Lebih tersiksa menunggu?
Atau membuat orang lain menunggu?
Bagi sebagian orang menunggu identik dengan kejumudan yang
membawa kejenuhan. Bagiku, selama ada rokok dan kopi hal tersebut tak berlaku.
Bahkan di bawah pohon kersen sambil menunggu jam pulang, saya masih dapat
menikmatinya. Perihal menunggu ini, rasanya aneh. Tiba-tiba saya ingat Melos,
bahkan sudah lupa sejak lama. Natsume Soseki yang menarik kembali Osamu Dazai
pada ingatanku tentang Melos.
Run, Melos!
Sebagai salah satu cerpen Dazai begitu membekas. Melos yang akan dihukum mati Raja
Dionysius meminta penangguhan tiga hari karena masih ada urusan yang harus
diselesaikan. Sebagai gantinya sahabat Melos, Selinuntius, menjadi jaminan
selama dia menyelesaikan urusannya. Bermodal rasa percaya dan kesetiaan sebagai
sahabat masa kanak, Selinuntius menerimanya dengan enteng walau dirinya tahu
akan dieksekusi jika Melos tak datang.
Di sepanjang cerita, Melos terus berlari dengan pergulatan
batin dalam dirinya. Apakah harus berhenti atau terus lari memenuhi janji.
Tentunya tak mudah karena sepanjang perjalanan ada saja halangan dan godaan.
Bagi seseorang seperti diriku yang hanya memiliki kemampuan
untuk percaya pada orang lain, tentu rapuh dan mudah hancur. Makanya bila
diriku menjadi Selinuntius, barangkali akan menunggu Melos sambil ngopi dan ngudud mengamati orang seliweran. Sedangkan, Melos bersusah payah
memenuhi janjinya dengan berbagai halangan: cuaca, begal, pergulatan batin, dan
kondisi fisiknya sendiri.
Realitasnya, banyak orang tak seperti Melos. Dominan orang
tidak merasa bila ditunggu. Inilah mentalitas ala pejabat yang merasa dirinya
penting. Oleh sebab itulah, yang membuatku mengamini ucapan Soseki, “semakin
manusia diamati, semakin dipaksa untuk menyimpulkan bahwa mereka egois.”
Pada dasarnya Run,
Melos! berusaha untuk membantah bahwa manusia hidup untuk menyelamatkan
dirinya sendiri, hal itu disadari bila akan dihadapkan pada kematian.
Sayangnya, karya ini berbeda dengan karya Dazai lainnya yang lebih kelam
seperti No Longer Human.
Dazai memang dikenal sebagai maniak bunuh diri. Berulang
kali ia mencoba bunuh diri, apesnya sering gagal. Tidak sendirian, dalam
riwayat menyebutkan dia pernah melakukan upaya bunuh diri berdua. Upaya itu
mengalami kegagalan karena pasangannya mati, dan dirinya masih hidup.
Kubayangkan sulit juga menemukan seseorang untuk melakukan bunuh diri bersama.
Barangkali itu ambisi dan kebahagiaannya: bunuh diri bersama.
Bukankah terkadang manusia terluka bahkan oleh sebab
kebahagiaan? Dazai menyadari konsep tersebut. Daripada terluka oleh sebab
kebahagiaan yang baru dia rasakan bersama pacar barunya, lebih baik bunuh diri
bersama. Mumpung ada yang bersedia. Upaya terakhir itu sukses. Dazai dan
kekasih barunya ditemukan tenggelam bersama. Novel Goodbye yang dimuat bersambung menjadi tak rampung.
Kisah-kisah hidup memilukan Dazai itu terus membayangiku
saat membaca Run, Melos!
Melos berlari bukan sekadar menyelamatkan nyawa seorang
manusia. Ia berlari karena sesuatu yang lebih besar dan tak terhingga, sesuatu
yang lebih menyeramkan dari kematian. Ia berlari karena kesetiaan pada ikrar,
kepercayaan temannya. “Karena janji itu melebihi nyawaku,” tegas Melos.
Hatiku berdegup. Menunggu akhir kisah Melos sembari
membatin, sesuatu yang berharga dan diinginkan oleh semua orang selalu hilang
tepat saat baru saja didapatkan. Saat itu saya membayangkan, apa yang terjadi jika Melos memenuhi janjinya, sedangkan sang raja menolaknya?
Mungkin itulah yang akan menjadi masalahku. saya berusaha menepati janji, tapi ada hal atau orang yang membuat janji itu tak terpenuhi.
Mungkin itulah yang akan menjadi masalahku. saya berusaha menepati janji, tapi ada hal atau orang yang membuat janji itu tak terpenuhi.
No comments:
Post a Comment