Sebelum polemik busana santai
Pak Nadiem, ada pengalaman unik akhir-akhir ini. Aku masih ingat betul siang tanggal 30 November 2019. Kulihat juri
peradilan semu tampak terkantuk-kantuk. Aku pun demikian. Suasana sedikit
berubah ketika seorang saksi perempuan masuk ruang sidang. Ia memakai baju
terusan berwarna putih. Pakaiannya agak semrawang dan di atas lutut. Aku
tertarik pada respon majelis hakim dari tim yang bertanding. Oh, ternyata bukan
bagian dari eksplorasi persidangan.
Usai penilaian aku penasaran
dan bertanya pada sang Hakim yang ikut serta melihat. Menurut sang Hakim,
pakaian tersebut tidak memenuhi standar etika dan kesopanan di pengadilan. Aku
pun lega karena sempat menyangsikan perihal etika dan kesopanan pakaian di
pengadilan. Aku masih ingat penjelasan
seorang dosen bertahun-tahun silam, pelanggaran etika dan kesopanan pakaian bisa
masuk dalam contempt of court.
Problemnya, etika kesopanan dalam berpakaian memiliki standar yang berbeda
untuk masa kini. Akan tetapi, ternyata hal tersebut tidak berubah di dalam
pengadilan. Tidak ada yang berani bermain-main dalam suatu persidangan. Ketukan
palu hakim dapat menentukan nasib ke depan seorang manusia, sedangkan yang lain
hendak menganggap hal demikian main-main? MK sampai membuat aturan yang ketat
perihal ini, bahkan hingga perlu menayangkan hal tersebut di layar LCD besar.
***
Ruang akademik memang cair.
Tergantung suasana dan forum yang dikehendaki. Berbagai pendapat pun beragam.
Yang mendukung rerata adalah kalangan muda-mudi atau merasa masih muda-mudi.
Yang menolak mensakralkan ruang akademik dan jabatan yang melekat dalam diri
seseorang. Aku? Aku tidak berada dalam kondisi mendukung dan menolak. Hal yang
terpenting adalah agar kedua belah pihak tidak asing terhadap busana seseorang
yang dipakai berdasarkan keyakinan agamanya. Pakai cadar dikritik, menggunakan
pakaian biksu dikritik, mengenakan busana biarawati dikritik pula. Barangkali
yang mengkritik menginginkan yang bersangkutan untuk telanjang saja.
Aku teringat seorang feminis
yang heran ketika muslimah Perancis berdemo untuk menyuarakan hak untuk
bercadar. Di Perancis bercadar itu dilarang, bahkan dikenai denda. Dalam dunia
barat, cadar dilihat sebagai simbol pengekangan perempuan. Pada ruang
materialis, tuntutan hak unutk bercadar tentunya tidak masuk akal karena hanya
berguna untuk menyenangkan Tuhan. Tuhan bagi mereka hanya semacam ilusi atau candu.
Daripada aku terjebak pada
perdebatan dengan hati dan otak batu semacam itu, lebih baik kutinggal menonton
film The Irishman. Selama tiga setengah
jam aku khidmat menonton kehidupan para gangster. Aku sedikit menggerutu karena
melihat durasi film yang panjang. Akan tetapi, tidak sia-sia waktuku
menontonnya. Film ini sajian mewah akhir tahun dalam bidang sinema. Melalui pendekatan
yang berbeda, the Irishman nyaris
sempurna sebagai sebuah film. Ternyata, Martin Scorsese sutradaranya.
Apabila kamu mengikuti
perdebatan panas antara sineas Hollywood, pasti akan mafhum dengan nama Martin
Scorsese. Yah, ketika akhir-akhir ini Disney memulai proyek remake film animasi menjadi live-action, Marvel telah memulai proyek
ambisiusnya dengan film Iron Man. Satu dekade ini kita digempur oleh MCU dan Avengers: Endgame sebagai penutup fase (lihat di sini). Aku
pun menikmati itu semua. Lalu Scorsese muncul untuk memulai polemik dan
kemudian diikuti oleh Coppola. “That’s
not cinema,” ujar Scorsese pada Empire Magazine. Scorsese sadar ucapannya telah
membelah para sineas, Ia tidak tinggal diam sehingga perlu menguraikan pendapatnya
secara khusus dalam kolom opini di New York
Times.
Gagasan dan visi Scorsese
makin tampak jelas ketika kalian menonton The
Irishman. Setelah mengkritik MCU, Scorsese seperti ingin mengatakan “Begini
lho film yang sebenarnya itu.” Penggemar
Marvel pun akan terdiam melihat karya terbaru Scorsese. Butuh waktu
bertahun-tahun bagi MCU untuk membuat penonton merasakan melankolis super hero,
tapi tiga setengah jam sudah cukup bagi Scorsese. Perlu diakui bahwa omong
besar Scorsese sejalan dengan karya yang dihasilkan. Setiap orang yang paham
film akan bersepakat jika The Irishman
layak mendapatkan nominasi Oscar. Sayangnya, satu-satunya hal yang menghambat
Scorsese untuk meraih banyak nominasi Oscar adalah mulut besarnya sendiri. Kita
hanya perlu menunggu tahun depan.
***
Jam telah menunjukkan dini
hari. Sebuah berita lawas mampir di beranda browser android “article suggestions”. Berita-berita
lawas yang sebenarnya tidak kupedulikan. Akhirnya, aku berhenti pada sebuah
berita terkait anak pengacara kondang yang blak-blakan tentang perceraiannya
dengan seorang Hafidz. Secara jujur Ia mengakui tidak ta’aruf, melainkan
pacaran. Suatu bentuk kebohongan kepada seluruh negeri yang ia tutupi selama
ini dan baru bisa dibuka. Aku meneteskan air mata membaca berita tersebut. Air mata
itu seperti kelegaan. Berulang kali batinku berkata, “Teoriku benar. Teoriku
benar. Teori yang selama ini kuyakini benar.” Selama ini aku yakin bahwa niat
baik, proses salah maka hasilnya pun tidak baik. Pada sisi lain, aku pun
teringat guruku bahwa ulama atau orang alim bercerai itu bukan aib sambil
memberikan contoh-contohnya di masa lalu. Apalagi jika memiliki mobilitas
tinggi, sedangkan istri tidak menghendaki. Maka daripada itulah, dulu aku
diwanti-wanti mencari pendamping yang memiliki tingkat pengertian terhadap
perjuangan suami.
Lantas, bagaimana jika hal
tersebut dibalut dengan kebohongan? Allah lebih suka kejujuran dibandingkan
kebohongan. Allah memang woles sehingga membuat banyak manusia terlena dan
menggampangkan, namun perlu diingat pula azab-Nya pun begitu pedih. Pagi itu
aku dibuat merinding mengingat petuahnya.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny