Aku tahu akan lari ke mana. Cukup sekali
aku berdoa untuk diriku sendiri. Allah bukan pelupa. Sekali saja aku egois
dalam doa sehingga doa yang berulang hanya untuk selainku. Mereka lebih
penting. Hal itulah yang membuatku berdoa berulang-ulang. Aku takut tak
memenuhi syarat doa yang terkabulkan ketika mendoakan orang lain.
Aku bukan Musa A.S yang dapat berbicara langsung dengan Allah. Jadi, aku akan mengambil Al Qur’an untuk dibaca dan diresapi maknanya. Seharian aku merenunginya. Apabila belum cukup, aku perlu bertamasya dalam lautan buku. Aku sadar pada takdirku.
Aku bukan Musa A.S yang dapat berbicara langsung dengan Allah. Jadi, aku akan mengambil Al Qur’an untuk dibaca dan diresapi maknanya. Seharian aku merenunginya. Apabila belum cukup, aku perlu bertamasya dalam lautan buku. Aku sadar pada takdirku.
Begitulah
caraku mengatasi keraguan yang menimpaku, musim-musim di tengah laut yang tak
tentu. Melalui buku, tergambar berbagai peristiwa, suatu kesempatan lirih yang
ditandai oleh keheningan dan fantasi. Buku seharusnya tidak memberikanku
kemewahan seperti itu, apalagi di penghujung akhir tahun. Ditambah 2019 adalah tahun
yang dimulai dengan kegilaan, keajaiban, antiklimaks politik, dan
ketidakpastian.
Sekarang,
aku bukan hendak memberitahukanmu buku yang harus kau baca. Pada kesempatan
ini, aku hanya ingin membagikan 10 buku terbaik yang kubaca pada tahun ini. Banyak
genre yang telah kubaca. Mulai dari sastra anak hingga kumpulan jurnal ilmiah.
Intinya, daftar ini adalah buku yang kubaca pada tahun 2019, bukan yang terbit
pada tahun ini.
Beberapa buku telah terbit bukan pada
tahun 2019, namun aku baru membeli dan membacanya pada tahun ini. Rata-rata
tersebut buku berbahasa inggris yang kubeli saat BBW, atau buku-buku puisi.
Bahkan, oleh sebab alasan yang pernah aku utarakan pada kesempatan yang lain,
aku membaca buku yang telah kubaca dengan versi terjemahan dan penerbit yang
berbeda. Misalkan, Postmodern karya Lyotard, Candide-Voltaire, dan Don
Quijote-Cervantes. Aku perlu membatasi diri dalam menyebutkannya agar tidak
ketahuan bahwa waktuku ternyata begitu luang, terutama saat malam hari.
Memilih sepuluh buku terbaik yang kubaca
pada tahun ini tak semudah mengkhayal. Aku harus jeli dalam melihat ke dalam
diri mana buku yang terbaik. Ini bukan perkara kualitas universal, melainkan
kebutuhan jasmani dan rohani. Bagi mayoritas orang, karya Mark Manson “Sebuah
Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” adalah karya yang bagus. Akan tetapi, saya lebih
memilih Prophetic Parenting atau You Can’t Send a Duck to Eagle School.
Tiap orang punya selera sendiri dan pada kondisi tertentu perlu buku yang
berbeda.
Sebagai
catatan, nomor pada buku tidak menunjukkan urutan. Tanpa banyak cakap, mari
kita masuk reff.
1.
Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid – Ibnu Rusyd
Tahun ini saya memiliki tekad
pribadi untuk memperdalam pemahaman tentang agama. Bukan dari segi filsafat,
melainkan dari sisi alim ulama. Bukan tidak pernah, melainkan sangat jarang
saya membaca kitab-kitab alim ulama. Apalagi setelah kematian guruku, saya
perlu memperdalam dan menyegarkan kembali ajaran-ajaran beliau.
Saya mengenal Ibnu Rusyd dari
perdebatannya dengan Imam Ghazali. Boleh dikatakan bahwa perdebatan mereka
secara filosofi. Pada kitab ini, Rusyd melakukan perbandingan mazhab-mazhab,
penelusuruan dalil nash, menguraikan alasan perbedaan pendapat, dan cara
penentuan hukum. Suatu usaha yang tentunya butuh ketelatenan serta ketelitian
untuk menggali kitab-kitab pokok tiap mazhab.
Secara fisik dan isi, kitab ini
terasa berat bagi pemula. Sebagai orang hukum, buku ini begitu urgen karena
membahas fiqh perbandingan mazhab-mazhab. Komentar-komentar yang diberikan oleh
Rusyd pun memiliki nuansa bernas dan terkadang kocak. Misalkan, komentarnya
perihal perdebatan istri lebih dari empat. Rasulullah diriwayatkan memiliki
istri lebih dari empat, yaitu sembilan (ada yang menyebutnya sebelas). Hal ini
kemudian menyebabkan ulama ada yang memiliki lebih dari empat istri. Dasarnya,
penambahan dalam memahami ayat dari firman Allah: “dua, tiga, dan empat”. Rusyd
menguraikan berbagai alasan atau sebab memiliki istri lebih dari empat, lalu
komentarnya ditutup “pandangan yang menambahkan jumlah lebih menyerupai
halusinasi, bukan pikiran.”
Pada sisi lain, buku ini membuatku
banyak berpikir tentang hukum dan menguatkan argumentasiku terhadap berbagai
hal. Namun, ada hal yang masih belum kutemukan jawaban pastinya untuk saat ini.
Misal, mengapa dalam kasus pembunuhan hanya butuh dua saksi, sedangkan kasus
perzinahan harus empat saksi? Mengapa suatu hal yang sifatnya berat hanya butuh
dua saksi dibandingkan zina (yang dianggap sepele untuk masa kini) malah harus
empat saksi? Apa rahasia Allah di balik hukum tersebut? Jawaban sementara
dariku terkait hal ini adalah dampak duniawi turunan pembunuhan akan dianggap
selesai bila pelaku mendapatkan hukuman setimpal atau membayar sejumlah diyat.
Hal ini berbeda dengan zina yang efeknya tidak hanya kepada pelaku, melainkan
pada orang-orang sekitar bahkan pada generasi berikutnya. Inilah yang membuat
zina disebut sebagai hutang. Wallahu
a’lam bish-shawabi.
2.
The
Sound of Things Falling – Juan Gabriel Vasquez
Novel ini
mengingatkanku pada pengalaman sepuluh tahun silam. Vasquez mencoba menyadarkan
pembaca melalui kesadaran masa lalu sang tokoh. Yah, tiap orang punya masa
silam yang beragam. Malah ada yang menguburnya meski itu menjadi beban dan
nampak seperti telapak kaki yang bernanah. Membuat jalan si empunya
terpincang-pincang dan membungkuk karena berat di punggungnya. Berandai,
pura-pura lupa atau lari tak menyelesaikan masalah, manusia hanya perlu
berbalik dan menyelesaikan masalahnya.
Vasquez mengajakku
bertamasya batin dengan lanskap Kolombia. Ini seperti ziarah sejarah yang
elegan. Melalui tema kejujuran dan kerahasian, saya dapat melihat hubungan diri
dengan sejarah dan negara. Deskripsi tentang buku ini dapat dilihat pada link berikut.
3.
Kematian
di Venesia – Thomas Mann
Gustav von Aschenbach,
seorang penulis asal Jerman yang terkenal dan sukses, namun kesepian. Ia
memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Venesia. Di kota tersebut, Aschenbach
bertemu dengan Tadzio, bocah lelaki Polandia yang sedang berlibur dengan
keluarganya.
Venesia, sebuah kota
yang memiliki nuansa separuh dongeng dan setangahnya lagi perangkap wisata.
Betapa langka dapat menikmati kemewahan dari suatu kesendirian dengan kecemasan
yang berbalut kejeniusan. Mann benar-benar detail perihal emosi, bahkan sesuatu
yang menurutku menjijikkan.
Mann lebih suka
memberikan petunjuk apa yang terjadi terkait tokoh utamanya, alih-alih
mengatakannya secara langsung. Corak ini yang membuat Kematian di Venesia
begitu kaya interpretasi, terutama secara personal. Logika dan imajinasi kerap
berbenturan dalam memaknai setiap adegan yang ada. Akan tetapi, kondisi ini
bagiku begitu menyenangkan dan terasa aneh atau lebih tepatnya unik.
Idealisme Plato yang
digambarkan Mann mengalami kegagalan. Aku banyak melihat hal ini di sekitarku.
Betapa muda/mudi mudah berkhayal tentang cinta sejati hingga kemudian mereka
sadar bahwa tindakan yang mereka melakukan berdasarkan nafsu. Seperti orang yang
berpuasa bukan karena Allah, melainkan untuk tujuan tertentu. Dia matikan
televisi, menghindari warung-warung. Ketika waktu berbuka, rakus dan buasnya
minta ampun.
4.
Kekerasan
dan Identitas – Amartya Sen
Bermula dari diskusi
dengan seorang kolega yang bingung karena “direkomendasikan” pembimbingnya
untuk menggali pemikiran Amar Yasen. What?
Aku belum mengenal tokoh tersebut dan meminta waktu untuk memahami
pemikirannya. Kala itu, aku membatin begitu jauhnya diri ini tertinggal
terhadap pemikiran-pemikiran tokoh hukum kontemporer.
Aku mencarinya di mesin
pencari nama tersebut. Tidak ketemu. Aku mencari namanya beserta teorinya juga
tidak ketemu. Semua mengarah pada Amar Yasin dan Amartya Sen. Kuhubungi yang
bersangkutan untuk klarifikasi dan memang benar, aku salah menulis nama:
Amartya Sen.
Ada rasa lega tatkala
tahu bahwa Sen adalah seorang ekonom, peraih nobel ekonomi. Suatu bidang yang
sangat jarang kubaca literaturnya. Jadi, aku masih tidak tertinggal terkait
tokoh hukum kontemporer.
Kecelakaan bersejarah
tersebut membawaku pada buku ini. Hal ini berbarengan dengan kasus di asrama
Papua dan merembet pada kerusuhan di pulau Papua. Tentunya, kasus tersebut
semakin menarik bila ditelaah melalui kacamata dalam buku ini.
Latar Belakang sen yang
unik mengawali buku ini. Ketika berumur sebelas tahun dia melihat seorang buruh
harian muslim yang dibunuh warga Hindu pada suatu kerusuhan Hindu-Muslim di
India. Buruh itu tak punya pilihan, dia harus memberi makan keluarganya yang
kelaparan meski telah dilarang oleh istrinya. Kejadian itu bagi Sen tidak hanya
traumatis, melainkan juga membingungkan.
Bagi seorang bocah yang
kebingungan, kekerasan identitas sangat sulit dipahami bahkan orang dewasa
sekalipun. Sen kemudian menyalahkan teori identitas soliter dan menganggap
pandangan tersebut berbahaya. Sen juga mengkritik penggunaan teori Huntington
dalam buku Benturan antar Peradaban untuk perang melawan terorisme, suatu
tindakan yang malah memperkuat persepsi umat Islam untuk anti barat.
Identitas merupakan
suatu hal yang melekat, tetapi sementara sekaligus rapuh. Suatu waktu kamu
beragama A dan kemudian berpindah agama B. Suatu hari menikah dengan suku A,
lantas mencoba mencintai suku tersebut. Seseorang tidak mau dikatakan sebagai
kelompok A karena persepsi yang melekat pada kelompok tersebut. Seperti dalam
pandangan Sen, manusia pada dasarnya memiliki multi identitas, bukan identitas
tunggal.
Apakah ini benar-benar
kesalahan intelektual sebagaimana dikatakan Sen? Hal ini terasa sederhana
bagiku. Identitas menurutku hanya salah satu faktor kecil munculnya kekerasan
atau kekejaman (lihat tulisan tentang kekerasan ala Zizek). Rasa takut, kebingungan, keputusasaan, kesemerawutan, sifat
kejam alamiah manusia tidak akan mudah hilang dengan model terapi konseptual
Sen.
Aku senang membaca buku
ini karena setelah sekian lama menemukan anti tesis dari Samuel Huntington.
Akan tetapi, Sen entah lupa atau sebutlah gagal dalam menjawab bagaimana suatu
bangsa modern (tolong pisahkan konsep bangsa dan negara) dapat muncul dan harga
yang ditimbulkan dari pengorbanan sebuah bangsa. Belum lagi suatu bangsa yang
berperang melawan bangsanya sendiri.
5.
Tuan
Presiden – Miguel Angel Asturias
Novel-novel
kediktatoran mudah ditemui dalam literatur Amerika Latin. Setidaknya, aku
mengingat karya Gabo Autumn of the
Patriarch dan juga The Feast of the
Goat milik Llosa. Sejarah panjang Amerika Latin melahirkan berbagai bentuk
diktator. Wajar saja bila hal tersebut kerap menjadi tema sentral dalam suatu
karya sastra.
Aku merasakan humor
dalam kegelapan dan juga kecerdasan Asturias dalam penggambaran adegan yang
begitu kuat. Banyaknya subplot dan karakter minor membuatku perlu memberikan
perhatian lebih. Hal ini kulakukan guna memahami benturan realitas dan fiksi
yang melatar belakangi kisah dalam novel, diktator, kekuasaan, dan politik. Asturias
ingin menegaskan bahwa kediktatoran seorang penguasa tidak menjamin siapa pun
menjadi aman. Tema yang memberikan ketegangan dan ketakutan bagi karakternya,
pun kepada pembacanya.
Pada struktur sosial
seperti ini, moralitas dan etika tak nampak abu-abu. Hanya ada hitam dan putih.
Tinggal pilih yang mana, mengkhianati atau dikhianati. Menipu atau ditipu. Tinggal
memilih.
Menjelang anti klimaks
politik negeri ini, membaca Asturias jadi lebih terasa menggetarkan luar dan
dalam. Di dalam imaji Asturias menghantui dan di luar ada perdebatan seru
pilpres. Semacam lanjutan dari pertarungan politik tahun 2014 yang cukup
membelah negara ini. Terasa janggal apabila sila Persatuan Indonesia dimaknai
sebagai koalisi. Yah, koalisi yang berpotensi mengarah pada oligarki. Melihat kondisi
tersebut, aku ditenangkan oleh seorang kawan dengan mengatakan “masih ada
mahasiswa”. Sayangnya, lagi-lagi saya dibuat kecewa. Gerakan tersebut bersumbu
pendek dan kurangnya kajian mendalam. Kini dan beberapa waktu mendatang masih
menunggu dagelan macam apalagi yang menanti.
Minggu depan Insya
Allah akan kulanjutkan kembali lima buku. Masih ada kumcer, kumpulan puisi, dan
novel.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny