“To be is to
do (Camus)
To do is to be (Sartre)
Do be do be
do (Sinatra)”
Siang
ini hujan. Saya baru menyadarinya ketika bangun tidur. Jangan berpikir saya
baru bangun ketika malamnya tertidur. Bukan. Subuh saya sudah bangun dan
menjelang siang hari saya putuskan tidur kembali. Begitulah minggu-minggu ini
berjalan. Sejanak saya teringat novel The Giver karya Lois Lowry yang
memberikan pada pembaca sebuah dunai hitam putih tanpa emosi dengan segala
rutinitasnya. Memang absurd. Tapi hidup dalam pandangan Camus adalah absurd. Semua
berulang tanpa makna. Setidaknya itulah yang saya sering lihat dari wajah di
berbagai media sosial.
Camus
memberikan dua pilihan pada dunia absurd yang dimiliki manusia, yaitu putus asa
atau memberontak. Ketika banyak berbagai permasalahan mayoritas manusia memilih
diam dan berputus asa dan tenggelam pada sesuatu yang menyenangkan (menghindar
dari rasa sakit). Status quo. Semua itu didukung dengan media massa yang
pesimis. Well, Marxis bagi sebagian
orang mampu memberikan gairah namun itu terlalu utopis. Pemberontakan dalam
arti keseharian memerlukan tekad dalam mendobrak rutinitas dan kegilaan. Waspadalah
pada nihilisme karena ketika diri kosong, semua dengan mudah masuk. Kita perlu
memilah-milahnya.
Pada
dunia yang makin abu-abu ini: pesimistis, keraguan, ketakpastian kita mencoba
segala sesuatu pada google. Demokrasi google yang luar biasa yang membantu
mengaburkan semua itu. Bayangkan saja ketika kamu mencari apakah judi itu haram
dan seketika kamu menemukan bahwa 20 besar web menyatakan bahwa 70% menyatakan
judi itu halal dan sisanya menyatakan judi itu haram. Mana yang akan kamu
pilih?
Sebentar
lagi tahun baru. Banyak yang sibuk merencanakan memeriahkannya, sedangkan saya
memilih tidur. Mungkin kalian punya
rencana untuk menyambutnya, namun saya punya rencana mengarungi tahun yang baru
itu.
Semarang, 30
Desember 2014