Beberapa pekan belakangan ini sambil tiduran berselimut
kunikmati lantunan dua lagu terbaru dari Keane dan Imagine Dragons. Keane hadir
dengan lagu “The Way I Feel” yang familiar di telinga meski tak sebagus
“Somewhere Only We Know” atau “Is It Any Wonder”. Liriknya terdengar lebih
bijak, tetapi tak sepuitik dulu. Barangkali karena para personil Keane telah
menua sehingga memberikan pengalaman rasa yang berbeda.
Lalu dari album “Origins”
milik Imagine Dragons, kupilih “Bad Liar” sebagai teman kala bermalas dan ngolet-ngolet di kasur. Lagu ini
kutemukan pertama kali saat menunggu Bus di terminal Bungurasih dan berputar
terus dari Surabaya sampai Jogja. Saya langsung jatuh cinta dengan lagu ini
walau belum menangkap secara keseluruhan lirik. Maklum, Listening ku buruk. Vokal Reynold begitu mendalami tiap kata dan
nada pada lagu ini. Lagu ini seperti membawa rasa sakit, perpisahan serta
banyak emosi. Penasaran, kucari liriknya dan menelusuri tentang lagu ini. “Brengket,”
begitulah respon pertama saya saat mengetahui fakta dari lagu ini.
Apa yang kau lakukan saat hubungan rumah tanggamu menjadi
hambar? Begitu banyak kebohongan yang terjadi untuk menghindari luka hati,
tetapi yang terjadi sebaliknya, kebohongan-kebohongan itu merusak dari dalam
dan malah memberikan rasa sakit. Lantas, kau ingin menuangkannya menjadi sebuah
lagu bersama istrimu dan menjadikannya backing
vocal pada lagu itu. Kemudian bercerai. Saya tak mampu membayangkan betapa
banyak emosi dalam penggarapannya.
Kuputar lagu itu terus menerus. Di dalam selimut kuputuskan
untuk menghentikannya. Selimut hijau bulu itu terasa wangi dan lembut karena
habis kucuci. Salah satu barang yang melekat pada tubuh ayah ketika meninggal,
rencanya akan dibuang atau dipendam dan pada akhirnya kuselamatkan. Sambil menggulung
tubuh di dalam selimut, saya memikirkan kata-kata Natsume Soseki dalam Kokoro, kesepian adalah harga yang
mesti dibayar karena lahir pada zaman modern yang begitu penuh kebebasan,
kemandirian, dan egois. Begitu fantastis dan menggiurkan. Siapa saat ini yang
tak memuja ketiga hal itu? Oleh sebab itulah, pada I am a Cat, Natsume dengan mudah mendefinisikan manusia sebagai
makhluk yang, tanpa alasan sama sekali, menciptakan penderitaan mereka sendiri
yang sebenarnya tak perlu.
Saya masih ingat muda-mudi yang kuamati dari jendela bus sambil
memutar Bad Liar. Mereka berpelukan
erat sambil cengengesan di atas motor yang berhenti karena traffict light. Mungkin mereka sedang membayangkan menjadi Dilan
dan Milea. Model kucing-kucingan seperti apa mereka? Apakah saling bertukar
kabar melalui telepon? Tak mungkin. Atau berpamitan pada orang tua karena ada tambahan
kursus lantas membolos? Wes mbuh lah.
Kisah cinta tak selalu lurus dan mulus. Bahkan kisah yang
demikian justru melenakan seperti jalan tol yang banyak memakan korban itu.
Entah ‘kecelakaan’ macam apa saya tak tahu pasti. Bisa-bisa digantung sama
pasangan sendiri, seperti berita-berita di koran atau media massa.
Melihat muda-mudi itu jadi ingat obrolan kawan-kawan yang sinis,
tapi lumayan realistis.
Kawanku, dengan nada sinis pernah bercerita begini: “Mereka tak tahu rasanya ditolak calon
mertua hanya karena beda parpol atau aliran agama. Mereka baru tahu kenikmatan
yang tiga menit itu dibayar dengan kesengsaraan seumur hidup.”
Kawanku yang satunya menimpali, “Aku penasaran gajine sepiro. Gaji UMR 1,7 jt dengan biaya kawin 100
jt. Hutang bank? Jaminan bank ora iso modal paru-paru atau ginjel. Apalagi iki
bukan hal yang produktif, malah kena hukum riba. Bisa sih dengan nabung sendiri,
tapi coba matematikane digawe. 1,7 jt dikurangi uang makan dan kos. Keburu m****r
dadi pocong!”
Kuingat-ingat muda-mudi itu karena peringatan dari Natsume
dalam Kokoro, “Tetapi ingatlah, ada
kesalahan dalam mencintai. Dan ingat pula bahwa dalam mencintai ada sesuatu
yang suci.” Sesuatu yang suci itu tak banal dan dangkal seperti muda-mudi
di atas motor itu. Bukan sembunyi-sembunyi di bawah restu orang tua, atau
sebaliknya bermesraan karena merasa direstui. Sesuatu yang suci akan membuat
seseorang menjaga amanah dan menjauhkan pasangan dari dosa. Sesuatu yang suci
sikapnya akan adil, adil pada waktu, adil terhadap aturan dan larangan, serta
adil terhadap diri sendiri serta orang lain. Pada konsep keadilan, seseorang
yang meninggalkan tanggungjawab atau kewajiban demi kepentingan pribadi tak
bisa disebut adil. Misal, kamu meninggalkan tugas atau tanggungjawab yang perlu
diselesaikan demi menemani pacarmu berbelanja atau janji nonton, dapat
dikatakan itu tidak adil. Sesuatu yang suci juga mengandung kebenaran dan
kejujuran, bukan kebohongan atau penipuan.
Saya masih percaya bila niat dan cara atau prosesnya salah,
hasilnya pun salah.
Saya melingkar di dalam selimut yang aroma pewanginya mulai menghilang.
Mataku mulai berat dan tercium bau khas ayah. Sayup-sayup tampak ayah sedang
sholat.
Mengapa aku menunggu begitu lama untuk mati?-Natsume Soseki
No comments:
Post a Comment