Malam menjadi gelap lebih awal. Bintang dan bulan
nampak lebih terang. Listrik menjadi padam di sekitar kampus dari sore sampai
kembali pagi. Penyebabnya sepele, layang-layang tersangkut penangkal petir pada
tiang listrik. Musim dan angin yang
mendukung menarik minat masyarakat bermain layang-layang. Semua menyalahkan
layang-layang dan orang yang bermain. “Jaman sekarang kok masih ada yang bermain layang-layang” celetuk orang dengan raut
kesal.
Benar bila layang-layang adalah usang. Ketika putus
tali, dia bergerak sesuai angin bertiup. Kita sendiri tahu bila angin selalu
berubah dan bergerak. Uni Soviet menjadi pelajaran bagaimana perubahan dan
gerak angin tidak dapat ditebak. Layang-layang berubah kehendak. Dulu diminati
dan sekarang dicaci. Layang-layang mempunyai sejarah yang panjang. Dia menjadi
alat petarungan udara di kala manusia bermimpi terbang. Kemeriahan mengejar
layang-layang yang putus memiliki keasyikan tersendiri. Tanpa takut nyangkut di
tiang listrik atau tertabrak kendaraan.
Sekarang, layang-layang seolah tak bersahabat dengan
modernitas atau justru modernitas yang tak bersahabat dengan layang-layang. Dia
memiliki kejayaan masa lampau yang coba dipertahankan dengan derasnya arus
modernitas. Apanya yang salah? Modern menjadi musuh dari arkais. Modernitas memang membawa perubahan terhadap
kehidupan, namun adakalanya modernitas menjadi alat bagi kapitalis yang rakus.
Mengeruk keuntungan tanpa memedulikan lingkungan dan budaya. Mereka
menumbangkan keindahan alami dan menciptakan keindahan buatan. Mereka mengisap
kekayaan alam dan memberikan kerusakan di atas permukaan tanah.
Di mana yang salah? Pendidikan kita. Pendidikan adalah
jantung bagi perubahan sosial. Pergeseran persepsi bahwa pendidikan hanya
dimaknai sebagai sekolah-sekolah yang telah kita tempuh. Bagaimana bisa sekolah
yang hanya dibatasi dinding tersebut bisa melakukan perubahan sosial? Bagaimana
bisa dari tempat itu mengajarkan kita cara mengubah realitas-realitas sosial?
Janganlah heran jika pendidikan kita berada dalam
situasi stagnan. Pendidikan kita masih menganut paradigma dogmatisme. Inilah
penyebab terhentinya proses berpikir dalam dunia pendidikan. Hal tersebut yang
dapat menghambat pemikiran agar tetap percaya pada realitas. Teori-teori hanya
sebatas fiksasi realitas dan bukan lagi sebuah perkembangan yang bisa berubah.
Penelitian-penelitian yang dihasilkan cenderung bersifat final. Dogmatisme
menyebabkan ketidak mampuan melihat struktur sosial, termasuk dirinya. Pendidik
meneruskan metode-metode baku yang kemudian makin diendapkan. Realitas
dipandang sebagai objek untuk dimanupulasi, dikuasai dan ditundukkan. Menurut
Jean-Francois Lyotard saat ini sedang memasuki fase di mana logika tunggal yang
diyakini kaum modernis telah digantikan dengan pluralitas logika. Bagi yang
tertutup matanya oleh paradigma mereka sendiri tidak menyadari akan hal ini.
Dampaknya adalah mereka membangun dunia hanya dalam satu dimensi, apa yang ada
dihadapannya hanyalah hitam dan putih. Maka matilah mereka!
Kita tidak akan menemukan kebebasan dalam menentukan
pilihan. Kita hanya akan mendapatkan para pendidik yang membentuk pola pikir
peserta didik sesuai dengan pola pikir mereka. Biarkan kita memilih, mengikuti
atau bahkan menciptakan mahzab sendiri. Biarkan kita menemukan sintesis apa
yang disampaikan pendidik tanpa memaksakan pola pikirnya.
Jikalau
lampu tidak padam gara-gara layang-layang, kita tidak bisa menikmati malam
dengan kelembutan angin, bintang dan bulan di alam terbuka. Mungkin kita akan
sibuk dengan televisi atau komputer di depan kita.
No comments:
Post a Comment