Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Oct 13, 2011

MATI LAMPU

Malam menjadi gelap lebih awal. Bintang dan bulan nampak lebih terang. Listrik menjadi padam di sekitar kampus dari sore sampai kembali pagi. Penyebabnya sepele, layang-layang tersangkut penangkal petir pada tiang listrik.  Musim dan angin yang mendukung menarik minat masyarakat bermain layang-layang. Semua menyalahkan layang-layang dan orang yang bermain. “Jaman sekarang kok masih ada yang bermain layang-layang” celetuk orang dengan raut kesal.
Benar bila layang-layang adalah usang. Ketika putus tali, dia bergerak sesuai angin bertiup. Kita sendiri tahu bila angin selalu berubah dan bergerak. Uni Soviet menjadi pelajaran bagaimana perubahan dan gerak angin tidak dapat ditebak. Layang-layang berubah kehendak. Dulu diminati dan sekarang dicaci. Layang-layang mempunyai sejarah yang panjang. Dia menjadi alat petarungan udara di kala manusia bermimpi terbang. Kemeriahan mengejar layang-layang yang putus memiliki keasyikan tersendiri. Tanpa takut nyangkut di tiang listrik atau tertabrak kendaraan.
Sekarang, layang-layang seolah tak bersahabat dengan modernitas atau justru modernitas yang tak bersahabat dengan layang-layang. Dia memiliki kejayaan masa lampau yang coba dipertahankan dengan derasnya arus modernitas. Apanya yang salah? Modern menjadi musuh dari arkais.  Modernitas memang membawa perubahan terhadap kehidupan, namun adakalanya modernitas menjadi alat bagi kapitalis yang rakus. Mengeruk keuntungan tanpa memedulikan lingkungan dan budaya. Mereka menumbangkan keindahan alami dan menciptakan keindahan buatan. Mereka mengisap kekayaan alam dan memberikan kerusakan di atas permukaan tanah.
Di mana yang salah? Pendidikan kita. Pendidikan adalah jantung bagi perubahan sosial. Pergeseran persepsi bahwa pendidikan hanya dimaknai sebagai sekolah-sekolah yang telah kita tempuh. Bagaimana bisa sekolah yang hanya dibatasi dinding tersebut bisa melakukan perubahan sosial? Bagaimana bisa dari tempat itu mengajarkan kita cara mengubah realitas-realitas sosial?
Janganlah heran jika pendidikan kita berada dalam situasi stagnan. Pendidikan kita masih menganut paradigma dogmatisme. Inilah penyebab terhentinya proses berpikir dalam dunia pendidikan. Hal tersebut yang dapat menghambat pemikiran agar tetap percaya pada realitas. Teori-teori hanya sebatas fiksasi realitas dan bukan lagi sebuah perkembangan yang bisa berubah. Penelitian-penelitian yang dihasilkan cenderung bersifat final. Dogmatisme menyebabkan ketidak mampuan melihat struktur sosial, termasuk dirinya. Pendidik meneruskan metode-metode baku yang kemudian makin diendapkan. Realitas dipandang sebagai objek untuk dimanupulasi, dikuasai dan ditundukkan. Menurut Jean-Francois Lyotard saat ini sedang memasuki fase di mana logika tunggal yang diyakini kaum modernis telah digantikan dengan pluralitas logika. Bagi yang tertutup matanya oleh paradigma mereka sendiri tidak menyadari akan hal ini. Dampaknya adalah mereka membangun dunia hanya dalam satu dimensi, apa yang ada dihadapannya hanyalah hitam dan putih. Maka matilah mereka!
Kita tidak akan menemukan kebebasan dalam menentukan pilihan. Kita hanya akan mendapatkan para pendidik yang membentuk pola pikir peserta didik sesuai dengan pola pikir mereka. Biarkan kita memilih, mengikuti atau bahkan menciptakan mahzab sendiri. Biarkan kita menemukan sintesis apa yang disampaikan pendidik tanpa memaksakan pola pikirnya.

Jikalau lampu tidak padam gara-gara layang-layang, kita tidak bisa menikmati malam dengan kelembutan angin, bintang dan bulan di alam terbuka. Mungkin kita akan sibuk dengan televisi atau komputer di depan kita.

No comments:

Post a Comment