Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Nov 28, 2017

Dialog & Perjalanan Para Burung Mencari Raja







Pengetahuan tentang Dia tak tersedia di pintu orang-orang pandai yang menyusun kata. Pengetahuan dan kebodohan di sini sama, karena keduanya tak dapat menjelaskan maupun melukiskan.


           
            Fabel selalu menarik untuk dicermati. Selain kisah dan gaya penuturan yang sederhana, kritik yang dibangunnya tak perlu menunjuk secara langsung. Tak mengherankan kisah-kisah fabel menjadi diminati oleh anak-anak dan kerap dibacakan sebelum tidur.
Musyawarah burung salah satu fabel, yang bagiku, menarik untuk disimak sekaligus berat diperuntukkan anak-anak. Attar menyusun Musyawarah Burung berupa dialog dan kisah yang sederhana. Para Burung bermusyawarah untuk mencari Simurgh, raja sejati bagi burung. Hudhud yang mengisahkan bahwa mencapai singgasana Simurgh tidaklah mudah karena akan melalui perjalanan yang penuh bahaya, cobaan, dan kesengsaraan. Kisah Hudhud tentu saja membuat para burung berpikir ulang dan mencoba menghindar dengan berbagai dalih. Mereka merasa keberatan harus meninggalkan sesuatu yang sudah dimiliki: harta, cinta, atau popularitas. Akhirnya, para burung berangkat menuju istana Simurgh yang berada di Kaf, sebuah gunung/jajaran gunung yang mengelilingi bumi. Suatu tempat yang perlu melewati tujuh lembah yang menguji keterbatasan dan ketakutan diri.
Musyawarah Burung aslinya merupakan sekumpulan puisi prosa yang terdiri dari sekitar empat ribu bait. Simurgh dalam kisah ini merupakan simbol Ketuhanan. Sedangkan perjalanan para burung ialah perajalanan untuk mencapai pencerahan spiritual. Attar sendiri dikenal sebagai sufi persia yang mengalami perjalanan spiritual lantas mengembara untuk memperdalam sufi. Attar dianggap menginspirasi karya-karya Rumi dan pada suatu kesempatan Rumi mengatakan, “Attar adalah jiwa itu sendiri.”
Saya tak ingin merusak kesenanganmu membaca buku yang penuh alegoris nan puitis ini dengan memberitahukan akhir kisah. Secara garis besar dialog dan perjalanan para burung untuk menemui Simurgh seperti kisah Pandawa Moksa. Mengingatkanku pada jalan sunyi seorang sufi. Dulu juga pernah terjadi perdebatan diri mengenai jarak antara ma’rifatullah (mengenal Allah) dengan liqa’ullah (bertemu dengan Allah). Jarak keduanya yang penuh konsekuensi dan tuntutan yang besar terhadap diri sendiri. Mbah Sahal, pada suatu kesempatan, pernah mengatakan bahwa saat manusia ingin memasuki ‘daerah’ Allah, ada suatu kewajiban untuk ma’rifatullah terlebih dahulu. Dan saat titik akhir perjalanan tercapai hanya ada satu keinginan dan harapan, yakni liqa’ullah. Benar juga sih, ibaratnya anda datang ke rumah seseorang dan sampai ke pintu rumahnya, namun tak ingin bertemu langsung dengan sang pemiliknya.
Pada sisi lain, membaca Musyawarah Burung juga bernostalgia dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti. Yah, perdebatan panjang yang akan membawa perihal pantheisme sampai emanasi. Konsep yang saya tolak (meskipun Ibnu Sina mencoba mengislamkan konsep tersebut) karena tak masuk akal menempatkan upil, keringat, atau (maaf) tahi juga sebagai salah satu pancaran dari Tuhan. Yaweslah, tak ada lagi yang mesti kuceritakan.

Judul              : Musywarah Burung
Penulis           : Fariduddin Attar      
Tebal              : vi + 178 halaman
Cetakan         : I, Mei 2015
Penerbit         : Titah Surga




No comments:

Post a Comment