Semasa kanak, aku kerap dibuat bingung ketika
menulis suatu surat yang mesti mencantumkan alamat. Lazim dalam contoh-contoh
buku sekolah, alamat surat memuat nama jalan. Rumahku yang berada di tepi jalan
justru tak memiliki nama jalan. Cukup kita tulis nama, rt/rw, nama desa dan
keluarahan, kecamatan, kabupaten, dan tak lupa kode pos. Begitu pun bila ada
pos datang, pada alamat tidak tertera nama jalan.
Bolehlah bila dikatakan bahwa rumahku berada
di desa. Suatu desa yang berada tepat di jantung kecamatan sehingga lumayan
padat penduduk. Hal tersebut membuatku menarik suatu kesimpulan bahwa pekerjaan
tukang pos tidak hanya mengantarkan barang atau surat pada alamat yang dituju,
melainkan juga mengingat nama-nama manusia pada suatu daerah. “Pasti pak pos
punya ingatan yang super kuat,” batinku kala itu.
Pendingin dalam batok kepalaku membuat
kenangan itu utuh membeku. Ketika berkenalan dengan lagu U2 Where the Street Have No Name, setidaknya
aku tahu bahwa ada juga jalan-jalan di negara lain yang tak memiliki nama. Konon,
Bono menulis lagu ini setelah mengunjungi Ethiopia pada masa perang saudara. Ia
melihat jalan-jalan di negara tersebut tak memiliki nama, hanya angka. Tetapi,
ada yang menyebutkan lagu ini mengisahkan jalan-jalan di Irlandia. Tiap jalan
merepresentasikan orang yang menempati: agama, status, dan kepercayaan.
Kuelus-elus dada membayangkan Bono lari dan
sembunyi. Aku bersyukur jalan rumahku yang tak bernama, tak pernah sekalipun
membuatku berlari alih-alih sembunyi.
Hal berbeda yang secara dramatis dialami Choi
Byung-Kwan. Ia mengabadikan sudut-sudut kawasan Korea’s DMZ (Demilitarized
Zone) melalui foto. DMZ merupakan kawasan garis terdepan pertempuran perang
Korea. Kini, menjadi wilayah yang steril dari aktivitas manusia, bahkan
militer. Kawasan sepanjang 249,4 Km itu menjadi lahan tak bertuan. Tidak ada
lagi jalan. Hanya sisa-sisa perang, zona ranjau, dan helm-helm tentara yang pecah
dan berlubang.
***
Pada dasarnya perang melibatkan dua atau
lebih pihak yang merasa memiliki posisi sama atau seimbang. Ambil contoh
Argentina. Bukan Argentina yang kalian kenal sekarang dengan Messi-nya,
melainkan Argentinan yang dulu. Argentina yang pede melawan Inggris dalam perang Malvinas. Oleh sebab terlalu pede karena perekonomian sedang
berkembang pesat seperti Indonesia saat ini, Argentina dengan berani meladeni
Inggris untuk memperebutkan kepulauan Falkland.
Akhirnya, Argentina kalah. Menurutku, itu
awal mula kesialan Argentina. Selanjutnya, Argentina juga lengah dalam
menghadapi middle-income countries trap.
Seperti yang kita ketahui, Argentina mengalami krisis dan para ekonom menyebut
fenomena tersebut sebagai “The Argentina
Paradox”. Tahun 2002 The Economist
menulis laporan panjang dalam “Argentina’s
Collapse: A Decline Without Parallel” yang mendeskripsikan bagaimana
Argentina yang menjadi bintang Amerika Latin lantas seperti pesakitan lepra.
Digempur oleh Inggris, ditentang masyarakat sendiri. Kurang apes bagaimana?
Perang, bagaimanapun, selalu mendatangkan
penentangan. Lihatlah kata mutiara orang-orang besar perihal perang. Sangat banyak
hingga bikin suntuk. Hancur di luar, babak belur dari dalam. Respon terhadap
perang memang bisa beragam.
Cicero menyebut pada masa perang, hukum diam
saja (silent enim leges inter arma).
Karen Armstrong terdengar membenarkan perang ketika ia mengatakan bahwa tidak
ada perubahan sosial dan politik radikal yang pernah dicapai dalam sejarah umat
manusia, tanpa pertumpahan darah. Bahkan pada lain kesempatan dia menyebut tiap
agama memiliki sejarah kekerasan.
Berharap dunia tanpa perang mungkin terdengar
naif. Ada momen ketika perang tak terhindari. Ini bukan berarti melanggar
hukum. Bahkan para Nabi dan Rasul pun pernah melakukan perang ketika ada
perintah dari Tuhan, misal Daud dengan perang Sharayim saat melawan Jalut
maupun Muhammad dengan perang Badr. Pada titik ini aku seperti mengalami dejavu ketika membaca jilid kedua The Lord of the Ring: Dua Menara. Pada buku
itu, Tolkien melalui Faramir menulis kurang lebih begini,
“Perang memang harus dilakukan, untuk membela diri melawan perusak yang mengganyang segalanya, .... Aku hanya mencintai apa yang mereka pertahankan.”
Ada fase perang itu tak perlu dilakukan,
seperti Eksodus nabi Musa, era awal mula Islam ketika di Mekkah, atau Isa. Menurutku,
hal ini melihat kondisi dari kaum para Nabi dan Rasul. Kaum Israel era Nabi
Musa tak terlatih berperang karena lama menjadi budak. Kaum Nabi Isa belum
begitu kuat dan mampu dalam berperang, akan tetapi pada nubuat akhir zaman pada
akhirnya Nabi Isa pun akan ikut berperang bahkan membunuh Dajjal.
***
Pada jalan atau kawasan yang tak diketahui
lagi namanya, Choi menemukan sebuah helm baja tentara yang berkarat, pecah, dan
berlubang karena terjangan peluru. Dari sela-sela pecahan helm itu tumbuh bunga
liar berwarna kuning yang cantik. Suatu kontras yang menarik sisi tragis dan
optimis sekaligus. Ia mengabadikan objek itu dan menamai fotonya “May the Flowers of Peace Bloom”.
Di tempatku, jalan tak seperti Bono atau Choi
temui. Jalan adalah ruang besar tanpa nama. Semak belukar masih sering kujumpa
di sana. Namun, pak pos tak pernah salah mengantar karena ia tahu alamat yang
dituju dan mengingat nama penghuninya.
Di kota besar dan era gawai canggih yang kini
kutinggali, lumrah menemukan manusia memegang gawai yang dilengkapi GPS. Alamat
rumahnya pun terbilang lengkap (nama, nomer rumah, gang, jalan, kecamatan, kodepos).
Sayangnya, aku justru disibukkan untuk menjawab panggilan telepon dari kurir yang
bertanya, “mas, posisi rumahnya di mana?”
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny