Siapa itu Larry King? Pada saat itu aku tidak mengenalnya dan tidak
begitu peduli dengan nama penulisnya. Aku menarik buku ini dari rak
perpustakaan kampus oleh karena judulnya. Berbicara dilihat sebagai sebuah
seni. Cukup menarik.
Bagi mahasiswa baru sekaligus manusia yang pemalu, berbicara ialah suatu
hal yang menakutkan sekaligus menyilaukan. Apalagi saat kau memasuki dunia yang
menuntutmu pandai berbicara, yakni dalam bidang hukum. Pandangan awam melihat bahwa mahasiswa hukum harus pandai berbicara
terutama pada khalayak. Tentu saja hal tersebut terasa menakutkan sebab diriku
tipikal orang yang pemalu pada siapa pun, kecuali pada orang yang sudah kukenal
dekat dan dalam obrolan person to person.
Sebaliknya, terasa menyilaukan saat melihat para senior begitu pandai
dalam berbicara. Siapa yang tak ingin seperti mereka? Aku pun demikian.
Makanya, buku ini merupakan salah satu buku pertama yang kupinjam dari
perpustakaan kampus saat masuk perkuliahan. Begitu menggelikan.
Setelah membaca buku ini, segera kuputuskan untuk memilikinya. Ada banyak
hal yang diungkapkan Larry dalam buku ini. Saking banyaknya, informasi yang
diberikan tak mampu kuterapkan semua. Akan tetapi, ada poin-poin penting
(bagiku) yang sampai saat ini masih kuingat.
Pertama, jangan melabeli
seseorang pandai karena ia banyak bicara. Ini kesalahanku pertama saat itu
karena mudah silau terhadap orang-orang yang banyak bicara. Aku menjadi mulai
jeli ketika orang-orang banyak bicara selama bermenit-menit, tetapi tidak
efektif terkadang juga mbulet tur njlimet
serta miskin substansi. Beberapa tahun belakangan kerap kutemui orang-orang
semacam ini. Bedakan antara pandai dan berani dalam berbicara. Orang pandai
berbicara selalu kaya substansi bahkan dalam humornya.
Kedua, dengarkanlah. Mendengarkan
ialah hukum pertama dalam suatu percakapan. Banyak orang ingin bicara, tapi
sedikit ingin mendengarkan. Hingga kau paham ketika seseorang mengelak dan saat
seseorang benar-benar tidak tahu. Dari mendengarkan pun kau menjadi tahu
semakin banyak orang berbicara, semakin memperlihatkan kebodohannya.
Ketiga, humor. Aku suka
bercanda itu fakta. Namun, aku mulai menyadari cara mempergunakan humor yang
tepat. Setidaknya tahu saat harus menggunakan humor untuk menyentuh, menyentil,
atau memecah kebekuan. Meskipun dalam praktiknya juga kerap salah karena
terbawa suasana.
Sebagaimana buku tips maupun motivasi, lebih tepat bila membacanya secara
intensif lantas mempraktikkannya. Buku pinjaman dari perpustakaan tak cocok
dengan karakter seperti ini karena keterbatasan waktu pinjam. Jadi, memilikinya
merupakan solusi. Sayangnya, buku ini telah kucari di beberapa toko buku dan
hasilnya nihil. Saat aku sudah melupakan buku ini, dia terselip di bawah
tumpukan buku di sebuah toko buku bekas.
Ada beberapa hal penting yang luput dari perhatianku kala itu. Salah
satunya ialah berbicara dengan lawan jenis. Andai dulu aku saksama barangkali
tidak akan menjomblo bertahun-tahun lamanya. Jangan tertawa. Satu hal lagi, tak
sadarkah kau dalam tulisan ini bila aku terlalu banyak membicarakan diriku?
Dalam suatu tulisan, khususnya di dalam blog, sah-sah saja (daripada ngerasani orang lain?) Akan tetapi,
dalam suatu obrolan membicarakan diri sendiri perlu dihindari.
Larry seperti membuat sebuah peta untuk mengatasi ketakutan serta
mengikuti segala perbincangan dengan keyakinan. Melalui bahasa yang menarik dan
mudah dimengerti buku ini cepat untuk segera diselesaikan, tetapi cukup sulit
untuk dipraktikkan terutama mencari gaya sendiri dalam berbicara.
Setidaknya, ada dua bagian substansi dalam buku ini, yaitu Larry dan
berbagai keterampilan praktis dalam berbicara. Buku ini seperti sebuah buku
semi biografi tentang seorang Larry King sendiri dan juga pekerjaannya. Tak
percaya? Tengoklah bagian “Tamu Terbaik dan Terburuk Saya” yang menurutku tak
begitu penting. Seperti ulasan buku ini, Larry melarang berbicara mengenai diri
sendiri, tetapi dalam tulisannya banyak membicarakan dirinya sendiri. Selain
itu, pengalaman-pengalaman Larry yang terserak di sepanjang buku membuatnya nampak
tersusun secara acak sehingga ada aspek-aspek lain dari seni berbicara yang
belum tersentuh. Dampaknya, buku ini menjadi lemah untuk menjadi rujukan
akademis.
Oh, maaf jika terlalu panjang.
Dan perihal judulnya, mungkin, bagian strategi pemasaran.
Judul : Seni berbicara: kepada siapa
saja, kapan saja, di mana saja
Penulis : Larry King
Penerjemah : Marcus Primhinto Widodo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kelima, Desember 2012
Tebal : xvi+ 212 halaman
No comments:
Post a Comment