Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Dec 23, 2019

10 Buku Terbaik Yang Kubaca Pada Tahun 2019 (Bag II - Habis)



Minggu lalu aku telah memposting bagian pertama. Setelah menyelesaikan tugas akhir tahun yang banyak menumpuk, akhirnya ada waktu luang untuk memposting bagian kedua. Inilah 10 buku terbaik yang kubaca pada tahun 2019 bagian kedua.

6. Empat Aku – Yudhi Herwibowo

Menikmati kumcer yang ditulis pada tahun yang berbeda tentu menyenangkan. Aku pun menikmati cerita-cerita dalam buku kumcer ini. Aku menikmati kisah yang berubah dari waktu ke waktu, variasi teknik penceritaan, juga obsesi penulis, dan tak lupa kisah-kisah lokalitas yang begitu dekat denganku. Cerita-cerita tutur di desa menjadi favoritku, seperti mengingatkanku pada tanah kelahiranku. Kampung rampok terasa begitu dekat. Penulis mengakhiri cerita dengan mengesankan:

Datanglah kalau kau berani!
            Singgahi kampungku, kampung rampok! Kampung yang kami sendiri takut untuk tinggal...

Start with a pisser, end with a pisser, begitulah kira-kira penulis mengisahkan ceritanya. Kisah “Tanah Kabut” terasa begitu intim dengan penulis. Kematian dan desa begitu lekat dengan cerita-cerita Yudhi. Akan sangat menarik bila menganalisisnya dalam kaca mata psikoanalisis, entah itu Freud, Jung, atau Lacan. Sayangnya, aku tak memiliki waktu untuk menuliskannya.

Ah, satu lagi cerita “Empat Aku” begitu familiar. Konsep watak ‘ganda’ manusia dalam dunia sastra telah mengalami evolusi sejak abad pertengahan hingga kini. Kapan-kapan aku ingin mendiskusikan ini lebih jauh.



7. Yang Terkubur – Kazuo Ishiguro

Pada novel ini Ishiguro ingin menegaskan posisinya dalam ranah sastra. Ia tak ingin dengan mudah dikenal karena kategorisasi dalam sastra layaknya penulis-penulis besar lain. Ia adalah sastrawan yang lembut sekaligus kompleks. Novel Yang Terkubur memiliki inti kompleksitas teka-teki filosfis dalam tema-tema personal yang mendalam.

Setelah berhari-hari dihantui oleh akhir cerita, Ishiguro mengharuskanku untuk membaca kembali novel ini. Pada pembacaan kedua, karakter, peristiwa dan juga motif lebih mudah dipahami tanpa meninggalkan kesan misterius kehidupan manusia.

Novel sastra (yang serius), ogre, dan naga sungguh langka berjalan beriringan. Itulah kesan pertamaku pada buku ini. Ogre dan naga lebih banyak kutemui dalam genre fantasi sebagai alat dongeng, terutama karya-karya yang terinspirasi oleh Tolkien.

Berbeda dengan George RR Martin yang dengan percaya diri memadukan plot intrik kekuasaan dengan fantasi ala Tolkien, Ishiguro mengeksplorasi tema-tema Shakespeare dengan dunia fantasi Tolkien. Bahkan aku menemukan sesosok yang menyerupai Don Quixote. Pengaruh sastra dalam prosa Ishigura begitu kuat, elegan, dan cemerlang.

Sulur-sulur kabut mendekam di pedesaaan yang damai, melupakan pembantaian yang mengerikan. Ishiguro dengan sabar mengawali kisah dengan latar sejarah Inggris dan Saxon yang misterius. Masa tua, amnesia, penderitaan, cinta, dan perang tertutup kabut fantasi. Barangkali dengan itulah Ishiguro membuat metafora, menampung mitos, dan alegori di sisi lain.

Pada dasarnya novel ini adalah petualangan pasangan lansia dalam narasi yang terkadang puitis dan terselimuti kabut melankolis. Sebagai seorang novelis, Ishiguro merupakan novelis yang melakukan pendekatan bahasa dan karakter yang cermat. Berulang kali Ia berusaha menekan dan menyembunyikan makna. Dengan penuh percaya diri, Ia telah menulis novel dengan berbagai jenis yang berbeda sehingga karya-karyanya memiliki kualitas yang baik.

Penulis yang mengambil latar sejarah kerap terjebak pada parodi dan klise, tetapi Ishiguro memiliki variasi cara tersendiri untuk mengatasinya. Ia tidak cukup berani memberikan jawaban dari suatu pertanyaan yang memberikan denyut nadi buku karena memiliki konsekuensi menghancurkan.

Dapatkah luka lama sembuh sementara belatung masih hidup begitu mewah? Apakah yang telah terlupakan dapat kembali dan haruskah manusia menebusnya?

Bagaimanapun, Ishiguro adalah master ingatan yang memaksa pembaca terus terbayang dan mencari jawaban.


8. The Travelers – Regina Porter

Aku tidak yakin jika semua orang akan menyukai novel ini. Aku menyebutnya novel karena pada sampulnya mengatakan demikian, meski bagi pembaca lain akan menyebutnya kumpulan cerpen. Tidak salah memang karena novel ini memiliki plot yang rumit dan terputus-putus. Pada sisi lain, tidak ada pakem yang baku bahwa novel harus linier.

Porter mengemas cerita antar karakter dan waktu yang meloncat-loncat. Cukup menyulitkan untuk memikirkan pengembangan cerita, namun aku malah menikmatinya.

Kita akan disuguhi kehidupan beberapa keluarga yang berbeda warna kulit selama enam dekade! Porter menyisakan kronologi yang melompat melalui para tokoh, waktu dan tempat. Agak sumir untuk mendeskripsikan secara utuh. Misalkan, James Vincent Jr. Yang berusia empat tahun bertanya pada ayah, “mengapa orang butuh tidur?”. Sang ayah menjawab, “agar Tuhan dapat membuka semua hal yang telah dikacaukan orang.” Beberapa puluh tahun kemudian, cucunya menanyakan hal yang sama pada James Vincen Jr. Ia ragu dalam menjawab hingga akhirnya ia berkata, “Tidak ada yang tahu. Tidur adalah misteri.”

Saga beberapa keluarga antargenerasi ini sebenarnya memiliki jarak emosi pada tiap adegan yang seharusnya menggetarkan. Semua tokoh pada novel ini dipengaruhi berbagai pantulan dampak dari keputusan masa silam. Lantas, Porter mengemas ceritanya dengan cerdik dan terkadang kocak, seperti pola jahitan yang acak. Menariknya, ia membenturkan ilusi pilihan dan takdir.



9. Deaf Republic – Ilya Kaminsky

Berangkat dari rasa kecewa pada beberapa terjemahan puisi Najwa Zebian, “Bejana Pikiran” aku ingin membaca teks aslinya, “Mind Platter”. Pada situs belanja online aku menemukan nama Kaminsky di daftar rekomendasi sejenis. Berdasarkan judul dan sampulnya nampak sederhana dan menarik. Beberapa tahun belakangan aku kerap berhadapan dengan ketulian manusia. Aku tertarik terhadap konsep ketulian model apa yang hendak dibicarakan oleh Kaminsky dalam Deaf Republic. Dengan harga yang lumayan, tak masalah karena mumpung ada.

And when they bombed other people’s houses, we

protested
but not enough, we opposed them but not

enough. I was
in my bed, around my bed America

was falling: invisible house by invisible house by invisible house.

I took a chair outside and watched the sun.

In the sixth month
of a disastrous reign in the house of money

in the street of money in the city of money in the country of money,
our great country of money, we (forgive us)

lived happily during the war.
(Ilya Kaminsky – We Lived Happily During the War)

Puisi pembuka tersebut terlalu jelas untuk dihindari sebagai pesan politis. Sebagai pengantar, We Lived Happily During the War memberikan peringatan atas keterikatan tamsil pada puisi-puisi selanjutnya. Kerumitan dalam keheningan membuat Kaminsky mendefinisikan ketulian bukan dalam konteks mendengar. Ia mengajak kita mengevaluasi bahasa dan budaya yang kita kenal. Ia memberikan proposisi yang sebenarnya paradoks: ketulian sebagai bentuk perlawanan dan adegan puisi pembuka telah membuat seluruh kota menjadi tuli. Paradoks kota dan ketulian semakin kuat pada puisi On Silence,

The deaf don’t believe in silence. Silence is the invention of the hearing.

Lembar demi lembar puisi bergerak maju mengisahkan manusia dalam krisis, juga penaklukan, penyerahan diri, kematian tragis, dan juga semangat. Deaf republic sebagai pusat metafora memaksaku melihat lebih dekat dan mendesak dari yang kusadari sendiri. Warga kota yang berhenti ‘bicara’ dan menggunakan bahasa isyarat membawa gagasan kedamaian yang kerap relatif dan rapuh. Hal ini juga mengulik garis batas privat dan publik, apakah garis itu benar-benar ada?

Pada konsep individualisme, konsep privat dan publik memiliki garis tegas dan tebal. Paham ini membuat orang berpikir, jangan campuri urusan pribadiku: “Apakah masalahku akan menjadi masalahmu?” Sebenarnya, konsep ini tampak usang bagiku karena sejauh kutemui ada pertentangan dalam diri manusia yang menganut paham ini sehingga di lain kesempatan ia akhirnya berkata, “seharusnya masalahku adalah masalahmu.” Konsep garis batas inilah yang dituangkan Kaminsky melalui narasi dan liris pada As Soldiers March, Alfonso Covers the Boy's Face with a Newspaper:
...
Fourteen of us watch:
Sonya kisses his forehead—her shout a hole

torn in the sky, it shimmers the park benches, porch lights.
We see in Sonya’s open mouth

the nakedness
of a whole nation.
 ...


10. Steinbeck – Kepada Ilah yang Tak Diketahui

Barangkali jika aku membaca novel ini dalam kondisi normal, mungkin aku tak begitu menyukainya. Akan tetapi, kondisi dan tema yang diangkat Steinbeck pada novel ini begitu pas saat melihat berbagai kejadian aneh yang mendahuluinya.

Sebagai mantan mahasiswa Universitas Stanford yang tak tuntas kuliahnya, Steinbeck menjadi buruh selama menulis buku apalagi pada masa-masa depresi besar Amerika Serikat. Hal itulah yang kemudian membuat karyanya begitu realistis dalam menggambarkan kehidupan kaum buruh. Dari berbagai buku Steinbeck yang telah kubaca, novel ini yang terasa aneh, bukan seperti Steinbeck yang kukenal.

Buku ini menggambarkan bagaimana iman terhadap suatu hal terbentuk dan menyebar. Lantas berbenturan dengan iman dan keyakinan yang telah mapan. Yang menarik, bagaimana persepsi pada akhir novel memengaruhi rasa penasaran pembaca, siapa diantara Joseph dan Bapa Angelo yang tindakannya telah mendatangkan hujan? Keduanya percaya bahwa klaim mereka benar.

Steinbeck seperti kebingungan dalam menyusun dialog sehingga terasa kaku. Selain itu, tema yang diusung pun jauh berbeda: ritual mistis, spiritual, bercampur realis dan simbol-simbol alam. Ia seperti bermain-main dan mencoba hal baru sehingga aku perlu mencernanya secara pelan-pelan.

Setelah kutelusuri novel ini terbit sebelum karya-karya monumental Steinbeck seperti Dataran Tortila, Tikus dan Manusia, dan The Grapes of Wrath (dalam terjemahan bahasa Indonesia menjadi “Amarah”). Aku jadi sedikit memahami dalam melihat buku ini sebagai karya eksperimental Steinbeck dalam mencari karakter kepenulisannya. Aku membayangkan apa jadinya bila ia menyerah dan pensiun dini dari kepenulisan? Akankah aku bisa menikmati karyanya yang luar biasa itu? Atau kita tak akan melihat penyempurnaan gaya cerita plastis Pramoedya yang mengidolakan Steinbeck.

1 comment:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete