Setiap kali ada pertanyaan: sibuk apa?, aku kelimpungan bagaimana menjawabnya.
Apalagi akhir-akhir ini menjelang tutup tahun. Tak mungkin kujawab, sibuk menyimpan energi.
Pada beberapa kesempatan, aku menyimpan
energi sambil memikirkan nasib MU yang dilibas Liverpool, dan Milan yang
ditahan imbang Bologna yang dilatih Inzaghi (mantan pelatih AC Milan). Lalu membayangkan
mengolah kedelai yang lama tak tersentuh atau lupa kusentuh hingga ada banyak
hewan di dalamnya. Aku ingin mengolahnya menjadi peyek kedelai. Dulu pernah
sekali aku membuatnya dan hasilnya enak. Bahan-bahannya pun sederhana:
ketumbar, kemiri, garam, merica, daun jeruk, terigu, tepung beras. Pertama kulumat
bumbunya, lalu campur terig, tepung beras, dan air. Setelah itu iris daun jeruk
dan masukkan ke adonan. Simpel.
Beberapa hari kemudian coba kupraktikkan. Realitasnya,
adonan terlalu encer. Selain itu, ada obsesi untuk memasukkan sebanyak-banyaknya
kedelai yang telah kurendam. Hasilnya, adonan kedelai nempel di wajan hingga
membuatku beralih ke wajan teflon. Peyek pun tidak gurih malah seperti lemah
syahwat. Apa kurang minyaknya atau kurang besar apinya.
Aku matikan kompor, kutinggalkan adonan dan
kembali menyimpan energi. Ndoro turun gunung, meski tak mengubah hasil seperti
dalam bayangan tentang peyek yang pernah kubuat dulu. Disimpannya dalam toples
seperti menyimpan aib agar orang lain tak tahu atau paling fatal, agar tidak
masuk ke perut manusia. Mana ada peyek di seluruh dunia yang lemah syahwat? Itu
aib dunia rempeyek.
Aku tiduran sambil mengawang nasib Mourinho
yang dipecat dan bertanya, kapan Rino Gattuso juga dipecat? Lelah sendiri jadinya.
Kubuka toples dan memandang peyek lemah syahwat itu. Sebuah aib bagi dunia
rempeyek. Maafkan aku penggemar peyek dan juga produsen peyek di mana pun
kalian berada.
Semacam rasa malu yang tak terkira yang
mendorong munculnya sebuah kekuatan yang tentunya bukan kekuatan super saiya. Kekuatan
melawan rasa malu yang membuatku bersedia melalui perasaan itu. Kugoreng kembali
si peyek kedelai. Dan rasanya kriuk...
Yah, bagaimana pun, aku tak berharap sepenuhnya
mampu menundukkan kesalahan masa lalu dengan menderita pada saat kini. Bisa kalian
lihat peyek itu berwarna kecoklatan, bukan cerah. Minimal, itu peyek bisa
dimakan dan aman masuk perut.
Kudengar suara si Tiara yang menggemaskan itu.
Tiap lihat dia rasanya pengen nyiwel pipinya yang dalam anganku bisa melar
kayak Luffy, tapi takut nangis. Jadi, tak pernah kulakukan.
Ada rasa was-was saat memberi si Tiara. Kira-kira dia
doyan gak? Giginya mampu menguyah gak? Atau berdampak buruk untuk kesehatannya
gak? Was-was, gelisah itu normal lah. Namanya juga manusia. Manusia kan dapat melakukan
kejahatan saat berbuat kebaikan, dan tanpa diniatkan manusia juga dapat
melakukan kebaikan saat berbuat kejahatan.
Peyek Kedelai yang Brutal |
No comments:
Post a Comment