Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

May 11, 2018

CATATAN SETENGAH PERJALANAN





Ingatlah ini hanyalah fiksi dan aku sedang ingin bercinta eh bercanda. Tak kurang dan tak lebih. Maklum saja di ruangan tanpa pencahayaan yang mencukupi nan pengap ini, para manusianya kurang bercanda. Apalagi setelah ada insiden. Aku hanya meminta mereka untuk memberikan kesempatan posting cerpen di blogku.
Sebelum sampai di tempat ini, aku berada di Cirebon. Bersinggah dan mengamati sebuah angka, angka 14. Ada hal keren pada angka 14. Mencerminkan korsa dan kolektivitas tiada banding. Aku kerap dibuat geleng-geleng dengan angka ini, batas privat dan publik menjadi bias. Ketika dunia semakin terpisah dengan ego dan individualis, angka 14 menunjukkan sebaliknya. Aku hanya mampu mencoba memahami, sayangnya diantara mereka ada saling tidak mengerti. Atau lebih tepatnya muncul kecemburuan tak terstruktur. Angka 1 memberikan pengaruh kepemimpinan sekaligus sifat otoriter, namun tetap diimbangi oleh pengaruh angka 4 sang pembaharu yang jujur dan adil. Lebih realistis dan tak mudah percaya, bahkan kepadaku.
“Bagaimana menurutmu?” tanya salah seorang dari mereka kepadaku tiba-tiba.
“Apanya?”
“Tentu saja insiden itu,” ujarnya.
Kuhentikan tulisanku sambil menatapnya yang sedang menghisap rokok dengan wajah mengkerut untuk menghindari asap rokok dari matanya. “Kalian lebih tahu daripada aku cara membedakan pengalihan isu ataukah hanya sebuah kecelakaan yang tak terprediksi,” jawabku. Lalu melanjutkan mengetik.
Di Tasikmalaya, aku bertemu dengan seorang pria Jawa yang sudah tua. Mbah Trimo namanya. Ia banyak bicara. Kasihan aku melihatnya, kusodorkan satu plastik kacang rebus padanya. Ia memakannya dengan suara yang aneh di mulutnya kraus kraus kraus. Aku makan kacang rebus tak seberisik itu. Hanya terdengar suara retakan pelan dari terbelahnya kulit kacang yang basah.
Sambil mengunyah kacang dan dengan bahasa Jawa, Ia bertanya, “Kau belum menikah?” Aku mengangguk. “Pantas bisa keluyuran.”
“Belum dapat pasangan?” Aku kembali mengangguk. Ia terbahak memuncratkan kacang-kacang dalam mutunya.
Nang, tak kasih tips mencari pasangan.”
“Apa itu, mbah?”
“Dengan lima bidak yang tumbang? Bukankah itu aneh?” tanya orang itu. Rokoknya sebentar lagi habis. Aku mencoba bersandar pada kursi, tetapi punggungku sakit. Mereka tak mengincar wajah atau kepala bukan karena terlalu kentara, melainkan yang di dalamnya sangat berharga. Bahkan jikalau aku lumpuh sekalipun asalkan isi kepalaku masih berfungsi, masih dapat diberdayakan.
“Lalat tak mungkin dapat menghancurkan sebuah toko. Menggeser botol atau gelas pun mereka tak sanggup. Mereka hanya mengganggu. Kecuali, lalat itu masuk ke telinga seekor banteng dan membuatnya marah. Toko tersebut dapat hancur berantakan. Mungkin saja akan ada kejadian susulan yang membuat banteng marah.”
“Di mana?”
“Bukankah itu tugas kalian mencari tahu. Tugasku hanyalah ini,” jawabku memamerkan kepadanya beberapa lembar kertas yang membuatku berada dalam ruangan ini. Kualihkan pandanganku pada tulisanku.
“Tips pertama, ujilah pasanganmu dengan jarak dan intensitas pertemuan. Aneh jikalau menguji atau untuk mengetahui karakter pasanganmu dengan mengajaknya ke gunung. Itu hal bodoh dan dangkal. Jika hal itu kamu lakukan Ia tetap setia dan tak berpaling meski sekejap, maka Ia benar-benar mencintaimu dan cocok menjadi pasanganmu. Bukankah kita diuji Tuhan dengan cara yang sama?”
“Bagaimana kita tahu dia setia dan tidak? Sedangkan, kita tak bersamanya.”
“Sabar... tips kedua, Ia membuatmu lebih baik, bukannya menjadi lebih buruk di mata Tuhan. Jika Ia baik untukmu, tentunya kamu akan lebih mendekat pada Tuhan: rajin sholat, puasa yang benar, hubungan sesama manusia juga menjadi baik, tidak mudah emosi, dan selalu tenang. Lha sekarang ini, banyak muda-mudi galau. Itu tandanya hubungan mereka tak sehat. Jadi pemalas, waktu habis untuk memikirkan atau bersamanya, sering berbohong sama orang tua, mudah marah kepada teman atau keluarga. Semua tak sehat karena hubungan mereka dilandasi sesuatu yang buruk, maksiat dan lain-lain. Jika nuranimu ada dan tak tertutup hidayah, tentu mampu membedakan mana pasangan atau orang yang membuatmu lebih baik, bukannya menjadi lebih buruk.”

Aku hanya mengangguk-angguk mendengarkan nasihat Mbah Trimo. “Nah... yang ketiga jangan mendengarkan promosi dari teman dekatnya.”
“Loh mengapa?” tanyaku heran, “Bukankah yang dekat justru lebih tahu.”
Mbah Trimo mendekatkan telapak tangannya ke mataku. Sangat dekat, bahkan aku dapat merasakan hembusan nafasku sendiri. “Apa yang kau lihat?”
“Buram, mbah.”
“Kalau saya bilang ini daging kerbau, kamu percaya gak?”
“Mungkin saja, mbah. Telapak tangannya Mbah memenuhi pandanganku. Kabur, tidak jelas.”
“Banyak orang tertipu promo, nang. Politik percintaan itu benar-benar ada. Apalagi kamu lanang. Ada ikatan antar lelaki untuk saling menutupi kebusukan sesama. Dan lagi, kamu paham promosi melalui SPG lebih menarik. Jadi, yang ditampilkan yang baik-baik saja. Busuknya, tidak. Bukankah begitu sebagai lelaki?”
Aku hanya terkekeh mendengarkan penuturannya.
“Ada itu orang China yang bilang, kita disuruh mendekati musuh karena pandangan mereka yang jelas dan selalu berkata jujur mengenai lawannya,” tambah Mbah Trimo. “Untuk mengetahui setia atau tidak, ya perlu dua puluh empat jam bersamanya. Nikahi dia! Kamu percaya orang baik untuk orang baik, yang buruk untuk yang buruk?” Aku mengangguk.
“Jika kamu tak setia, dia pun akan tak setia. Jika tidak, Ia akan melakukan hal serupa. Apalagi lelaki seperti dirimu, pasti akan mencari pelampiasan jika dikhianati kan?” Aku nyengir karena belum pernah dikhianati pasangan, tetapi banyak contohnya juga sih. “Baik buruknya ini tak dilihat dari masa lalu, tapi saat ini. Sekarang! Kalau bertaubat, ya dikasih yang baik. Jika tidak ya dikasih dengan kwalitas yang nilainya sama.” Suara kraus kraus kraus masih terdengar. Bibir kananku terangkat, tersenyum karena tak mampu menghasilkan suara yang sama dengan Mbah Trimo.
Kutengok angka 15. Ah, lupakan. Dia masih suwung dan bergelut dengan dirinya sendiri. Rajin membaca, tapi malas menulis.  
Gawaiku berbunyi. “Pesan tak penting,” ucap orang itu sebelum aku bertanya. Aku mencoba mengubah posisi dudukku agar rasa sakit di punggung, perut dan kaki beralih.
Angka 16 hadir di Cianjur. Angka ini sering menunda sesuatu yang penting dan genting. Sok tahu dan keusilan mereka membuatnya populer di kalangan kawan. Masih perlu belajar tanggungjawab dan dominan individualis. Jikalau mampu melewatinya, angka 16 dapat menjadi guru yang baik.
Ia sedang sibuk mengetik sesuatu di gawaiku. “Hei, jangan membalas seenaknya.”
“Pesan tak penting perlu dibalas singkat saja dan tak penting juga.”
“Balasanku selalu penting meski terkadang tidak jelas.”
“Oh, iya? Segera selesaikan. Nanti akan kukembalikan.”
“Minta rokoknya. Sedari tadi aku tak merokok.”
“Karena kau mengerjakan sesuatu yang sedang tidak kami suruh.”
“Ambilkan rokokku saja di saku tas samping.” Ia merogoh saku samping dan menyerahkannya padaku. “Koreknya?” Ia memberikan rokoknya yang tinggal satu hisapan kepadaku.
Sukabumi. Setelah dari sana aku ke Banten dan berencana menyeberang ke Sumatera. Itu rencana awalku. Sambil menunggu kendaraan, terlintas angka 17. Angka yang barangkali paling membenci dan tak memercayaiku. Tentunya setelah kejadian itu. Angka yang mengingatkanku pada Athos, Porthos, dan Aramis. Ah, tri mbak kenter atau bolehlah identik dengan akronim Bely. Angka ini sulit menerima nasihat orang lain, perfeksionis sehingga sering menunda dan pada akhirnya kerap menyusahkan diri mereka sendiri. Sebenarnya, angka 7 yang menaungi mereka merupakan tipekal penyendiri yang barangkali spesialis pekerjaan yang cocok dikerjakan seorang diri. Selain itu, angka 7 tak menyukai kegiatan fisik, cenderung dingin pada perjumpaan pertama, dan mudah frustasi. Hari-hari ke depan cobaan mereka semakin berat, dan mereka perlu menyingkirkan ego dan sifat individualis. Angka ini perlu diarahkan pada belajar dari pengalaman orang lain bila nasihat tak mempan. Semoga saja bukan Tuhan yang memberikan nasihat secara langsung padanya. Cukuplah kita doakan agar mereka menjadi tempat curhat kisah-kisah kelam bagi keluarga, teman-temannya di luar sana agar mengerti, memahami, serta pandai bersyukur. Agar angka ini dapat menggunakan pengetahuan dan kebijaksanaannya dengan tepat sehingga mampu menjadi pencanang kehidupan. Sangat berbahaya jika mereka mengalaminya langsung, namanya juga Tri Mbak Kenter.
Dari situlah aku tertidur di sebuah pom bensin dan bangun sudah berada di ruangan ini. Adu mulut dan hantaman. Kuselesaikan keinginan mereka. Diantarkan keluar dan mendapati silau matahari. Kulihat gawai ku penuh pesan. Tubuhku terasa kaku dan lelah, terutama lututku. Aku perlu mencari tempat duduk dan memesan teh hangat.
Belum genap mengistirahatkan tubuh, ada panggilan dari nomer baru.
“Mas, aku mau menikah!” terdengar suara wanita yang sangat lama mampir di telinga.
“Kamu belum menikah?”
“Belumlah.”
“Aku kira sudah,” jawabku setengah kaget. Dengan usianya yang terpaut setahun denganku kukira Ia memang sudah menikah.
“Dengan siapa aku menikah?”
“Pacarmu dong.”
“Dulu siapa yang melarang aku pacaran terus berjanji akan menikahiku saat sudah lulus?” tanya wanita itu ketus. “Bahkan saat Ia dua kali lulus pun tak segera mendatangiku. Dan aku lelah.”
“Loh, siapa?” tanyaku penasaran.
“Kamu, mas.”
“Ha? Aku pernah berjanji seperti itu? Jika melarang pacaran aku masih ingat, kalau yang janji menikah itu aku benar-benar lupa.” Aku sedikit terkesiap. Mencoba mengingat-ingat kembali. Memang dulu aku melarangnya berpacaran hingga Ia sibuk bergiat dalam berbagai acara keagamaan. Sampai-sampai keluarganya mengatakan bahwa Ia ‘salah masuk masjid’ karena penampilan dan sikapnya berubah.
“Dasar Cowok!” Kata-kata itu menujukkan sepertinya Ia tidak berubah. Atau Ia seperti itu hanya padaku saja, aku tak tahu pasti.
“Memangnya calonmu tidak cowok juga?”
“Ya cowok, Alhamdulillah tidak sepertimu.” Terdengar ada senyum dalam nada bicaranya.
“Syukur deh,” ucapku tertawa kecil.
Lalu Ia banyak bertanya dan bicara. Aku menjawab dan balik bertanya sembari menahan rasa lelah di tubuh. Tak lupa Ia menasihatiku dan menanyakan kebiasaan-kebiasaan buruk masa silam. Perbincangan itu berakhir dengan sebuah ultimatum. “Mas harus datang ya! Pokoknya wajib!”
“Yang penting kan doanya,” jawabku sambil melihat teh yang mulai dingin dan hampir habis.
Ada rasa haru dalam keheningan di penghujung perbincangan. Ada kilas balik keceriaan masa SMA dan pertengkaran kecil yang membuat kita terputus kabar. Oh, manusia dengan segala kelupaannya. Berbeda dengan khilaf, ini semacam anugerah lupa dari Pencipta untuk saling menjaga dari jauh.
Bus yang hendak mengantarkanku ke Banten sudah datang. Akan tetapi, kabar itu mendadak membuyarkan segalanya. Bang Toyyib pulang dan aku masih punya kewajiban terhadapnya. Inginku berkata halus dan lembut ternyata tidak bisa.

8’3092  x2:12=  8’:2:,  52_2±  ±’8’=7,3 52=  6’8262≠ 


Jumat, 11 Mei 2018


No comments:

Post a Comment