Banyak
pertanyaan yang hadir tentang alasanku lebih suka mojok di bawah pohon kersen.
Sesekali kutimpali, “ngancani penunggu kersen.” Beberapa kali kujawab,
“mendengarkan mahasiswa sedang ghibah.” Hingga kemudian ada yang mengatakan,
“Di sini enak ya. Adem dan semilir pantesan sampean suka di sini.” Itu jawaban
yang mendekati benar meski tak seluruhnya benar.
Mojok di
bawah pohon kersen sebenarnya rutinitas baru beberapa bulan belakangan. Di sana
Saya banyak mendengar suara lirih dan berbagai obrolan tanpa sekat. Ini yang
paling kusuka, sayup-sayup terdengar suara musik yan terbawa angin.
Perihal
musik, ada yang sempat menanyakan “apakah musik haram?” Saya sendiri tidak tahu
hukum pastinya seperti apa karena sejak zaman dahulu telah terjadi polemik dan
perdebatan antar ulama. Seingatku, mungkin perdebatan musik sudah dimulai
ketika Nabi Syits melihat musik dipergunakan iblis dan setan untuk menyesatkan
manusia.
Terlepas
dari perdebatan itu, ada beberapa manusia yang justru fokus ketika ada musik.
Beberapa lainnya akan terganggu dengan hadirnya musik. Saya sendiri termasuk
golongan terakhir. Saya termasuk orang yang tidak bisa fokus belajar dan
membaca sambil mendengarkan musik. Untuk kegiatan yang lain mungkin bisa, tapi
pada momen-momen yang membutuhkan konsentrasi penuh saya tak bisa. Ada pendapat
menarik dari Imam Ghazali, “siapa pun yang mengatakan bahwa semua musik
dilarang, biarkan dia juga mengklaim bahwa nyanyian burung dilarang.” Maka
daripada itu, saya tidak bisa melarang atau mutlak menyetujui.
Antara
percaya atau tidak, acap kali bertemu dengan seseorang yang baru kukenal dan
memiliki potensi suatu hubungan yang akrab dan intens, akan ada alunan musik
atau melodi yang terdengar di telingaku. Dulu saya mengira musik yang terdengar
adalah alunan yang menggambarkan kepribadian seseorang yang baru saja kutemui.
Nyatanya bukan. Itu adalah alunan hubunganku dengan orang atau kawan baruku.
Saya masih
ingat ketika kecil, Daddy membelikanku sebuah keyboard untukku bermain. Saya memainkan
Frere Jacques setiap waktu dengan
keyboard itu.
Semakin
dewasa alunan musik kian lirih dan samar. Pada orang-orang tertentu saya
mengenal musik yang mengalun, tetapi adakalanya terasa asing dan baru. Sebagai
contoh, ketika pertama kali bertemu dengan seseorang ada musik yang terasa
asing dan taksa. Itu bukan musik klasik yang pernah kukenal. Bertahun-tahun
kemudian Hans Zimmer memperdengarkan musik yang menjadi soundtrack sebuah film.
Ada perbedaan nada pada tengah dan akhir musik. Saya dibuatnya linglung hingga
lupa arah pulang. Saya memikirkan musik itu berhari-hari.
Sejak itu
pula saya benar-benar mengerti bahwa musik telah berkeliling dunia dan waktu.
Ia menunggu seseorang untuk merumahkannya.
Dari
berbagai musik sebenarnya saya menghindari orang-orang yang ketika bertemu
membawa musik yang menurutku elusif, misalnya seperti musik-musik Choppin,
Vivaldi, atau Rachmaninoff. Ini akan menjadi hubungan yang rumit, sulit
dipahami, pelik, sekaligus intens.