Sabtu malam ialah waktu paling
kutunggu. Ada aroma udara kebebasan, tentu saja asap mengepul yang meliuk dan
menari. Tetapi, sejak minggu pertama diriku hanya mampu mengisap enam batang
dalam sekali duduk. Barangkali ini efek samping dari karantina yang seluruh
luas wilayah kantor beberapa hektar itu sebagai area bebas asap rokok.
Kawan-kawanku dibuat heran karena
aku lebih memilih duduk di warkop dibandingkan menghabiskan akhir pekan dengan
jalan-jalan. Duduk dan menghisap jisamsu cukuplah menghiburku. Kapan lagi aku
dapat duduk dan mengetik dengan tenang? Setidaknya untuk menulis catatan ini.
Beberapa waktu silam ada kawan yang
bertanya tentang alasan judulnya, ‘si pemalas’. Mungkin karena saya menulisnya
dengan malas dan ringan-ringan saja. Saat
ini aku lelah untuk menulis hal-hal serius. Pendapatku itu kemudian dibantah
bahwa tulisan yang serius dapat berguna bagi pembaca. Aku terkekeh karena
maksud catatan ini bukan diambil manfaatnya untuk khalayak. Aku tahu. Aku tahu Al-bidayah wan-Nihayah, apa yang salah
di awal, akan salah di akhir. Bahkan doa yang sifatnya duniawi akan membawa
banyak jin-jin ikut masuk dalam tubuh. Jadi, tak ada niat khusus untuk catatan yang
sifatnya personal ini, semua lillahi ta’ala. Apa pun yang kulihat, kurasa,
kupikirkan di sekitarku dan kutemukan lantas kutulis. Tak ada yang istimewa di
dalamnya, kecuali Allah berkehendak lain.
Ah, karena sifat malasku itu
muncul ingatan sebuah perdebatan yang terjadi di dalam kamar kos. “Sekuat apa pun
dirimu berusaha kelihatan bodoh, tak menonjol, serta tak peduli perdebatan di
dalam kelas, kau akan terusik dan akan muncul momen itu,” sergah seorang kawan yang kini telah menjadi bapak. Ia tidak sekadar bicara, tapi juga memberi bukti. Lalu ia
berkisah bagaimana aku mendapatkan nilai tertinggi di dalam kelas atau menjadi
penengah saat perdebatan panas kerap terjadi, meski dalam sudut pandangku hanya
mengutarakan hal yang kuketahui dan kupikirkan.
Setelah kudalami ucapan temanku itu
ada benarnya juga. Aku kerap terusik pada sebuah perdebatan dan berusaha untuk
menguraikannya. Mungkin ini kulakukan secara tak sadar yang berasal dari
pemahamanku bahwa orang alim (berilmu) harus menunjukkan kealimannya, falyudhiril ‘alim ilmahu. Takut juga
diriku bila menyembunyikan kebenaran ilmu terlebih ayat-ayat Allah karena bila demikian
akan mendapatkan laknat, wa illa
fa’alaihi la’natullahi walmalaikati wannasi ajma’in. Ngeri euy... kapan-kapan aku ingin membahas
ini lebih dalam, tapi jangan sekarang. Aku sedang asyik memerhatikan ibu dan
dua anak itu.
Aku memerhatikan si ibu sedang
memarahi anaknya yang lebih tua, sebut saja si sulung. Si sulung nampaknya
membela diri, ia tidak mau disalahkan karena si adik bertindak sendiri. Si adik
terlihat tidak mengerti apa yang terjadi sehingga dia hanya berdiri dan diam.
Tangis si adik pecah saat si sulung memukulnya karena kesal telah dimarahi si
ibu. Spontan si ibu mencubit si sulung. Kedua kakak-beradik itu menangis dan
akhirnya si ibu memarahi keduanya.
Aku tidak tahu musabab perkara
itu. Obrolan mereka tidak begitu jelas karena aku tidak tahu bahasa lokal di
sini. Senyumku tersungging melihat mereka. Aku teringat waktu kecil pernah
mengalaminya pula. Mungkin kita pernah mengalami rasa marah dan merasa tidak
adil ketika orangtua memarahi kita karena perbuatan atau kesalahan adik.
Orangtua sering marah bila si kakak tidak menasihati atau memberikan contoh
yang tidak baik pada si adik. Akan tetapi, seingatku kala itu, aku seperti
cemburu tanpa alasan. Saya sepakat dengan Ben Jelloun bahwa cemburu muncul dari
fakta sederhana bahwa ada orang lain, yakni adikku.
Setelah dewasa aku menjadi
mengerti alasan mereka memarahi kita sebagai si kakak. Yah, ada tanggungjawab kakak untuk menjaga dan menjadi teladan bagi
si adik. Pada satu sisi orangtua juga ingin mengajari si kakak mengenai
tanggungjawab yang diembannya. Bukan lagi cemburu, tetapi pada tanggungjawab
yang lebih besar. Ajaran inilah yang kupegang hingga kini.
No comments:
Post a Comment