Pengetahuan tentang Dia tak tersedia di pintu orang-orang pandai yang menyusun kata. Pengetahuan dan kebodohan di sini sama, karena keduanya tak dapat menjelaskan maupun melukiskan.
Fabel selalu menarik untuk dicermati. Selain kisah dan gaya penuturan yang
sederhana, kritik yang dibangunnya tak perlu menunjuk secara langsung. Tak
mengherankan kisah-kisah fabel menjadi diminati oleh anak-anak dan kerap
dibacakan sebelum tidur.
Musyawarah burung salah
satu fabel, yang bagiku, menarik untuk disimak sekaligus berat diperuntukkan
anak-anak. Attar menyusun Musyawarah Burung berupa dialog dan kisah yang
sederhana. Para Burung bermusyawarah untuk mencari Simurgh, raja sejati bagi
burung. Hudhud yang mengisahkan bahwa mencapai singgasana Simurgh tidaklah
mudah karena akan melalui perjalanan yang penuh bahaya, cobaan, dan
kesengsaraan. Kisah Hudhud tentu saja membuat para burung berpikir ulang dan
mencoba menghindar dengan berbagai dalih. Mereka merasa keberatan harus
meninggalkan sesuatu yang sudah dimiliki: harta, cinta, atau popularitas. Akhirnya,
para burung berangkat menuju istana Simurgh yang berada di Kaf, sebuah
gunung/jajaran gunung yang mengelilingi bumi. Suatu tempat yang perlu melewati
tujuh lembah yang menguji keterbatasan dan ketakutan diri.
Musyawarah Burung aslinya
merupakan sekumpulan puisi prosa yang terdiri dari sekitar empat ribu bait. Simurgh
dalam kisah ini merupakan simbol Ketuhanan. Sedangkan perjalanan para burung
ialah perajalanan untuk mencapai pencerahan spiritual. Attar sendiri dikenal
sebagai sufi persia yang mengalami perjalanan spiritual lantas mengembara untuk
memperdalam sufi. Attar dianggap menginspirasi karya-karya Rumi dan pada suatu
kesempatan Rumi mengatakan, “Attar adalah jiwa itu sendiri.”
Saya tak ingin merusak
kesenanganmu membaca buku yang penuh alegoris nan puitis ini dengan memberitahukan
akhir kisah. Secara garis besar dialog dan perjalanan para burung untuk menemui
Simurgh seperti kisah Pandawa Moksa. Mengingatkanku pada jalan sunyi seorang
sufi. Dulu juga pernah terjadi perdebatan diri mengenai jarak antara ma’rifatullah (mengenal Allah) dengan liqa’ullah (bertemu dengan Allah). Jarak
keduanya yang penuh konsekuensi dan tuntutan yang besar terhadap diri sendiri. Mbah
Sahal, pada suatu kesempatan, pernah mengatakan bahwa saat manusia ingin
memasuki ‘daerah’ Allah, ada suatu kewajiban untuk ma’rifatullah terlebih dahulu. Dan saat titik akhir perjalanan
tercapai hanya ada satu keinginan dan harapan, yakni liqa’ullah. Benar juga sih, ibaratnya anda datang ke rumah
seseorang dan sampai ke pintu rumahnya, namun tak ingin bertemu langsung dengan
sang pemiliknya.
Pada sisi lain, membaca
Musyawarah Burung juga bernostalgia dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti.
Yah, perdebatan panjang yang akan membawa perihal pantheisme sampai emanasi.
Konsep yang saya tolak (meskipun Ibnu Sina mencoba mengislamkan konsep
tersebut) karena tak masuk akal menempatkan upil, keringat, atau (maaf) tahi juga
sebagai salah satu pancaran dari Tuhan. Yaweslah,
tak ada lagi yang mesti kuceritakan.
Judul : Musywarah Burung
Penulis : Fariduddin Attar
Tebal : vi + 178 halaman
Cetakan : I, Mei 2015
Penerbit : Titah Surga
No comments:
Post a Comment