Pada dunia yang serba permisif, kata maaf
seperti diskon akhir tahun. Ribuan hutan sengaja dibabat. Setelah memeroleh
keuntungan, sang pelaku memohon maaf. Apakah kita akan memaafkannya? Tentu kita
maafkan, namun apakah hutan akan kembali hijau dalam hitungan hari? Tidak.
Butuh bertahun-tahun atau mungkin ratusan tahun.
Di meja sebelah, aku mendengarkan penuturan
maaf sekelompok muda-mudi. Aku mengapresiasi keberanian mereka meminta maaf
secara langsung karena kini banyak yang lebih suka melakukannya secara tidak
langsung, melalui aplikasi pesan misalnya.
Salah satu dari muda-mudi itu berkisah. Ia
telah meminjamkan tugas kelompoknya pada seorang teman dekat yang katanya
“hanya ingin melihat”. Akan tetapi, sang teman malah menyalin persis tugas
tersebut dan mengumpulkannya dengan anggapan “tidak akan diperiksa.”
Kenyataannya, anggapan tersebut keliru. Kepercayaan sang teman telah
dikhianati, dan justru merugikan kedua kelompok. Akhirnya, nilai dua kelompok
tadi jeblok.
Aku yang pura-pura tak mendengarkan lantas
diajak bicara oleh sang pemberi nilai. “Saya ingin memberikan pelajaran bagi
kedua kelompok itu. Keduanya sama-sama salah.” Aku hanya mengangguk dan
tersenyum. Secara garis besar aku paham maksud beliau.
Pada dunia yang sudah serba permisif, manusia
ingin serba instan dan meremehkan. Bagiku sendiri dunia semacam ini begitu
membuatku kerepotan. Perubahan dan gap yang lebar mengharuskan memberikan batas
saat berkompromi dan saat harus tegas. Bagi generasi saat ini tentu tak mudah
dengan munculnya berbagai kemudahan yang mereka rasakan sejak lahir. Namun,
kolega meja sebelahku ingin memberikan pembelajaran melalui pola kearifan
berharga yang tak begitu asing bagiku. Keputusannya terlihat tidak adil dan
cenderung kurang manusiawi.
Ungkapan Dworkin cukup mewakili, “no person should profit from his own wrong”.
Seseorang tak boleh mendapatkan keuntungan dari kesalahannya. Pasti kalian
bertanya, lalu mengapa yang lain kena imbasnya?
Ingatlah kisah seorang kekasih Allah (dalam
beberapa riwayat disebutkan adalah Musa A.S) yang mempertanyakan azab yang
menimpa seluruh kaumnya. “Yang maksiat hanya beberapa, mengapa malah semua yang
terkena azab?” Pertanyaan tersebut terus bergema dalam benaknya hingga Ia tertidur
di bawah pohon. Ia terbangun dan marah kepada semut yang telah menggigit dan
mengganggu tidurnya. Saking murkanya, Ia bakar sarang semut beserta pohonnya.
Sejurus kemudian, Ia menyadari jawaban atas pertanyaannya. Ia sadar telah
berlaku kurang ajar terlalu banyak mempertanyakan yang bukan kewenangannya. Ia
juga sudah tahu cara memperbaikinya dan agar tak terulang kembali: kepedulian
dan saling menasihati.
Aku kembali dari perenungan dan mengawali
tulisan ini dari kutipan pada sebuah esai Montaigne: apabila seseorang biasa bicara dan jarang menulis, itu artinya
kemampuannya terletak pada tempat dari mana ia memperolehnya, dan bukan dalam
dirinya sendiri.
***
7 Desember tahun ini merupakan hari akhir
wuku Watugunung dan 8 Desember menjadi hari pertama wuku Sinta pada kalender
Pawukon. Watugunung dan Sinta memiliki kisah yang menarik. Mereka adalah ibu
dan anak yang dipisahkan oleh waktu dan agama. Jangan melihat hal ini sebagai
pelanggaran HAM. Tolong. Mereka dipisahkan karena telah melakukan pelanggaran meski
dasarnya menurutmu adalah cinta. Watugunung dan Sinta melakukan inses atau
incest.
Kisah percintaan ibu dan anak begitu familiar
dalam kisah rakyat Nusantara. Selain cerita Watugunung dan Sinta, barangkali
pernah mendengar kisah Sangkuriang dan dayang Sumbi. Pada tataran dunia,
Oedipus lebih dikenal dibanding kedua kisah tadi. Saking terkenalnya Oedipus,
Freud menamakan salah satu tahapan psikoseksual anak-anak dengan nama Oedipus Complex. Meskipun sama-sama
memiliki latar kisah tentang inses, namun ketiga cerita memiliki akhir yang
benar-benar berbeda.
Tragedi Oedipus
Rex oleh Sophocles mungkin lebih terkenal, tetapi menurutku kisah
Watugunung dan Sangkuriang memiliki penyelesaian yang berbeda dan menarik.
Padahal, dari hal tersebut kita dapat melihat solusi yang ditawarkan dalam
suatu konflik. Untuk melihat kearifan dalam suatu kisah atau karya sastra, aku
teringat Goethe. Sastra dalam sudut pandang Goethe begitu rumit sehingga perlu
dipahami dan dihayati dengan serius. Goethe percaya bahwa sastra, baik itu belle letters maupun literature, merupakan dunia pemikiran
maka mempelajari sastra sama halnya mempelajari filsafat. Sastra dalam filsafat
bisa kita nikmati pada karya Dialog-nya Plato. Filsafat dalam sastra dapat
dilihat melalui Orang Asing milik Camus
atau Nausea karya Sartre. Anehnya,
aku kerap menemui pecinta sastra seperti alergi terhadap filsafat.
Konflik yang dialami Watugunung berakhir
dengan suatu kesadarannya untuk berpisah dengan sang ibu. Ia mengalah untuk
kalah dari Wisnu yang berubah menjadi penyu setelah tahu telah melakukan
perbuatan terlarang. Pengetahuan tersebut memunculkan kesadaran bahwa
perbuatannya selama ini telah salah: membunuh ayah, meniduri ibu. Pencerahan
Watugunung sangat berbeda dengan Oedipus yang memilih membutakan diri dan pergi
berkelana bersama anaknya, Antigone. Katarsis dalam kisah Watugunung muncul
ketika pembaca memasuki fase kesadaran Watugunung dan kutukan terhadap
perbuatannya, sedangkan pada kisah Oedipus katarsis muncul ketika ia tersingkir
dan mati.
Sangkuriang? Kisah ini begitu unik. Kesadaran
dayang Sumbi tak diimbangi oleh Sangkuriang. Alih-alih sadar, ia murka hingga menendang
perahu dan membuat perahu tersebut menjadi gunung. Akhir cerita begitu
menggantung, dayang Sumbi menjadi bunga Jaksi dan Sangkuriang menghilang. Walau
tak memiliki solusi dalam konflik, kita dapat mengambil hikmah dari kisah
Sangkuriang.
Pola pendekatan penyelesaian masalah dari
ketiga kisah tersebut berbeda. Watugunung memilih pendekatan ritual dan
spiritual, Oedipus condong pada pencarian makna setelah merasa kehilangan semua
arti hidup (membutakan diri dan berkelana). Sedangkan pada kisah Sangkuriang,
menurutku sangat khas Indonesia. Seperti pendapat Kuntowijoyo bahwa masyarakat
Indonesia cenderung menghindari konflik sehingga masalah yang sebenarnya dapat
terselesaikan malah tidak terselesaikan. Efeknya, masalah tersebut dibiarkan
berlarut-larut dan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, menurutku masalah
tersebut tidak akan hilang. Ia akan tersimpan sampai generasi-generasi berikutnya
membentuk watak generasi berikutnya. Sejatinya, permasalahan tersebut menunggu
untuk diselesaikan.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny