Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Jul 4, 2019

Catatan Si Pemalas #19





Lebih tersiksa menunggu? Atau membuat orang lain menunggu?

Bagi sebagian orang menunggu identik dengan kejumudan yang membawa kejenuhan. Bagiku, selama ada rokok dan kopi hal tersebut tak berlaku. Bahkan di bawah pohon kersen sambil menunggu jam pulang, saya masih dapat menikmatinya. Perihal menunggu ini, rasanya aneh. Tiba-tiba saya ingat Melos, bahkan sudah lupa sejak lama. Natsume Soseki yang menarik kembali Osamu Dazai pada ingatanku tentang Melos.

Run, Melos! Sebagai salah satu cerpen Dazai begitu membekas. Melos yang akan dihukum mati Raja Dionysius meminta penangguhan tiga hari karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Sebagai gantinya sahabat Melos, Selinuntius, menjadi jaminan selama dia menyelesaikan urusannya. Bermodal rasa percaya dan kesetiaan sebagai sahabat masa kanak, Selinuntius menerimanya dengan enteng walau dirinya tahu akan dieksekusi jika Melos tak datang.

Di sepanjang cerita, Melos terus berlari dengan pergulatan batin dalam dirinya. Apakah harus berhenti atau terus lari memenuhi janji. Tentunya tak mudah karena sepanjang perjalanan ada saja halangan dan godaan.

Bagi seseorang seperti diriku yang hanya memiliki kemampuan untuk percaya pada orang lain, tentu rapuh dan mudah hancur. Makanya bila diriku menjadi Selinuntius, barangkali akan menunggu Melos sambil ngopi dan ngudud mengamati orang seliweran. Sedangkan, Melos bersusah payah memenuhi janjinya dengan berbagai halangan: cuaca, begal, pergulatan batin, dan kondisi fisiknya sendiri.
Realitasnya, banyak orang tak seperti Melos. Dominan orang tidak merasa bila ditunggu. Inilah mentalitas ala pejabat yang merasa dirinya penting. Oleh sebab itulah, yang membuatku mengamini ucapan Soseki, “semakin manusia diamati, semakin dipaksa untuk menyimpulkan bahwa mereka egois.”

Pada dasarnya Run, Melos! berusaha untuk membantah bahwa manusia hidup untuk menyelamatkan dirinya sendiri, hal itu disadari bila akan dihadapkan pada kematian. Sayangnya, karya ini berbeda dengan karya Dazai lainnya yang lebih kelam seperti No Longer Human.

Dazai memang dikenal sebagai maniak bunuh diri. Berulang kali ia mencoba bunuh diri, apesnya sering gagal. Tidak sendirian, dalam riwayat menyebutkan dia pernah melakukan upaya bunuh diri berdua. Upaya itu mengalami kegagalan karena pasangannya mati, dan dirinya masih hidup. Kubayangkan sulit juga menemukan seseorang untuk melakukan bunuh diri bersama. Barangkali itu ambisi dan kebahagiaannya: bunuh diri bersama.

Bukankah terkadang manusia terluka bahkan oleh sebab kebahagiaan? Dazai menyadari konsep tersebut. Daripada terluka oleh sebab kebahagiaan yang baru dia rasakan bersama pacar barunya, lebih baik bunuh diri bersama. Mumpung ada yang bersedia. Upaya terakhir itu sukses. Dazai dan kekasih barunya ditemukan tenggelam bersama. Novel Goodbye yang dimuat bersambung menjadi tak rampung.

Kisah-kisah hidup memilukan Dazai itu terus membayangiku saat membaca Run, Melos!
Melos berlari bukan sekadar menyelamatkan nyawa seorang manusia. Ia berlari karena sesuatu yang lebih besar dan tak terhingga, sesuatu yang lebih menyeramkan dari kematian. Ia berlari karena kesetiaan pada ikrar, kepercayaan temannya. “Karena janji itu melebihi nyawaku,” tegas Melos.

Hatiku berdegup. Menunggu akhir kisah Melos sembari membatin, sesuatu yang berharga dan diinginkan oleh semua orang selalu hilang tepat saat baru saja didapatkan. Saat itu saya membayangkan, apa yang terjadi jika Melos memenuhi janjinya, sedangkan sang raja menolaknya?

Mungkin itulah yang akan menjadi masalahku. saya berusaha menepati janji, tapi ada hal atau orang yang membuat janji itu tak terpenuhi.

No comments:

Post a Comment