Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Apr 14, 2018

Niat dan Tindakan




            Bagaimana kita melihat suatu paradoks? Yup, paradoks yang menyelimutiku hari-hari ini. Kali ini saya akan mengawalinya dengan membahas salah satu karya Shakespeare, Macbeth. Meski bukan karya Shakespeare favoritku (Hamlet is my favourite), namun Macbeth mampu memberikan suatu gambaran mengenai paradoks. Karya tersebut terangkum dalam sebuah frasa terkenal, “fair is foul, foul is fair”. Sebuah frasa yang dikatakan penyihir ketiga yang terkesan bijaksana dan penengah. Karakter penyihir dalam Macbeth memiliki kepribadian yang berbeda. Seperti sebuah dialektika, penyihir pertam yang kerap bertanya dan gelisah; penyihir kedua yang reaktif dan pemberi jawaban; dan penyihir ketiga yang menjadi penengah dan terkesan bijaksana.
            Shakespeare dengan jeli membungkus niat dengan cantik. Cobalah lihat apa yang dikatakan Lady Macbeth saat diberitahu rahasia oleh Macbeth: “My hands are of your color; but I shame to wear a heart so white. Dan selanjutnya, jika anda membacanya, akan tahu karakternya.
            Paradoks yang sama akan anda temukan pada beberapa kisah lain. Ada seorang yang berniat mencuri dan mengatakan niatnya tersebut kepada seorang kawan. Apakah sang kawan mencegahnya? Tidak. Ia membiarkan dan kawannya pun mencuri dan membunuh pemilik rumah. Seminggu sebelum eksekusi, sang kawan mengunjungi si pencuri dan terjadi banyak dialog. Si kawan mengungkapkan penyesalan dan berjanji membantu keluarga si pencuri jika Ia mati. A heart look so white. Si pencuri bersikeras bahwa itu adalah niatnya sendiri dan ia mengatakan bahwa “Satu-satunya kesalahanku adalah aku menjalankan niat burukku.” Yang menarik dari kisah tersebut adalah bagaimana seorang kawan digambarkan layaknya super hero, dan si pencuri menjadi pesakitan. Adil itu busuk.

     Adapula kisah lain yang lebih terkenal dalam film Trainspotting. Yup... film Skotlandia terbaik sepanjang masa dan berdiri kokoh di puncak sebagai film terbaik yang mengisahkan kehidupan pemadat (Maaf Requiem for a Dream kutaruh nomor dua). Akan tetapi, saya tak akan fokus ke narkoba melainkan sisi lain dari film tersebut. Trainspotting mengisahkan beberapa manusia yang bersahabat sejak kecil yang memiliki kehidupan beragam. Lihatlah bagaimana si Renton memberikan heroin kepada Tommy, kemudian kecanduan heroin dan mati karena terkena HIV. Penyesalan kehilangan kawan belum terlalu terekspos saat itu. Kemudian T2 Trainspotting kehidupan para tokoh yang sudah menua dan konflik berpusat pada Begbie yang lari dari penjara karena tidak ingin menghabiskan hidupnya di penjara. Lantas apa yang dilakukan kawan-kawannya? Mereka menaruh si pembuat onar di bagasi mobil dan mengirimnya kembali ke penjara. Begbie marah dan mengutuk teman-temannya, sedangkan teman-temannya tak ingin kehilangan sahabat karibnya lagi. Busuk itu adil.
Fair is foul, foul is fair juga tersebar dalam kisah sehari-hari. Dan ada kisah yang menggelitik yang pernah mampir ke telingaku. Kisah pertama seorang pemuda-pemudi kasmaran yang berlibur menghabiskan waktu di wilayah Batu, Malang, dan terus berlanjut di kosan beberapa bulan kemudian. Si wanita hamil dan menuntut pertanggungjawaban, sedangkan si pria menolak dengan berbagai alasan. Dialog perdebatan tersebut masih kuingat jelas karena keduanya bertengkar dengan nada kencang sehingga tetangga rumah kontrakan mendengarnya.
“Kau tak bisa terus menyalahkanku! Kau sendiri menikmatinya! Kita suka sama suka!” teriak si pria.
“Dulu di Malang aku sudah merengek minta pulang. Kau tidak mencegah rencanamu dan malah melanjutkan perbuatanmu! Aku paham jika keluarga kita pasti akan malu. Jika sudah begini bagaimana?” si wanita tak kalah meraung disertai isak tangis.
Waktu memang tak bisa diulang kembali. Semenjak itu Si cantik berubah wajah pucat pasi karena aborsi. Si pria menggandeng wanita lain lagi. Fair is foul.
Kisah kedua sedikit lucu dan menggelitik. Kisah temanku sendiri yang curhat kala sore hari yang biasa saja. Ketika baru jadian saya berasumsi kawanku ini beruntung mendapatkan pacar yang cantik. Akan tetapi saat mendengarkan penuturan kawanku, mereka jadian dan putus karena kesangean pacarnya. Loh kok bisa? Mereka jadian saat si cewek sange dan kawanku tergoda. Akhirnya mereka kerap petting di berbagai tempat. Pada suatu ketika saat petting, ceweknya benar-benar gak kuat dan segera meminta untuk lebih.
“Kau masukkan gak?” tanyaku penasaran.
“Ya, enggaklah! Aku tolak. Aku masih bisa mikir masa depannya. Iya kalau jodoh, jika tidak? Kasihan dia dan suaminya,” ungkapnya pelan. Pada sisi ini saya salut pengendalian dirinya.
“Lha kenapa bisa putus?”
“Ya, karena aku menolak permintaannya itu. Seketika itu juga aku langsung ditendang, dimaki-maki kolot, puritan, pengecut, cemen. Wes macem-macem lah.”
Mendengarkan kisahnya sontak saya tertawa terbahak-bahak dan spontan saja bungkus rokok kena lempar mukaku. Meski begitu saya masih penasaran, “Eh, yang bawahnya gimana kayak artis bokep?”
“Dulu dia sering petting sama mantannya dan masturbasi pas njomblo.
“Terus?” Saya bertanya sambil mikir kok gak nyambung sih jawabannya.
“Yaaa item laaah!”
Kami pun tertawa sore itu. Setelah itu kawanku menikah dengan wanita dan sekarang sudah menjadi ayah. Nampaknya, dia baik-baik saja dan hidup normal. Semenjak putus, mantannya itu kerap mengunggah status di media sosial yang bernada keras, ketus, dan kontroversial. Beberapa pekan yang lalu saya dapat kabar bahwa dia telah menikah, tetapi status di media sosialnya masih tetap dengan gaya konsisten. Yah... Foul is Fair.
Paradoks Macbeth setidaknya memberikan pembelajaran mengenai niat dan tindakan. Adakalanya niat yang salah perlu tindakan pencegahan yang keras dan tegas. Dan niat yang baik perlu pengorbanan dan jalan berliku. Seorang ibu sekaligus pelacur tak ingin anak-anaknya merasakan pengalaman sakit yang sama dengan dirinya. Setidaknya, kakak yang baik akan mencegah tindakan dari niat bodoh adiknya. Seperti halnya pengetahuan yang diperoleh melalui proses tanpa pengalaman (apriori). Sedangkan, banyak orang ingin memeroleh pengetahun yang diperoleh dari pengalaman (posteriori). Jikalau itu adalah pengalaman yang buruk sehingga tak sedikit membuat orang jatuh ke dalam lubang keledai, cukuplah itu menjadi pelajaran dan tak perlu dilakukan. Sayangnya, kita kurang mendengarkan pengalama-pengalaman buruk itu dan kurang percaya terhadapnya.
            Dari berbagai kisah, saya lebih suka adegan ketika Sunan Bonang berdialog dengan Lokajaya. Apriori dan posteriori berkelindan pada dialog tersebut: niat dan tindakan Lokajaya seperti mencuci pakaian dengan air kencing; rumput yang tercerabut dengan kesia-siaan; dan pengalaman langkah-langkah Sunan Bonang dalam mengentaskan kemiskinan.


No comments:

Post a Comment