Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Apr 11, 2018

Mengapa Aku Malas Membahas Kahlil?





Aku kerap mengkerut saat Soe mengucapkan seseorang yang bernama Kehlil. Tak hanya ucapan, terkadang saya menemukan nama tersebut dalam tulisannya. Rasa penasaran pun mendera, lantas kubertanya

“Kehlil itu siapa Soe?”

“Itu lho mas Kehlil Gibran.”

Mampus aku... Tawaku tak terbendung. Dia malu, namun selanjutnya dia masih mengulangi hal yang sama.

Khalil atau barat mengejanya menjadi Kahlil. Lidah Jawa mungkin berubah menjadi Kholil, Sedangkan Soe menjadi Kehlil. Entah Soe dapat darimana cara tersebut. Ini asumsiku, dia pernah baca bukunya dan tertulis Kahlil Gibran dan kemudian dia mendapatkan pelajaran bahasa inggris, yang mana, a dibaca e. Saya tak sempat menanyakannya karena Ia hidup dengan kerumitan hidup yang tak seharusnya tak rumit-rumit banget.

Kenangan percakapan dengan Soe mengenai Kehlil dan Kahlil membawaku terfokus pada buku-buku karya Kahlil Gibran. Ada banyak buku karya Kahli Gibran berjejer dari berbagai penerbit. Hampir semuanya telah kubaca mulai dari Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Kematian Sebuah Bangsa, Airmata dan Senyuman, serta Yesus Anak Tuhan. Dari semua buku Kahlil, favoritku adalah Sayap-Sayap Patah.

Kahlil Gibran merupakan salah satu penulis yang malas saya bahas. Pernah suatu ketika ada yang bertanya, “Pernah baca Kahlil Gibran?” Lantas kujawab, “Tidak pernah.” Ada juga yang bertanya, “Mengapa tidak suka Kahlil Gibran?” atau “Mengapa tidak membaca Kahlil Gibran?” Aku hanya menjawab, “terlalu melankolis” atau “terlalu dramatikal.” Bahkan ada yang lebih jeli lagi, “Mengapa tulisanmu tak pernah menyinggung Kahlil Gibran?”

Kahlil Gibran, bagiku, identik dengan masa-masa memalukan saat sekolah dulu. Kutemukan dirinya terselip diantara pajangan koran-koran mesum yang tengah marak kala itu. Tentu saja hal ini aneh: pada sebuah kecamatan desa yang tak memiliki toko buku, kecuali toko buku tulis atau sekolah, terdapat sebuah buku mungil. Sampul buku tersebut bagian atasnya berwarna merah dengan tiga wajah, sedangkan sampul belakang berwarna kuning terang. Berharga murah dan di depannya tertulis nama pengarang serta judulnya: Sayap-Sayap Patah terbitan Pustaka Jaya.

Lihatlah bagian pembuka dari buku itu:
“Usiaku baru delapan belas tahun ketika cinta membuka mataku dengan sinar-sinar ajaibnya dan menyentuh jiwaku untuk pertama kalinya dengan jari-jemarinya yang membaca, dan Selma Karamy adalah wanita pertama yang membangkitkan jiwaku...”

Dulu saya hafal diluar kepala lanjutannya, sekarang sudah tidak. Maaf. Anak ingusan ini pun terkesiap. Wew... itu baru pembukaan, belum masuk bab pertama yang saat itu bagiku begitu puitis: Duka yang Bisu. Bab pertama akan engkau dapatkan kata-kata yang menohok
“Para tetanggaku, kalian tentu ingat masa remaja dengan segala kesenangannya, dan tentu menyesalkan berlalunya semua itu; namun aku mengenangnya sebagai seorang narapidana yang mengingat-ingat kembali terali besi serta belenggu-belenggu rumah tahanannya.”

Hingga larik kalimat, “Cinta datang dengan lidah dan air mata.” Si anak ingusan itu membatin untuk membacanya sekali duduk. Akhirnya, buku tersebut ditutup “... aku pun tak dapat bertahan lagi; aku menghambur ke atas makam Selma dan meratap.” Buku kututup dan berencana membawanya kemana pun serta mencari karya-karyanya yang lain.

Seperti bukuku yang sudah-sudah, buku tersebut dipinjam dan berpindah tangan selama berbulan-bulan tanpa sempat mampir ke rumahku. Setelah itu, banyak anak yang membeli buku-buku Kahlil karena harganya memang murah. Punya mereka masih terlihat baru, sedangkan milikku sudah lusuh dan penuh tekukkan. Mendadak muncul fenomena baru: lahirnya pujangga-pujangga dadakan. Mereka membuat kata-kata puitis di buku tulis, buku pelajaran, diary, bangku maupun meja tak luput dari sasaran vandalisme. Lambat laun kondisi tersebut menjemukan hingga taraf mual. Well, ada rasa terkhianati, “Kahlil, gombalanmu ternyata tidak hanya untukku, tetapi juga untuk yang lain.” Buku-bukunya pun kuberikan pada teman atau adik kelas yang membutuhkan. Semenjak itu, aku tak pernah membahas Kahlil hingga tulisan ini muncul.

Sampai pada kulihat berderet buku-bukunya lagi. Terbersit pemikiranku untuk membayar hutang pada seseorang dengan satu set buku-buku Kahlil. Ah, aku teringat dia menolak dibayar. Kuurungkan niatku. Aku meninggalkan rak buku tersebut dan melihat tumpukan buku yang lain jikalau ada yang menarik.

Saat mengetik tulisan ini aku sering tersenyum sendiri jika mengenangnya. Kenapa aku merasa terkhianati? Bukankah aku yang mengenalkan dia pada teman-temanku? Padahal aku mengenal konsep kemurnian cinta dari Kahlil. Namun, aku lebih suka istilah yang dipergunakan Octavio Paz, yakni “cinta yang sopan”. Kawanku lebih canggih lagi dia mengistilahkannya sebagai cinta sejati setelah melihat pasangan idamannya.

Ia berjuang mendapatkan cinta sejatinya. Setelah menikah dengan cinta sejatinya, kawanku ini malah ingin muntah dan hendak bercerai. Ia tak percaya lagi dengan cinta sejati. Saat mendengarkan kisahnya, aku seperti ingat dua bab awal The Art of Loving nya Erich Fromm yang banyak membahas cinta sebagai kemenangan manusia dari keterasingan dan kerinduan akan bersatu. Apalah dayaku, Ia adalah temanku. Ada syair Kahlil tentang sahabat, entah di dalam Sang Nabi atau syair-syair cinta saya lupa, kurang lebih isinya seperti ini
“Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mendapat imbangan. ...
Carilah ia untuk bersama: membunuh waktu!
Sebab dialah orang yang mengisi kekuranganmu. Bukannya mengisi keisenganmu.
Dan dalam kemanisan persahabatan, biarkanlah ada tawa ria kegirangan, berbagi duka dan kesenangan...”

Buku-buku Kahlil memang sangat cocok untuk manusia yang kasmaran atau patah hati. Khususnya, para kawula muda yang masih ingusan akan mudah terhipnotis Buku Kahlil akan penuh penanda seandainya kau beri sticky note/post it. Aku yakin itu. Bahasanya  puitis, bersayap, dan tak jarang paradoks memberikan  banyak ruang untuk perenungan.

Minggu-minggu ini memang terasa membosankan. Pekan yang serba menunggu. Toko buku salah satu cara untuk menghilangkan kejumudan. Sesekali mencium aroma buku yang beragam serta mengagumi pembaruan-pembaruan sampul buku. Jikalau ada yang menarik kumasukkan dalam tas yang disediakan toko buku itu. Setelah mengitari dan melihat, ternyata kusadari langkahku kembali pada rak si Kahlil. Kutengok sebentar dan kumasukkan judul buku yang terasa asing: Almustafa. Sampul biru dengan  gambar perahu di tengah laut memikatku. Dan perlu dicatat, aku belum pernah membaca karya Kahlil yang berjudul Almustafa, meski nama tersebut terasa familiar di telinga. Oh, seperti nama tetanggaku di desa, Pak Tofa. Hehehehe...

Aku tak ingin merusak kebahagiaanku dengan membaca sinopsis buku. Itu salah satu kebiasaan dalam membeli buku: harus ada kejutan. Yah, setidaknya si Kahlil tidak jauh-jauh membicarakan kasmaran, patah hati, atau kehidupan. Tak mungkin pula Ia membahas pramuka atau pers. Tema besar karyanya memang berkutat dalam hal cinta. Begitulah, cinta memang sesuatu yang mudah untuk dijual. Walau Octavio Paz melihat cinta sebagai sebuah penggelembungan waktu yang merentang dari menit ke abad, cinta tak memberikan jaminan melindungi kita dari risiko dan kemalangan eksistensi. Hmm seperti kemalangan si Kahlil. Well, jangan khawatir bila bukumu membicarakan cinta, Insya Allah tetap laku, karena “cinta berbicara perihal kebutuhan luhur dan riil dalam setiap manusia” begitulah kata Fromm.

Saat ini, dapat dikatakan aku telah memiliki konsep yang berbeda tentang cinta ala Kahlil jika dibandingkan ketika sekolah dulu. Aku membeli lagi buku si Kahlil bukan karena sedang kasmaran atau patah hati, melainkan lebih pada keisengan di tengah kemalasan. Dengan polos aku membatin, “mungkin ada hal baru dari buku Kahlil yang kubaca itu.”

Di kamar ku buka semua buku termasuk Almustafa. Aku tertegun karena buku tersebut adalah terjemahan dari The Prophet yang biasa diberikan judul “Sang Nabi” atau “Sang Utusan”. Oleh penerjemah judul tersebut tidak dipilih karena membimbing pembaca kepada pengertian yang sudah pasti, dan alasannya memilih Almustafa “agar kemungkinannya menjadi lebih lapang.” Pantas saja seperti familiar dengan nama tersebut. Yaweslah, setidaknya aku dapat menikmati kelembutan berbahasa si penerjemah: Sapardi Djoko Damono.

Well, begitulah aku menulis dengan malas dan membahas orang yang sebetulnya malas kubahas. Dan brengseknya, engkau pun membacanya.

No comments:

Post a Comment