Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Apr 18, 2018

Selarik Puisi Gelap yang Belum Selesai





Apa yang akan kamu lakukan ketika ada yang berkata “Call me Ishmael” saat membuka halaman pertama? Tentu saja hal ini tak lumrah pada zaman dulu, seolah ada orang asing yang mengajakmu berbicara dan kamu akan terus diajak dalam petualangannya dalam buku Moby Dick. Atau saat Kafka mendobrak kesadaran dan mengagetkan kita dengan kalimat pembuka, As Gregor Samsa awoke one morning from uneasy dreams he found himself transformed in his bed into a gigantic insect.”
Pada suatu karya kalimat pembuka menjadi sangat sakral karena akan memberikan kesan dan kehendak membaca kalimat berikutnya. Akan tetapi, saya punya pendapat lain saat Leila S. Chudori membuka novel Pulang: “Dia muncul seperti selarik puisi yang belum selesai.” Selain memberi nuansa misterius, kalimat tersebut terkesan puitis. Leila memberikan diksi puitis untuk pembacanya. Pembuka tersebut memenuhi keutamaan unsur diksi menurut Aristoteles: jelas dan tidak biasa. Ini tentu tidak mudah dan tidak semua penulis mampu membuatnya. Saya kerap heran bagaimana seseorang mampu menulis diksi puitis.
Konon, kalimat puitis identik dengan puisi. Well, sejak SD sampai sekarang puisi merupakan hal yang sulit kupahami sehingga saya hanya mampu menikmati larik-larik puitis karya penyair, tanpa mampu membuatnya. Mungkin, dulu bagiku, puisi hanya sekedar untaian kata untuk merayu wanita.
Dengarkanlah puisi Neruda berjudul I Like for You to be Still:
I like for you to be still
it is as though you are absent
And you hear me from far away
And my voice does not touch you
it seems as though your eyes had flown away
And it seems that a kiss had sealed your mouth

Atau Are You The New Person, Drawn Toward Me? Milik Walt Whitman:
Are you the new person drawn toward me?
To begin with, take warning—I am surely far different from what you suppose;
Do you suppose you will find in me your ideal?
Do you think it so easy to have me become your lover?
Do you think the friendship of me would be unalloy’d satisfaction?
Do you think I am trusty and faithful?
Do you see no further than this façade—this smooth and tolerant manner of me?
Do you suppose yourself advancing on real ground toward a real heroic man?
Have you no thought, O dreamer, that it may be all maya, illusion?

Sebenarnya masih banyak lagi soneta-soneta cinta Neruda, Whitman, atau Gibran. Maklum, ini pemahaman dangkal seseorang yang tak mendalami puisi. Begitulah saya melihat puisi yang selalu puitis, sehingga saya menulis puisi saat jatuh cinta. Dan itu bermula dari nasihat seorang kawan,
“Koen, yen pengen dapat pacar: nulis puisi! Kirimi dia puisi pas tengah malam.”  
Saya yang tak pernah tuntas menulis puisi sejak kecil kemudian mendadak latihan membuat puisi. Meski nasihatnya terasa menyimpang dan terasa ganjil, tetap saja saya menurutinya. Layaknya kalimat pembuka novel Pulang, puisi-puisiku jarang selesai dan jikalau selesai kemudian menjadi puisi gelap. Walaupun begitu, ternyata benar, resep itu manjur.
Lambat laun saya pun menyadari bahwa tak semua puisi bernada puitis untuk lawan jenis. Kita dapat melihat karya-karya Chairil atau Wiji Thukul yang lugas dan tajam. Mungkin juga dengan... hmmm... gimana ya? Begini, apa yang terlintas dalam benakmu saat mendengar kalimat “starving hysterical naked”? Terkesan aneh dan membuat kita ingin tertawa, kan? Puisi Howl oleh Ginsberg mewakili karya-karya Beat Generation.
Sepulang dari Jogja yang mampir dahulu ke Solo, selepas pengalaman-pengalaman emosional dan spritual, kulihat puisi-puisiku yang lampau. Sesekali tersenyum kecil dan geleng-geleng, dan tentunya banyak bertanya: apa maksud puisiku ini? Atau mengapa aku menggunakan kata ini? Jejak rasa dalam puisiku itu seperti lindap, adakalanya saya seperti terputus dengan jejakku sendiri. 
Dahulu saya tak paham maksud dari kata-kata Octavio Paz, “Like a poem, it is not linear, it meanders and twists back on itself, shows us what we do not see with our eyes, but in the eyes of our spirit.” Benar, apa yang diperlihatkan puisi tak melalui mata lahiriah, melainkan penyelaman relung –relung jiwa manusia. Dan saya telah kehilangan makna dari puisi yang belum terselesaikan. Apakah rasa dan ingatan saat itu sudah menguap sehingga tak mampu lagi kutelusuri? 
Entah siapa yang bilang, saya lupa, tetapi masih teringat betul kata-kata tersebut yang mengatakan, “Jika kamu tidak dapat menulis puisi, atau setidaknya tak mampu menikmatinya, berhati-hatilah karena itu menandakan hatimu keras.” Dan kusadari ternyata tugas penyair itu sulit karena menyampaikan perwakilan rasa dari jiwa manusia yang melampaui bahasa.
Pada momen-momen tersebut saya bersyukur ternyata masih terdapat lilin kecil yang menyala dan mungkin akan terus kujaga: menulis puisi. Yap, puisi yang tak lagi melulu masalah cinta. Meski begitu tetap saja saya malu untuk memperlihatkannya, kecuali orang-orang terdekat atau kuanggap dekat. Sementara ini, cukuplah kutulis dan simpan sendiri coretan-coretan mungil itu. Puisi-puisi gelap itu memberiku ketakutan jika pembacanya salah menafsirkan atau salah menangkap maknanya sehingga memunculkan kecurigaan, permusuhan, atau pertikaian. Tak dipungkiri saya pun berharap kelak ada yang membacanya, akan tetapi saat saya sudah tidak di sana dan tak mengetahui jika ada yang membacanya.

No comments:

Post a Comment