Minggu lalu aku telah memposting bagian pertama. Setelah menyelesaikan tugas akhir tahun yang banyak menumpuk, akhirnya ada waktu luang untuk memposting bagian kedua. Inilah 10 buku terbaik yang kubaca pada tahun 2019 bagian kedua.
6. Empat
Aku – Yudhi Herwibowo
Menikmati
kumcer yang ditulis pada tahun yang berbeda tentu menyenangkan. Aku pun
menikmati cerita-cerita dalam buku kumcer ini. Aku menikmati kisah yang berubah
dari waktu ke waktu, variasi teknik penceritaan, juga obsesi penulis, dan tak
lupa kisah-kisah lokalitas yang begitu dekat denganku. Cerita-cerita tutur di
desa menjadi favoritku, seperti mengingatkanku pada tanah kelahiranku. Kampung
rampok terasa begitu dekat. Penulis mengakhiri cerita dengan mengesankan:
Datanglah kalau kau berani!
Singgahi
kampungku, kampung rampok! Kampung yang kami sendiri takut untuk tinggal...
Start with a pisser, end with a
pisser, begitulah kira-kira penulis mengisahkan ceritanya.
Kisah “Tanah Kabut” terasa begitu intim dengan penulis. Kematian dan desa
begitu lekat dengan cerita-cerita Yudhi. Akan sangat menarik bila
menganalisisnya dalam kaca mata psikoanalisis, entah itu Freud, Jung, atau
Lacan. Sayangnya, aku tak memiliki waktu untuk menuliskannya.
Ah,
satu lagi cerita “Empat Aku” begitu familiar. Konsep watak ‘ganda’ manusia
dalam dunia sastra telah mengalami evolusi sejak abad pertengahan hingga kini. Kapan-kapan
aku ingin mendiskusikan ini lebih jauh.
7. Yang
Terkubur – Kazuo Ishiguro
Pada
novel ini Ishiguro ingin menegaskan posisinya dalam ranah sastra. Ia tak ingin
dengan mudah dikenal karena kategorisasi dalam sastra layaknya penulis-penulis
besar lain. Ia adalah sastrawan yang lembut sekaligus kompleks. Novel Yang Terkubur memiliki inti kompleksitas teka-teki filosfis dalam tema-tema
personal yang mendalam.
Setelah
berhari-hari dihantui oleh akhir cerita, Ishiguro mengharuskanku untuk membaca kembali
novel ini. Pada pembacaan kedua, karakter, peristiwa dan juga motif lebih mudah
dipahami tanpa meninggalkan kesan misterius kehidupan manusia.
Novel
sastra (yang serius), ogre, dan naga sungguh langka berjalan beriringan. Itulah
kesan pertamaku pada buku ini. Ogre dan naga lebih banyak kutemui dalam genre
fantasi sebagai alat dongeng, terutama karya-karya yang terinspirasi oleh
Tolkien.
Berbeda
dengan George RR Martin yang dengan percaya diri memadukan plot intrik
kekuasaan dengan fantasi ala Tolkien, Ishiguro mengeksplorasi tema-tema
Shakespeare dengan dunia fantasi Tolkien. Bahkan aku menemukan sesosok yang
menyerupai Don Quixote. Pengaruh sastra dalam prosa Ishigura begitu kuat,
elegan, dan cemerlang.
Sulur-sulur
kabut mendekam di pedesaaan yang damai, melupakan pembantaian yang mengerikan.
Ishiguro dengan sabar mengawali kisah dengan latar sejarah Inggris dan Saxon
yang misterius. Masa tua, amnesia, penderitaan, cinta, dan perang tertutup
kabut fantasi. Barangkali dengan itulah Ishiguro membuat metafora, menampung
mitos, dan alegori di sisi lain.
Pada
dasarnya novel ini adalah petualangan pasangan lansia dalam narasi yang
terkadang puitis dan terselimuti kabut melankolis. Sebagai seorang novelis,
Ishiguro merupakan novelis yang melakukan pendekatan bahasa dan karakter yang
cermat. Berulang kali Ia berusaha menekan dan menyembunyikan makna. Dengan
penuh percaya diri, Ia telah menulis novel dengan berbagai jenis yang berbeda
sehingga karya-karyanya memiliki kualitas yang baik.
Penulis
yang mengambil latar sejarah kerap terjebak pada parodi dan klise, tetapi
Ishiguro memiliki variasi cara tersendiri untuk mengatasinya. Ia tidak cukup
berani memberikan jawaban dari suatu pertanyaan yang memberikan denyut nadi
buku karena memiliki konsekuensi menghancurkan.
Dapatkah luka lama sembuh sementara
belatung masih hidup begitu mewah? Apakah yang telah terlupakan dapat kembali
dan haruskah manusia menebusnya?
Bagaimanapun,
Ishiguro adalah master ingatan yang memaksa pembaca terus terbayang dan mencari
jawaban.
8. The
Travelers – Regina Porter
Aku
tidak yakin jika semua orang akan menyukai novel ini. Aku menyebutnya novel
karena pada sampulnya mengatakan demikian, meski bagi pembaca lain akan
menyebutnya kumpulan cerpen. Tidak salah memang karena novel ini memiliki plot
yang rumit dan terputus-putus. Pada sisi lain, tidak ada pakem yang baku bahwa
novel harus linier.
Porter
mengemas cerita antar karakter dan waktu yang meloncat-loncat. Cukup
menyulitkan untuk memikirkan pengembangan cerita, namun aku malah menikmatinya.
Kita
akan disuguhi kehidupan beberapa keluarga yang berbeda warna kulit selama enam
dekade! Porter menyisakan kronologi yang melompat melalui para tokoh, waktu dan
tempat. Agak sumir untuk mendeskripsikan secara utuh. Misalkan, James Vincent
Jr. Yang berusia empat tahun bertanya pada ayah, “mengapa orang butuh tidur?”.
Sang ayah menjawab, “agar Tuhan dapat membuka semua hal yang telah dikacaukan
orang.” Beberapa puluh tahun kemudian, cucunya menanyakan hal yang sama pada
James Vincen Jr. Ia ragu dalam menjawab hingga akhirnya ia berkata, “Tidak ada
yang tahu. Tidur adalah misteri.”
Saga
beberapa keluarga antargenerasi ini sebenarnya memiliki jarak emosi pada tiap
adegan yang seharusnya menggetarkan. Semua tokoh pada novel ini dipengaruhi
berbagai pantulan dampak dari keputusan masa silam. Lantas, Porter mengemas
ceritanya dengan cerdik dan terkadang kocak, seperti pola jahitan yang acak.
Menariknya, ia membenturkan ilusi pilihan dan takdir.
9. Deaf
Republic – Ilya Kaminsky
Berangkat dari rasa kecewa pada beberapa terjemahan puisi Najwa
Zebian, “Bejana Pikiran” aku ingin membaca teks aslinya, “Mind Platter”. Pada situs belanja online aku menemukan nama
Kaminsky di daftar rekomendasi sejenis. Berdasarkan judul dan sampulnya nampak
sederhana dan menarik. Beberapa tahun belakangan aku kerap berhadapan dengan
ketulian manusia. Aku tertarik terhadap konsep ketulian model apa yang hendak
dibicarakan oleh Kaminsky dalam Deaf Republic. Dengan harga yang lumayan, tak
masalah karena mumpung ada.
And when they bombed other people’s houses, we
protested
but not enough, we opposed them but not
enough. I was
in my bed, around my bed America
was falling: invisible house by invisible house by invisible house.
I took a chair outside and watched the sun.
In the sixth month
of a disastrous reign in the house of money
in the street of money in the city of money in the country of money,
our great country of money, we (forgive us)
lived happily during the war.
(Ilya Kaminsky – We Lived Happily During
the War)
Puisi pembuka tersebut terlalu jelas untuk dihindari sebagai pesan
politis. Sebagai pengantar, We Lived
Happily During the War memberikan peringatan atas keterikatan tamsil pada
puisi-puisi selanjutnya. Kerumitan dalam keheningan membuat Kaminsky
mendefinisikan ketulian bukan dalam konteks mendengar. Ia mengajak kita
mengevaluasi bahasa dan budaya yang kita kenal. Ia memberikan proposisi yang
sebenarnya paradoks: ketulian sebagai bentuk perlawanan dan adegan puisi
pembuka telah membuat seluruh kota menjadi tuli. Paradoks kota dan ketulian semakin
kuat pada puisi On Silence,
The deaf don’t believe in silence. Silence is the invention of the hearing.
Lembar demi lembar puisi bergerak maju mengisahkan manusia dalam
krisis, juga penaklukan, penyerahan diri, kematian tragis, dan juga semangat. Deaf republic sebagai pusat metafora memaksaku
melihat lebih dekat dan mendesak dari yang kusadari sendiri. Warga kota yang
berhenti ‘bicara’ dan menggunakan bahasa isyarat membawa gagasan kedamaian yang
kerap relatif dan rapuh. Hal ini juga mengulik garis batas privat dan publik,
apakah garis itu benar-benar ada?
Pada konsep individualisme, konsep privat dan publik memiliki
garis tegas dan tebal. Paham ini membuat orang berpikir, jangan campuri urusan
pribadiku: “Apakah masalahku akan menjadi masalahmu?” Sebenarnya, konsep ini
tampak usang bagiku karena sejauh kutemui ada pertentangan dalam diri manusia yang
menganut paham ini sehingga di lain kesempatan ia akhirnya berkata, “seharusnya
masalahku adalah masalahmu.” Konsep garis batas inilah yang dituangkan Kaminsky
melalui narasi dan liris pada As Soldiers March, Alfonso Covers the Boy's Face
with a Newspaper:
...
Fourteen of us watch:
Sonya kisses his forehead—her shout a hole
torn in the sky, it shimmers the park benches, porch lights.
We see in Sonya’s open mouth
the nakedness
of a whole nation.
...
10. Steinbeck
– Kepada Ilah yang Tak Diketahui
Barangkali
jika aku membaca novel ini dalam kondisi normal, mungkin aku tak begitu
menyukainya. Akan tetapi, kondisi dan tema yang diangkat Steinbeck pada novel
ini begitu pas saat melihat berbagai kejadian aneh yang mendahuluinya.
Sebagai
mantan mahasiswa Universitas Stanford yang tak tuntas kuliahnya, Steinbeck menjadi
buruh selama menulis buku apalagi pada masa-masa depresi besar Amerika Serikat.
Hal itulah yang kemudian membuat karyanya begitu realistis dalam menggambarkan
kehidupan kaum buruh. Dari berbagai buku Steinbeck yang telah kubaca, novel ini
yang terasa aneh, bukan seperti Steinbeck yang kukenal.
Buku
ini menggambarkan bagaimana iman terhadap suatu hal terbentuk dan menyebar. Lantas
berbenturan dengan iman dan keyakinan yang telah mapan. Yang menarik, bagaimana
persepsi pada akhir novel memengaruhi rasa penasaran pembaca, siapa diantara
Joseph dan Bapa Angelo yang tindakannya telah mendatangkan hujan? Keduanya percaya
bahwa klaim mereka benar.
Steinbeck
seperti kebingungan dalam menyusun dialog sehingga terasa kaku. Selain itu,
tema yang diusung pun jauh berbeda: ritual mistis, spiritual, bercampur realis
dan simbol-simbol alam. Ia seperti bermain-main dan mencoba hal baru sehingga
aku perlu mencernanya secara pelan-pelan.
Setelah
kutelusuri novel ini terbit sebelum karya-karya monumental Steinbeck seperti
Dataran Tortila, Tikus dan Manusia, dan The Grapes of Wrath (dalam terjemahan bahasa Indonesia menjadi “Amarah”).
Aku jadi sedikit memahami dalam melihat buku ini sebagai karya eksperimental
Steinbeck dalam mencari karakter kepenulisannya. Aku membayangkan apa jadinya
bila ia menyerah dan pensiun dini dari kepenulisan? Akankah aku bisa menikmati
karyanya yang luar biasa itu? Atau kita tak akan melihat penyempurnaan gaya cerita
plastis Pramoedya yang mengidolakan Steinbeck.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny