Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Mar 16, 2019

Catatan Si Pemalas #8





Sabtu malam ialah waktu paling kutunggu. Ada aroma udara kebebasan, tentu saja asap mengepul yang meliuk dan menari. Tetapi, sejak minggu pertama diriku hanya mampu mengisap enam batang dalam sekali duduk. Barangkali ini efek samping dari karantina yang seluruh luas wilayah kantor beberapa hektar itu sebagai area bebas asap rokok.

Kawan-kawanku dibuat heran karena aku lebih memilih duduk di warkop dibandingkan menghabiskan akhir pekan dengan jalan-jalan. Duduk dan menghisap jisamsu cukuplah menghiburku. Kapan lagi aku dapat duduk dan mengetik dengan tenang? Setidaknya untuk menulis catatan ini.

Beberapa waktu silam ada kawan yang bertanya tentang alasan judulnya, ‘si pemalas’. Mungkin karena saya menulisnya dengan malas dan ringan-ringan saja.  Saat ini aku lelah untuk menulis hal-hal serius. Pendapatku itu kemudian dibantah bahwa tulisan yang serius dapat berguna bagi pembaca. Aku terkekeh karena maksud catatan ini bukan diambil manfaatnya untuk khalayak. Aku tahu. Aku tahu Al-bidayah wan-Nihayah, apa yang salah di awal, akan salah di akhir. Bahkan doa yang sifatnya duniawi akan membawa banyak jin-jin ikut masuk dalam tubuh. Jadi, tak ada niat khusus untuk catatan yang sifatnya personal ini, semua lillahi ta’ala. Apa pun yang kulihat, kurasa, kupikirkan di sekitarku dan kutemukan lantas kutulis. Tak ada yang istimewa di dalamnya, kecuali Allah berkehendak lain.

Ah, karena sifat malasku itu muncul ingatan sebuah perdebatan yang terjadi di dalam kamar kos. “Sekuat apa pun dirimu berusaha kelihatan bodoh, tak menonjol, serta tak peduli perdebatan di dalam kelas, kau akan terusik dan akan muncul momen itu,” sergah seorang kawan yang kini telah menjadi bapak. Ia tidak sekadar bicara, tapi juga memberi bukti. Lalu ia berkisah bagaimana aku mendapatkan nilai tertinggi di dalam kelas atau menjadi penengah saat perdebatan panas kerap terjadi, meski dalam sudut pandangku hanya mengutarakan hal yang kuketahui dan kupikirkan.

Setelah kudalami ucapan temanku itu ada benarnya juga. Aku kerap terusik pada sebuah perdebatan dan berusaha untuk menguraikannya. Mungkin ini kulakukan secara tak sadar yang berasal dari pemahamanku bahwa orang alim (berilmu) harus menunjukkan kealimannya, falyudhiril ‘alim ilmahu. Takut juga diriku bila menyembunyikan kebenaran ilmu terlebih ayat-ayat Allah karena bila demikian akan mendapatkan laknat, wa illa fa’alaihi la’natullahi walmalaikati wannasi ajma’in. Ngeri euy... kapan-kapan aku ingin membahas ini lebih dalam, tapi jangan sekarang. Aku sedang asyik memerhatikan ibu dan dua anak itu.

Aku memerhatikan si ibu sedang memarahi anaknya yang lebih tua, sebut saja si sulung. Si sulung nampaknya membela diri, ia tidak mau disalahkan karena si adik bertindak sendiri. Si adik terlihat tidak mengerti apa yang terjadi sehingga dia hanya berdiri dan diam. Tangis si adik pecah saat si sulung memukulnya karena kesal telah dimarahi si ibu. Spontan si ibu mencubit si sulung. Kedua kakak-beradik itu menangis dan akhirnya si ibu memarahi keduanya.

Aku tidak tahu musabab perkara itu. Obrolan mereka tidak begitu jelas karena aku tidak tahu bahasa lokal di sini. Senyumku tersungging melihat mereka. Aku teringat waktu kecil pernah mengalaminya pula. Mungkin kita pernah mengalami rasa marah dan merasa tidak adil ketika orangtua memarahi kita karena perbuatan atau kesalahan adik. Orangtua sering marah bila si kakak tidak menasihati atau memberikan contoh yang tidak baik pada si adik. Akan tetapi, seingatku kala itu, aku seperti cemburu tanpa alasan. Saya sepakat dengan Ben Jelloun bahwa cemburu muncul dari fakta sederhana bahwa ada orang lain, yakni adikku.

Setelah dewasa aku menjadi mengerti alasan mereka memarahi kita sebagai si kakak. Yah, ada tanggungjawab kakak untuk menjaga dan menjadi teladan bagi si adik. Pada satu sisi orangtua juga ingin mengajari si kakak mengenai tanggungjawab yang diembannya. Bukan lagi cemburu, tetapi pada tanggungjawab yang lebih besar. Ajaran inilah yang kupegang hingga kini.

No comments:

Post a Comment