Nov 29, 2017
Nov 28, 2017
“Shahrazad,
tak takutkah kau pada kematian?”
“Tak
ada ketakutan wahai Raja yang berusia panjang. Aku tahu bahwa kematian itu
agung namun mengerikan...”
Disney
mungkin yang pertama kali mengenalkanku dengan salah satu tokoh dalam Kisah
1001 Malam (atau Arabian Nights), Aladdin. Ketika kecil Kisah 1001 Malam yang tebal itu seperti
bacaan wajib anak-anak menjelang tidur. Tentunya anak-anak yang orangtuanya
mampu membeli buku. Selebihnya anak-anak hanya mengetahui sekilas mengenai
kisah-kisah dalam Arabian Nights
sepintas saja. Barangkali saya ataupun anda mengenal Sinbad, Ali Baba, Kuda
Ebony, Aladdin, Abu Nawas, dan tentu saja Sultan Harun Ar-Rasyid. Semua tokoh
tersebut dapat anda temukan dalam versi lengkap Arabian Nights.
Saya tak akan menganjurkan buku versi
karya Geraldine ini dibaca anak-anak. Apa ya dirimu tega membacakan kepada
anak-anak tentang kisah Raja Shahryar yang bolak-balik menikah lantas membunuh
istri-istrinya setiap hari selama tiga tahun agar tak berhenti mencintainya? Perlu
anda ketahui bahwa kisah Arabian Nights
versi anak-anak seingatku adalah semacam kumpulan cerita. Pada buku ini saya
baru mengetahui bahwa dari banyaknya kisah tersebut memiliki satu kisah besar
yang membungkusnya, yaitu kisah Shahrazad dan Raja Shahryar.
Istri pertama Raja Shahryar yang
selingkuh membuat sang raja berpikiran bahwa wanita itu plin-plan. Pengkhianatan
tersebut memberikan rasa trauma bagi sang raja. Setiap hari Ia menikah.
Kemudian Ia menyuruh tukang jagal memenggal leher istrinya keesokan paginya, sebelum
cinta sang istri menghilang. Begitu terus setiap hari. Selama tiga tahun. Seribu
pengantin wanita, seribu eksekusi, dan seribu wanita hilang dari ramainya
pasar. Sang Penasehat yang bertugas mencari wanita untuk dinikahi sang raja
mulai kebingungan karena tidak ada lagi wanita bangsawan di kota. Hingga
akhirnya putri sang Penasehat, Shahrazad, mengajukan diri menjadi pengantin
wanita. Shahrazad membuat sang raja penasaran dengan kisah-kisah ajaib yang tak
pernah Ia dengar. Begitulah cara Shahrazad bertahan hidup selama seribu satu
malam hingga Ia tak mampu lagi bercerita. Kisah-kisah yang diceritakan Shahrazad
itulah yang saya atau anda kenal.
Cerdik dan licik itu beda tipis. Begitulah
sekilas tentang kisah-kisah dalam Arabian
Nights. Kita perlu memfilternya untuk mengisahkan kembali kepada anak-anak.
Saya suka cara Shahrazad mencoba
melakukan kritik tanpa melukai sang raja melalui cerita-cerita yang
dibangunnya. Pada lain kesempatan Ia juga menghibur suasana hati raja dengan
kisah yang lucu dan ringan. Meskipun kisah dalam buku ini tidak genap 1001,
akan tetapi mewakili nuansa Persia, India, dan Arab. Ketiga tempat yang pernah
menjadi wilayah kekuasaan Islam pada masa itu. Oh iya mengenai Sultan Harun Ar-Rasyid yang seolah-olah menjadi antagonis dan berbeda dengan sejarahnya, kapan-kapan saya akan mengisahkannya. Supaya dirimu penasaran dan mencariku.
Penulis : Geraldine McCaughrean
Penerjemah : Dewanti Diah Ayu Purwanti
Tebal : viii + 314 halaman
Cetakan : II, Desember 2008
Penerbit : Elex Media Komputindo
Pengetahuan tentang Dia tak tersedia di pintu orang-orang pandai yang menyusun kata. Pengetahuan dan kebodohan di sini sama, karena keduanya tak dapat menjelaskan maupun melukiskan.
Fabel selalu menarik untuk dicermati. Selain kisah dan gaya penuturan yang
sederhana, kritik yang dibangunnya tak perlu menunjuk secara langsung. Tak
mengherankan kisah-kisah fabel menjadi diminati oleh anak-anak dan kerap
dibacakan sebelum tidur.
Musyawarah burung salah
satu fabel, yang bagiku, menarik untuk disimak sekaligus berat diperuntukkan
anak-anak. Attar menyusun Musyawarah Burung berupa dialog dan kisah yang
sederhana. Para Burung bermusyawarah untuk mencari Simurgh, raja sejati bagi
burung. Hudhud yang mengisahkan bahwa mencapai singgasana Simurgh tidaklah
mudah karena akan melalui perjalanan yang penuh bahaya, cobaan, dan
kesengsaraan. Kisah Hudhud tentu saja membuat para burung berpikir ulang dan
mencoba menghindar dengan berbagai dalih. Mereka merasa keberatan harus
meninggalkan sesuatu yang sudah dimiliki: harta, cinta, atau popularitas. Akhirnya,
para burung berangkat menuju istana Simurgh yang berada di Kaf, sebuah
gunung/jajaran gunung yang mengelilingi bumi. Suatu tempat yang perlu melewati
tujuh lembah yang menguji keterbatasan dan ketakutan diri.
Musyawarah Burung aslinya
merupakan sekumpulan puisi prosa yang terdiri dari sekitar empat ribu bait. Simurgh
dalam kisah ini merupakan simbol Ketuhanan. Sedangkan perjalanan para burung
ialah perajalanan untuk mencapai pencerahan spiritual. Attar sendiri dikenal
sebagai sufi persia yang mengalami perjalanan spiritual lantas mengembara untuk
memperdalam sufi. Attar dianggap menginspirasi karya-karya Rumi dan pada suatu
kesempatan Rumi mengatakan, “Attar adalah jiwa itu sendiri.”
Saya tak ingin merusak
kesenanganmu membaca buku yang penuh alegoris nan puitis ini dengan memberitahukan
akhir kisah. Secara garis besar dialog dan perjalanan para burung untuk menemui
Simurgh seperti kisah Pandawa Moksa. Mengingatkanku pada jalan sunyi seorang
sufi. Dulu juga pernah terjadi perdebatan diri mengenai jarak antara ma’rifatullah (mengenal Allah) dengan liqa’ullah (bertemu dengan Allah). Jarak
keduanya yang penuh konsekuensi dan tuntutan yang besar terhadap diri sendiri. Mbah
Sahal, pada suatu kesempatan, pernah mengatakan bahwa saat manusia ingin
memasuki ‘daerah’ Allah, ada suatu kewajiban untuk ma’rifatullah terlebih dahulu. Dan saat titik akhir perjalanan
tercapai hanya ada satu keinginan dan harapan, yakni liqa’ullah. Benar juga sih, ibaratnya anda datang ke rumah
seseorang dan sampai ke pintu rumahnya, namun tak ingin bertemu langsung dengan
sang pemiliknya.
Pada sisi lain, membaca
Musyawarah Burung juga bernostalgia dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti.
Yah, perdebatan panjang yang akan membawa perihal pantheisme sampai emanasi.
Konsep yang saya tolak (meskipun Ibnu Sina mencoba mengislamkan konsep
tersebut) karena tak masuk akal menempatkan upil, keringat, atau (maaf) tahi juga
sebagai salah satu pancaran dari Tuhan. Yaweslah,
tak ada lagi yang mesti kuceritakan.
Judul : Musywarah Burung
Penulis : Fariduddin Attar
Tebal : vi + 178 halaman
Cetakan : I, Mei 2015
Penerbit : Titah Surga
Nov 25, 2017
"I know it, but I don't want to know that I know, so I don't know." I know it, but I refuse to fully assume the consequences of this knowledge, so that I can continue acting as if I don't know it.”
Tatkala banyak
berita mengenai Indonesia darurat kekerasan terhadap anak serta berbagai teror
dan kekerasan di belahan bumi lainnya, teringat
satu buah karya tipis ini yang sekiranya perlu anda baca. Salah
satu karya sosiolog dan filsuf era posmo (meski dirinya mengklaim anti Posmo)
asal Slovenia. Meski sudah cukup lama, nampaknya wacana kekerasan akan
mendominasi pemberitaan pada media massa selama beberapa tahun ke depan dan
buku ini akan relevan sebagai bahan bacaan yang menghibur (sekaligus
menyebalkan) dan membuka alam pemikiran kita.
Melalui premis sederhana mengenai kekerasan,
Zizek tidak membatasi kekerasan pada bentuk fisik saja. Zizek membagi kekerasan
menjadi subjektif dan objektif. Kekerasan subjektif dilakukan oleh agen yang
dapat diidentifikasi dengan jelas melalui tindakan–tindakan seperti teror,
pembunuhan, penyerangan, perang. Sedangkan kekerasan objektif dipecah lagi
menjadi kekerasan simbolik dan sistemik. Kekerasan simbolik menyentuh ranah
simbol dan bahasa seperti diskriminasi, rasisme, hate speech dll. Kekerasan sistemik muncul sebagai konsekuensi
bencana besar dari berfungsinya sistem ekonomi dan politik. Nanti akan dijelaskan oleh Zizek alasan sistem ekonomi dan politik mampu membentuk kekerasan. Secara garis
besar, kekerasan objektif menyebabkan terjadinya kekerasan subjektif.
Membaca karya Zizek memang cukup menghibur
karena disisipi humor satir, pembahasan budaya populer yang sedang berkembang
dengan penyisipan sejarah dan filsafat. Zizek membawa diskursus menarik tatkala
masyarakat puas untuk menipu diri mereka sendiri selama kekerasan subjektif
tidak terjadi dan menimpa mereka. Anda bisa terkekeh ketika Bill Gates dan
George Soros mendapatkan label “liberal
comunists” karena memperoleh kekayaan dari struktur kapitalisme dan
memposisikan diri sebagai seorang dermawan kepada masyarakat yang telah mereka
eksploitasi. Menyebalkan? Tentu saja.
Pada buku ini, Zizek nampaknya lebih fokus pada
kekerasan sistemik karena porsi lebih banyak membahas tentang hal yang sangat
dia suka. Ia tidak memberikan definisi secara jelas mengenai arti kekerasan,
meskipun demikian banyak hal kekerasan yang dibahas dari berbagai sudut seperti
globalisasi, fundamentalisme, kapitalisme, bahasa, filsafat dan tentu saja
film. Kita perlu berhati-hati terhadap argumentasi yang dibangun oleh Zizek
karena dikemas sangat cantik dengan berbagai paradoks dan humor.
Zizek merupakan salah satu tokoh kontrovesial
yang memiliki karya-karya yang provokatif. Menyimak perdebatannya dengan
Henry-Levy maupun Chomsky akan menambah pemahaman karakter dari seorang yang
dijuluki sebagai filsuf paling berbahaya di barat. Perlu suatu filter untuk meresapi pendapat Zizek untuk tidak terjebak atau
terkesima pada kesia-siaan. Ada kalanya kita perlu mengetahui dan
mempersiapkan anti tesis maupun sintesis wacana yang dilemparkan oleh Zizek agar anda dapat bergelut dengannya sambil tertawa.
Judul : Violence: Six Sideways Reflections
Penulis : Slavoj Zizek
Tebal : 272 halaman
Cetakan : Agustus 2008
Penerbit : Picador, New York
Beberapa waktu
lalu anda mungkin pernah terlibat perang urat saraf perihal hate speech pada sosial media atau
panasnya pemilu 2014 yang masih meninggalkan bekas bagi para pendukung capres.
Bahkan saya pun harus mengakui dulu pernah berdebat dengan kawan mengenai
rencana pengenaan pajak pada bisnis online. Kita tidak bisa menyangkal beberapa
tahun terakhir arus informasi bergerak sangat cepat. Kontribusi internet dan
perkembangan teknologi ponsel turut memiliki andil di dalamnya.
Kunjungan Chairman
Google, Eric Schmidt, beserta salah satu direktur Google, Jared Cohen, ke Korea
Utara pada bulan Januari 2013 menimbulkan banyak polemik dari publik Amerika
Serikat. Setelah terbitnya buku ini publik mengerti bahwa tindakan tersebut
merupakan serangkaian kegiatan untuk penelitian dalam menyusun buku. Tidak
hanya Korea Utara, mereka juga mengunjungi beberapa pemimpin negara,
enterpreneur, dan aktivis di Asia, Afrika, Eropa, serta Timur Tengah mengenai
tantangan teknologi di masing-masing negara. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, mereka menyusun buku ini untuk mengetahui peran dunia digital bagi
masa depan dunia. Suatu proyek yang ambisius.
Schmidt dan Cohen
menyoroti berbagai permasalahan
masa depan identitas, kewarganegaraan, dan
berita; masa depan negara; masa depan revolusi; masa depan terorisme; masa
depan konflik, perang, dan intervensi; serta masa depan rekonstruksi. Mereka
sangat yakin bahwa identitas virtual di dunia maya pada sepuluh tahun mendatang
akan mengalahkan jumlah penduduk dunia. Suatu premis yang dapat dilihat dari
banyaknya akun media sosial yang dimiliki oleh satu orang. Perkembangan
internet juga memicu negara dalam mengembangkan suatu kebijakan untuk
memberikan batasan dan kontrol pada dunia yang dianggap tanpa hukum tersebut.
Suatu waktu
anda akan sering membaca tautan yang bernada persuasif tentang revolusi maupun
pemberontakan, namun sayangnya itu hanya sebatas wacana tanpa aksi yang nyata. Masyarakat
yang memegang kendali dengan memanfaatkan teknologi, apakah revolusi
benar-benar berkobar atau menguap begitu saja. Selain membahas masa depan
revolusi, Schmidt dan Cohen juga membahas tentang masa depan terorisme yang
meliputi fisik maupun virtual. Pada bagian ini kita dapat melihat teknologi
dimanfaatkaan sebagai sarana komunikasi, perekrutan anggota oleh para teroris
yang tentunya mempergunakan bahasa-bahasa metofara. Walaupun banyak
permasalahan yang muncul dalam dunia digital, mereka mencoba bersikap optimis
bahwa teknologi mampu menyatukan masyarakat dalam suatu komunikasi dan usaha rekonstruksi
modern.
Sangat
menarik mencermati berbagai argumen dari Schmidt dan Cohen yang memiliki
pengalaman di bidang dunia virtual. Sejujurnya tidak ada yang baru dalam buku
ini karena kita bisa menemukan pembahasan serupa dalam The World Is Flat karya
Thomas L. Friedman atau The Extreme
Future milik James Canton. Thomas Friedman dalam The World Is Flat memang memaparkan sejarah perkembangan
globalisasi sejak era Columbus sampai pada tahap Globalisasi 3.0 yang
persaiangan global semakin menciut dengan hanya melibatkan individu atau
kelompok kecil manusia. Berbeda dengan Friedman, Canton lebih memfokuskan pada
ranah motif ekonomi untuk melakukan inovasi serta prediksi munculnya kejahatan
bioterorisme dan terorisme yang juga dibahas oleh Schmidt dan Cohen. Kelebihan
buku ini dibandingkan karya Friedman maupun Canton adalah data-data yang
dimunculkan lebih aktual (salah satu contohnya) dengan munculnya Arab Springs serta ISIS.
Judul : The New Digital Age:Cakrawala Baru Negara, Bisnis dan Hidup Kita
Penulis : Eric Schmidt & Jared Cohen
Tebal : xx+344 halaman
Cetakan : Agustus 2014
Penerbit : KPG
Nov 24, 2017
Mungkin
saja manusia punya titik didihnya tersendiri. Ada yang memiliki titik puncak
melalui ledakan amarah, tangis atau pukulan. Mereka berbeda dalam berbagai
tingkatan emosional. Saya pun demikian, barangkali.
Saya coba melihat ke belakang dengan
berbagai masalah yang ada. Kecendurangan diri dalam melihat berbagai persoalan
rata-rata dengan tanggapan santai, biasa, dan lumrah. Bahkan kerap merespon
berbagai permasalahan dengan tertawa atau tersenyum. Akan tetapi, pada suatu
ketika ada hal-hal urgen dan mendasar yang membuatku tak mampu mengendalikan
diri. Spontanitas dengan ledakan amarah. “Ini seperti anak kecil,” ungkapku.
“Kau berdosa membuat orang lain takut” ungkapku. Saya menolak, “Itu bukan titik
puncakku.”
Benar. Titik puncakku bukan dengan
menangis. Saya bahkan lupa kapan terakhir menangis. Pun bukan pula ledakan
amarah atau memukul. Mereka hanya ada di tengah-tengah puncak. “Lantas apa?”
tanyaku. “Diam dan membiarkan,” jawabku.
Ledakan amarah itu merupakan gelagat
bahwa engkau sudah melampaui batas. Yah, termasuk golongan manusia yang
melampaui batas kewajaran. Kompromi-kompromi itu sudah terkikis habis. Akan
tetapi, tenanglah. Itu bukan puncak. Seperti kataku tadi, titik puncakku pada
diam dan membiarkan.
Beruntunglah engkau saat ada yang
memarahi karena itu tanda Ia masih peduli. Beruntunglah dirimu ketika ada yang
memaki sebab ia menegurmu dengan jujur. Celakalah kau saat didiamkan berarti
aku tak acuh. Apabila sudah demikian, itu terserah kamu karena aku tak mau tahu
tentangmu.
Instrospeksi dan evaluasi diri itu
perlu untuk melihat ke dalam. Yunus as melakukannya saat di perut ikan. Hal
tersebut sangat sukar.
Bersambung >>>>>>
Nov 19, 2017
Tentu saja
pernyataan tersebut saya tolak. Apapun argumentasi yang Benyo lontarkan dengan medhog kala itu. Sebaliknya, hidupku terlalu
riuh. Saya kasih satu bukti, konkret begitu riuhnya hidupku terutama perihal
janji.
Kesampingkan janji-janji
pada baliho yang bertebaran di jalan itu. Saya tak begitu menggubrisnya bukan
lantaran tak mengenal mereka, melainkan janji-janji pada baliho tersebut kerap
tak masuk akal sehingga sulit terealisasi. So,
buang jauh-jauh mengenai pembahasan itu.
Saya bermaksud
membahas janji yang lain. Yang sepele dan dari orang yang kukenal saja. Begitu banyak
janji yang mampir ke dalam telingaku, namun saya tak terlalu berharap mereka
memenuhinya. Banyak pelajaran yang dipetik dalam menulis janji tiap manusia
yang berjanji kepadamu. Entah itu berkaitan dengan dirimu atau sama sekali
tidak berkaitan padamu, alih-alih lebih kepada janji pribadi kepada diri
sendiri dan saya sebagai saksinya. Walaupun demikian, saya tetap menulisnya
untuk sekedar mengetahui seberapa serius dirinya atau kualitas pribadinya. Sebagai
catatan saja, tidak lebih.
Janji yang
sejauh ini kuingat, tetapi tidak kutulis adalah janji ayah untuk membelikan mainan
yang sedang ngetren. Ada juga janji-janji sepele yang sebenarnya tak penting
bagiku, tetapi mungkin penting bagi yang telah berjanji. Misalnya, ada yang
berjanji puasa mutih tujuh hari, tidak makan lagi di warung X, tak akan lagi
memakai baju berwarna biru. Masalah-masalah sepele yang sejujurnya sangat tidak
penting, dan saya harus menjadi pendengar sekaligus saksi. Tak semuanya sepele
sih, ada juga yang serius serta penting bagi dirinya dan sekali lagi tak
penting bagiku. Saya akan kembali memberikan contoh sebagai bukti, ada kisah
janji Life & Time Michael K yang berjanji untuk tidak memberikan
harapan pada orang yang suka dirinya, sedangkan Ia sendiri tak suka. Pada lain
kesempatan ada Josef K yang berjanji untuk presentasi buku yang saya sodorkan
padanya, hingga kini belum semuanya Ia presentasikan. Adapula yang pernah
berjanji tidak akan pacaran sebelum skripsinya kelar, lantas Ia lupa terhadap
janji tersebut. Ada juga sepupu yang berjanji untuk menjauhi mantannya, tetapi
kemudian saya tahu Ia tak bisa meskipun Ia sadar telah kena pelet atau
sejenisnya. Atau ada juga pria cengeng yang berjanji akan lebih baik dan
bertaubat, walaupun Ia sering mengulangi janji itu dan sejurus kemudian
melanggarnya. Dan itu berulang kali.
Ada banyak yang
berjanji dan saya menjadi saksi. Itu antara menyebalkan dan menyenangkan. Sebal
karena mereka melanggar janjinya sendiri dan memosisikan saya sebagai saksi
hanya sebatas candaan ala kadarnya. Menjadi saksi atas janji itu adakalanya
menyenangkan melihat orang tersebut melanggar sehingga saya dapat belajar
banyak dari manusia-manusia tersebut. Yah,
ada yang ingkar, namun tak sadar. Siapapun dia, termasuk saya. Pada pelbagai
situasi yang runyam, serius, dan di tengah gelak tawa kata meluncur begitu
saja: tanpa kendali dan cepat.
Kamu tak boleh
menyamakannya dengan Soekarno. Kata-kata yang keluar mampu membakar semangat
massa. Hati pendengarnya akan bergemuruh dan siap mengikuti tiap yang
diperintahkannya. Layaknya Hipnotis yang tak menghilangkan kesadaran manusia.
Rasional dan tak terbendung. Ia pun tetap setia pada Indonesia dan banyak
wanita.
Lain soal
dengan mereka yang kerap berjanji di hadapanku, tak ada kata yang mampu
menyakinkanku terhadap janji-janji mereka. Bahkan saya membuat sebuah
kesimpulan subjektif bahwa manusia yang banyak berjanji lebih mudah lupa akan
janjinya. Janganlah mudah percaya padanya.
Kalau saya pribadi
masih ingat hanya saja belum terlaksana. Contohnya, ada janji mentraktir
seseorang tetapi belum ada waktu karena sibuk (entah Ia atau saya). Saya juga
pernah berjanji untuk membelikan baju yang seragam, namun belum kesampaian. Ini
janji yang sudah lama, tapi masih saya ingat yaitu mengajak seseorang jalan-jalan
bila skripsinya telah usai. Dan terakhir yang masih segar dalam ingatan ialah
saat saya berjanji presentasi empat buku, tetapi belum terpenuhi karena pada
hari senin yang telah kujanjikan tiada yang datang dan saya harus menunggu
sambil dikerubungi nyamuk. Alhasil, saya pun pulang karena saya bosan menunggu.
Pada sisi lain, ada rasa takut bila janji yang belum terpenuhi tersebut
mengganjalku di akhirat kelak. Jangan
tanyakan padaku apakah mereka memiliki ketakutan yang sama sepertiku atau tidak.
Nov 18, 2017
Selain memperingati pergantian tampilan blog karena diejek jadul oleh arek2, melalui postingan ini saya pun perlu merayakan kehadiran catatan yang akhirnya menjadi buku. Tulisan yang lama mengendap dan tak pernah terpublikasi kemudian terkumpul dan dapat dikatakan layak menjadi buku. Yah, walau boleh disebut tak layak untuk dinikmati oleh umum. Dalam menyusunnya pun terkendala sumber dan bahan karena rata-rata bukunya banyak yang hilang atau dipinjam dan tak kembali. Mbuh lah.
Pastinya butuh keberanian karena saya ini pemalu. Walau banyak yang bilang malu-maluin, tapi jangan percaya sama mereka lebih baik percaya sama Gusti Allah saja. Mungkin saja dirimu suatu hari nanti akan menemukan cover yang berbeda, tebal buku yang tak sama atau bahkan judul yang juga berbeda karena buku ini belum masuk Best Seller editor buku sehingga apa adanya. Saat menyeleksi tulisan-tulisan di dalam buku yang aslinya 408 halaman ini, banyak tulisan yang bersifat privat dan tak layak konsumsi publik. Barangkali engkau nanti hanya dapat menikmati buku esai ini yah sekitar 250 halaman saja. Mungkin bisa kurang. Terserah penerbit yang mau menerbitkan. 😁
Yang saya herankan ialah teman-teman yang sudah tante-tante atau menjadi bapak-bapak malah yang ingin membacanya. Padahal tulisan-tulisan di dalam buku ini untuk mahasiswa. hehehehe...
Secara substansi, saya berharap tak ada perubahan yang fundamental. Bolehlah kata-kata kasar atau vulgar disensor atau dihapus. Tapi, eman rek. hehehehe...
Masalah judul dan cover Insya Allah ganti. Dan saya berharap judul dan covernya seperti di atas.
Jul 19, 2017
Kejadian tahun
2009 seperti dipersiapkan untuk menghadapi masa-masa seperti ini. Menghabiskan hari
dalam sebuah ruang gelap ketika jutaan manusia menyambut kemenangan. Boleh
dikatakan tahun 2009 merupakan masa kelam. Dan apesnya, giliranku untuk
menyambutnya. Merayakan hari raya di Telang yang mayoritas penghuninya mudik. Akan
engkau temukan satu-satunya rumah yang terang benderang di Telang dan itulah
kontrakanku. Kampus yang masih dikepung sawah bukan rumah sehingga kau dapat
menemukan kunang-kunang maupun makhluk-makhluk berseliweran di rumah hantu. Motor
tak ada. Warung dan Bank tutup. ATM terblokir. Kawan-kawan semua mudik dan
televisi sibuk memberitakan info mudik tiap jamnya seperti tiada berita lain
yang layak dijadikan berita. Sempurna. Benar-benar Bad The Bah.
Lebaran
tahun ini hampir mirip dengan tahun 2009 hanya saja berbeda rasa. Semangat mudik
pun tidak. Si Mbak heboh karena mimpi bertemu Ayah. Saya hanya menanggapi
sekenanya. Ia tak tahu jika tiap hari saya kerap bertemu dalam mimpi. Orang lain
barangkali akan mengatakan bahwa karena saya memakai selimut yang dipakai
almarhum saat meninggal dan bukannya dipendam. Tentu saja saya tolak pemikiran
tersebut karena pertama saya butuh selimut yang hangat dan kedua kalau dipendam
menjadi tidak bermanfaat.
Pada malam
takbir rumah di Rembang gelap gulita. Bukan karena saya malas menghidupkannya,
melainkan memang lampunya mati dan saya malas menggantinya. Saya biarkan
demikian agar lebih hemat listrik dan saya memang sudah terbiasa dengan
kegelapan. Suara takbir terdengar sayup-sayup dan lebih didominasi suara binatang
malam yang berada di hutan depan rumah. Betul, di rumah tiada siapapun kecuali
saya, satu-satunya manusia di tempat itu. Kodok yang dapat menempel tembok dan
melompat tinggi serta makhluk-makhluk lain tak perlu dihitung. Ayah yang
tinggal disana sebelumnya memang sudah tiada. Bahkan saat beliau meninggal pun
tak ada air mata yang menetes. Seolah air mata ini sudah menangis
bertahun-tahun silam sehingga tak perlu menangis lagi. Seakan saya sudah tahu
bahwa hari itu akan tiba waktunya dan mental pun sudah siap. Alam tak
memberikan tanda apapun. Pagi itu telampau biasa dan terasa tak istemewa untuk menghentakkan
kesadaranku bahwa Ayahku tiada.
Akhir-akhir
ini, sebagai bujang, saya seperti melihat kilasan-kilasan masa lalu yang tak
pernah kualami namun ada kehadiranku di sana. Saya sering sulit tidur. Bangun pagi
sudah berada di depan laptop dan tertidur di bawah ranjang dengan buku-buku
berserak di sebelahku. Terkadang kutemukan kamar kos sangat bersih dan rapi,
ada kalanya berantakan seketika. Ah, jangan salahkan saya.
Saya kerap
mendapati mahasiswa menatapku dengan mata takut dan menghindar, meskipun saya
selalu tersenyum. Seperti saya pernah melukai mereka. Atau tatapan benci atau mengejek dan berusaha
menjauh pun ada. Saya tak mempermasalahkannya karena pada dasarnya lebih suka
menyepi. Kau akan seperti melihat tulisan “stay
out of my territory” melayang di udara. Saya sedikit terhibur tatkala
melihat mahasiswa berbohong dimana mereka tak sadar kebohongannya sudah
kuketahui. Saya hanya dapat mengumpat dalam hati, “Don’t bullshit a bullshitter”.
Saya tak takut
dibohongi, saya hanya benci dibohongi. Saya perlu mencari udara segar yang
bebas polusi kebohongan. Dengan menyendiri atau menjadi diri sendiri.