Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Dec 15, 2019

Jalan Becek, Gang Buntu V






Pada dunia yang serba permisif, kata maaf seperti diskon akhir tahun. Ribuan hutan sengaja dibabat. Setelah memeroleh keuntungan, sang pelaku memohon maaf. Apakah kita akan memaafkannya? Tentu kita maafkan, namun apakah hutan akan kembali hijau dalam hitungan hari? Tidak. Butuh bertahun-tahun atau mungkin ratusan tahun.

Di meja sebelah, aku mendengarkan penuturan maaf sekelompok muda-mudi. Aku mengapresiasi keberanian mereka meminta maaf secara langsung karena kini banyak yang lebih suka melakukannya secara tidak langsung, melalui aplikasi pesan misalnya.

Salah satu dari muda-mudi itu berkisah. Ia telah meminjamkan tugas kelompoknya pada seorang teman dekat yang katanya “hanya ingin melihat”. Akan tetapi, sang teman malah menyalin persis tugas tersebut dan mengumpulkannya dengan anggapan “tidak akan diperiksa.” Kenyataannya, anggapan tersebut keliru. Kepercayaan sang teman telah dikhianati, dan justru merugikan kedua kelompok. Akhirnya, nilai dua kelompok tadi jeblok.

Aku yang pura-pura tak mendengarkan lantas diajak bicara oleh sang pemberi nilai. “Saya ingin memberikan pelajaran bagi kedua kelompok itu. Keduanya sama-sama salah.” Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Secara garis besar aku paham maksud beliau.

Pada dunia yang sudah serba permisif, manusia ingin serba instan dan meremehkan. Bagiku sendiri dunia semacam ini begitu membuatku kerepotan. Perubahan dan gap yang lebar mengharuskan memberikan batas saat berkompromi dan saat harus tegas. Bagi generasi saat ini tentu tak mudah dengan munculnya berbagai kemudahan yang mereka rasakan sejak lahir. Namun, kolega meja sebelahku ingin memberikan pembelajaran melalui pola kearifan berharga yang tak begitu asing bagiku. Keputusannya terlihat tidak adil dan cenderung kurang manusiawi.

Ungkapan Dworkin cukup mewakili, “no person should profit from his own wrong”. Seseorang tak boleh mendapatkan keuntungan dari kesalahannya. Pasti kalian bertanya, lalu mengapa yang lain kena imbasnya?

Ingatlah kisah seorang kekasih Allah (dalam beberapa riwayat disebutkan adalah Musa A.S) yang mempertanyakan azab yang menimpa seluruh kaumnya. “Yang maksiat hanya beberapa, mengapa malah semua yang terkena azab?” Pertanyaan tersebut terus bergema dalam benaknya hingga Ia tertidur di bawah pohon. Ia terbangun dan marah kepada semut yang telah menggigit dan mengganggu tidurnya. Saking murkanya, Ia bakar sarang semut beserta pohonnya. Sejurus kemudian, Ia menyadari jawaban atas pertanyaannya. Ia sadar telah berlaku kurang ajar terlalu banyak mempertanyakan yang bukan kewenangannya. Ia juga sudah tahu cara memperbaikinya dan agar tak terulang kembali: kepedulian dan saling menasihati.

Aku kembali dari perenungan dan mengawali tulisan ini dari kutipan pada sebuah esai Montaigne: apabila seseorang biasa bicara dan jarang menulis, itu artinya kemampuannya terletak pada tempat dari mana ia memperolehnya, dan bukan dalam dirinya sendiri.
***
7 Desember tahun ini merupakan hari akhir wuku Watugunung dan 8 Desember menjadi hari pertama wuku Sinta pada kalender Pawukon. Watugunung dan Sinta memiliki kisah yang menarik. Mereka adalah ibu dan anak yang dipisahkan oleh waktu dan agama. Jangan melihat hal ini sebagai pelanggaran HAM. Tolong. Mereka dipisahkan karena telah melakukan pelanggaran meski dasarnya menurutmu adalah cinta. Watugunung dan Sinta melakukan inses atau incest.

Kisah percintaan ibu dan anak begitu familiar dalam kisah rakyat Nusantara. Selain cerita Watugunung dan Sinta, barangkali pernah mendengar kisah Sangkuriang dan dayang Sumbi. Pada tataran dunia, Oedipus lebih dikenal dibanding kedua kisah tadi. Saking terkenalnya Oedipus, Freud menamakan salah satu tahapan psikoseksual anak-anak dengan nama Oedipus Complex. Meskipun sama-sama memiliki latar kisah tentang inses, namun ketiga cerita memiliki akhir yang benar-benar berbeda.

Tragedi Oedipus Rex oleh Sophocles mungkin lebih terkenal, tetapi menurutku kisah Watugunung dan Sangkuriang memiliki penyelesaian yang berbeda dan menarik. Padahal, dari hal tersebut kita dapat melihat solusi yang ditawarkan dalam suatu konflik. Untuk melihat kearifan dalam suatu kisah atau karya sastra, aku teringat Goethe. Sastra dalam sudut pandang Goethe begitu rumit sehingga perlu dipahami dan dihayati dengan serius. Goethe percaya bahwa sastra, baik itu belle letters maupun literature, merupakan dunia pemikiran maka mempelajari sastra sama halnya mempelajari filsafat. Sastra dalam filsafat bisa kita nikmati pada karya Dialog-nya Plato. Filsafat dalam sastra dapat dilihat melalui Orang Asing milik Camus atau Nausea karya Sartre. Anehnya, aku kerap menemui pecinta sastra seperti alergi terhadap filsafat.

Konflik yang dialami Watugunung berakhir dengan suatu kesadarannya untuk berpisah dengan sang ibu. Ia mengalah untuk kalah dari Wisnu yang berubah menjadi penyu setelah tahu telah melakukan perbuatan terlarang. Pengetahuan tersebut memunculkan kesadaran bahwa perbuatannya selama ini telah salah: membunuh ayah, meniduri ibu. Pencerahan Watugunung sangat berbeda dengan Oedipus yang memilih membutakan diri dan pergi berkelana bersama anaknya, Antigone. Katarsis dalam kisah Watugunung muncul ketika pembaca memasuki fase kesadaran Watugunung dan kutukan terhadap perbuatannya, sedangkan pada kisah Oedipus katarsis muncul ketika ia tersingkir dan mati.

Sangkuriang? Kisah ini begitu unik. Kesadaran dayang Sumbi tak diimbangi oleh Sangkuriang. Alih-alih sadar, ia murka hingga menendang perahu dan membuat perahu tersebut menjadi gunung. Akhir cerita begitu menggantung, dayang Sumbi menjadi bunga Jaksi dan Sangkuriang menghilang. Walau tak memiliki solusi dalam konflik, kita dapat mengambil hikmah dari kisah Sangkuriang.

Pola pendekatan penyelesaian masalah dari ketiga kisah tersebut berbeda. Watugunung memilih pendekatan ritual dan spiritual, Oedipus condong pada pencarian makna setelah merasa kehilangan semua arti hidup (membutakan diri dan berkelana). Sedangkan pada kisah Sangkuriang, menurutku sangat khas Indonesia. Seperti pendapat Kuntowijoyo bahwa masyarakat Indonesia cenderung menghindari konflik sehingga masalah yang sebenarnya dapat terselesaikan malah tidak terselesaikan. Efeknya, masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, menurutku masalah tersebut tidak akan hilang. Ia akan tersimpan sampai generasi-generasi berikutnya membentuk watak generasi berikutnya. Sejatinya, permasalahan tersebut menunggu untuk diselesaikan.

Aku pun teringat hari penghakiman Allah yang menyelesaikan permasalahan yang tak tuntas di dunia. Inilah yang membuatku enggan lari dari permasalahan yang menghimpit.

1 comment:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete