Bagaimana kita melihat suatu paradoks? Yup,
paradoks yang menyelimutiku hari-hari ini. Kali ini saya akan mengawalinya
dengan membahas salah satu karya Shakespeare, Macbeth. Meski bukan karya Shakespeare
favoritku (Hamlet is my favourite),
namun Macbeth mampu memberikan suatu gambaran mengenai paradoks. Karya tersebut
terangkum dalam sebuah frasa terkenal, “fair
is foul, foul is fair”. Sebuah frasa yang dikatakan penyihir ketiga yang
terkesan bijaksana dan penengah. Karakter penyihir dalam Macbeth memiliki
kepribadian yang berbeda. Seperti sebuah dialektika, penyihir pertam yang kerap
bertanya dan gelisah; penyihir kedua yang reaktif dan pemberi jawaban; dan
penyihir ketiga yang menjadi penengah dan terkesan bijaksana.
Shakespeare
dengan jeli membungkus niat dengan cantik. Cobalah lihat apa yang dikatakan Lady
Macbeth saat diberitahu rahasia oleh Macbeth: “My hands are of your color; but I shame to wear a heart so white”.
Dan selanjutnya, jika anda membacanya, akan tahu karakternya.
Paradoks
yang sama akan anda temukan pada beberapa kisah lain. Ada seorang yang berniat mencuri
dan mengatakan niatnya tersebut kepada seorang kawan. Apakah sang kawan
mencegahnya? Tidak. Ia membiarkan dan kawannya pun mencuri dan membunuh pemilik
rumah. Seminggu sebelum eksekusi, sang kawan mengunjungi si pencuri dan terjadi
banyak dialog. Si kawan mengungkapkan penyesalan dan berjanji membantu keluarga
si pencuri jika Ia mati. A heart look so
white. Si pencuri bersikeras bahwa itu adalah niatnya sendiri dan ia
mengatakan bahwa “Satu-satunya kesalahanku adalah aku menjalankan niat burukku.”
Yang menarik dari kisah tersebut adalah bagaimana seorang kawan digambarkan
layaknya super hero, dan si pencuri menjadi pesakitan. Adil itu busuk.
Adapula kisah
lain yang lebih terkenal dalam film Trainspotting.
Yup... film Skotlandia terbaik sepanjang masa dan berdiri kokoh di puncak
sebagai film terbaik yang mengisahkan kehidupan pemadat (Maaf Requiem for a Dream kutaruh nomor dua). Akan
tetapi, saya tak akan fokus ke narkoba melainkan sisi lain dari film tersebut. Trainspotting mengisahkan beberapa
manusia yang bersahabat sejak kecil yang memiliki kehidupan beragam. Lihatlah bagaimana
si Renton memberikan heroin kepada Tommy, kemudian kecanduan heroin dan mati
karena terkena HIV. Penyesalan kehilangan kawan belum terlalu terekspos saat
itu. Kemudian T2 Trainspotting
kehidupan para tokoh yang sudah menua dan konflik berpusat pada Begbie yang
lari dari penjara karena tidak ingin menghabiskan hidupnya di penjara. Lantas apa
yang dilakukan kawan-kawannya? Mereka menaruh si pembuat onar di bagasi mobil
dan mengirimnya kembali ke penjara. Begbie marah dan mengutuk teman-temannya,
sedangkan teman-temannya tak ingin kehilangan sahabat karibnya lagi. Busuk itu
adil.
Fair is
foul, foul is fair juga
tersebar dalam kisah sehari-hari. Dan ada kisah yang menggelitik yang pernah
mampir ke telingaku. Kisah pertama seorang pemuda-pemudi kasmaran yang berlibur
menghabiskan waktu di wilayah Batu, Malang, dan terus berlanjut di kosan
beberapa bulan kemudian. Si wanita hamil dan menuntut pertanggungjawaban,
sedangkan si pria menolak dengan berbagai alasan. Dialog perdebatan tersebut
masih kuingat jelas karena keduanya bertengkar dengan nada kencang sehingga
tetangga rumah kontrakan mendengarnya.
“Kau tak bisa terus menyalahkanku! Kau
sendiri menikmatinya! Kita suka sama suka!” teriak si pria.
“Dulu di Malang aku sudah merengek minta
pulang. Kau tidak mencegah rencanamu dan malah melanjutkan perbuatanmu! Aku paham
jika keluarga kita pasti akan malu. Jika sudah begini bagaimana?” si wanita tak
kalah meraung disertai isak tangis.
Waktu memang tak bisa diulang kembali. Semenjak
itu Si cantik berubah wajah pucat pasi karena aborsi. Si pria menggandeng
wanita lain lagi. Fair is foul.
Kisah kedua sedikit lucu dan menggelitik. Kisah
temanku sendiri yang curhat kala sore hari yang biasa saja. Ketika baru jadian saya
berasumsi kawanku ini beruntung mendapatkan pacar yang cantik. Akan tetapi saat
mendengarkan penuturan kawanku, mereka jadian dan putus karena kesangean pacarnya. Loh kok bisa? Mereka jadian saat si cewek sange dan kawanku tergoda. Akhirnya mereka kerap petting di berbagai tempat. Pada suatu
ketika saat petting, ceweknya
benar-benar gak kuat dan segera
meminta untuk lebih.
“Kau masukkan gak?” tanyaku penasaran.
“Ya, enggaklah! Aku tolak. Aku masih bisa
mikir masa depannya. Iya kalau jodoh, jika tidak? Kasihan dia dan suaminya,”
ungkapnya pelan. Pada sisi ini saya salut pengendalian dirinya.
“Lha kenapa bisa putus?”
“Ya, karena aku menolak permintaannya itu. Seketika
itu juga aku langsung ditendang, dimaki-maki kolot, puritan, pengecut, cemen. Wes macem-macem lah.”
Mendengarkan kisahnya sontak saya tertawa
terbahak-bahak dan spontan saja bungkus rokok kena lempar mukaku. Meski begitu
saya masih penasaran, “Eh, yang bawahnya gimana kayak artis bokep?”
“Dulu dia sering petting sama mantannya dan
masturbasi pas njomblo.”
“Terus?” Saya bertanya sambil mikir kok gak nyambung sih jawabannya.
“Yaaa item laaah!”
Kami pun tertawa sore itu. Setelah itu kawanku
menikah dengan wanita dan sekarang sudah menjadi ayah. Nampaknya, dia baik-baik
saja dan hidup normal. Semenjak putus, mantannya itu kerap mengunggah status di
media sosial yang bernada keras, ketus, dan kontroversial. Beberapa pekan yang
lalu saya dapat kabar bahwa dia telah menikah, tetapi status di media sosialnya
masih tetap dengan gaya konsisten. Yah... Foul
is Fair.
Paradoks Macbeth setidaknya memberikan
pembelajaran mengenai niat dan tindakan. Adakalanya niat yang salah perlu tindakan
pencegahan yang keras dan tegas. Dan niat yang baik perlu pengorbanan dan jalan
berliku. Seorang ibu sekaligus pelacur tak ingin anak-anaknya merasakan pengalaman
sakit yang sama dengan dirinya. Setidaknya, kakak yang baik akan mencegah
tindakan dari niat bodoh adiknya. Seperti halnya pengetahuan yang diperoleh
melalui proses tanpa pengalaman (apriori).
Sedangkan, banyak orang ingin memeroleh pengetahun yang diperoleh dari
pengalaman (posteriori). Jikalau itu
adalah pengalaman yang buruk sehingga tak sedikit membuat orang jatuh ke dalam
lubang keledai, cukuplah itu menjadi pelajaran dan tak perlu dilakukan. Sayangnya,
kita kurang mendengarkan pengalama-pengalaman buruk itu dan kurang percaya
terhadapnya.
Dari
berbagai kisah, saya lebih suka adegan ketika Sunan Bonang berdialog dengan Lokajaya.
Apriori dan posteriori berkelindan pada dialog tersebut: niat dan tindakan
Lokajaya seperti mencuci pakaian dengan air kencing; rumput yang tercerabut
dengan kesia-siaan; dan pengalaman langkah-langkah Sunan Bonang dalam
mengentaskan kemiskinan.
No comments:
Post a Comment