Ronaboyd Mahdiharja

Sebuah goresan nan Pribadi mengenai metamorforsis dalam alam pemikiran perjalan menjadi manusia.

Aug 28, 2014

LUCY



Pemain           : Scarlet Johansson, Morgan Freeman, Min-Sik Choi, Amr Waked
Sutradara       : Luc Besson
Naskah           : Luc Besson
Durasi             : 89 Menit

We humans are more concerned with having than with being

            Sinopsis sebuah film terkadang melebih-lebihkan atau justru sebaliknya. Selain trailer dan poster, sinopsis juga bagian penting dari marketing sebuah film. Untuk saya pribadi, ada kalanya saya melihat sinopsis terlebih dahulu baru kemudian trailer dan pemainnya. Namun, ada kalanya juga saya tak perlu membaca sinopsis dan melihat pemain yang masuk dalam daftar saya nilai memiliki akting bagus. ScarJo dan Morgan Freeman adalah pemain yang masuk dalam daftar saya dan inilah alasan saya menonton LUCY. Semenjak menonton Lost In Translation kemudian Match Point saya mengikuti film-film ScarJo sampai HER (meskipun cuma suara doang tapi asyik juga) dan Under The Skin. Shawsank Redemption lah yang memperkenalkan saya dengan Morgan Freeman dan film-film yang Ia bintangi memiliki kisah yang menarik serta memiliki twist ending. Selain Shawsank Redemption, ada Se7en, Million Dollar Baby, Trilogi Batman karya Christoper Nolan, Now You See Me, Wanted dll.
            Saya tak akan menguraikan sinopsisnya kembali karena itu membuang waktumu dan waktuku. Anda bisa membacanya sendiri pada website dan situs yang anda percaya. Langsung saja, Ok! Ide dasarnya adalah peningkatan kemampuan otak manusia melalui obat jenis baru. Manusia digambarkan hanya mempergunakan 10% kemampuan otaknya, dan bisa melakukan sesuatu yang spesial jika mempergunakan lebih dari itu. Tidak lebih bagus dari film Limitless, tapi ini lebih luas jangkauannya karena terdapat bumbu terkait kehidupan dan tujuan manusia. Pada awal film cukup bagus dengan selingan-selingan deskripsi evolusi dan adegan binatang yang cukup menggelikan. Karakter Lucy sendiri mengalami perubahan yang dari awalnya seorang gadis yang polos dan suka berpesta menjadi lebih tenang dan agresif (cenderung primitif/bar bar). ScarJo mampu membawakan karakter Lucy dengan baik pada awal sampai peertengahan, sedangkan dari pertengahan sampai akhir saya seperti melihat Black Widow. Morgan Freeman pun tidak mendapatkan porsi yang banyak dan karakter yang dibawakannya memang tidak berkembang. Min-Sik Choi dan Amr Waked lumayanlah tapi tidak benar-benar membantu.
            Sejak menit awal kita diberikan ketegangan dan berbagai pertanyaan muncul dalam benak kita. Ketegangan sedikit mengendor ketika fokus kita tidak lagi pada Lucy, melainkan lebih pada penjelasan ilmiah. Menjelang ending cerita nampak kedodoran dan dipaksakan. Tidak ada yang istimewa dari adegan ketika Lucy dapat mempergunakan kemampuan otaknya lebih dari 10% karena kita dapat menemukannya pada film-film X-Men. Atau lebih tepatnya jika Luc Besson tak jeli mengeksplorasi kemampuan Lucy dengan adegan yang bisa dikenang pada penonton.
            Saya menyukai humor yang disisipkan Luc Besson, terutama Black Humor yang dapat ditemukan dari dialog antara Lucy dengan Pierre Del Rio ketika Lucy menyetir mobil.
Pierre Del Rio: “I'd rather be late than dead.”
Lucy: “We Never Really Die”
Perhatikan saja ekspresi Pierre ketika mendengar jawaban Lucy. Sepertinya sang sutradara memang ingin sedikit mengurai ketegangan yang dibangunnya dengan menyelipkan beberapa klip personifikasi yang sesuai dengan situasi yang terjadi, terutama pada awal film dan bagian penjabaran immortality and reproduction (nah, yang ini si Besson dapat video itu darimana coba? Hehehe)
            Bagi mayoritas penonton pasti berpikir bahwa ada kesan menyeret Lucy menjadi Tuhan, namun jika demikian akan membuat lubang dalam cerita dan menarik pertanyaan yang mendasar “Apa yang terjadi jika semua manusia mampu mengoptimalkan 100% otaknya? Mengapa manusia harus memiliki hati? Lantas siapa yang menciptakan seluruh alam semesta dan kemampuan manusia yang begitu luar biasa?” Tiada penjelasan dalam film dan inilah yang menjadi salah satu ciri scifi. Lucy mengalami fase dimana kehilangan rasa sakit, takut, dan hasratnya. “Everything that makes us human, begins to escape. I feel less human.” Saya salut terhadap keberanian Besson dalam memasuki wilayah absolut dengan menciptakan karakter Lucy. Mustahil manusia memasuki wilayah absolut karena harus menghilangkan kemanusiaannya dan memandang semua rasa adalah sama yang tiada bedanya. Yang bisa dilakukan manusia adalah menyeimbangkan anugerah yang telah diberikan baik hati, jiwa, rasio bahkan indra. Pada tataran absolut, semua pertentangan/ironik/paradog harus dirasakan secara bersamaan dalam satu waktu sehingga upaya apapun manusia mencapainya adalah mustahil. Inilah yang membuatku menyukai genre scifi (truly scifi, bukan yang abal-abal) dibandingkan genre lainnya.
Lucy: “Time is the reason for its own existence, the ultimate measure. It attributes its existence to matter. Without time, it does not exist.”
            Berbicara tentang waktu teringat surat al-Ashr yang berbunyi “Demi masa (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (2) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (3)”. Jadi, jangan sia-siakan waktu. Saatnya kembali fokus pada tesis. CU!!

No comments:

Post a Comment