Beberapa waktu
lalu anda mungkin pernah terlibat perang urat saraf perihal hate speech pada sosial media atau
panasnya pemilu 2014 yang masih meninggalkan bekas bagi para pendukung capres.
Bahkan saya pun harus mengakui dulu pernah berdebat dengan kawan mengenai
rencana pengenaan pajak pada bisnis online. Kita tidak bisa menyangkal beberapa
tahun terakhir arus informasi bergerak sangat cepat. Kontribusi internet dan
perkembangan teknologi ponsel turut memiliki andil di dalamnya.
Kunjungan Chairman
Google, Eric Schmidt, beserta salah satu direktur Google, Jared Cohen, ke Korea
Utara pada bulan Januari 2013 menimbulkan banyak polemik dari publik Amerika
Serikat. Setelah terbitnya buku ini publik mengerti bahwa tindakan tersebut
merupakan serangkaian kegiatan untuk penelitian dalam menyusun buku. Tidak
hanya Korea Utara, mereka juga mengunjungi beberapa pemimpin negara,
enterpreneur, dan aktivis di Asia, Afrika, Eropa, serta Timur Tengah mengenai
tantangan teknologi di masing-masing negara. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, mereka menyusun buku ini untuk mengetahui peran dunia digital bagi
masa depan dunia. Suatu proyek yang ambisius.
Schmidt dan Cohen
menyoroti berbagai permasalahan
masa depan identitas, kewarganegaraan, dan
berita; masa depan negara; masa depan revolusi; masa depan terorisme; masa
depan konflik, perang, dan intervensi; serta masa depan rekonstruksi. Mereka
sangat yakin bahwa identitas virtual di dunia maya pada sepuluh tahun mendatang
akan mengalahkan jumlah penduduk dunia. Suatu premis yang dapat dilihat dari
banyaknya akun media sosial yang dimiliki oleh satu orang. Perkembangan
internet juga memicu negara dalam mengembangkan suatu kebijakan untuk
memberikan batasan dan kontrol pada dunia yang dianggap tanpa hukum tersebut.
Suatu waktu
anda akan sering membaca tautan yang bernada persuasif tentang revolusi maupun
pemberontakan, namun sayangnya itu hanya sebatas wacana tanpa aksi yang nyata. Masyarakat
yang memegang kendali dengan memanfaatkan teknologi, apakah revolusi
benar-benar berkobar atau menguap begitu saja. Selain membahas masa depan
revolusi, Schmidt dan Cohen juga membahas tentang masa depan terorisme yang
meliputi fisik maupun virtual. Pada bagian ini kita dapat melihat teknologi
dimanfaatkaan sebagai sarana komunikasi, perekrutan anggota oleh para teroris
yang tentunya mempergunakan bahasa-bahasa metofara. Walaupun banyak
permasalahan yang muncul dalam dunia digital, mereka mencoba bersikap optimis
bahwa teknologi mampu menyatukan masyarakat dalam suatu komunikasi dan usaha rekonstruksi
modern.
Sangat
menarik mencermati berbagai argumen dari Schmidt dan Cohen yang memiliki
pengalaman di bidang dunia virtual. Sejujurnya tidak ada yang baru dalam buku
ini karena kita bisa menemukan pembahasan serupa dalam The World Is Flat karya
Thomas L. Friedman atau The Extreme
Future milik James Canton. Thomas Friedman dalam The World Is Flat memang memaparkan sejarah perkembangan
globalisasi sejak era Columbus sampai pada tahap Globalisasi 3.0 yang
persaiangan global semakin menciut dengan hanya melibatkan individu atau
kelompok kecil manusia. Berbeda dengan Friedman, Canton lebih memfokuskan pada
ranah motif ekonomi untuk melakukan inovasi serta prediksi munculnya kejahatan
bioterorisme dan terorisme yang juga dibahas oleh Schmidt dan Cohen. Kelebihan
buku ini dibandingkan karya Friedman maupun Canton adalah data-data yang
dimunculkan lebih aktual (salah satu contohnya) dengan munculnya Arab Springs serta ISIS.
Judul : The New Digital Age:Cakrawala Baru Negara, Bisnis dan Hidup Kita
Penulis : Eric Schmidt & Jared Cohen
Tebal : xx+344 halaman
Cetakan : Agustus 2014
Penerbit : KPG
No comments:
Post a Comment