Apa yang menjemukan dari sebuah
kota besar? Betul, macet. Untungnya, kemacetan yang kulalui melewati sungai
Rolak, Gunung Sari yang lumayan menghibur mata. Setidak-tidaknya saya dapat sedikit
memainkan imajinasi di sungai yang berwarna coklat itu.
Di tengah kemacetan saat jam
pulang kantor muncul robot Godzila yang membuyarkan motor dan mobil. Lalu di
bawah tol Karah, Kong yang asyik berendam merasa terusik ikut-ikutan ngamuk. Sial,
efek Spielberg.
Malam sebelumnya saya menonton Ready Player One karya sutradara kawakan
itu. Film yang mencampur berbagai budaya populer ke dalam suatu tampilan yang
wah. Aku tentu tak pernah membayangkan motor PX-03 dari anime Akira
hancur oleh si Kong yang turun dari tower. Atau Mechagodzilla yang bertarung dengan robot legendaris Gundam RX-78 dan Iron Giant. Spielberg dengan cerdas dan rapi memainkan berbagai
wahana budaya pop ke dalam sebuah film. Sangat cocok untuk manusia yang stres
saat melihat keranjang pakaian yang menggunung.
Tak ada Godzilla atau Kong yang
saya temui di sungai itu. Adakalanya saya menemukan orang melarung sesaji di
sana. Tak sering dan biasanya malam. Tiap orang dan tempat mungkin memaknai hal
itu secara berbeda. Dalam budaya populer di Jepang, persembahan sangat penting
untuk seorang dewa. Anime Noragami
barangkali dapat menjadi representasi akan hal ini. Seorang dewa jika
kehilangan penyembah atau yang berdoa untuknya, maka dia akan hilang karena
terlupakan. Jauh sebelum Noragami, Neil Gaiman dengan sangat unik dan keren
mengisahkan hal serupa: pertarungan dewa lama dengan dewa baru di tanah
Amerika. Engkau akan terasa merinding bagaimana kubu Odin dan dewa-dewa dalam
mitologi melawan Dewa Dunia dan Dewi Media. Yah semua hanya fiksi, dan seperti
kata Gaiman dalam bukunya American Gods “Fiksi membantu kita menyelinap
ke dalam kepala-kepala lain, tempat-tempat lain, dan melihat keluar melalui
mata yang lain.” Baik Yato maupun Odin tentu mengalami hal yang menyakitkan.
Dulunya dipuja kemudian dilupakan sehingga memiliki obsesinya sendiri.
Aku bersyukur karena tidak hidup dalam pemahaman yang demikian. Dalam
pemahamanku Allah tidak melihat orangnya, melainkan perbuatannya. Amal kebaikan
akan terus mengalir selama dia memberikan contoh yang baik, begitu pun
kemaksiatan dan keburukan. Keduanya akan terus menggelinding bahkan setelah
kematiannya. Pandangan ini kudasarkan pada hadist tentang putra pertama Adam
tetap akan tetap menanggung dosa setiap jiwa yang terbunuh secara zalim.
Begitu menyedihkan menjadi dewa yang mengemis untuk dipuja. Aku lebih
memilih tak dikenal, tetapi amal baik terus mengalir bahkan setelah kematianku.
No comments:
Post a Comment