Aku kerap mengkerut saat Soe
mengucapkan seseorang yang bernama Kehlil. Tak hanya ucapan, terkadang saya
menemukan nama tersebut dalam tulisannya. Rasa penasaran pun mendera, lantas
kubertanya
“Kehlil itu siapa Soe?”
“Itu lho mas Kehlil Gibran.”
Mampus aku... Tawaku tak
terbendung. Dia malu, namun selanjutnya dia masih mengulangi hal yang sama.
Khalil atau barat
mengejanya menjadi Kahlil. Lidah Jawa mungkin berubah menjadi Kholil, Sedangkan
Soe menjadi Kehlil. Entah Soe dapat darimana cara tersebut. Ini asumsiku, dia
pernah baca bukunya dan tertulis Kahlil Gibran dan kemudian dia mendapatkan
pelajaran bahasa inggris, yang mana, a dibaca e. Saya tak sempat menanyakannya
karena Ia hidup dengan kerumitan hidup yang tak seharusnya tak rumit-rumit
banget.
Kenangan percakapan dengan Soe
mengenai Kehlil dan Kahlil membawaku terfokus pada buku-buku karya Kahlil
Gibran. Ada banyak buku karya Kahli Gibran berjejer dari berbagai penerbit.
Hampir semuanya telah kubaca mulai dari Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara
Sang Guru, Kematian Sebuah Bangsa, Airmata dan Senyuman, serta Yesus Anak
Tuhan. Dari semua buku Kahlil, favoritku adalah Sayap-Sayap Patah.
Kahlil Gibran merupakan salah satu penulis yang malas saya bahas. Pernah suatu ketika ada yang bertanya, “Pernah
baca Kahlil Gibran?” Lantas kujawab, “Tidak pernah.” Ada juga yang bertanya,
“Mengapa tidak suka Kahlil Gibran?” atau “Mengapa tidak membaca Kahlil Gibran?”
Aku hanya menjawab, “terlalu melankolis” atau “terlalu dramatikal.” Bahkan ada
yang lebih jeli lagi, “Mengapa tulisanmu tak pernah menyinggung Kahlil Gibran?”
Kahlil Gibran, bagiku, identik
dengan masa-masa memalukan saat sekolah dulu. Kutemukan dirinya terselip
diantara pajangan koran-koran mesum yang tengah marak kala itu. Tentu saja hal
ini aneh: pada sebuah kecamatan desa yang tak memiliki toko buku, kecuali toko
buku tulis atau sekolah, terdapat sebuah buku mungil. Sampul buku tersebut bagian
atasnya berwarna merah dengan tiga wajah, sedangkan sampul belakang berwarna
kuning terang. Berharga murah dan di depannya tertulis nama pengarang serta
judulnya: Sayap-Sayap Patah terbitan Pustaka Jaya.
Lihatlah bagian pembuka dari buku
itu:
“Usiaku baru delapan belas tahun ketika
cinta membuka mataku dengan sinar-sinar ajaibnya dan menyentuh jiwaku untuk
pertama kalinya dengan jari-jemarinya yang membaca, dan Selma Karamy adalah
wanita pertama yang membangkitkan jiwaku...”
Dulu saya hafal diluar kepala
lanjutannya, sekarang sudah tidak. Maaf. Anak ingusan ini pun terkesiap. Wew...
itu baru pembukaan, belum masuk bab pertama yang saat itu bagiku begitu puitis:
Duka yang Bisu. Bab pertama akan engkau dapatkan kata-kata yang menohok
“Para tetanggaku, kalian tentu ingat masa
remaja dengan segala kesenangannya, dan tentu menyesalkan berlalunya semua itu;
namun aku mengenangnya sebagai seorang narapidana yang mengingat-ingat kembali
terali besi serta belenggu-belenggu rumah tahanannya.”
Hingga larik kalimat, “Cinta datang dengan lidah dan air mata.”
Si anak ingusan itu membatin untuk membacanya sekali duduk. Akhirnya, buku
tersebut ditutup “... aku pun tak dapat
bertahan lagi; aku menghambur ke atas makam Selma dan meratap.” Buku kututup
dan berencana membawanya kemana pun serta mencari karya-karyanya yang lain.
Seperti bukuku yang sudah-sudah,
buku tersebut dipinjam dan berpindah tangan selama berbulan-bulan tanpa sempat
mampir ke rumahku. Setelah itu, banyak anak yang membeli buku-buku Kahlil
karena harganya memang murah. Punya mereka masih terlihat baru, sedangkan
milikku sudah lusuh dan penuh tekukkan. Mendadak muncul fenomena baru: lahirnya
pujangga-pujangga dadakan. Mereka membuat kata-kata puitis di buku tulis, buku
pelajaran, diary, bangku maupun meja tak luput dari sasaran vandalisme. Lambat
laun kondisi tersebut menjemukan hingga taraf mual. Well, ada rasa terkhianati, “Kahlil, gombalanmu ternyata tidak
hanya untukku, tetapi juga untuk yang lain.” Buku-bukunya pun kuberikan pada
teman atau adik kelas yang membutuhkan. Semenjak itu, aku tak pernah membahas
Kahlil hingga tulisan ini muncul.
Sampai pada kulihat berderet buku-bukunya
lagi. Terbersit pemikiranku untuk membayar hutang pada seseorang dengan satu
set buku-buku Kahlil. Ah, aku teringat dia menolak dibayar. Kuurungkan niatku.
Aku meninggalkan rak buku tersebut dan melihat tumpukan buku yang lain jikalau
ada yang menarik.
Saat mengetik tulisan ini aku
sering tersenyum sendiri jika mengenangnya. Kenapa aku merasa terkhianati?
Bukankah aku yang mengenalkan dia pada teman-temanku? Padahal aku mengenal
konsep kemurnian cinta dari Kahlil. Namun, aku lebih suka istilah yang
dipergunakan Octavio Paz, yakni “cinta yang sopan”. Kawanku lebih canggih lagi
dia mengistilahkannya sebagai cinta sejati setelah melihat pasangan idamannya.
Ia berjuang mendapatkan cinta
sejatinya. Setelah menikah dengan cinta sejatinya, kawanku ini malah ingin
muntah dan hendak bercerai. Ia tak percaya lagi dengan cinta sejati. Saat
mendengarkan kisahnya, aku seperti ingat dua bab awal The Art of Loving nya Erich Fromm yang banyak membahas cinta
sebagai kemenangan manusia dari keterasingan dan kerinduan akan bersatu. Apalah
dayaku, Ia adalah temanku. Ada syair Kahlil tentang sahabat, entah di dalam
Sang Nabi atau syair-syair cinta saya lupa, kurang lebih isinya seperti ini
“Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang
mendapat imbangan. ...
Carilah ia untuk bersama: membunuh waktu!
Sebab dialah orang yang mengisi
kekuranganmu. Bukannya mengisi keisenganmu.
Dan dalam kemanisan persahabatan, biarkanlah
ada tawa ria kegirangan, berbagi duka dan kesenangan...”
Buku-buku Kahlil memang sangat
cocok untuk manusia yang kasmaran atau patah hati. Khususnya, para kawula muda
yang masih ingusan akan mudah terhipnotis Buku Kahlil akan penuh penanda
seandainya kau beri sticky note/post it.
Aku yakin itu. Bahasanya puitis,
bersayap, dan tak jarang paradoks memberikan banyak ruang untuk perenungan.
Minggu-minggu ini memang terasa
membosankan. Pekan yang serba menunggu. Toko buku salah satu cara untuk
menghilangkan kejumudan. Sesekali mencium aroma buku yang beragam serta
mengagumi pembaruan-pembaruan sampul buku. Jikalau ada yang menarik kumasukkan
dalam tas yang disediakan toko buku itu. Setelah mengitari dan melihat,
ternyata kusadari langkahku kembali pada rak si Kahlil. Kutengok sebentar dan
kumasukkan judul buku yang terasa asing: Almustafa.
Sampul biru dengan gambar perahu di
tengah laut memikatku. Dan perlu dicatat, aku belum pernah membaca karya Kahlil
yang berjudul Almustafa, meski nama
tersebut terasa familiar di telinga. Oh, seperti nama tetanggaku di desa, Pak
Tofa. Hehehehe...
Aku tak ingin merusak
kebahagiaanku dengan membaca sinopsis buku. Itu salah satu kebiasaan dalam
membeli buku: harus ada kejutan. Yah, setidaknya si Kahlil tidak jauh-jauh
membicarakan kasmaran, patah hati, atau kehidupan. Tak mungkin pula Ia membahas
pramuka atau pers. Tema besar karyanya memang berkutat dalam hal cinta.
Begitulah, cinta memang sesuatu yang mudah untuk dijual. Walau Octavio Paz
melihat cinta sebagai sebuah penggelembungan waktu yang merentang dari menit ke
abad, cinta tak memberikan jaminan melindungi kita dari risiko dan kemalangan
eksistensi. Hmm seperti kemalangan si Kahlil. Well, jangan khawatir bila bukumu membicarakan cinta, Insya Allah tetap laku, karena “cinta berbicara
perihal kebutuhan luhur dan riil dalam setiap manusia” begitulah kata Fromm.
Saat ini, dapat dikatakan aku telah
memiliki konsep yang berbeda tentang cinta ala Kahlil jika dibandingkan ketika
sekolah dulu. Aku membeli lagi buku si Kahlil bukan karena sedang kasmaran atau
patah hati, melainkan lebih pada keisengan di tengah kemalasan. Dengan polos
aku membatin, “mungkin ada hal baru dari buku Kahlil yang kubaca itu.”
Di kamar ku buka semua buku
termasuk Almustafa. Aku tertegun
karena buku tersebut adalah terjemahan dari The
Prophet yang biasa diberikan judul “Sang Nabi” atau “Sang Utusan”. Oleh penerjemah
judul tersebut tidak dipilih karena membimbing pembaca kepada pengertian yang
sudah pasti, dan alasannya memilih Almustafa
“agar kemungkinannya menjadi lebih lapang.” Pantas saja seperti familiar dengan
nama tersebut. Yaweslah, setidaknya
aku dapat menikmati kelembutan berbahasa si penerjemah: Sapardi Djoko Damono.
Well, begitulah aku menulis dengan malas dan membahas orang yang
sebetulnya malas kubahas. Dan brengseknya, engkau pun membacanya.
No comments:
Post a Comment