Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Dec 9, 2019

10 Buku Terbaik Yang Kubaca Pada Tahun 2019 (Bag I)






Aku tahu akan lari ke mana. Cukup sekali aku berdoa untuk diriku sendiri. Allah bukan pelupa. Sekali saja aku egois dalam doa sehingga doa yang berulang hanya untuk selainku. Mereka lebih penting. Hal itulah yang membuatku berdoa berulang-ulang. Aku takut tak memenuhi syarat doa yang terkabulkan ketika mendoakan orang lain.
Aku bukan Musa A.S yang dapat berbicara langsung dengan Allah. Jadi, aku akan mengambil Al Qur’an untuk dibaca dan diresapi maknanya. Seharian aku merenunginya. Apabila belum cukup, aku perlu bertamasya dalam lautan buku. Aku sadar pada takdirku.
Begitulah caraku mengatasi keraguan yang menimpaku, musim-musim di tengah laut yang tak tentu. Melalui buku, tergambar berbagai peristiwa, suatu kesempatan lirih yang ditandai oleh keheningan dan fantasi. Buku seharusnya tidak memberikanku kemewahan seperti itu, apalagi di penghujung akhir tahun. Ditambah 2019 adalah tahun yang dimulai dengan kegilaan, keajaiban, antiklimaks politik, dan ketidakpastian.
Sekarang, aku bukan hendak memberitahukanmu buku yang harus kau baca. Pada kesempatan ini, aku hanya ingin membagikan 10 buku terbaik yang kubaca pada tahun ini. Banyak genre yang telah kubaca. Mulai dari sastra anak hingga kumpulan jurnal ilmiah. Intinya, daftar ini adalah buku yang kubaca pada tahun 2019, bukan yang terbit pada tahun ini.
Beberapa buku telah terbit bukan pada tahun 2019, namun aku baru membeli dan membacanya pada tahun ini. Rata-rata tersebut buku berbahasa inggris yang kubeli saat BBW, atau buku-buku puisi. Bahkan, oleh sebab alasan yang pernah aku utarakan pada kesempatan yang lain, aku membaca buku yang telah kubaca dengan versi terjemahan dan penerbit yang berbeda. Misalkan, Postmodern karya Lyotard, Candide-Voltaire, dan Don Quijote-Cervantes. Aku perlu membatasi diri dalam menyebutkannya agar tidak ketahuan bahwa waktuku ternyata begitu luang, terutama saat malam hari.
Memilih sepuluh buku terbaik yang kubaca pada tahun ini tak semudah mengkhayal. Aku harus jeli dalam melihat ke dalam diri mana buku yang terbaik. Ini bukan perkara kualitas universal, melainkan kebutuhan jasmani dan rohani. Bagi mayoritas orang, karya Mark Manson “Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” adalah karya yang bagus. Akan tetapi, saya lebih memilih Prophetic Parenting atau You Can’t Send a Duck to Eagle School. Tiap orang punya selera sendiri dan pada kondisi tertentu perlu buku yang berbeda.
Sebagai catatan, nomor pada buku tidak menunjukkan urutan. Tanpa banyak cakap, mari kita masuk reff.

1.    Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid – Ibnu Rusyd
Tahun ini saya memiliki tekad pribadi untuk memperdalam pemahaman tentang agama. Bukan dari segi filsafat, melainkan dari sisi alim ulama. Bukan tidak pernah, melainkan sangat jarang saya membaca kitab-kitab alim ulama. Apalagi setelah kematian guruku, saya perlu memperdalam dan menyegarkan kembali ajaran-ajaran beliau.
Saya mengenal Ibnu Rusyd dari perdebatannya dengan Imam Ghazali. Boleh dikatakan bahwa perdebatan mereka secara filosofi. Pada kitab ini, Rusyd melakukan perbandingan mazhab-mazhab, penelusuruan dalil nash, menguraikan alasan perbedaan pendapat, dan cara penentuan hukum. Suatu usaha yang tentunya butuh ketelatenan serta ketelitian untuk menggali kitab-kitab pokok tiap mazhab.
Secara fisik dan isi, kitab ini terasa berat bagi pemula. Sebagai orang hukum, buku ini begitu urgen karena membahas fiqh perbandingan mazhab-mazhab. Komentar-komentar yang diberikan oleh Rusyd pun memiliki nuansa bernas dan terkadang kocak. Misalkan, komentarnya perihal perdebatan istri lebih dari empat. Rasulullah diriwayatkan memiliki istri lebih dari empat, yaitu sembilan (ada yang menyebutnya sebelas). Hal ini kemudian menyebabkan ulama ada yang memiliki lebih dari empat istri. Dasarnya, penambahan dalam memahami ayat dari firman Allah: “dua, tiga, dan empat”. Rusyd menguraikan berbagai alasan atau sebab memiliki istri lebih dari empat, lalu komentarnya ditutup “pandangan yang menambahkan jumlah lebih menyerupai halusinasi, bukan pikiran.”
Pada sisi lain, buku ini membuatku banyak berpikir tentang hukum dan menguatkan argumentasiku terhadap berbagai hal. Namun, ada hal yang masih belum kutemukan jawaban pastinya untuk saat ini. Misal, mengapa dalam kasus pembunuhan hanya butuh dua saksi, sedangkan kasus perzinahan harus empat saksi? Mengapa suatu hal yang sifatnya berat hanya butuh dua saksi dibandingkan zina (yang dianggap sepele untuk masa kini) malah harus empat saksi? Apa rahasia Allah di balik hukum tersebut? Jawaban sementara dariku terkait hal ini adalah dampak duniawi turunan pembunuhan akan dianggap selesai bila pelaku mendapatkan hukuman setimpal atau membayar sejumlah diyat. Hal ini berbeda dengan zina yang efeknya tidak hanya kepada pelaku, melainkan pada orang-orang sekitar bahkan pada generasi berikutnya. Inilah yang membuat zina disebut sebagai hutang. Wallahu a’lam bish-shawabi.

2.    The Sound of Things Falling – Juan Gabriel Vasquez
Novel ini mengingatkanku pada pengalaman sepuluh tahun silam. Vasquez mencoba menyadarkan pembaca melalui kesadaran masa lalu sang tokoh. Yah, tiap orang punya masa silam yang beragam. Malah ada yang menguburnya meski itu menjadi beban dan nampak seperti telapak kaki yang bernanah. Membuat jalan si empunya terpincang-pincang dan membungkuk karena berat di punggungnya. Berandai, pura-pura lupa atau lari tak menyelesaikan masalah, manusia hanya perlu berbalik dan menyelesaikan masalahnya.
Vasquez mengajakku bertamasya batin dengan lanskap Kolombia. Ini seperti ziarah sejarah yang elegan. Melalui tema kejujuran dan kerahasian, saya dapat melihat hubungan diri dengan sejarah dan negara. Deskripsi tentang buku ini dapat dilihat pada link berikut.

3.    Kematian di Venesia – Thomas Mann
Gustav von Aschenbach, seorang penulis asal Jerman yang terkenal dan sukses, namun kesepian. Ia memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Venesia. Di kota tersebut, Aschenbach bertemu dengan Tadzio, bocah lelaki Polandia yang sedang berlibur dengan keluarganya.
Venesia, sebuah kota yang memiliki nuansa separuh dongeng dan setangahnya lagi perangkap wisata. Betapa langka dapat menikmati kemewahan dari suatu kesendirian dengan kecemasan yang berbalut kejeniusan. Mann benar-benar detail perihal emosi, bahkan sesuatu yang menurutku menjijikkan.
Mann lebih suka memberikan petunjuk apa yang terjadi terkait tokoh utamanya, alih-alih mengatakannya secara langsung. Corak ini yang membuat Kematian di Venesia begitu kaya interpretasi, terutama secara personal. Logika dan imajinasi kerap berbenturan dalam memaknai setiap adegan yang ada. Akan tetapi, kondisi ini bagiku begitu menyenangkan dan terasa aneh atau lebih tepatnya unik.
Idealisme Plato yang digambarkan Mann mengalami kegagalan. Aku banyak melihat hal ini di sekitarku. Betapa muda/mudi mudah berkhayal tentang cinta sejati hingga kemudian mereka sadar bahwa tindakan yang mereka melakukan berdasarkan nafsu. Seperti orang yang berpuasa bukan karena Allah, melainkan untuk tujuan tertentu. Dia matikan televisi, menghindari warung-warung. Ketika waktu berbuka, rakus dan buasnya minta ampun.

4.    Kekerasan dan Identitas – Amartya Sen
Bermula dari diskusi dengan seorang kolega yang bingung karena “direkomendasikan” pembimbingnya untuk menggali pemikiran Amar Yasen. What? Aku belum mengenal tokoh tersebut dan meminta waktu untuk memahami pemikirannya. Kala itu, aku membatin begitu jauhnya diri ini tertinggal terhadap pemikiran-pemikiran tokoh hukum kontemporer.
Aku mencarinya di mesin pencari nama tersebut. Tidak ketemu. Aku mencari namanya beserta teorinya juga tidak ketemu. Semua mengarah pada Amar Yasin dan Amartya Sen. Kuhubungi yang bersangkutan untuk klarifikasi dan memang benar, aku salah menulis nama: Amartya Sen.
Ada rasa lega tatkala tahu bahwa Sen adalah seorang ekonom, peraih nobel ekonomi. Suatu bidang yang sangat jarang kubaca literaturnya. Jadi, aku masih tidak tertinggal terkait tokoh hukum kontemporer.
Kecelakaan bersejarah tersebut membawaku pada buku ini. Hal ini berbarengan dengan kasus di asrama Papua dan merembet pada kerusuhan di pulau Papua. Tentunya, kasus tersebut semakin menarik bila ditelaah melalui kacamata dalam buku ini.
Latar Belakang sen yang unik mengawali buku ini. Ketika berumur sebelas tahun dia melihat seorang buruh harian muslim yang dibunuh warga Hindu pada suatu kerusuhan Hindu-Muslim di India. Buruh itu tak punya pilihan, dia harus memberi makan keluarganya yang kelaparan meski telah dilarang oleh istrinya. Kejadian itu bagi Sen tidak hanya traumatis, melainkan juga membingungkan.
Bagi seorang bocah yang kebingungan, kekerasan identitas sangat sulit dipahami bahkan orang dewasa sekalipun. Sen kemudian menyalahkan teori identitas soliter dan menganggap pandangan tersebut berbahaya. Sen juga mengkritik penggunaan teori Huntington dalam buku Benturan antar Peradaban untuk perang melawan terorisme, suatu tindakan yang malah memperkuat persepsi umat Islam untuk anti barat.
Identitas merupakan suatu hal yang melekat, tetapi sementara sekaligus rapuh. Suatu waktu kamu beragama A dan kemudian berpindah agama B. Suatu hari menikah dengan suku A, lantas mencoba mencintai suku tersebut. Seseorang tidak mau dikatakan sebagai kelompok A karena persepsi yang melekat pada kelompok tersebut. Seperti dalam pandangan Sen, manusia pada dasarnya memiliki multi identitas, bukan identitas tunggal.
Apakah ini benar-benar kesalahan intelektual sebagaimana dikatakan Sen? Hal ini terasa sederhana bagiku. Identitas menurutku hanya salah satu faktor kecil munculnya kekerasan atau kekejaman (lihat tulisan tentang kekerasan ala Zizek). Rasa takut, kebingungan, keputusasaan, kesemerawutan, sifat kejam alamiah manusia tidak akan mudah hilang dengan model terapi konseptual Sen.
Aku senang membaca buku ini karena setelah sekian lama menemukan anti tesis dari Samuel Huntington. Akan tetapi, Sen entah lupa atau sebutlah gagal dalam menjawab bagaimana suatu bangsa modern (tolong pisahkan konsep bangsa dan negara) dapat muncul dan harga yang ditimbulkan dari pengorbanan sebuah bangsa. Belum lagi suatu bangsa yang berperang melawan bangsanya sendiri.

5.    Tuan Presiden – Miguel Angel Asturias
Novel-novel kediktatoran mudah ditemui dalam literatur Amerika Latin. Setidaknya, aku mengingat karya Gabo Autumn of the Patriarch dan juga The Feast of the Goat milik Llosa. Sejarah panjang Amerika Latin melahirkan berbagai bentuk diktator. Wajar saja bila hal tersebut kerap menjadi tema sentral dalam suatu karya sastra.
Aku merasakan humor dalam kegelapan dan juga kecerdasan Asturias dalam penggambaran adegan yang begitu kuat. Banyaknya subplot dan karakter minor membuatku perlu memberikan perhatian lebih. Hal ini kulakukan guna memahami benturan realitas dan fiksi yang melatar belakangi kisah dalam novel, diktator, kekuasaan, dan politik. Asturias ingin menegaskan bahwa kediktatoran seorang penguasa tidak menjamin siapa pun menjadi aman. Tema yang memberikan ketegangan dan ketakutan bagi karakternya, pun kepada pembacanya.
Pada struktur sosial seperti ini, moralitas dan etika tak nampak abu-abu. Hanya ada hitam dan putih. Tinggal pilih yang mana, mengkhianati atau dikhianati. Menipu atau ditipu. Tinggal memilih.
Menjelang anti klimaks politik negeri ini, membaca Asturias jadi lebih terasa menggetarkan luar dan dalam. Di dalam imaji Asturias menghantui dan di luar ada perdebatan seru pilpres. Semacam lanjutan dari pertarungan politik tahun 2014 yang cukup membelah negara ini. Terasa janggal apabila sila Persatuan Indonesia dimaknai sebagai koalisi. Yah, koalisi yang berpotensi mengarah pada oligarki. Melihat kondisi tersebut, aku ditenangkan oleh seorang kawan dengan mengatakan “masih ada mahasiswa”. Sayangnya, lagi-lagi saya dibuat kecewa. Gerakan tersebut bersumbu pendek dan kurangnya kajian mendalam. Kini dan beberapa waktu mendatang masih menunggu dagelan macam apalagi yang menanti.

Minggu depan Insya Allah akan kulanjutkan kembali lima buku. Masih ada kumcer, kumpulan puisi, dan novel.



1 comment:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete