Bukan
begitu bagaimana? Meneruskan ilmu yang bermanfaat? Hanya ada manusia
berlomba-lomba menjadi kekal lewat tulisan. Itu alibi!" bentaknya.
"Tulisan
memiliki kekuatan untuk menginspirasi seseorang melakukan sesuatu, mengubah
cara pandang bagi yang membaca dan sebagai salah satu cara menyampaikan sebuah
kebenaran" kataku sambil meraih rokok di depanku. "Menginspirasi atau agitasi? Bukankah dengan mengubah paradigma seseorang berarti engkaau
menginginkan dunia ini berjalan sesuai keinginanmu? Hebat betul kamu
yah.." ujarnya sambil meraih rokok, menyalakannya, menghisap dan kemudian
mengepulkan awan-awan gelap yang berarakan. "Menyampaikan kebenaran...
Dengan lihainya para penulis menyusun kata yang mampu membelokkan logika yang
salah menjadi benar dan sebaliknya. Kebenaran bagi otak si penulis
sendiri" lanjutnya.
"Ada benarnya juga. Kertas, note, blog atau media apa pun itu merupakan sebuah lahan kosong. Lahan yang menunggu untuk kita bangun sebuah dunia baru. Meninggalkan dunia nyata kita yang telah banyak mengecewakan. Di lahan kosong itu kita bebas, sebebas-bebasnya mengeluarkan gagasan dan ide kita. Walaupun terkadang gagasan itu utopis, namun dominan orang menulis mempergunakan dunia riil sebagai fondasinya dengan memperbaiki apa saja yang salah padanya. Setelah sempurna ada kalanya dunia gagasan ditaruh begitu saja ke dunia riil." ucapku dalam hati.
"Nah!" kejutnya, membuyarkan lamunanku. "Bagaimana dunia gagasan ditaruh begitu saja ke dunia riil?" tanya malam.
"Kau membaca pikiranku?" tanyaku penuh curiga.
"Tak bolehkah?" jawabnya.
"Tak sopan tanpa izin" kataku singkat.
"Paling tidak dengan begini aku bisa membantumu berdialektika. Tidak seperti para penulis yang memanfaatkan momen kesengsaraan bagi masyarakat yang dia jadikan objek. Masyarakat menjadi objek paling menarik untuk menuju ketenaran mereka, tanpa memberikan sumbangsih bagi objeknya itu. Kalian hanya berdiri di belakang meja." ungkapnya.
Realisasi Tulisan
Malam semakin malam. Rerumputan dengan mudah bergoyang ditiup angin semilir. Menimbulkan gemirisik khas rumput kering menanti hujan yang tak kunjung datang.
"Siapa bilang kami hanya bekerja di balik meja? Banyak juga yang turut serta merealisasikan gagasan mereka dan memberikan sumbangsih bagi objek mereka."
"Dan engkau mengetahui akibatnya kan?" malam bertanya balik. "Lihat Tolstoy mati di stasiun kereta api setelah diusir istrinya karena akan memberikan kekayaannya pada petani. Syari'ati yang dibunuh intelejen SAVAK. Rosa Luxemburg yang disiksa dan dibunuh Freikorps. Kau tahu akibatnya kan?"
"Yah. Tak perlu mereka turun lapangan merealisasikan gagasan mereka. Hanya berjuang melalui tulisan sama saja membahayakannya bergerilya di bawah tanah, itu kata Syari'ati."
"Apalah gunanya jikalau hanya menulis saja? Bagaimana bila tulisan tersebut tidak sesuai jika diterapkan karena sang penulis sendiri tidak ikut turun lapangan?" tanya malam sebelum menyeruput kopi yang aku suguhkan.
"Bukan berarti tidak berguna. Sang penulis hanya bisa menulis, belum diberi kesempatan turun lapangan untuk merealisasikannya. Meskipun tulisan tersebut tidak sesuai dengan lapangan, apabila ada yang membaca dan menyadari kekurangan tersebut kemudian membenahinya bisa bermanfaat juga tulisan tersebut." kataku.
"Hmm..." kata malam sambil manggut-manggut.
"Tanpa adanya tesis tak mungkin sintesis terjadi." ujarku sambil berdiri.
"Hei... Mau kemana?"
"Tidur. Ngantuk." ucapku dengan berjalan masuk menuju tempat tidur.
"Jam segini sudah ngantuk?" seru malam dari luar.
"Kita lanjutkan besok!" teriakku.
Dia adalah malam tak mungkin mengantuk.
No comments:
Post a Comment