Suasana
menjadi gelap. Matahari telah tenggelam di belakang kami. Terdengar napas
terengah-engah sebagai tanda lelah menempuh jalan menanjak nan licin. Tidak
sedikit dari kami yang terpeleset. Dari kejauhan nampak titik-titik cahaya
lilin menujuk adanya perkampungan. Tapi, bukan disana tujuan kami. Tak terasa
kami telah sampai pada Desa Cibeo. Kami disambut dengan aroma yang khas dari
desa tersebut dan terdengar riuh rombongan lain yang berjumlah ratusan. Inilah
desa Cibeo, sebuah desa yang masuk sebagai desa bagi Suku Baduy Dalam. Desa
yang dulunya tertutup dan dianggap terbelakang oleh masyarakat umum.
Dari
berbagai informasi, desa Suku Baduy Dalam adalah desa 1001 larangan. Tak ada
listrik, tak ada televisi maupun alat komunikasi yang boleh diaktifkan. Menjauhkan
saya dari hingar bingar Piala Dunia dan kampanye pilpres. Berbagai macam
deterjen dilarang, bahkan berpikiran jelek pun adalah pantangan. Pada saat itu,
desa menjadi berisik oleh tawa dan suara pengunjung. Kita bisa membayangkan
keheningan malam jika pengunjung tidak ada. Masyarakatnya akan larut dalam
kesunyian dan kegelapan. Tersisa hanya binatang-binatang malam di hutan yang
sayup-sayup terdengar. Hawa dingin malam yang masuk melalui celah-celah dinding
dan lantai dapat merelaksasi tubuh yang lelah berjalan sehingga pulas tertidur.
Malam
itu berbeda. Kami dan ratusan rombongan lain membuat kampung menjadi riuh layaknya
pasar malam. Ada sedikit kekecewaan karena banyak pengunjung yang terlalu
bising membuyarkan suasana senyap kampung. Banyak penjual dan pengunjung hilir
mudik di depan saya. Membuat kepala menjadi pening. Malam itu saya habiskan
dengan berbasa-basi sembari menanyakan alasan berbagai larangan yang ada di
Baduy Dalam. Jawaban yang saya peroleh tidak memuaskan karena semua alasan
larangan akan mereka jawab, “sudah perintah dari leluhur.” Dini hari saya
sempatkan keluar rumah untuk menikmati malam di Baduy Dalam.
Benturan Budaya
Pagi
hari saya kaget. Banyak sampah yang bertebaran di sekitar perkampungan. Penjual
cinderamata juga lalu lalang seperti malam hari. Anda bisa merasakan suasana
Baduy Dalam yang sejuk tapi agak risih dengan kegaduhan dan sampah yang
berserakan. Kemurnian Baduy Dalam yang dibayangkan tiap pengunjung menjadi
sirna bukan oleh masyarakat Baduy Dalamnya, melainkan pengunjung itu sendiri.
Dominan mereka berkunjung atau menginap untuk merasakan sensasi alami hutan dan
daerah yang tak tersentuh teknologi, namun para pengunjung ini tak bisa lepas
dari kebiasaan tempat asalnya.
Saya
sedikit teringat anti tesis Samuel P. Huntington terhadap pemikiran Francis
Fukuyama perihal sumber fundamental dari konflik dalam dunia baru. Menurut
Huntington, konflik pada dasarnya tidak lagi melandaskan pada ideologi maupun
ekonomi, melainkan budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber
konflik yang dominan. Seperti ingin mempertahankan tesis Fukuyama, kapitalisme
disini juga berjuang meraih kemenangan menuju akhir dari sejarah. Keberadaan
pengunjung, pedagang, ataupun kebijakan pemerintah mengenai kawasan wisata
Baduy memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Pada sisi lain, suku Baduy juga
ikut mempertahankan budaya mereka.
Corak
bertani dan melestarikan alam dapat tergeser karena saya menemukan suku Baduy
Dalam juga turut berdagang. Bahkan menurut penuturan induk semang yang saya
tinggali (saya lupa namanya) terkadang ada pedagang luar yang meminta uang
kepada Baduy Dalam yang mereka sendiri tidak tahu alasannya kenapa diminta
uang. Apabila pedagang luar tersebut tidak diberi uang mereka akan marah. Saya coba
telusuri lebih dalam tapi mereka memang tidak tahu sebabnya dan tidak mau
memberi tahu pedagang mana yang suka meminta uang (membuat saya kesulitan cross check), sehingga saya berpikir
positif saja (di Baduy Dalam ada larangan untuk berpikir negatif) bahwa terjadi
kesalahpahaman terkait perdagangan.
Menurut
penuturan sekretaris desa, pada dasarnya Baduy Dalam adalah tempat
suci/disucikan oleh suku Baduy. Sedangkan Baduy Luar merupakan penyaring
budaya-budaya dari luar yang diperbolehkan masuk ke Baduy Dalam. Salah satu
contohnya adalah pendidikan. Pemahaman pendidikan kita adalah pendidikan
formal, tetapi masyarakat Baduy memiliki konsep dan pemahaman yang berbeda
perihal pendidikan. Sejujurnya, saya lebih meyukai konsep pendidikan suku Baduy
dibandingkan konsep pendidikan formal yang pernah saya tempuh. Tidak ada
pekerjaan rumah, ada waktu bermain, tidak ada persaingan antar geng atau
kekayaan. Sampai umur 10 tahun masyarakat Baduy mendapatkan pendidikan dari
orang tua mereka berupa bercocok tanam dan pelestarian alam. Setelah umur 10
tahun mereka akan dibina oleh Pu’un
dan Jaro yang lebih pada pendalaman
hukum adat dan ritual keagamaan. Pada tingakatan tertentu saya tak sependapat
dengan Paulo Freire, namun saya sepakat bahwa untuk menjadi manusia harus
menjalin hubungan dengan sesama dan dengan dunia. Dari konsep pendidikan
tersebut saya menyadari alasan anak kecil disuruh memungut sampah yang
berserakan di lingkungannya ketika pengunjung pulang.
Pelestarian
alam Baduy tidak perlu diragukan lagi. Mulai dari udara yang segar sampai air
jernih yang membuat kita betah berendam. Saya agak sentimentil ketika
pengunjung mandi menggunakan bahan-bahan kimia di sungai, walaupun perlengkapan
mandi mereka tidak berbuih/berbusa. Tak ada gangguan kesehatan apapun tatkala
saya mandi tanpa sabun, shampo maupun pasta gigi ketika disana. Satu lagi
pertanyaan yang mengganggu benak saya, apakah masyarakat Baduy tidak menyadari
atau mengetahui jikalau tidak jauh dari tempat mereka terdapat industri
pemotongan kayu? Apakah kayu-kayu tersebut berasal dari hutan yang mereka
lestarikan? Ataukah mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap penebangan kayu
yang dilakukan oleh orang dari luar?
Selintas
Tentang Hukum
Sebelum membahas hukum pada
masyarakat Baduy Dalam, saya akan menguraikan tipologi bentuk otoritas pada
masyarakat Baduy Dalam. Saya meminjam teorinya Max Weber kali ini. Pada Baduy
Dalam yang paling menonjol adalah tipologi tradisional dan kharismatik.
Tipologi tradisional dapat dilihat pada penerimaan aturan-aturan adat yang
telah turun temurun dipraktikkan. Terdapat kepercayaan yang mengakar bahwa akan
turunnya hukuman dari Tuhan jika melanggarnya. Otoritas ini akan nampak ketika
kita menanyakan alasan hal-hal yang dilarang. Otoritas kharismatik dapat
dilihat dari sosok Pu’un dan Jaro dalam menjaga ketertiban masyarakat
Baduy Dalam. Kemampuan pemimpin dianggap memiliki kekuatan luar biasa dan
cenderung mistis yang serta merta akan segera dipatuhi oleh masyarakat.
Sebenarnya otoritas kharismatik ini mudah ditemui dalam masyarakat Indonesia.
Mengapa
masyarakat Baduy masih memegang teguh hukum dan kebiasaan mereka? Ditinjau dari
teori bekerjanya hukum Robert B. Seidman, pembentukan hukum dan
praktiknya tidak akan lepas dari pengaruh dari kekuatan-kekuatan sosial dan
personal. Dari pengaruh tersebutlah dapat diketahui kualitas dari produk hukum.
Meskipun dalam prosesnya hukum sesuai dengan keinginan, faktor penentunya
adalah kekuatan sosial yang dalam hal ini kuatnya otoritas tradisional dan
kharismatik pada masyarakat Baduy Dalam.
Selama di Baduy Dalam saya tidak menemukan suatu aturan
atau hukum tertulis. Rata-rata aturan ataupun hukum yang ada diketahui secara
lisan melalui peribahasa atau nasihat. Tentunya kita akan heran karena begitu
banyak peribahasa maupun nasihat dalam bentuk cerita dan mereka mampu
menghapalnya. Ini adalah kecerdasan yang diberikan Tuhan kepada mereka (pada
suatu kesempatan mereka mempraktikan bahasa inggris hasil yang mereka peroleh
ketika menonton televisi di luar lingkungannya). Pada sisi yang lain, selain
mengingat mereka juga mempraktikan peribahasa atau nasihat tersebut dalam
kesehariannya.
Hukum yang ada di dalam masyarakat Baduy memenuhi ciri-ciri Hukum
Tradisional. Menurut Ronny Hanitijo
Soemitro dalam buku Masalah-Masalah Sosiologi Hukum, Hukum Tradisional sebagai jalan tengah
perdebatan definisi hukum adat, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Mempunyai sifat kolektifitas yang kuat ;
b. Mempunyai corak magis-religius,yaitu yang
behubungan dengan pandangan hidup masyarakat asli; c. Sistem hukumnya diliputi oleh pikiran serba
konkret, artinya hukum tradisional sangat memperhatikan banyaknya dan
berulang-ulangnya hubungan–hubungan yang konkret yang terjadi di dalam
masyarakat;
d. Sistem hukum tradisional bersifat visual, artinya hubungan–hubungan hukum dianggap terjadi karena ditetepkan dengan
suatu ikatan yang dapat dilihat atau dengan suatu tanda yang tampak.
Mistisme Di Baduy
Perjalanan berangkat dan pulang dari baduy memiliki kesan
tersendiri bagi rombongan saya karena tidak lepas dari hal mistis. Dan ini
sudah diwanti-wanti oleh kawan-kawan saya untuk menceritakannya ketika pulang.
Seolah mereka lupa jika saya sudah pensiun perihal beginian.
Boleh dibilang Baduy Dalam adalah salah satu surganya
bagi pecinta klenik. Mulai dari energi, aura, dan penghuninya. Seandainya orang
luar diperbolehkan tinggal enam bulan saja, saya akan melakukannya. Cobalah
lepas sandal atau sepatu anda dan membiasakan diri bertelanjang kaki karena
anda akan merasakan energi alami masuk melalui pori-pori telapak kakimu.
Terlebih jika tengah malam yang sunyi. Banyak energi positif yang dihasilkan
alam disekitar Baduy Dalam yang bisa anda serap. Auranya pun menentramkan,
terutama Pu’un memiliki aura yang
berbeda yakni terang bercahaya. Pantaslah jika beliau memang dihormati oleh
masyarakatnya.
Nah, permasalahan penghuni sedikit sensitif. Selain
masyarakat Baduy, penghuninya pun ikut melaksanakan aturan dan hukum disana. Penghuni
di Baduy Luar cenderung agresif dibandingkan yang di dalam. Mereka inilah yang
melaksanakan hukuman bagi masyarakat Baduy (dan juga pengunjung) yang melanggar
aturan yang telah ditetapkan. Rata-rata penghuni disana bersikap halus dan
sopan tapi mudah tersinggung maka daripada itu lebih baik menjaga hati,
pikiran, lisan ketika berada di Baduy. Jika tidak, anda akan dikejar seperti
pengalaman kami. Mulai dari berpencarnya rombangan kami, terserempet tronton
sampai menabrak trotoar dan ban pecah.
Semua berawal dari lisan teman serombangan yang lisannya
menyinggung penghuni di Baduy (lebih tepatnya di Baduy Luar). Saya agak sedikit
khawatir terhadap tanda-tanda bahaya seperti biasanya. Disertai dzikir dan
shalawat, saya berdoa terus-menerus selama perjalanan pulang. Kebetulan teman
yang lisannya menyinggung penghuni tadi (sekaligus pemilik mobil) rencananya
akan mengemudi dari Cirebon-Semarang sehingga Ia tidur di bangku paling
belakang. Sedangkan Jakarta-Cirebon dikemudikan teman yang lain yang hendak
turun di Cirebon. Ketika tidur-tidur ayam, saya sempat nyeletuk pada si Teman
Cirebon.
“Bro, jika lewat
jembatan di klakson” ujarku karena samar-samar ada makhluk duduk di pinggir
jalan.
“Zaman sekarang masih
percaya yang begituan ya, bro?” jawabnya.
Entah berapa lama saya tidur-tidur ayam, seketika kantuk
saya hilang. Teman-teman yang lain udah pada tertidur. Saya ajak ngobrol teman
cirebon itu untuk menghilangkan kantuknya. Untuk beberapa saat, kami terdiam.
Saya yang duduk tepat dibelakangnya melihat truck tronton di sebelah. Tiba-tiba teman Cirebon itu mencoba menyalip
kendaraan di depannya tanpa melihat di sebelah terdapat truck tronton. Sontak
saja, mobil kami menyerempet truck tersebut dan klakson tronton itu berbunyi
keras disertai rem mendadak oleh tronton. Goncangan yang keras pada mobil kami
ternyata tidak berdampak pada teman saya. Seolah-olah dia tak sadar telah
menyerempet tronton. Kawan-kawan lain yang terbangun menjadi panik. Untunglah
kami mampu melewati jalur sempit antara tronton dan kendaraan di depan. Anehnya
reflek kawan Cirebonku itu telat. Ia mencoba istigfar yang justru membuatku pengen
tersenyum karena telat kaget. Ternyata oh ternyata temanku ini ditutup
penglihatannya oleh makhluk yang duduk-duduk di pinggir jalan tadi. Kalian tau
si pemilik mobil tetap cuek dan melanjutkan tidurnya. Aiiiih anak ini.
Sampai Cirebon kawan yang telah menabrakkan mobil
terlihat shock. Tapi si pemilik mobil ini nampak santai-santai saja. Salut lah.
Nah, petaka selanjutnya menanti karena si pemilik mobil yang diincar. Usai
makan, kami lanjutkan perjalanan. Tapi perjalanan kembali terhenti karena
kantuk yang mendera. Kami memutuskan istirahat di sebuah pom bensin. Ketika
yang lain tidur pulas, saya tak mampu memejamkan mata. Pukul lima pagi kami
lanjut perjalanan. Saya menawarkan beli rokok sebentar untuk menghilangkan
kantuk pemilik mobil yang sedang menyetir, namun masih menunda-nunda. Hati tak
tenang, tapi mata sudah mulai mengantuk. Ketika tidur-tidur ayam, entah apa
yang dilakukan si pemilik mobil tiba-tiba mobil menyerempet pembatas jalan dan
mengakibatkan ban depan meletus. Padahal jalan pada kondisi sepi. Pada kondisi
inilah seorang teman nyeletuk kalau dia mimpi buah yang saya bawa lah
penyebabnya. Saya tidak percaya pada mimpi seseorang yang tidak berwudhu ketika
tidur karena datangnya sering dari jin yang bertugas menyebarkan fitnah serta
rasa gelisah. Sebelumnya saya memang menemukan buah aneh (sebesar mangga dan
rasanya mirip durian) yang jatuh ketika di Baduy Luar. Alasan ini saya tolak
karena saya telah izin oleh pemiliknya dan yang kedua teman saya ini
botek-botek jika dia mimpi. Terlebih lagi jika kita membawa sesuatu dari suatu
tempat yang keramat tanpa izin maka kita tidak akan bisa sampai rumah.
Untuk menyenangkan hati kawan yang botek-botek masalah
mimpi, saya bilang saja sudah saya buang. Dalam perjalanan, sepertinya seluruh penumpang
mobil sudah mulai banyak berdoa. Yang bisa saya lakukan hanyalah mengirim Al
Fatihah pada penghuni yang mengganggu tadi disertai permintaan maaf mewakili si
pemilik mobil yang telah menyinggung. Akhirnya, kami sampai rumah selamat
sentausa dan tidak luka. Tidak lupa saya mencicipi buah yang aneh itu. Saya tak
tahu namanya apa.
Di daerah ku massih banyak suku2 kayak gitu...ada suku tugutil. itu suku asli orng portugis. cantik2 perempuannya.. =D
ReplyDelete