Ingatlah ini
hanyalah fiksi dan aku sedang ingin bercinta eh bercanda. Tak kurang dan tak
lebih. Maklum saja di ruangan tanpa pencahayaan yang mencukupi nan pengap ini, para
manusianya kurang bercanda. Apalagi setelah ada insiden. Aku hanya meminta
mereka untuk memberikan kesempatan posting cerpen di blogku.
Sebelum sampai
di tempat ini, aku berada di Cirebon. Bersinggah dan mengamati sebuah angka, angka
14. Ada hal keren pada angka 14. Mencerminkan korsa dan kolektivitas tiada
banding. Aku kerap dibuat geleng-geleng dengan angka ini, batas privat dan
publik menjadi bias. Ketika dunia semakin terpisah dengan ego dan individualis,
angka 14 menunjukkan sebaliknya. Aku hanya mampu mencoba memahami, sayangnya
diantara mereka ada saling tidak mengerti. Atau lebih tepatnya muncul
kecemburuan tak terstruktur. Angka 1 memberikan pengaruh kepemimpinan sekaligus
sifat otoriter, namun tetap diimbangi oleh pengaruh angka 4 sang pembaharu yang
jujur dan adil. Lebih realistis dan tak mudah percaya, bahkan kepadaku.
“Bagaimana
menurutmu?” tanya salah seorang dari mereka kepadaku tiba-tiba.
“Apanya?”
“Tentu saja insiden
itu,” ujarnya.
Kuhentikan tulisanku
sambil menatapnya yang sedang menghisap rokok dengan wajah mengkerut untuk
menghindari asap rokok dari matanya. “Kalian lebih tahu daripada aku cara membedakan
pengalihan isu ataukah hanya sebuah kecelakaan yang tak terprediksi,” jawabku. Lalu
melanjutkan mengetik.
Di Tasikmalaya,
aku bertemu dengan seorang pria Jawa yang sudah tua. Mbah Trimo namanya. Ia
banyak bicara. Kasihan aku melihatnya, kusodorkan satu plastik kacang rebus padanya.
Ia memakannya dengan suara yang aneh di mulutnya kraus kraus kraus. Aku makan kacang rebus tak seberisik itu. Hanya terdengar
suara retakan pelan dari terbelahnya kulit kacang yang basah.
Sambil mengunyah
kacang dan dengan bahasa Jawa, Ia bertanya, “Kau belum menikah?” Aku
mengangguk. “Pantas bisa keluyuran.”
“Belum dapat
pasangan?” Aku kembali mengangguk. Ia terbahak memuncratkan kacang-kacang dalam
mutunya.
“Nang, tak kasih tips mencari pasangan.”
“Apa itu,
mbah?”
“Dengan lima bidak
yang tumbang? Bukankah itu aneh?” tanya orang itu. Rokoknya sebentar lagi
habis. Aku mencoba bersandar pada kursi, tetapi punggungku sakit. Mereka tak
mengincar wajah atau kepala bukan karena terlalu kentara, melainkan yang di
dalamnya sangat berharga. Bahkan jikalau aku lumpuh sekalipun asalkan isi
kepalaku masih berfungsi, masih dapat diberdayakan.
“Lalat tak
mungkin dapat menghancurkan sebuah toko. Menggeser botol atau gelas pun mereka
tak sanggup. Mereka hanya mengganggu. Kecuali, lalat itu masuk ke telinga
seekor banteng dan membuatnya marah. Toko tersebut dapat hancur berantakan. Mungkin
saja akan ada kejadian susulan yang membuat banteng marah.”
“Di mana?”
“Bukankah itu
tugas kalian mencari tahu. Tugasku hanyalah ini,” jawabku memamerkan kepadanya
beberapa lembar kertas yang membuatku berada dalam ruangan ini. Kualihkan pandanganku
pada tulisanku.
“Tips pertama,
ujilah pasanganmu dengan jarak dan intensitas pertemuan. Aneh jikalau menguji
atau untuk mengetahui karakter pasanganmu dengan mengajaknya ke gunung. Itu hal
bodoh dan dangkal. Jika hal itu kamu lakukan Ia tetap setia dan tak berpaling
meski sekejap, maka Ia benar-benar mencintaimu dan cocok menjadi pasanganmu. Bukankah
kita diuji Tuhan dengan cara yang sama?”
“Bagaimana
kita tahu dia setia dan tidak? Sedangkan, kita tak bersamanya.”
“Sabar... tips
kedua, Ia membuatmu lebih baik, bukannya menjadi lebih buruk di mata Tuhan.
Jika Ia baik untukmu, tentunya kamu akan lebih mendekat pada Tuhan: rajin
sholat, puasa yang benar, hubungan sesama manusia juga menjadi baik, tidak
mudah emosi, dan selalu tenang. Lha sekarang ini, banyak muda-mudi galau. Itu tandanya
hubungan mereka tak sehat. Jadi pemalas, waktu habis untuk memikirkan atau
bersamanya, sering berbohong sama orang tua, mudah marah kepada teman atau
keluarga. Semua tak sehat karena hubungan mereka dilandasi sesuatu yang buruk,
maksiat dan lain-lain. Jika nuranimu ada dan tak tertutup hidayah, tentu mampu
membedakan mana pasangan atau orang yang membuatmu lebih baik, bukannya menjadi
lebih buruk.”
Aku hanya
mengangguk-angguk mendengarkan nasihat Mbah Trimo. “Nah... yang ketiga jangan
mendengarkan promosi dari teman dekatnya.”
“Loh mengapa?”
tanyaku heran, “Bukankah yang dekat justru lebih tahu.”
Mbah Trimo
mendekatkan telapak tangannya ke mataku. Sangat dekat, bahkan aku dapat
merasakan hembusan nafasku sendiri. “Apa yang kau lihat?”
“Buram, mbah.”
“Kalau saya
bilang ini daging kerbau, kamu percaya gak?”
“Mungkin saja,
mbah. Telapak tangannya Mbah memenuhi pandanganku. Kabur, tidak jelas.”
“Banyak orang
tertipu promo, nang. Politik percintaan itu benar-benar ada. Apalagi kamu lanang. Ada ikatan antar lelaki untuk
saling menutupi kebusukan sesama. Dan lagi, kamu paham promosi melalui SPG lebih menarik. Jadi, yang ditampilkan yang baik-baik saja. Busuknya, tidak. Bukankah
begitu sebagai lelaki?”
Aku hanya
terkekeh mendengarkan penuturannya.
“Ada itu orang
China yang bilang, kita disuruh mendekati musuh karena pandangan mereka yang
jelas dan selalu berkata jujur mengenai lawannya,” tambah Mbah Trimo. “Untuk mengetahui
setia atau tidak, ya perlu dua puluh empat jam bersamanya. Nikahi dia! Kamu
percaya orang baik untuk orang baik, yang buruk untuk yang buruk?” Aku mengangguk.
“Jika kamu tak
setia, dia pun akan tak setia. Jika tidak, Ia akan melakukan hal serupa. Apalagi
lelaki seperti dirimu, pasti akan mencari pelampiasan jika dikhianati kan?” Aku
nyengir karena belum pernah dikhianati pasangan, tetapi banyak contohnya juga
sih. “Baik buruknya ini tak dilihat dari masa lalu, tapi saat ini. Sekarang!
Kalau bertaubat, ya dikasih yang baik. Jika tidak ya dikasih dengan kwalitas
yang nilainya sama.” Suara kraus kraus
kraus masih terdengar. Bibir kananku terangkat, tersenyum karena tak mampu
menghasilkan suara yang sama dengan Mbah Trimo.
Kutengok angka
15. Ah, lupakan. Dia masih suwung dan bergelut dengan dirinya sendiri. Rajin membaca,
tapi malas menulis.
Gawaiku
berbunyi. “Pesan tak penting,” ucap orang itu sebelum aku bertanya. Aku mencoba
mengubah posisi dudukku agar rasa sakit di punggung, perut dan kaki beralih.
Angka 16 hadir
di Cianjur. Angka ini sering menunda sesuatu yang penting dan genting. Sok tahu
dan keusilan mereka membuatnya populer di kalangan kawan. Masih perlu belajar
tanggungjawab dan dominan individualis. Jikalau mampu melewatinya, angka 16
dapat menjadi guru yang baik.
Ia sedang
sibuk mengetik sesuatu di gawaiku. “Hei, jangan membalas seenaknya.”
“Pesan tak
penting perlu dibalas singkat saja dan tak penting juga.”
“Balasanku
selalu penting meski terkadang tidak jelas.”
“Oh, iya? Segera
selesaikan. Nanti akan kukembalikan.”
“Minta
rokoknya. Sedari tadi aku tak merokok.”
“Karena kau
mengerjakan sesuatu yang sedang tidak kami suruh.”
“Ambilkan
rokokku saja di saku tas samping.” Ia merogoh saku samping dan menyerahkannya
padaku. “Koreknya?” Ia memberikan rokoknya yang tinggal satu hisapan kepadaku.
Sukabumi. Setelah
dari sana aku ke Banten dan berencana menyeberang ke Sumatera. Itu rencana
awalku. Sambil menunggu kendaraan, terlintas angka 17. Angka yang barangkali paling
membenci dan tak memercayaiku. Tentunya setelah kejadian itu. Angka yang
mengingatkanku pada Athos, Porthos, dan Aramis. Ah, tri mbak kenter atau bolehlah
identik dengan akronim Bely. Angka ini sulit menerima nasihat orang lain,
perfeksionis sehingga sering menunda dan pada akhirnya kerap menyusahkan diri
mereka sendiri. Sebenarnya, angka 7 yang menaungi mereka merupakan tipekal
penyendiri yang barangkali spesialis pekerjaan yang cocok dikerjakan seorang
diri. Selain itu, angka 7 tak menyukai kegiatan fisik, cenderung dingin pada
perjumpaan pertama, dan mudah frustasi. Hari-hari ke depan cobaan mereka
semakin berat, dan mereka perlu menyingkirkan ego dan sifat individualis. Angka
ini perlu diarahkan pada belajar dari pengalaman orang lain bila nasihat tak
mempan. Semoga saja bukan Tuhan yang memberikan nasihat secara langsung
padanya. Cukuplah kita doakan agar mereka menjadi tempat curhat kisah-kisah
kelam bagi keluarga, teman-temannya di luar sana agar mengerti, memahami, serta
pandai bersyukur. Agar angka ini dapat menggunakan pengetahuan dan
kebijaksanaannya dengan tepat sehingga mampu menjadi pencanang kehidupan. Sangat
berbahaya jika mereka mengalaminya langsung, namanya juga Tri Mbak Kenter.
Dari situlah
aku tertidur di sebuah pom bensin dan bangun sudah berada di ruangan ini. Adu mulut
dan hantaman. Kuselesaikan keinginan mereka. Diantarkan keluar dan mendapati
silau matahari. Kulihat gawai ku penuh pesan. Tubuhku terasa kaku dan lelah,
terutama lututku. Aku perlu mencari tempat duduk dan memesan teh hangat.
Belum genap
mengistirahatkan tubuh, ada panggilan dari nomer baru.
“Mas, aku mau
menikah!” terdengar suara wanita yang sangat lama mampir di telinga.
“Kamu belum
menikah?”
“Belumlah.”
“Aku kira
sudah,” jawabku setengah kaget. Dengan usianya yang terpaut setahun denganku
kukira Ia memang sudah menikah.
“Dengan siapa
aku menikah?”
“Pacarmu dong.”
“Dulu siapa
yang melarang aku pacaran terus berjanji akan menikahiku saat sudah lulus?”
tanya wanita itu ketus. “Bahkan saat Ia dua kali lulus pun tak segera
mendatangiku. Dan aku lelah.”
“Loh, siapa?”
tanyaku penasaran.
“Kamu, mas.”
“Ha? Aku
pernah berjanji seperti itu? Jika melarang pacaran aku masih ingat, kalau yang
janji menikah itu aku benar-benar lupa.” Aku sedikit terkesiap. Mencoba mengingat-ingat
kembali. Memang dulu aku melarangnya berpacaran hingga Ia sibuk bergiat dalam
berbagai acara keagamaan. Sampai-sampai keluarganya mengatakan bahwa Ia ‘salah
masuk masjid’ karena penampilan dan sikapnya berubah.
“Dasar Cowok!”
Kata-kata itu menujukkan sepertinya Ia tidak berubah. Atau Ia seperti itu hanya
padaku saja, aku tak tahu pasti.
“Memangnya
calonmu tidak cowok juga?”
“Ya cowok, Alhamdulillah tidak sepertimu.”
Terdengar ada senyum dalam nada bicaranya.
“Syukur deh,” ucapku
tertawa kecil.
Lalu Ia banyak
bertanya dan bicara. Aku menjawab dan balik bertanya sembari menahan rasa lelah
di tubuh. Tak lupa Ia menasihatiku dan menanyakan kebiasaan-kebiasaan buruk
masa silam. Perbincangan itu berakhir dengan sebuah ultimatum. “Mas harus
datang ya! Pokoknya wajib!”
“Yang penting
kan doanya,” jawabku sambil melihat teh yang mulai dingin dan hampir habis.
Ada rasa haru
dalam keheningan di penghujung perbincangan. Ada kilas balik keceriaan masa SMA
dan pertengkaran kecil yang membuat kita terputus kabar. Oh, manusia dengan
segala kelupaannya. Berbeda dengan khilaf, ini semacam anugerah lupa dari
Pencipta untuk saling menjaga dari jauh.
Bus yang hendak
mengantarkanku ke Banten sudah datang. Akan tetapi, kabar itu mendadak
membuyarkan segalanya. Bang Toyyib pulang dan aku masih punya kewajiban
terhadapnya. Inginku berkata halus dan lembut ternyata tidak bisa.
8’3092 x2:12= 8’:2:,
52_2± ±’≠8’=7,3 52= 6’≠8262≠
Jumat, 11 Mei 2018
No comments:
Post a Comment