Keringatku belum kering betul setelah
berjingkrak-jingkrak di ruang karaoke. Kunikmati dini hari jalan-jalan sebuah
kota yang sebenarnya tidak begitu asing bagiku. Aku lepaskan lelah dan suntuk
dengan bersandar malas di sebuah kursi yang tak begitu nyaman diduduki.
Rinai-rinai turun membasahi ingatanku.
Pagi tadi kudapat kabar bila
bocil berkelamin lelaki. Banyak orangtua terkadang menghendaki anaknya berjenis
kelamin tertentu. Aku pun demikian. Ada sedikit keinginan memiliki anak lelaki
tetapi aku tak terlalu muluk-muluk. Asalkan bayi itu lahir sehat dan menjadi
anak yang sholeh sudah cukup. Kemudian semua kukembalikan pada Allah. Hal ini berangkat
dari sebuah kesadaran bahwa ada sesuatu yang sifatnya hanya tawakal, tidak ada
ikhtiar di dalamnya. Ada hak-hak prerogatif Allah yang tidak satu pun makhluk
mengetahui secara pasti dan mencampurinya. Kiamat, ajal, dan alam rahim adalah
buktinya. Kita hanya diberi tahu tanda dan gejalanya.
Kabar itu kupandang sebagai tanda
dari jawaban doa-doa, dan sekaligus bukti bahwa beberapa tindakanku
dikehendaki oleh Allah SWT, insya Allah.
Meskipun demikan, saya masih menunggu jawaban doa-doa yang lain untuk
mengganti beberapa kegagalanku dalam menjalankan misi. Sepenuhnya, aku mafhum
harus memulai kembali dari nol.
Kulihat air-air jatuh dari
langit. Satu per satu seperti bulir-bulir padi. Air itu selalu jujur. Ia
bergerak dan berinteraksi sesuai aturan-aturan Allah. Walau jujur, ia juga
rentan. Ia menjadi panas jika dipanaskan, dingin jika didinginkan. Berubah
warna bila tercampur zat lain. Cair dan
fleksibel. Ia dapat sangat bermanfaat, tetapi bisa menjadi sangat beracun.
Tergantung cara kita memperlakukan air.
Bagi yang lain, nol sekadar angka
tak berharga. Namun, bagiku nol ialah mula tempatku berpijak dan memantapkan
diri untuk melangkah agar terhindar dari minus. Pernahkah kamu melihat dunia
runtuh beserta isinya? Dan tersisa dirimu seorang diri di dunia itu. Pada saat
itulah aku memutuskan kembali dalam posisi nol, menjadi abel (anak gembel)
lagi.
Tentunya, hal itu tak mudah.
Berdasarkan penglamanku ada hukum-hukum tak tertulis dalam setiap perjuangan untuk
melangkah menuju angka satu. Sampai kapan pun dan di mana pun, tiap rumpun
perjuangan tak hanya melahirkan pahlawan, tetapi juga pengkhianat. Aku pun
harus bersiap lagi dalam hal ini.
Seperti siklus: berjalan,
mengumpulkan, membangun, bersebarangan, dibohongi, ditikam, sekarat, ditinggalkan,
runtuh, merasa gagal, bangkit dan kembali berjalan. Seorang Bugis Wajo yang tak
kukenal menasihatiku untuk berisitirahat saja karena diriku sudah penuh luka
karena si penyebab luka itu sampai mati tak akan tenang dan terus kesusahan. Temanku
yang menerjemahkan ucapannya tak begitu paham maksudnya, tapi kini aku sedikit
mengerti setelah melihat orang-orang yang pernah membohongi, menikam, atau
meninggalkanku. Aku hanya dapat mendoakan karena mereka juga bagian dari
hidupku, tapi sekali lagi segala sesuatu ada hak prerogatif Allah.
Sore tadi, Anis mengirimkan sebuah
video undangan pernikahan. Setelah dua tahun mengawalnya agar bisa berubah akhirnya
salah satu misiku hampir selesai.
Begitulah sejarah perjuangan, tiap orang ada masanya
dan tiap masa ada orangnya.
No comments:
Post a Comment