Pekan ini diriku
agak kepayahan. Akan tetapi, berkat hal itu membuat tubuhku dapat memanjakan
diri dengan menonton film-film yang belum sempat kutonton. Ada yang bagus dan
beberapa biasa saja. Sejenak kutaruh kisah-kisah yang sempat mampir dari
orang-orang lama yang tak sengaja jumpa. Aku menyimak kisah itu sembari
sesekali menimpali iya atau yang dalam era saat ini dilihat sebagai
bentuk kesopanan dan tentunya aku perlu menyembunyikan kondisi yang kurang fit.
Menurutku, itu bukan sebagai bentuk kesopanan melainkan sebagai sebuah
kewajiban menjalankan perintah Allah untuk menjawab bila ada yang bertanya,
termasuk pesan chat. Makanya, aku
hanya cengar-cengir jika bermunculan meme yang berisi keluhan karena cuma di-read doang.
Lanjut...
Tampilan Mortal Engines lumayan memanjakan mata
meski yah ceritanya tak begitu istimewa dengan latar belakang apocalyptic. Dari
cerita yang biasa itu ada kalimat yang menggelitik terkait perang enam puluh
menit, “mengapa masyarakat yang begitu maju dan sangat ilmiah dapat sangat
bodoh?” Hal ini kontradiktif dengan pertanyaan yang sering kudengar, “mengapa
Indonesia yang terkenal religius tidak dapat maju?” atau di lain kesempatan
“sering melakukan hal-hal buruk (korupsi dll)”.
Kemajuan dan
beradab terdengar seperti sinonim, tapi ada kalanya itu antonim kalau indikator
kemajuan adalah teknologi, jumlah gedung, dan kekayaan. Aku lebih sering
melihat betapa kemajuan menoleransi kemaksiatan. Ada kalimat al-Haddad yang
begitu membekas tentang persoalan ini, “jika ada orang toleran terhadap
maksiat, maka ia rela Allah dihina di muka bumi.”
Di tengah
kepungan toleransi semacam ini, ada rasa takut melukai. Sampai sekarang aku
menyakini bahwa keberadaanku bukan untuk saat ini, melainkan untuk orang-orang
yang belum lahir. Keyakinan itu tumbuh dan setelah melihat konsep logika
kenabian (nubuwwah) yang sering
kupraktikkan kerap berbenturan dengan logika dunia. Meskipun demikian, diriku
masih enjoy, cocok dan aman sehingga
akan tetap kujalankan sampai mati.
Pada sisi lain,
logika ini melahirkan misi yang menuntut tanggungjawab yang besar dan berat.
Orang-orang yang menjegal atau menghalangi misi itu kerap berakhir dengan
kondisi batin yang menyedihkan. Sayangnya, aku tidak berani protes pada Allah
layaknya nabi Musa AS. Aku hanya dapat mendoakan dan seringnya setelah mereka
mengakui telah menghalangi atau menjegal terkait misi-misi itu.
Setelah beberapa
film, kepalaku agak pusing dengan sistem menonton maraton, terlebih film
Aquaman membuatku sedikit jengkel dengan salah satu akting aktornya. Diriku
belum siap sepenuhnya saat melihat peran Dafoe. Padahal, sebelumnya aku
menikmati perannya dalam beberapa film lainnya.
Lagu-lagu Keane yang kuputar untuk mengobati kecewa
justru membuatku larut dan malas di kasur.
Kata-kata “love” atau “cinta” terdengar banal di telinga. Apakah ini
implikasi pasar yang memonopoli kata tersebut sehingga terdengar banal dan
vulgar? Ataukah konsumen yang telah menghendaki kata itu menjadi demikian? Aku
ingat sebuah penelitian orang Jepang yang menyebutkan kata suki desu membuat muda-mudi kehilangan keperawanannya dibandingkan ai shiteru yang sudah pasaran.
No comments:
Post a Comment