Tiba-tiba kita disodorkan bahwa buku adalah sumber kekacauan dan ketidakbahagiaan.
Masyarakat tempat Montag tinggal merupakan gambaran distopia dunia tanpa buku. Memiliki buku ialah kejahatan. Membaca buku adalah tindakan ilegal dan buku harus dilenyapkan. “... bakar sampai menjadi abu, lalu bakar abunya.” Itulah yang terjadi pada buku-buku.
Judul : Fahrenheit 451
Penulis : Ray Bradbury
Penerjemah : Lulu Wijaya
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 2018
Tebal : 208 halaman
“Benarkah bahwa dulu sekali, petugas kebakaran memadamkan api, dan
bukan membakar?”
“Tidak. Rumah-rumah sejak dulu tahan api, percayalah.” (h. 17)
Apa yang akan kamu
lakukan saat pulang dari sekolah melihat abu di depan rumahmu? Tumpukan abu
hasil pembakaran buku-buku yang susah payah kamu beli, baca, dan koleksi (dari
komik hingga novel). Abu yang masih mengeluarkan asap dan membuatmu melakukan
gerakan bawah tanah melakukan perlawanan. Saya pernah mengalaminya. Sungguh.
Petugas kebakaran yang telah membakar itu ialah ayahku sendiri.
Pada saat itu saya
bertanya-tanya, “apa yang membuat ayahku membakar buku-bukuku?” Kejadian serupa
terjadi lagi beberapa tahun kemudian saat awal masuk kuliah. Saya pulang
membawa buku-buku kiri yang susah payah kucari di jalan semarang, Surabaya.
Beberapa dapat kubeli kembali karena sudah dijual bebas, tapi tak sedikit yang
sudah sulit dicari.
Tentu saja keherananku bukan tanpa sebab. Masih
kuingat jika dulu sering disuruh banyak membaca karena sampai akhir kelas dua
sekolah dasar baru lancar membaca. Sebelumnya, saya kesulitan membedakan: “ng”,
“ny”, dan “y”; “s” dengan “x”; atau “b”, “p” dengan “d”. Barangkali kamu akan
mendengar nama “boyd” terdengar seperti “boip” atau “boib” seperti orang
membaca qalqalah.
Ketika saya memegang buku ini terjadi kebimbangan.
Perlukah saya membacanya lagi karena telah membaca Fahrenheit 451 terbitan Elex
Media Komputindo? Kemudian kubaca lagi dan kutemukan beberapa perbedaan,
khususnya wawancara Bradbury di akhir buku pada terbitan Elex Media.
Selebihnya, bagiku sama. Pertanyaan itu muncul, apakah saya perlu menulis
resensinya? Hal itu mengusikku. Beberapa kali terbangun dan memikirkannya,
perihal buku dan pembakaran yang pernah kualami dan dikisahkan dalam Fahrenheit
451.
Fahrenheit 451 memberikan sebuah pemahaman tentang
kisah pembakaran buku-buku. Tokoh utama buku ini, Guy Montag, merupakan petugas kebakaran yang bertugas untuk menghancurkan
buku. Si Anjing pemburu yang bekerja di Departemen Kebakaran yang dikawal helikopter
dan Robot Anjing Pemburu. Siap melacak para pembangkang yang menentang aturan,
orang-orang yang nekat menyimpan dan membaca buku.
Distopia Dunia Tanpa Buku
Fahrenheit 451 membawa kita pada kondisi masyarakat yang tidak membaca buku, menikmati alam, berpikir
secara mandiri, atau memiliki percakapan yang bermakna. Pemerintah mengendalikan rakyat dengan kenikmatan
yang terus-menerus, yang mematikan pikiran. Mereka menonton televisi secara
berlebihan dengan informasi yang telah disediakan oleh pemerintah, iklan kereta
bawah tanah yang memekakkan telinga, berkendara sangat cepat pada dunia yang
bergegas sehingga memutuskan orang-orang dari pikiran dan tubuh mereka.
Masyarakat tempat Montag tinggal merupakan gambaran
distopia dunia tanpa buku. Memiliki buku ialah kejahatan. Membaca
buku adalah tindakan ilegal dan buku harus dilenyapkan. “... bakar sampai
menjadi abu, lalu bakar abunya.” Itulah yang terjadi pada buku-buku.
Terdengar familiar? Tentu saja. Sejarah negara kita
tak lepas dari pembakaran dan penyensoran terhadap buku-buku. Bahkan Pramoedya
Ananta Toer pernah dituduh atau terlibat dalam pembakaran buku-buku pada masa
orde lama. Pada lain kesempatan, buku-bukunya pun pernah dilarang tatkala
negara begitu galak terhadap pemikiran yang berbau komunis.
Sebenarnya,
penghancuran buku bukanlah suatu hal yang baru. Fernando Baez melalui bukunya A Universsal History of the Destruction of Books telah menguraikan penghancuran
buku dari masa ke masa, sejak zaman kuno hingga masa kini. Mulai buku non fiksi
sampai ke fiksi. Penghancuran buku-buku fiksi terkenal seperti Don Quixote - Carventes, Time
Machine - H.G. Wells, Fahrenheit 451 - Ray
Bradbury, The Name of The Rose - Umberto Eco,
hingga novel Voices karya Ursula K, Le Guin. Kamu sedang tidak
salah baca. Fahrenheit 451 juga mengalami penghancuran.
Fernande Baez melihat hancurnya buku dapat terjadi
karena beberapa faktor. Beberapa karena bencana alam, adapula rusak karena
serangga atau cuaca, tetapi tak sedikit karena ulah manusia sendiri. Manusia
menghancurkan buku karena ada kebencian etnis, sentimen politis, atau
kepentingan ideologis.
“Orang-orang berwarna tidak menyukai Little Black Sambo. Bakar saja. Orang-orang kulit putih tidak gembira membaca Uncle Tom’s Cabin. Bakar saja.” (h. 79)
Lantas saya memahami alasan tindakan ayah membakar
buku. Inilah yang terjadi pada ayahku yang merupakan didikan orde baru. Negara
mengontrol dan menyensor buku-buku yang berkaitan dengan kiri atau komunis. Well, saya mampu memahami alasan
pembakaran buku-buku kiri dengan melihat latar belakang beliau. Tapi, apa yang
salah dengan novel dan komik? Bradbury dengan lihai menjadikan buku sebagai lambang
individualitas dan bentuk pelarian diri dari
pengendalian pikiran. Pembaca buku dipandang sebagai makhluk asosial dan
pada konteks diriku, buku membuat prestasi akademikku justru merosot.
“Hidup adalah saat ini, pekerjaan menjadi penting, kenikmatan ada di mana-mana setelah selesai bekerja. Untuk apa belajar apa pun selain memencet tombol, menarik saklar, memasang baut dan paku?” (h. 74)
Ironisnya, manusia pun lupa
bahwa buku-buku mewakili kemanusiaan itu sendiri. Montag
mulai menyadari ada manusia di balik setiap buku yang dibakarnya, pencipta buku
itu. Buku juga mewakili kemampuan untuk menata kembali dan membangun
kembali peradaban.
“... Pasti ada sesuatu dalam buku-buku, hal-hal yang tak bisa kita bayangkan, .... untuk pertama kali aku menyadari ada orang di balik setiap buku itu. Ada orang yang harus memikirkan isinya. Ada orang yang harus menghabiskan waktu lama sekali untuk menuliskannya di kertas.” (h. 69-70)
Dehumanisasi menjadi dampak
mengerikan yang dirasakan Montag. Masyarakat lantas terputus dari diri mereka
sendiri, keluarga, orang lain, sejarah, dan dunia. Terlalu bergantung televisi dan teknologi.
Semua serba instan dan cepat. Akibatnya, orang-orang juga
terputus dari pengetahuan dan kemampuan berpikir. Manusia menjadi seperti robot dan statis.
Evolusi Dunia dan Kekuatan Buku
Mengapa buku begitu mudah ditakuti? Fahrenheit 451 tidak
memberikan penjelasan tunggal yang jelas tentang alasan pelarangan buku.
Tiba-tiba kita disodorkan bahwa buku adalah sumber kekacauan dan
ketidakbahagiaan. Parameter kekacauan dan ketidakbahagiaan pun tidak jelas bila
alasan pembakaran buku seperti yang dikatakan Baez, sentimen politis atau
kepentingan ideologi.
Pada suatu dialog antara Montag
dan Faber, seorang profesor Sastra Inggris menjelaskan alasan buku begitu
dibenci dan ditakuti,
“Buku memperlihatkan pori-pori di wajah kehidupan. Orang-orang yang nyaman hanya menginginkan wajah mulus, tak berpori, tak berbulu, tak berekspresi. Kita hidup pada masa ketika bunga berusaha hidup dari bunga lain, bukannya tumbuh dari hujan yang cukup dan tanah humus hitam.” (h. 106)
Si Beatty, kapten Departemen
Kebakaran, memiliki pandangan lain perihal ini. Perkembangan teknologi hingga
peningkatan populasi menyebabkan semuanya ingin bergerak cepat. Pada sisi lain,
majalah dan buku mengalami kemorosotan mutu sampai sangat hambar hingga
kurangnya minat baca. Pada titik tertentu, masyarakat melihat para penulis
dengan pikiran jahat disuruh berhenti karena masyarakat ingin hidup tenang.
“Asalnya bukan dari pengarahan pemerintah di atas. Tidak ada perintah, tidak ada deklarasi, tidak ada sensor, sejak awal, tidak ada! Teknologi, eksploitasi massal, dan tekanan minoritas yang membuatnya terjadi, puji Tuhan.” (h. 77)
Membaca pernyataan Beatty
terasa sangat logis dan terdengar seperti runtuhlah teori Baez. Penghancuran
buku terjadi begitu alami pada tataran masyarakat. Akan tetapi, percayakah kamu
dengan yang dikatakan Beatty?
Saya tentunya tak begitu saja
percaya dengan Beatty karena ada rentang waktu dalam sejarah yang hilang dan
dilupakan. Meski demikian, antara Beatty dan Faber saling mendukung perihal
buku, kualitas dan penulis baik-buruk. Buku-buku yang bagus diperpendek dan
direproduksi dalam bentuk lain.
Pada saat ini buku tak melulu
dari kertas. Ia telah berevolusi dalam bentuk digital menjadi ebook atau sepenggalan kisah di website yang bisa kita nikmati melalui
layar tablet atau gawai. Kendati telah berevolusi, buku masih digemari dan
dikagumi. Mulai dari aroma, sentuhan tangan membalik kertas, interaksi mata
yang jelas berbeda antara buku dan layar bahkan terkadang muncul edisi khusus
atau premium. Dari segi substansi pun buku lebih memiliki kedalaman, detail,
serta kelengkapan. Lagipula saat kamu bertemu penulis, mereka akan kesulitan
membubuhkan tanda tangan di ebook atau website. Orisinalitasnya dipertanyakan.
Perubahan zaman dan kebutuhan
menyebabkan buku semakin tersudutkan saat dunia menyerukan gerakan paperless. Gerakan ini sebagai bentuk
dari kesadaran penyelamatan lingkungan. Semakin sedikit kertas yang diproduksi,
sedikit pula pohon yang ditebang. Benarkah? Bukankah pembukaan lahan untuk
perkebunan dan pertambangan pun banyak mengurangi area hutan? Silakan dicek
sendiri.
Apakah kebiasaan pemakaian
teknologi tidak memiliki dampak lingkungan yang serupa? The Washington Post merilis artikel yang berjudul How bad is email for the environment yang
mengulas dampak dari email dan teknologi yang biasa dipergunakan oleh masyarakat terhadap emisi karbon (carbon footprint). Mulai dari streaming
video dan musik, video games, televisi, hingga email. The
Radicati Group,
sebuah perusahaan riset pasar teknologi, pada tahun 2015 melaporkan jumlah
email yang dikirim dan diterima di seluruh dunia per hari mencapai 205
miliar. Angka ini
diperkirakan akan meningkat 3% per tahun dan mencapai sekitar 246 miliar pada
akhir 2019. Ini berarti hampir 2,4 juta email dikirim setiap detik dan sekitar
74 triliun email dikirim per tahun. Apabila tiap email mengandung estimasi
terendah 0,3 karbon, total karbon yang dihasilkan oleh seluruh email di seluruh
dunia mencapai 22 juta metrik ton karbon tiap tahunnya. Total ini
sama dengan gas rumah kaca yang dihasilkan oleh 5 juta mobil.
Buku yang terbuat dari bahan dasar kayu
masih mudah untuk didaur ulang dan diperbarui. Sebaliknya, limbah elektronik (e-waste) yang memiliki karakteristik
berbeda dengan limbah lainnya sulit didaur ulang dan semakin meningkat tiap
tahunnya. Berdasarkan laporan United Nations
Environment Programme (UNEP) PBB mencatat sampah elektronik di dunia bertambah 40 juta
ton per tahun. Rata-rata volume e-waste terus terjadi
peningkatan 3 – 5 % per tahun. Jumlah ini tiga kali lebih cepat dibandingkan
dengan limbah jenis lain. Sampah ponsel dan komputer personal sebagai
penyumbang terbesar. Limbah emas dan perak 3%, palladium 13% dan kobalt 15%,
setiap tahunnya. Selain terdapat komponen-komponen berharga,
limbah elektronik juga mengandung banyak komponen yang bersifat racun. Sebuah
komputer (PC) saja mengandung komponen yang terdiri dari merkuri, arsenik, dan
krom, yang termasuk dalam logam berat. E-waste
apabila ditimbun bahan-bahan kimianya mengalami dekomposisi serta masuk ke
dalam tanah, tetapi jika dibakar melepaskan dioksin yang sangat beracun.
Pusing? Ya, sama. Saya memang sengaja tidak
langsung menyederhanakannya agar kamu merasakan sesuatu yang kurasakan. Intinya,
ketika kita beranggapan bahwa paperless
merupakan usaha penyelematan lingkungan, kita seolah menutup diri telah turut
andil menyebabkan kerusakan lingkungan pada sektor lain yang sama berbahayanya.
Evolusi perwujudan buku pada
bentuk lain menyisakan suatu pertanyaan, “masihkah buku berbahaya?” Pada
dasarnya, buku seperti halnya ebook dan
website tak perlu ditakuti karena
tidak memiliki kekuatan. Mereka hanyalah wadah untuk menyimpan berbagai hal
yang tak ingin dilupakan. Informasi dan beberapa hal yang tersimpan dalam buku,
ebook, atau website itulah yang membuatnya ditakuti.
Boom! Manusia memasuki era digital yang serba cepat. Informasi melaju
cepat. Kondisi ini diperparah dengan pemotongan dan sensor beberapa bagian buku
sehingga menampilkan sebagian fakta, bukannya detail keseluruhan fakta. Belum
lagi mata kita yang mudah lelah karena terlalu lama menatap layar sehingga
proses mencerna informasi tidak maksimal. Tiba-tiba kita menjadi kecanduan
gawai dan informasi yang terpenggal-penggal. Bangun tidur langsung mencari
gawai dan di mana-mana kamu menemukan orang-orang menatap gawainya.
Pada situasi melenakan inilah
yang paling menakutkan. Kita terlalu sibuk sehingga tidak sempat memilah
informasi yang berkualitas. Tidak ada waktu bersantai untuk mencernanya dan
melakukan tindakan hasil pelajaran dari interaksi terhadap berbagai informasi.
Pikiran kita menjadi malas dan mudah termakan informasi yang menyesatkan.
Tidakkah terdengar familiar?
Saya pun merasa demikian.
Eli, 1984, dan Berbagai Hal yang
Terbakar dalam Farenheit 451
Fiksi-fiksi distopia, mulai dari buku hingga film, bagaimanapun
bentuknya dianggap seperti sebuah nubuat. In
Time seperti sebuah dunia yang tak masuk akal ketika waktu diibaratkan
dengan nyawa, tetapi film ini memiliki kritikan tajam terhadap cara kerja dunia
saat ini. The Book of Eli
memvisualisasikan runtuhnya peradaban dan buku merupakan kunci keselamatan
dunia, khususnya kitab suci yang dianggap mampu mengobati dahaga spiritual saat
itu. Sekali lagi, bukan bukunya, melainkan isi pengetahuan dari buku.
Pengetahuan inilah sumber kekuasaan.
Kekuasaan tentu membutuhkan dukungan fakta yang dimanipulasi.
Fakta di media menjadi sebuah realitas yang tidak lengkap. Pada
22 Januari 2017 Kellyanne Conway dalam sebuah wawancara yang membela jubir
Gedung Putih terkait jumlah penonton pelantikan Donald Trump, membuat kita
tertawa perihal pengenalan sebuah frasa: “fakta alternatif”.
Kekuasaan dan kontrol masyarakat seperti menjadi tema sentral
dalam fiksi-fiksi distopia. Pada The Book
of Eli kekuasaan seperti nampak tradisional dan sederhana karena kemunduran
peradaban paska perang dunia. Pada 1984 dan
A Clockwork Orange memiliki struktur
kekuasaan yang jelas. Fahrenheit 451 struktur kekuasaan tidak terlalu
ditonjolkan, pembaca buku terlihat aneh bagi masyarakat biasa. A Clockwork Orange, 1984, dan Fahrenheit
451 memiliki beberapa kesamaan. Penyembunyian fakta dan kontrol pemerintah
kepada seluruh masyarakat dilakukan pada 1984
dan Fahrenheit 451. Pada A Clockwork
Orange kontrol terhadap masyarakat hanya dilakukan seperlunya pada individu
yang bermasalah.
Cara-cara cuci otak demi melanggengkan kekuasaan ditempuh
sedemikian rupa. Media dipilih sebagai alat pertama dalam propaganda penguasa.
Pola pikir masyarakat menjadi terkontrol dan tidak memiliki pilihan. Apabila
tidak berhasil, kekerasan serta penyiksaan adalah pilihan terbaik dalam
menangani Winston (1984) dan Alex (A Clockwork Orange). Pada Fahrenheit
451, Bradbury memilih mengirimkan para pembaca buku ke rumah sakit jiwa atau
diasingkan dan dibakar bersama buku-buku bila masih membangkang. Mana yang
lebih baik? Pilihlah sendiri yang menurutmu
terbaik untuk mencuci otakmu.
Nuansa. Sebuah fiksi distopia perlu kesuksesan dalam membangun
nuansa. Orwell dalam 1984 yang begitu
gelap berhasil menghadirkan suara-suara lirih nan mencekam untuk meneror
pembaca. Burgess dalam A Clockwork Orange
mampu menampilkan estetika budaya pop yang banal berbalut kekerasan dengan
kebimbangan pilihan moral. Melalui pengetahuannya yang luar biasa tentang
potensi teknologi, Bradbury menampilkan Fahrenheit 451 dengan prosa yang kuat sekaligus
bergerak cepat dan terlihat puitis (baik dalam terjemahan Elex Media Komputindo
maupun Gramedia Pustaka Utama).
Setetes hujan. Clarisse. Tetesan lain. Mildred. Ketiga. Sang paman. Keempat. Api malam ini. Satu, Clarisse. Dua, Mildred. Tiga, paman. Empat, api. Satu, Mildred, dua, Clarisse. Satu, dua, tiga, empat, lima, Clarisse, Mildred, paman, api, pil tidur, tisu sekali pakai, kerah baju, embus, remas, buang, Clarisse, Mildred, paman, api, pil, tisu, embus, remas, buang. Satu, dua tiga, satu, dua, tiga! Hujan. Badai. Tawa sang paman. Petir di lantai bawah. Seluruh dunia kehujanan. (h. 20-21, Elex Media)
Satu tetes air hujan. Clarisse. Satu tetes lagi. Mildred. Tetes ketiga. Paman. Keempat. Api malam ini. Satu, Mildred, dua, Clarisse. Satu, dua, tiga, empat, lima, Clarisse, Mildred, paman, api, obat tidur, pria-pria, tisu sekali pakai, memanfaatkan, buang ingus, gumpal, buang, Clarisse, Mildred, paman, api, pil, tisu, buang ingus, gumpal, buang. Satu, dua, tiga, satu dua, tiga! Hujan. Badai. Paman tertawa. Halilintar jatuh di bawah. Seluruh dunia berhamburan turun. (h. 28, GPU)
Bradbury mungkin tidak akan mengira bahwa karyanya kemudian
menimbulkan begitu banyak paradoks, baik dari segi substansi maupun dampak.
Kita dibuat terombang-ambing dengan narasi dan dialog, “apakah saya tetap
membaca buku atau membuangnya saja? Bradbury
menceritakan semua ini dengan paradoks melalui perspektif orang ketiga yang
terbatas perihal pikiran dan perasaan Montag. “... Kamar itu tidak kosong. ...
Kamar itu memang kosong.” Itulah dunia imaji Bradbury tentang masa depan yang
dia tulis pada tahun 1950 (dua tahun setelah Orwell menulis 1984). Selain
itu, kekayaan kosa kata yang kasar telah membelah masyarakat untuk
mendukung atau menolak buku ini masuk ke dalam kurikulum maupun perpustakaan
sekolah di Amerika Serikat.
Tebal Fahrenheit 451 yang hanya 200 halaman tampil seperti sebuah
film yang bergerak cepat dan meloncat. Sebuah buku yang cukup pendek dengan
tema yang kompleks, sangat disayangkan. Akan tetapi, hal tersebut tidak
menghalangi pengembangan karaktek Montag yang rumit dan radikal, Beatty yang
begitu intens dan cerdas dalam memanipulasi.
Fahrenheit 451 membakar semua yang kamu miliki dalam pikiranmu. Layaknya burung yang terbang bebas lalu terbakar menjadi abu. Dari tumpukan abu tersebut lahir burung api, phoenix.
Fahrenheit 451 membakar semua yang kamu miliki dalam pikiranmu. Layaknya burung yang terbang bebas lalu terbakar menjadi abu. Dari tumpukan abu tersebut lahir burung api, phoenix.
Bagiku, Fahrenheit 451 bukanlah sebuah nubuat melainkan
peringatan. Pembakaran buku oleh sebab dibenci atau
ditakuti tentu tak dibenarkan. Pelarangannya pun justru membuat orang-orang
kian penasaran. Bagaimana kita dapat membantah sebuah buku tanpa membacanya
sedangkan membacanya saja dilarang? Tindakan yang perlu dilakukan ialah membuat
buku bantahan atau tandingan. Sambil sesekali berdoa agar buku itu tidak kalah
populer sehingga dibaca dan dimengerti oleh khalayak. Terakhir, saya hampir
lupa mengingatkan bahwa industri percetakan buku mengikuti selera pasar. Ini
bisnis, bung.
No comments:
Post a Comment