Si Berlin tiap kudekati tersenyum. Senyumnya lebar. Aku tidak tahu
alasannya tersenyum. Mungkin karena dia merasa melihat teman sebaya padahal
aslinya baby face dududu... Aku pun
ikut-ikutan tertawa karena dia tersenyum dengan memamerkan gusi yang belum
tumbuh gigi alias senyum gigi ompong dedek bayi emez.
Ketika melihat si Berlin diriku mengingat saat-saat “apakah aku harus
segera menikah dan memiliki anak?” Pada banyak sisi diriku belum siap, akan
tetapi saat melihat kondisi fisik ada dorongan untuk menyegerakannya.
Khususnya, anak. Perihal anak ini aku jadi menyadari suatu obrolan dengan sobat
lama dari Masalembu yang sedang di Mesir. Kejadiannya delapan tahun silam
melalui chat facebook. Ada
kekhawatiran pada diriku merawat anak dalam dunia yang serba nisbi dan penuh chaos. Lantas ia seperti menenangkan
dengan mengatakan, “Tenang, cak.
Sampeyan maqamnya seperti Basudewa.”
Pada saat itu aku tak menimpali kelakarnya dan tidak menanyakan lebih lanjut
Basudewa si ayah atau anak? Sepengetahuanku Basudewa ialah ayah yang mendidik
Baladewa dan Kresna menjadi ksatria dalam Baratayudha yang sakti dan ditakuti.
Bahkan keduanya dihalangi untuk mendukung salah satu pihak karena kesaktiannya.
Namun, nama Basudewa juga pernah dipakai Kresna dalam sebuah penyamaran dalam
salah satu babak wayang.
Seingatku, Basudewa dalam mendidik kedua anaknya mencampurkan berbagai
metode. Ia seperti mempergunakan konsep phronesis
Aristoteles, membuat Baladewa dan Kresna belajar untuk membuat penilaian yang
logis dan benar sekaligus juga moral
excellence sebagai seorang calon raja. Basudewa mengajak Kresna dan
Baladewa mendefinisikan kebaikan layaknya seorang idealis dan mempraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka sering diajak sang ayah berkeliling menemukan esensi dari setiap
kejadian: di pasar, hutan, kerajaan, laut. Hal ini penting karena kenyataan
memang pahit dan mereka harus siap menerima takdir Hyang Wenang. Ketika Kresna
tua, ia duduk di atas gunung sambil melihat Dwarawati yang dibangun dan di
puncak jaya lenyap bersama wangsa Yadawa. Pada momen itu, aku seperti melihat
perdebatan mu’tazilah, qadariyah, jabariyah maupun ahlu sunnah tentang qada’ dan qadar.
Saat ini manusia merasa memiliki kebebasan dan free choice. Akan tetapi, menurutku, itu semu belaka. Memang benar
ada ayat yang menyatakan Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Akan tetapi, itu ada lanjutan ayatnya,
yakni jika Allah menghendaki. Akan terasa janggal bila Allah yang mengikuti
kehendak manusia, sifat Ketuhanan justru akan hilang. Kita saja tidak pernah
dilibatkan dalam memilih ayah dan ibu. Kita juga tidak pernah bisa
mengendalikan aliran darah dalam tubuh. Bahkan saat manusia berusaha sekuat
tenaga menjaga kesehatan, ia tetap akan sakit.
Perihal kebebasan dan free choice
ini pula yang membuatku banyak tersenyum. Apalagi jika berkaitan dengan
tuntutan hak. Menuntut hak itu seperti menuntut hawa nafsu dan ego. Manusia
memang punya hak, tetapi juga punya kewajiban. Jangan-jangan kita menuntut hak
lebih banyak daripada kewajiban yang kita lakukan. Itu pun kalau kita berhak,
kalau tidak?
Terasa janggal? Tentu saja karena Allah tidak melihat hasil, melainkan
proses dan ikhtiar. Yah, memang ada kalanya kita hanya dapat tawakal,
tidak ada ikhtiar di dalamnya. Contohnya? Lihatlah Indonesia saat dijajah
Belanda lalu Jepang. Berbagai bentuk perwanan untuk mengalahkan Belanda telah
dilakukan, tetapi gagal. Lalu muncul Jepang yang mengalahkan Belanda. Jepang
tak jauh beda. Kita berusaha mengusirnya, namun hasilnya sama. Lucu bin aneh
saat Jepang mundur teratur bukan karena kita melainkan mengaku kalah pada
sekutu. Allah punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah-masalah hambanya.
Tetapi, perlu diingat konsep itu tidak selalu karena ikhtiar juga sangat
penting. Lihatlah perjuangan proklamasi dan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Yang penting cara dan prosesnya diridhoi Allah.
Akhir-akhir ini, diriku memikirkan itu kembali. Tak mungkin aku
membiarkannya tumbuh dan besar dalam lingkungan buruk. Ia tak seperti Musa yang
masih beriman meski diasuh Fir’aun. Juga bukan Yusuf yang memiliki
keberuntungan sedemikian rupa. Mereka kekasih-kekasih Allah dan Allah
menjamin-Nya.
Pusing memikirkan anak, aku tertidur dan bermimpi. Mimpinya terasa
seperti ulangan kejadian lampau. Saat aku menakwilkan mimpi seseorang, aku
melihat mimpinya. Dia sedang makan dengan lauk yang banyak dan nasi yang
sedikit. Sekonyong-konyong kulihat tiga ular (satu besar dan dua kecil)
berwarna garis hitam dan kuning berada di kakinya. Saat hendak kuusir, aku
terbangun karena suara adzan subuh.