Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Mar 16, 2019

Catatan Si Pemalas #9



Pekan ini diriku agak kepayahan. Akan tetapi, berkat hal itu membuat tubuhku dapat memanjakan diri dengan menonton film-film yang belum sempat kutonton. Ada yang bagus dan beberapa biasa saja. Sejenak kutaruh kisah-kisah yang sempat mampir dari orang-orang lama yang tak sengaja jumpa. Aku menyimak kisah itu sembari sesekali menimpali iya atau yang dalam era saat ini dilihat sebagai bentuk kesopanan dan tentunya aku perlu menyembunyikan kondisi yang kurang fit. Menurutku, itu bukan sebagai bentuk kesopanan melainkan sebagai sebuah kewajiban menjalankan perintah Allah untuk menjawab bila ada yang bertanya, termasuk pesan chat. Makanya, aku hanya cengar-cengir jika bermunculan meme yang berisi keluhan karena cuma di-read doang. 

Lanjut...

Tampilan Mortal Engines lumayan memanjakan mata meski yah ceritanya tak begitu istimewa dengan latar belakang apocalyptic. Dari cerita yang biasa itu ada kalimat yang menggelitik terkait perang enam puluh menit, “mengapa masyarakat yang begitu maju dan sangat ilmiah dapat sangat bodoh?” Hal ini kontradiktif dengan pertanyaan yang sering kudengar, “mengapa Indonesia yang terkenal religius tidak dapat maju?” atau di lain kesempatan “sering melakukan hal-hal buruk (korupsi dll)”.

Kemajuan dan beradab terdengar seperti sinonim, tapi ada kalanya itu antonim kalau indikator kemajuan adalah teknologi, jumlah gedung, dan kekayaan. Aku lebih sering melihat betapa kemajuan menoleransi kemaksiatan. Ada kalimat al-Haddad yang begitu membekas tentang persoalan ini, “jika ada orang toleran terhadap maksiat, maka ia rela Allah dihina di muka bumi.”

Di tengah kepungan toleransi semacam ini, ada rasa takut melukai. Sampai sekarang aku menyakini bahwa keberadaanku bukan untuk saat ini, melainkan untuk orang-orang yang belum lahir. Keyakinan itu tumbuh dan setelah melihat konsep logika kenabian (nubuwwah) yang sering kupraktikkan kerap berbenturan dengan logika dunia. Meskipun demikian, diriku masih enjoy, cocok dan aman sehingga akan tetap kujalankan sampai mati.

Pada sisi lain, logika ini melahirkan misi yang menuntut tanggungjawab yang besar dan berat. Orang-orang yang menjegal atau menghalangi misi itu kerap berakhir dengan kondisi batin yang menyedihkan. Sayangnya, aku tidak berani protes pada Allah layaknya nabi Musa AS. Aku hanya dapat mendoakan dan seringnya setelah mereka mengakui telah menghalangi atau menjegal terkait misi-misi itu.

Setelah beberapa film, kepalaku agak pusing dengan sistem menonton maraton, terlebih film Aquaman membuatku sedikit jengkel dengan salah satu akting aktornya. Diriku belum siap sepenuhnya saat melihat peran Dafoe. Padahal, sebelumnya aku menikmati perannya dalam beberapa film lainnya.

Lagu-lagu Keane yang kuputar untuk mengobati kecewa justru membuatku larut dan malas di kasur.  Kata-kata “love” atau “cinta” terdengar banal di telinga. Apakah ini implikasi pasar yang memonopoli kata tersebut sehingga terdengar banal dan vulgar? Ataukah konsumen yang telah menghendaki kata itu menjadi demikian? Aku ingat sebuah penelitian orang Jepang yang menyebutkan kata suki desu membuat muda-mudi kehilangan keperawanannya dibandingkan ai shiteru yang sudah pasaran.

No comments:

Post a Comment